Share

BAB 5

last update Huling Na-update: 2025-06-30 10:02:56

“Mbak? Mbak Naura?” Pratiwi menggedor pintu kamar kos Naura berkali-kali. Kamar mereka bersebelahan. Dia mendengar suara motor Naura saat tetangga kosnya itu pulang tadi. Tak berapa lama, dia juga mendengar suara barang-barang pecah. Pratiwi membiarkan saja karena dia sudah mendengar berita tentang Indra yang menikah di kampung sana.

Namun, sesaat setelah terdengar suara teriakan Naura, kamar itu hening. Pratiwi merasa tidak enak hati. Jadi, dia ingin memastikan kalau wanita bermata sendu itu baik-baik saja. Bukannya apa-apa, dia tahu betul kalau orang patah hati bisa melakukan apa saja bahkan gelap mata. Dia tidak mau sampai Naura kenapa-kenapa karena selama tiga tahun bertetangga, hubungan mereka cukup dekat.

Naura sosok yang periang. Dia ramah kepada siapa saja sehingga banyak yang suka. Tak hanya itu, Naura juga pendengar yang baik. Itulah sebabnya Pratiwi dan Naura cukup dekat. Pratiwi merasa nyaman bercerita dengan Naura. Hanya saja, dia sedikit risih melihat kedekatan Naura dan Indra. Terlihat dengan sangat jelas kalau Naura kecintaan sekali dengan lelaki itu.

Bukan sekali dua kali Pratiwi mengingatkan Naura tentang ruginya kumpul k.bo seperti ini. Namun, Naura seperti tuli. Apalagi, beberapa teman kos lain juga melakukan hal yang sama. Jadi, seperti sudah lumrah disana. Tinggal bersama dengan pacar adalah hal yang biasa sehingga nasehat Pratiwi hanya seperti angin lalu bagi Naura.

“Kenapa, Wi?” Hendra yang mendengar Pratiwi terus mengetuk pintu kamar Naura sejak tadi akhirnya keluar dari kamar. Mereka satu tempat kerja dan hari ini kebagian shift sore. Lelaki itu menyadari ada yang salah dengan Naura karena dia juga mendengar suara benda-benda yang dilemparkan tadi. Tanpa menunggu jawaban Pratiwi, Hendra mengambil ancang-ancang mendobrak pintu. Lima kali tend.ngan, pintu kamar akhirnya terbuka.

“AAAAA ….” Pratiwi terduduk di depan kamar Naura melihat keadaan di dalam sana. Kakinya terasa lemas melihat Naura yang tergeletak dengan d.rah yang menggenang di lantai. Teriakannya membuat penghuni kos lain keluar.

“Astaghfirullah …, Mbak Naura ….” Pratiwi menutup mulutnya saat Naura dibopong keluar. Tubuhnya seperti tak bertulang. Dia memilih tetap diam di kosan karena tidak kuat untuk ikut mengantar ke rumah sakit. “Semoga masih ada kesempatan kamu bangun kembali untuk memperbaiki diri, Mbak.” Pratiwi mengurut dadanya berkali-kali.

Setengah jam berlalu, Naura sudah ditangani oleh pihak medis. Wanita itu kritis. Beruntung, persediaan d.rah di bank d.rah rumah sakit sedang banyak. Jadi, bisa langsung dilakukan transfusi karena Naura kehilangan darah cukup banyak.

Disini, Naura berada di ambang hidup dan mati. Antara sadar dan tidak, dia bisa mendengar kebisingan yang terjadi di sekitarnya. Mendadak, sekitarnya menjadi hening sekali. Lalu, dia seperti tersedot lorong waktu dan terlempar kembali ke masa lalu. Masa saat pertama kali dia melakukan dosa lainnya dengan mengatasnamakan cinta.

“Ini, Nau ….” Indra datang dengan wajah panik. Dia menyodorkan obat yang baru saja dia beli. Lelaki itu menghela napas panjang melihat kulit nanas muda yang berserakan. “Kata Hendra, ini ampuh. Anya sudah dua kali memakai obat ini.” Indra mendekati Naura yang terbaring lemas di kasur.

