 Masuk
Masuk“Mbak? Mbak Naura?” Pratiwi menggedor pintu kamar kos Naura berkali-kali. Kamar mereka bersebelahan. Dia mendengar suara motor Naura saat tetangga kosnya itu pulang tadi. Tak berapa lama, dia juga mendengar suara barang-barang pecah. Pratiwi membiarkan saja karena dia sudah mendengar berita tentang Indra yang menikah di kampung sana.
Namun, sesaat setelah terdengar suara teriakan Naura, kamar itu hening. Pratiwi merasa tidak enak hati. Jadi, dia ingin memastikan kalau wanita bermata sendu itu baik-baik saja. Bukannya apa-apa, dia tahu betul kalau orang patah hati bisa melakukan apa saja bahkan gelap mata. Dia tidak mau sampai Naura kenapa-kenapa karena selama tiga tahun bertetangga, hubungan mereka cukup dekat. Naura sosok yang periang. Dia ramah kepada siapa saja sehingga banyak yang suka. Tak hanya itu, Naura juga pendengar yang baik. Itulah sebabnya Pratiwi dan Naura cukup dekat. Pratiwi merasa nyaman bercerita dengan Naura. Hanya saja, dia sedikit risih melihat kedekatan Naura dan Indra. Terlihat dengan sangat jelas kalau Naura kecintaan sekali dengan lelaki itu. Bukan sekali dua kali Pratiwi mengingatkan Naura tentang ruginya kumpul k.bo seperti ini. Namun, Naura seperti tuli. Apalagi, beberapa teman kos lain juga melakukan hal yang sama. Jadi, seperti sudah lumrah disana. Tinggal bersama dengan pacar adalah hal yang biasa sehingga nasehat Pratiwi hanya seperti angin lalu bagi Naura. “Kenapa, Wi?” Hendra yang mendengar Pratiwi terus mengetuk pintu kamar Naura sejak tadi akhirnya keluar dari kamar. Mereka satu tempat kerja dan hari ini kebagian shift sore. Lelaki itu menyadari ada yang salah dengan Naura karena dia juga mendengar suara benda-benda yang dilemparkan tadi. Tanpa menunggu jawaban Pratiwi, Hendra mengambil ancang-ancang mendobrak pintu. Lima kali tend.ngan, pintu kamar akhirnya terbuka. “AAAAA ….” Pratiwi terduduk di depan kamar Naura melihat keadaan di dalam sana. Kakinya terasa lemas melihat Naura yang tergeletak dengan d.rah yang menggenang di lantai. Teriakannya membuat penghuni kos lain keluar. “Astaghfirullah …, Mbak Naura ….” Pratiwi menutup mulutnya saat Naura dibopong keluar. Tubuhnya seperti tak bertulang. Dia memilih tetap diam di kosan karena tidak kuat untuk ikut mengantar ke rumah sakit. “Semoga masih ada kesempatan kamu bangun kembali untuk memperbaiki diri, Mbak.” Pratiwi mengurut dadanya berkali-kali. Setengah jam berlalu, Naura sudah ditangani oleh pihak medis. Wanita itu kritis. Beruntung, persediaan d.rah di bank d.rah rumah sakit sedang banyak. Jadi, bisa langsung dilakukan transfusi karena Naura kehilangan darah cukup banyak. Disini, Naura berada di ambang hidup dan mati. Antara sadar dan tidak, dia bisa mendengar kebisingan yang terjadi di sekitarnya. Mendadak, sekitarnya menjadi hening sekali. Lalu, dia seperti tersedot lorong waktu dan terlempar kembali ke masa lalu. Masa saat pertama kali dia melakukan dosa lainnya dengan mengatasnamakan cinta. “Ini, Nau ….” Indra datang dengan wajah panik. Dia menyodorkan obat yang baru saja dia beli. Lelaki itu menghela napas panjang melihat kulit nanas muda yang berserakan. “Kata Hendra, ini ampuh. Anya sudah dua kali memakai obat ini.” Indra mendekati Naura yang terbaring lemas di kasur. “Aku takut, Ndra ….” Naura bicara dengan suara lemah. Dia yang tidak pernah terlambat datang bulan langsung melakukan test pack saat tamu rutinannya