Naura mematung. Napasnya memburu. Mungkin, ini adalah jalan keluar atas permasalahan yang dia hadapi. Kedua orangtuanya sudah bahagia dengan keluarga masing-masing. Indra yang selama ini menjadi tumpuan harapan, ternyata malah meninggalkannya dengan tega. Tanpa berpamitan, tanpa ucapan perpisahan, lelaki itu mengakhiri hubungan mereka yang sudah terjalin selama lima tahun sejak SMA.
Belum lagi, ejekan dan hinaan yang dia terima saat di tempat kerja. Dia tahu ini sanksi sosial yang harus dia terima. Namun, kenapa hanya dia yang dicerca? Kenapa hanya dia yang disalahkan atas kelakuannya dengan Indra? Kenapa orang-orang justru menghujat dirinya? Padahal, posisinya disini adalah korban. Dia ditinggalkan. Lalu, kenapa jadi dia yang seolah penjahatnya? Kenapa penghakiman itu hanya tertuju pada dirinya? “Kamu tidak diinginkan, Nau. Kamu adalah buangan. Sejak kecil, kamu sudah ditinggalkan.” Naura mengangkat p.sau ke depan wajahnya. Wanita itu tersenyum miris melihat bayangan wajahnya yang berantakan terpantul pada benda t.jam itu. “Jangankan Indra yang bukan siapa-siapa, Ibu dan Bapak yang orangtuaku saja meninggalkan aku.” Air mata Naura mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur saat mengingat semua. Sejak kecil, dia berteman akrab dengan kesendirian. Setelah ibunya menikah lagi, Naura tinggal dengan neneknya. Setahun berlalu, neneknya menghadap sang Pencipta meninggalkan Naura yang terombang-ambing tak tahu arah. Setiap hari, dia berpindah dari rumah satu keluarga ke keluarga yang lain. Orangtuanya tidak bisa membawa Naura bersama mereka dengan alasan pasangan yang baru keberatan. Beruntung ada keluarga jauh yang akhirnya mau menampung setelah hampir enam bulan sepeninggal neneknya dia terkatung-katung. Namun, bukan berarti semua menjadi mudah. Di usia yang seharusnya masih masa-masa bermain dengan teman, Naura sudah harus membantu pekerjaan bibinya. Sepulang sekolah, Naura berkutat dengan berbaskom-baskom cucian. Sore harinya, dia mengantarkan baju yang sudah disetrika rapi pada tetangga yang memakai jasa cuci gosok bibinya. “Selamat tinggal dunia.” Naura mendekatkan p.sau ke tangan kirinya. “Seharusnya, aku memang tidak dilahirkan karena tak ada yang menginginkan. Hari ini, semua selesai sudah. Semoga Ibu, Bapak, teman-teman di tempat kerja senang dengan keputusan yang kuambil hari ini. Tidak akan ada lagi Naura yang mungkin bagi kalian hanyalah pengganggu.” Naura menatap fotonya dan Indra yang dibingkai dengan pigura warna biru muda. Mereka tersenyum bersama di foto itu. Naura memeluk pinggang Indra dan tangan Indra melingkar di bahunya. Saat itu, dia merasa dunia adalah miliknya karena bisa bersama dengan lelaki yang sangat dia cintai dan mencintainya. “Untuk kamu, Ndra, semoga tidak akan pernah kau temukan bahagia dalam pernikahanmu. Semoga kelak keturunanmu akan merasakan sakitnya dikhianati seperti ini.” Naura menatap wajah Indra di dalam foto. Mendadak, rasa benci menguasai diri. Dia muak dengan tubuhnya sendiri. “Baj.ngan kamu, Ndra!” Naura tersengal mengingat betapa garangnya Indra menj.mah setiap inci tubuhnya setiap kali mereka melakukannya. “Jahat! Kamu jahat, Ndra!” Naura mengepalkan tangan. Kebenciannya membumbung tinggi pada lelaki yang meninggalkannya seperti seonggok sampah setelah menghisap habis sari