“Aku takut, Ndra ….” Naura bicara dengan suara lemah. Dia yang tidak pernah terlambat datang bulan langsung melakukan test pack saat tamu rutinannya itu tidak datang. Garis dua yang terlihat jelas membuat dia dan Indra panik seketika.

Mereka masih sangat muda saat pertama kali rah.m Naura terisi. Usianya baru masuk sembilan belas tahun saat itu. Berbekal internet, Naura mencoba berbagai macam cara untuk membuang jan.n di rah.mnya. Dia bahkan mengonsumsi nanas muda entah sudah berapa sejak dua hari yang lalu. Namun, kandungannya masih baik-baik saja. Malah lidahnya yang terasa tidak nyaman.

“Dicoba, Nau. Itu Anya sudha dua kali coba dan baik-baik saja.” Indra membujuk Naura kembali. Lelaki itu mengelus tangan Naura dan menggenggamkan obat di tangannya ke tangan wanita itu.

“Kita masih terlalu muda, Nau. Tabungan kita belum cukup untuk biaya menikah. Kalaupun memaksakan menikah, setelah ini kamu akan berhenti bekerja karena harus mengurus anak. Kita tidak ada kesempatan untuk menabung lebih banyak.” Indra menatap mata sendu Naura dalam-dalam.

“Bukan aku tidak mau bertanggung jawab, tapi coba berpikir panjang. Kita akan kerepotan sekali membagi uang. Gajiku akan tersedot habis untuk kebutuhan sehari-hari dan bayi kita. Hidup kita akan begini-begini saja tidak ada kemajuan.” Indra berusaha meyakinkan Naura.

Naura menghela napas panjang. Dia akhirnya bangkit dari tidur. Wanita yang mengenakan hotpants dan tanktop itu menatap obat di tangannya. Dia setuju dengan alasan yang diutarakan pacarnya barusan. Indra benar, mereka belum siap berumah tangga. Terlebih lagi, mereka belum siap menjadi orang tua.

Hari itu, untuk pertama kalinya Naura menggug.rkan kandungannya. Sakitnya tak terkira hingga membuat Naura sempat kejang. Wanita itu meraung-raung karena perutnya terasa diaduk-aduk. Dia mem.kuli dan menj.mbak Indra yang tetap menemani di sampingnya. Naura bisa melihat Indra menangis menyaksikan dirinya yang bertarung dengan rasa sakit.

Setelah hari itu, Naura menjadi terbiasa. Dia bahkan ringan saja menelan obat yang diberikan oleh Indra saat ham.l untuk kedua kalinya. Bahkan, di kehamilan ketiga, dia membeli obat itu sendiri. Indra yang melihat Naura terbaring lemas saat pulang kerja baru mengetahui kalau Naura hamil setelah jan.n di rah.mnya dia gugurkan.

Seperti tersedot kembali ke dalam pusaran waktu, Naura tersadar dari bayangan masa lalu saat mendengar ucapan hamdalah. Naura membuka mata dan melihat seorang perawat tersenyum lebar ke arahnya. Entah apa yang dikatakan oleh perawat berseragam biru itu sebelum keluar dari ruangan dengan tergesa, Naura tidak mendengar dengan jelas.

Naura menatap sekitar. Ruangan beraroma khas obat-obatan itu memberinya kesadaran kalau dia sedang ada di rumah sakit. Wanita itu tersentak saat menyadari dia masih hidup. Naura melihat pergelangan tangannya yang diperban dan infus di tangan sebelahnya. Di hidungnya, terpasang selang oksigen dan entah alat apalagi yang menempel di bagian lain.

Mata Naura mengembun. Pandangannya mengabur seketika saat air menutupi matanya. “Tuhan, apa Engkau menginginkan aku hidup hingga aku masih bisa bernapas sampai detik ini? Apa Engkau ingin aku tetap di dunia ini, sedangkan makhluk-Mu yang lain tidak menginginkan keberadaanku disini?”