itu tidak datang. Garis dua yang terlihat jelas membuat dia dan Indra panik seketika. Mereka masih sangat muda saat pertama kali rah.m Naura terisi. Usianya baru masuk sembilan belas tahun saat itu. Berbekal internet, Naura mencoba berbagai macam cara untuk membuang jan.n di rah.mnya. Dia bahkan mengonsumsi nanas muda entah sudah berapa sejak dua hari yang lalu. Namun, kandungannya masih baik-baik saja. Malah lidahnya yang terasa tidak nyaman. “Dicoba, Nau. Itu Anya sudha dua kali coba dan baik-baik saja.” Indra membujuk Naura kembali. Lelaki itu mengelus tangan Naura dan menggenggamkan obat di tangannya ke tangan wanita itu. “Kita masih terlalu muda, Nau. Tabungan kita belum cukup untuk biaya menikah. Kalaupun memaksakan menikah, setelah ini kamu akan berhenti bekerja karena harus mengurus anak. Kita tidak ada kesempatan untuk menabung lebih banyak.” Indra menatap mata sendu Naura dalam-dalam. “Bukan aku tidak mau bertanggung jawab, tapi coba berpikir panjang. Kita akan kerepotan sekali membagi uang. Gajiku akan tersedot habis untuk kebutuhan sehari-hari dan bayi kita. Hidup kita akan begini-begini saja tidak ada kemajuan.” Indra berusaha meyakinkan Naura. Naura menghela napas panjang. Dia akhirnya bangkit dari tidur. Wanita yang mengenakan hotpants dan tanktop itu menatap obat di tangannya. Dia setuju dengan alasan yang diutarakan pacarnya barusan. Indra benar, mereka belum siap berumah tangga. Terlebih lagi, mereka belum siap menjadi orang tua. Hari itu, untuk pertama kalinya Naura menggug.rkan kandungannya. Sakitnya tak terkira hingga membuat Naura sempat kejang. Wanita itu meraung-raung karena perutnya terasa diaduk-aduk. Dia mem.kuli dan menj.mbak Indra yang tetap menemani di sampingnya. Naura bisa melihat Indra menangis menyaksikan dirinya yang bertarung dengan rasa sakit. Setelah hari itu, Naura menjadi terbiasa. Dia bahkan ringan saja menelan obat yang diberikan oleh Indra saat ham.l untuk kedua kalinya. Bahkan, di kehamilan ketiga, dia membeli obat itu sendiri. Indra yang melihat Naura terbaring lemas saat pulang kerja baru mengetahui kalau Naura hamil setelah jan.n di rah.mnya dia gugurkan. Seperti tersedot kembali ke dalam pusaran waktu, Naura tersadar dari bayangan masa lalu saat mendengar ucapan hamdalah. Naura membuka mata dan melihat seorang perawat tersenyum lebar ke arahnya. Entah apa yang dikatakan oleh perawat berseragam biru itu sebelum keluar dari ruangan dengan tergesa, Naura tidak mendengar dengan jelas. Naura menatap sekitar. Ruangan beraroma khas obat-obatan itu memberinya kesadaran kalau dia sedang ada di rumah sakit. Wanita itu tersentak saat menyadari dia masih hidup. Naura melihat pergelangan tangannya yang diperban dan infus di tangan sebelahnya. Di hidungnya, terpasang selang oksigen dan entah alat apalagi yang menempel di bagian lain. Mata Naura mengembun. Pandangannya mengabur seketika saat air menutupi matanya. “Tuhan, apa Engkau menginginkan aku hidup hingga aku masih bisa bernapas sampai detik ini? Apa Engkau ingin aku tetap di dunia ini, sedangkan makhluk-Mu yang lain tidak menginginkan keberadaanku disini?” Naura terisak karena pertanyaannya sendiri. Entah harus senang atau sedih, dia tak bisa mencerna yang terjadi dengan piNaura saat ini. Hampa. Naura merasakan hampa di dalam sana. Cinta yang selama ini menjadi napas hidupnya perlahan runtuh hingga membuat dia bagaikan raga tanpa jiwa.

