Share

BAB 4

last update Huling Na-update: 2025-06-30 10:02:47

Naura mematung. Napasnya memburu. Mungkin, ini adalah jalan keluar atas permasalahan yang dia hadapi. Kedua orangtuanya sudah bahagia dengan keluarga masing-masing. Indra yang selama ini menjadi tumpuan harapan, ternyata malah meninggalkannya dengan tega. Tanpa berpamitan, tanpa ucapan perpisahan, lelaki itu mengakhiri hubungan mereka yang sudah terjalin selama lima tahun sejak SMA.

Belum lagi, ejekan dan hinaan yang dia terima saat di tempat kerja. Dia tahu ini sanksi sosial yang harus dia terima. Namun, kenapa hanya dia yang dicerca? Kenapa hanya dia yang disalahkan atas kelakuannya dengan Indra? Kenapa orang-orang justru menghujat dirinya? Padahal, posisinya disini adalah korban. Dia ditinggalkan. Lalu, kenapa jadi dia yang seolah penjahatnya? Kenapa penghakiman itu hanya tertuju pada dirinya?

“Kamu tidak diinginkan, Nau. Kamu adalah buangan. Sejak kecil, kamu sudah ditinggalkan.” Naura mengangkat p.sau ke depan wajahnya. Wanita itu tersenyum miris melihat bayangan wajahnya yang berantakan terpantul pada benda t.jam itu. “Jangankan Indra yang bukan siapa-siapa, Ibu dan Bapak yang orangtuaku saja meninggalkan aku.”

Air mata Naura mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur saat mengingat semua. Sejak kecil, dia berteman akrab dengan kesendirian. Setelah ibunya menikah lagi, Naura tinggal dengan neneknya. Setahun berlalu, neneknya menghadap sang Pencipta meninggalkan Naura yang terombang-ambing tak tahu arah.

Setiap hari, dia berpindah dari rumah satu keluarga ke keluarga yang lain. Orangtuanya tidak bisa membawa Naura bersama mereka dengan alasan pasangan yang baru keberatan. Beruntung ada keluarga jauh yang akhirnya mau menampung setelah hampir enam bulan sepeninggal neneknya dia terkatung-katung.

Namun, bukan berarti semua menjadi mudah. Di usia yang seharusnya masih masa-masa bermain dengan teman, Naura sudah harus membantu pekerjaan bibinya. Sepulang sekolah, Naura berkutat dengan berbaskom-baskom cucian. Sore harinya, dia mengantarkan baju yang sudah disetrika rapi pada tetangga yang memakai jasa cuci gosok bibinya.

“Selamat tinggal dunia.” Naura mendekatkan p.sau ke tangan kirinya. “Seharusnya, aku memang tidak dilahirkan karena tak ada yang menginginkan. Hari ini, semua selesai sudah. Semoga Ibu, Bapak, teman-teman di tempat kerja senang dengan keputusan yang kuambil hari ini. Tidak akan ada lagi Naura yang mungkin bagi kalian hanyalah pengganggu.”

Naura menatap fotonya dan Indra yang dibingkai dengan pigura warna biru muda. Mereka tersenyum bersama di foto itu. Naura memeluk pinggang Indra dan tangan Indra melingkar di bahunya. Saat itu, dia merasa dunia adalah miliknya karena bisa bersama dengan lelaki yang sangat dia cintai dan mencintainya.

“Untuk kamu, Ndra, semoga tidak akan pernah kau temukan bahagia dalam pernikahanmu. Semoga kelak keturunanmu akan merasakan sakitnya dikhianati seperti ini.” Naura menatap wajah Indra di dalam foto. Mendadak, rasa benci menguasai diri. Dia muak dengan tubuhnya sendiri.

“Baj.ngan kamu, Ndra!” Naura tersengal mengingat betapa garangnya Indra menj.mah setiap inci tubuhnya setiap kali mereka melakukannya. “Jahat! Kamu jahat, Ndra!” Naura mengepalkan tangan. Kebenciannya membumbung tinggi pada lelaki yang meninggalkannya seperti seonggok sampah setelah menghisap habis sari manisnya.

Air mata Naura mengalir dengan deras mengingat semua. Tangannya gemetar hebat. Dia merem.s pegangan p.sau dengan erat. Naura memejamkan mata rapat-rapat. Dengan napas menderu, dia mulai meny.yat urat nadinya sendiri. Dia menyadari tangannya teriris saat rasa perih menjalar di pergelangan tangannya.

“Ahhhhh!” Naura berteriak. Dia melemparkan p.sau yang berlumuran d.rah hingga mengenai dinding yang berwarna putih. Benda t.jam itu terjatuh ke lantai, meninggalkan noda merah di dinding kamar.

Mata Naura membelalak lebar. Dia mengalihkan pandangan ke pergelangan tangan kirinya. D.rah menetes cepat, membasahi celana yang dia kenakan. Mendadak, ketakutan memenuhi hatinya. Kesadaran itu datang hingga membuatnya takut menghadapi kematian.

Naura mencoba berdiri untuk meminta pertolongan. Namun, dia tak punya tenaga lagi. Tubuhnya ambruk menghant.m lantai. Kepalanya terasa pusing dan sekitarnya seperti berputar. Pandangan mata Naura berkunang-kunang. Telinganya berdengung hebat seperti ada ribuan lebah yang memenuhi kamar kosannya.

“Toloooooong!” Naura meraung kencang, berusaha mengeluarkan sisa tenaga yang dia punya. Dia berharap ada yang mendengar suaranya agar bisa memberikan pertolongan. Namun, saat menyadari suaranya tersangkut di tenggorokan, Naura hanya bisa pasrah pada keadaan. Sudah tak ada lagi harapan.

Naura terlentang di lantai. Dia menatap d.rah yang terus menetes dari pergelangan tangannya hingga membuat genangan yang membasahi lengan. Wanita itu terisak. “Kenapa hanya aku yang kau hukum, Tuhan? Apakah aku tidak boleh bahagia sehingga harus menghadapi semua ini? Kenapa sejak kecil aku selalu sendiri? Tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan di dunia ini?”

Napas Naura terasa sesak. Bayangan masa lalunya saat masih bahagia tinggal bersama kedua orangtuanya seakan diputar ulang. Lalu, kenangan saat dia pertama kali bertemu dengan Indra datang bergantian. Masa-masa pendekatan dan pacaran yang sangat membahagiakan. letupan-letupan cinta memenuhi hari Naura.

Naura tersenyum lebar mengingat semua. Setidaknya, dia pernah merasa bahagia walau hanya sementara. Wanita itu menutupkan mata karena dia merasa kelopak matanya sangat berat. Mungkin, waktunya sudah semakin dekat.

Sekejap, semua menjadi gelap. Naura kehilangan kesadarannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 13

    Naura mengangguk. Itu artinya, Bibi dan mamangnya bekerja hanya untuk mengisi hari tua, bukan untuk mencari makan lagi. Kebanyakan orang tua disana enggan ikut anaknya merantau walau kehidupan anaknya sudah nyaman. Mereka terlanjur mencintai kampung halaman yang menjadi tempat mereka lahir dan dibesarkan.“Abangmu sering menanyakan kabarmu kalau sedang telpon, Nau. Beberapa kali dia minta nomormu, tapi Bibi tidak punya.”Naura membisu mendengar ucapan bibinya. Dia menghela napas panjang untuk yang kesekian kali. Sejak merantau dan yakin akan janji kehidupan lebih baik bersama Indra, dia mengganti nomor ponselnya. Naura ingin melupakan semua kepahitan hidupnya di masa lalu dan fokus untuk menyongsong masa depan bersama lelaki yang menjadi tumpuan harapannya.“Lusa, abangmu pulang. Teman baiknya sejak kecil menikah, sehingga dia menyempatkan untuk datang.” Ila memperhatikan Naura yang kini menoleh ke arahnya. “Mungkin ini jalan Tuhan, Nau. Kamu datang disaat abangmu juga pulang.”Naura

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 12

    Bendri membisu. Dia kehabisan kata karena apa yang sepupunya ucapkan adalah kebenaran. Sejak bercerai dengan mantan istrinya, dia tidak mau tahu menahu tentang Naura sama sekali. Bendri bahkan tidak memberikan uang saat Naura minta untuk membeli seragam saat akan masuk SMP sekitar sembilan tahunan yang lalu.“Kita pulang, Nau. Seharusnya, sejak awal datang kau tahu kemana harus pulang. Pintu rumah Bibi selalu terbuka untuk kau datangi.” Ila menarik tangan Naura agar mengikutinya. Dia mengambil keranjang yang terjatuh di halaman. Setelah memasukkan kembali isinya yang tercecer, Ila berjalan diiringi oleh Naura.“Dimana baju-bajumu, Nau?” Ila bertanya setelah mereka sampai di rumah. Dia memberikan segelas air dingin pada Naura yang terlihat sudah jauh lebih tenang. Wanita itu menghela napas panjang melihat wajah lelah dan kuyu yang terpancar jelas di wajah keponakannya.“Di rumah Farhan, Bi.” Naura menjawab pelan. Dia mengambil gelas yang diberikan oleh Ila dan meminumnya satu tegukan.