manisnya. Air mata Naura mengalir dengan deras mengingat semua. Tangannya gemetar hebat. Dia merem.s pegangan p.sau dengan erat. Naura memejamkan mata rapat-rapat. Dengan napas menderu, dia mulai meny.yat urat nadinya sendiri. Dia menyadari tangannya teriris saat rasa perih menjalar di pergelangan tangannya. “Ahhhhh!” Naura berteriak. Dia melemparkan p.sau yang berlumuran d.rah hingga mengenai dinding yang berwarna putih. Benda t.jam itu terjatuh ke lantai, meninggalkan noda merah di dinding kamar. Mata Naura membelalak lebar. Dia mengalihkan pandangan ke pergelangan tangan kirinya. D.rah menetes cepat, membasahi celana yang dia kenakan. Mendadak, ketakutan memenuhi hatinya. Kesadaran itu datang hingga membuatnya takut menghadapi kematian. Naura mencoba berdiri untuk meminta pertolongan. Namun, dia tak punya tenaga lagi. Tubuhnya ambruk menghant.m lantai. Kepalanya terasa pusing dan sekitarnya seperti berputar. Pandangan mata Naura berkunang-kunang. Telinganya berdengung hebat seperti ada ribuan lebah yang memenuhi kamar kosannya. “Toloooooong!” Naura meraung kencang, berusaha mengeluarkan sisa tenaga yang dia punya. Dia berharap ada yang mendengar suaranya agar bisa memberikan pertolongan. Namun, saat menyadari suaranya tersangkut di tenggorokan, Naura hanya bisa pasrah pada keadaan. Sudah tak ada lagi harapan. Naura terlentang di lantai. Dia menatap d.rah yang terus menetes dari pergelangan tangannya hingga membuat genangan yang membasahi lengan. Wanita itu terisak. “Kenapa hanya aku yang kau hukum, Tuhan? Apakah aku tidak boleh bahagia sehingga harus menghadapi semua ini? Kenapa sejak kecil aku selalu sendiri? Tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan di dunia ini?” Napas Naura terasa sesak. Bayangan masa lalunya saat masih bahagia tinggal bersama kedua orangtuanya seakan diputar ulang. Lalu, kenangan saat dia pertama kali bertemu dengan Indra datang bergantian. Masa-masa pendekatan dan pacaran yang sangat membahagiakan. letupan-letupan cinta memenuhi hari Naura. Naura tersenyum lebar mengingat semua. Setidaknya, dia pernah merasa bahagia walau hanya sementara. Wanita itu menutupkan mata karena dia merasa kelopak matanya sangat berat. Mungkin, waktunya sudah semakin dekat. Sekejap, semua menjadi gelap. Naura kehilangan kesadarannya.“Ndra, makin tampan saja. Duda muda memang mempesona. Apa istilahnya itu? Duren! Duda keren!” Sahrul terkekeh saat berjabat tangan dengan Indra. “Kabarnya sudah sebulanan pulang ya? Baru kelihatan sekarang. Itu juga karena aku yang mencari tahu. Kalau aku tidak menghubungi, mungkin kita tidak ngobrol pagi ini.”Indra terkekeh pelan. Dia mengikuti langkah Sahrul menuju warung kopi di dekat sana. Setelah menyalami beberapa orang yang juga satu desa dengan mereka, Indra duduk di dekat Sahrul. “Biasa, baru pulang masih penyesuaian dulu. Apalagi sekarang sudah tidak ada yang mengurus lagi. Jadi apa-apa serba sendiri. Makanya jarang keluar rumah.”“Ah, alasan saja. Aku berani bertaruh kalau sekarang yang mengurus semua keperluanmu adalah Bi Rida. Mana mungkin dia membiarkan anak laki-laki satu-satunya ini mengucek baju atau menjarang banyu?” Sahrul memesan kopi hitam pekat, khas daerah sana yang biji kopinya diolah sendiri. “Atau … sudah ada rencana menikah lagi karena tidak kuat sendiri?”
“Selamat pagi, Naura binti Bendri.” Fatih tersenyum lebar saat duduk di meja makan. Di hadapannya, nasi goreng sosis dengan dua telur mata sapi sudah siap untuk disantap. Segelas kopi hangat menguarkan aroma menggoda hingga membuat lelaki itu langsung menghirupnya dengan nikmat.“Pagi.” Naura ikut tersenyum. Dia meletakkan buah pir dan melon yang sudah dipotong-potong. Wanita itu melirik ke arah rambut suaminya yang masih setengah basah karena keramas sebelum subuh tadi. Wajah lelaki itu terlihat segar dan sumringah. “Abang kayaknya sedang dalam posisi hati yang senang ya?”“Iya dong, Sayang. Service tadi malam sangat menyenangkan. Kamu ulang tahun setiap hari saja tidak apa-apa, Nau. Abang tidak keberatan membuat dekor-dekor dan membelikan kue ulang tahun. Asaaaaal, ada inovasi baru seperti yang tadi malam itu walau sedang h.langan. Aw!” Fatih mengelus bahunya. Cubitan Naura terasa pedas di kulitnya. Namun, tak lama dia kembali terkekeh saat melihat wajah Naura yang bersemu merah.“J
Naura membuka mata. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat wajah tampan suaminya sedang menatap layar ponsel yang sedang di charge. Tidak ada usapan halus di kepala atau ci.man di dahi seperti biasa. Fatih benar-benar menjadi orang yang berbeda dan menyebalkan sejak pagi tadi.“Loh, Nau?” Fatih terkejut melihat Naura berdiri dan langsung meninggalkannya keluar kamar. Lelaki itu setengah berlari mengejar Naura yang sudah diluar rumah. Dia bisa melihat Wahid yang masih duduk di teras bertanya keheranan pada Naura.“Nggak tahu, tuh, kurang jatah kali makanya jadi ngeselin begitu!”Wahid berdehem pelan mendengar ucapan Naura. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat Fatih melintas dengan wajah merona merah. Dia terkekeh saat mobil Fatih keluar dari halaman rumah. Entah apa yang diributkan oleh keduanya hingga membuat Naura terlihat sangat rungsing sejak sore tadi.Sepanjang perjalanan pulang, Naura dan Fatih tidak mengobrol. Naura menyimpan kesal karena Fatih terlihat
“Sebentar apa? Memangnya mau apa? Hmmm?” Fatih menghirup aroma shampo yang menguar dari rambut panjang Naura. Lelaki itu tertawa saat Naura menyikut perutnya pelan. “Abang ‘kan cuma nanya, kok malah disikut sih, Yang.” Fatih akhirnya duduk di kursi saat Naura mengacungkan garpu dan memberi kode dengan mata agar suaminya duduk saja.“Besok setelah dari dokter, kita mampir ke rumah makan Bang Wahid saja ya? Abang ada janji temu sama orang di dekat sana. Atau kamu mau ikut Abang?” Fatih membuka mulut lebar-lebar saat Naura menyuapinya mangga. Rasa manis dan aroma khas mangga memenuhi mulut Fatih.“Aku ke rumah makan saja, Bang. Sudah lama tidak bantu-bantu disana. Kangen juga sama suasana sibuknya.” Naura menerawang, membayangkan jam-jam hectic saat masih membantu di rumah makan Wahid dan Dewi dulu. Saat itu, dia tidak merasa lelah sedikitpun karena hati dan pikirannya jauh lebih lelah dihantui masa lalu.“Kamu bosan di rumah ya, Yang? Kamu boleh kok main sama teman-teman kamu atau main
Adzan Isya’ berkumandang saat Aini dan Indra sampai di kampung halaman Aini. . Dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, mereka menempuh perjalanan sekitar lima jam dengan menggunakan travel. Beruntung, Arjun tidak rewel sepanjang perjalanan. Anak itu lebih banyak tidur. Saat terbangun dia asyik melihat-lihat sepanjang jalan yang dilewati.“Aini ….” Siti langsung berdiri saat melihat travel berhenti di depan rumah. Setengah berlari, dia mendekati mobil berwarna silver yang sedang menurunkan anak dan cucunya. Wanita itu bahkan tanpa sadar tidak menggunakan sandal. Dia benar-benar lega saat anaknya sampai di rumah kembali karena sudah menunggu sejak tadi.Sebenarnya, Siti dan Ari ingin menjemput Aini. Namun, Aini melarang. Dia tidak mau merepotkan kedua orangtuanya. Selain itu, dia ingin terlihat baik-baik saja walau hatinya hancur tak berbentuk. Aini tidak mau menambah beban pikiran mereka. Terlalu sering dirinya menyusahkan Bapak dan ibunya.“Bu ….” Aini memaksakan senyum di wajahnya.
Mereka memang akan pergi, dan tidak akan kembali lagi. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat ini.“Rasanya, baru kemarin kita menginjakkan kaki pertama kali di tanah Kalimantan ini, Aini.” Indra membuka percakapan saat mereka sudah duduk di ruang tunggu. Keduanya menatap ke arah yang sama, pada Arjun yang tampak senang sekali melihat pesawat terparkir dari balik dinding kaca. Helaan napas terdengar bersamaan dari keduanya. Indra menoleh ke arah Aini yang tidak merespon apa-apa.“Tidak terasa, lima tahun berlalu. Begitu cepat semua terjadi. Semua serba mendadak. Seperti pernikahan kita yang dilangsungkan dengan tiba-tiba, begitu juga perpisahan diantara kita yang yaaaah, terjadi begitu saja.” Indra melanjutkan ucapan. Lelaki itu memperhatikan sekitar, ke arah orang-orang yang juga menunggu waktu penerbangan seperti mereka.“Abang minta maaf kalau selama lima tahun ini banyak salah dan sering menyakiti. Abang akui, kamu wanita yang baik, Aini. Penurut dan telaten sekali dalam mengurus sem