“Sudah dapat datanya, tinggal di olah. Cuma aku masih malas mulai, Bang. Dosennya juga lagi ikut seminar internasional di Hongkong. Nantilah kalau dosennya sudah pulang baru dikerjakan.” Naura memainkan jari telunjuknya di dada Fatih. Wanita itu tersenyum tipis saat suara napas suaminya terdengar berat dengan suara sedikit serak.“Paling berat itu memang mengerjakan tugas akhir. Apalagi kalau dosennya gaib, hilang-hilangan.” Fatih terkekeh melihat Naura manyun. Dia iseng menarik bibir Naura yang dimonyongkan hingga membuat wanita itu spontan bangun dari tiduran. Namun, Fatih kembali menarik Naura, tak rela jika harus melepaskan kenyamanan kedekatan mereka.“Nikmati saja. Itulah seninya menjadi mahasiswa.” Fatih merapikan anak rambut Naura yang jatuh di dahi. “Setiap fase ada perjuangan dan ujiannya. Ya saat menjadi mahasiswa, fase perjuangannya selama proses belajar. Puncaknya saat menyusun tugas akhir dan ujiannya saat sidang. Itu yang akan menentukan lulus atau tidak untuk menyandan
“Papa, kapan pulang? Bawain oleh-oleh yang banyak ya? Atau nanti libur sekolah semester depan Arjun saja yang main kesana. Biar bisa lihat tempat Papa tinggal. Boleh ya, Ma?”Indra tersenyum lebar mendengar suara Aini yang mengiyakan permintaan Arjun. Seperti biasa, setiap menjelang maghrib di Ketapang, dia akan melakukan panggilan video pada Arjun. Mendengarkan cerita tentang keseharian anak lelaki itu menjadi hiburan tersendiri bagi Indra yang sering merasa sepi di tempat barunya ini.Tak terasa, setengah tahun sudah dia disana. Usaha konveksi rumahan yang dia kelola progresnya cukup menjanjikan. Di awal kedatangannya, Indra setiap hari selalu keluar rumah. Berangkat saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Dia menyusuri jalanan, door to door mempromosikan usaha yang baru saja dia mulai.Benu tidak salah menaruh kepercayaan penuh pada Indra. Dalam waktu setengah tahun, usaha yang dia modali mulai memperlihatkan progres yang cukup menjanjikan. Setelah mula
“Sudah, tapi dosennya minta tambah data karena ada beberapa variabel tambahan juga.” Naura mengembuskan napas kencang. Seharusnya, dia sudah mulai bisa menyusun skripsi. Namun, karena dosen pembimbingnya minta tambahan data, jadilah dia harus turun ke lapangan lagi.“Besok jadi mau coba minta doa, Nau?” Dewi bertanya hati-hati. Sejujurnya, dia ikut sedih karena lima tahun lebih menikah, Naura dan Fatih belum juga dikarunia buah hati. Padahal, usaha yang mereka lakukan tidak main-main. Memanfaatkan libur semester, dua tahun lalu, Naura dan Fatih pernah mencoba bayi tabung di Penang, Malaysia. Namun, usaha itu belum berhasil karena embrio tidak menempel di rahim.Setahun mereka memilih istirahat, mengembalikan mental yang sudah pasti down. Tak dipungkiri, keduanya menaruh harapan besar akan keberhasilan bayi tabung kemarin. Setelah berhasil bangkit lagi, mereka menjadi lebih kuat karena saling menguatkan. Naura dan Fatih sepakat akan terus berusaha selama rezeki ada dan tubuh mereka mas
Indra menghela napas panjang saat pengumuman landing terdengar. Dia memasang sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Lelaki itu menoleh ke arah jendela pesawat, memperhatikan sungai barito yang memanjang dan berkelok-kelok di bawah sana. Kapal tongkang tampak berjalan sangat pelan karena membawa tonan beban batubara di belakangnya, mutiara hitam tanah Kalimantan. Kapal Ferry dan klotok tampak berlalu-lalang, masih menjadi alat transportasi yang terus dilestarikan. Dada Indra berdebar kencang seiring dengan getaran pesawat yang semakin terasa. Saat roda burung besi itu menyentuh landasan, bayangan wajah Aini memenuhi kepala Indra. Hampir satu dekade yang lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali di pulau ini. Lima tahun kemudian, dia angkat kaki. Hari ini, setelah hampir lima tahun meninggalkan Borneo, dia kembali lagi. Bedanya, tak ada Aini yang selama ini selalu mendampingi. “Selamat datang kembali, anakku.” Benu merentangkan tangan. Lelaki itu memeluk Indra erat di depan pintu
Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c
Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte