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 11

    “Jaga mulutmu, Naura. Jangan bicara seperti orang tak pernah mendapat pendidikan. Aku ini bapakmu!” Bendri terengah. Dia tersinggung mendengar ucapan yang keluar dari bibir anaknya. “Untuk apa kamu pulang kalau hanya membuat kekacauan saja? Tahunan kamu pergi dari sini kehidupan kami aman dan tenang terkendali.”Naura meludah. Cairan ludah bercampur darah menempel di batu hias yang disusun di pekarangan. Wanita itu menggeleng pelan. Tenaganya habis sudah untuk menjawab semua ucapan bapaknya. Fisiknya lelah. Batinnya apalagi.Dia akhirnya duduk di teras rumah. Lelah rasanya berhadapan dengan para manusia yang selalu ingin dihormati sebagai orangtua, tapi tidak pernah mengurusnya sama sekali. Tidak berpendidikan katanya? Naura berdecak pelan. Ingin rasanya dia mengembalikan kata-kata Bendri lagi. Apa selama ini Bendri memberikan pendidikan padanya hingga bisa berkata demikian?Namun, dia memilih diam. Tamp.ran dari bapaknya barusan cukup membuat mentalnya semakin jatuh. Pada akhirnya ap

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 10

    “Nau, kita masuk dulu.” Rida membantu Naura berdiri. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat tetangganya yang saling menggamit dan berbisik, menggunjingkan tentang keluarganya.“Ayo, Naura.” Rida menghela napas panjang saat tidak ada penolakan dari Naura. Mereka berjalan pelan masuk ke dalam rumah, sementara yang lain masih berdiri di tempat semula, berharap ada kelanjutan cerita.“Minum dulu.” Rida memberikan segelas air putih dingin pada Naura yang langsung menghabiskannya sampai tandas. “Pulanglah, Nau, Indra tidak ada disini. Semakin lama kamu disini, tetangga akan semakin bergunjing. Jadi, Ibu mohon, pulanglah ….”“Kemana?” Naura menggigit bibir. Tatapan matanya kosong. Kemana dia harus pulang? Selama ini, tujuannya kembali hanya Indra. Sekarang, saat lelaki itu menghilang, dia harus kemana?Rida menghela napas panjang melihat wajah Naura yang basah. Dia tahu betul cerita hidup Naura. Namun, mau bagaimana lagi? Indra dan Naura tidak berjodoh. Dia tak mau membuat Naura berha

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 9

    “Indra!”Naura bergegas berdiri saat suara panggilan kembali terdengar. Tak disangka, belum satu jam menginjakkan kaki di desa ini, dia langsung bertemu dengan lelaki pengecut yang memblokir semua akses kontak mereka. Wanita itu menelan sisa roti di mulutnya dengan cepat. Setelah menghela napas beberapa kali, Naura memaksakan diri untuk menoleh.Walau belum siap jika harus bertemu dengan Indra yang mungkin saja sedang bersama istrinya, Naura tidak mau melewatkan kesempatan ini. Bisa saja, Indra malah pergi lagi jika tahu dia ada di desa ini.“Farhan?" Naura menautkan alis melihat teman satu sekolahnya sejak SD sampai SMA. Lelaki yang membawa parang di pinggang dan tangan kanan menenteng nangka berjalan mendekat ke arahnya.Naura mengedarkan pandangan. Tidak ada orang lain yang ada disana. Hanya ada mereka berdua karena letak masjid di kampung itu memang ada di ujung desa. Mendadak, Naura menyadari sesuatu. Sejak dia berpacaran dengan Indra, Farhan selalu memanggilnya dengan nama lelak

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 8

    Sakti semakin mengencangkan tangannya di bahu Naura hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik. “Sudah kubilang kalau kau membuatku penasaran, Nau. Jadi, jangan harap bisa lepas begitu saja. Lagi pula, apa susahnya, sih? Paling sepuluh sampai lima belas menit juga beres. Kita sama-sama diuntungkan disini.”Sakti melirik jam dinding. Dia melepaskan Naura yang mengepalkan kedua tangannya di paha. Lelaki itu mengulas senyum saat kembali ke tempatnya duduk. “Tentu saja tidak disini. Tidak sekarang, Nau. Jadi, bawa kembali surat pengunduran dirimu. Lebih baik kita bersenang-senang bersama. Apa kau tidak merindukan itu? Sebulan lebih kamu nganggur ditinggal Indra ‘kan?”“Picik!” Naura menatap Sakti dengan ujung mata. Dia memasang wajah datar saat melihat Sakti yang terkekeh pelan mendengar makiannya barusan. “Seperti yang Bapak bilang, saya cerdas. jadi, walau saat ini keadaan saya sedang kacau, saya tetap bisa berpikir jernih.”Naura mengangkat ponselnya dan memutar rekaman suara Sakti. “

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status