Naura terisak karena pertanyaannya sendiri. Entah harus senang atau sedih, dia tak bisa mencerna yang terjadi dengan piNaura saat ini.

Hampa. Naura merasakan hampa di dalam sana. Cinta yang selama ini menjadi napas hidupnya perlahan runtuh hingga membuat dia bagaikan raga tanpa jiwa.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 133

    Lima tahun lebih dia meninggalkan semua, berusaha melupakan dan menghapus apapun yang berhubungan dengan masa-masa sulit yang pernah dia lewati.“Via?” Mata Naura membelalak lebar saat membuka kotak pesan masuk. Ada banyak pesan dari sahabat dekatnya saat bekerja dulu. Dia lalu membuka profil Via untuk mengetahui kabar temannya. “Masya Allah, anakmu sudah dua, Vi.” Naura mengusap air matanya yang mengalir begitu saja.Dadanya berdebar kencang saat melihat tanda Via sedang online. Dengan sedikit gemetar, Naura mengirim pesan untuk menyapa. Berkali-kali dia menghapus air mata membaca pesan yang Via kirimkan dulu dan baru sekarang terbaca olehnya. Pesan terakhir Via kirim tiga tahun yang lalu. Temannya rutin bertanya kabar dan terus memberikan semangat walau dua tahun berlalu dan pesannya tidak pernah mendapat balasan.“Assalamualaikum, Via.” Naura langsung mengangkat panggilan video. Sama seperti dirinya yang tidak bisa menahan tangis, di seberang sana, Via juga terlihat kesulitan menah

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 132

    Indra menggigil. Dia mengambil selimut dan bergelung di dalamnya. Ketakutan menguasai hati Indra membayangkan pandangan orang-orang tentang dirinya. Marah, kecewa, kesal dan khawatir bercampur menjadi satu hingga membuat tangan dan kakinya basah karena keringat dingin.Sementara di pulau berbeda, terpisahkan bentangan Selat Karimata, Naura sedang berpikir keras untuk menyelesaikan deretan soal yang sedang dikerjakannya. Sejak lepas Isya’ tadi dia sudah berkutat dengan buku tebal berisi ratusan contoh soal.“Selat yang terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, yang menghubungkan Laut Natuna dengan Laut Jawa, disebut selat apa?” Naura meringis melihat pilihan jawaban. Sejujurnya, dia tidak terlalu pandai dengan pelajaran geografi saat sekolah dulu. Jangankan mengingat nama selat, mengunjungi rumah mertuanya saja dia masih mengandalkan google maps agar tidak nyasar kemana-mana.“Selat apa, hayo?” Fatih mengulas senyum melihat kening istrinya yang terlipat. Sejak dua minggu

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 131

    “Kamu tidak datang ke rumah Uwak Ramli, Ndra? Bukannya kemarin sudah ada undangan buat acara syukuran ba’da maghrib ini?” Rida memperhatikan Indra yang sejak pulang sore tadi terlihat pendiam sekali. Biasanya, setelah mandi sore Indra senang duduk-duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi dan gorengan hangat. Namun, sejak pulang tadi Indra betah di kamar. Baru keluar untuk berwudhu dan makan malam.“Capek, Bu. Lumayan juga motoran ke kota kabupaten sana. Bolak-balik sekitar tiga jam perjalanan.” Indra meraih jengkol muda untuk lalap. Dicocol ke sambal tempoyak sungguh sedap menggoyang lidah. “Pinggang rasanya pegal sekali kalau duduk lama. Makanya ini tidak datang ke rumah Wak Ramli.”Rida mengangguk mengerti. Walau sedih dengan nasib pernikahan anaknya yang harus berpisah, tapi Rida juga senang dengan kehadiran Indra di rumahnya. Dia yang biasanya setiap malam memeluk sepi, sekarang ada teman berbincang melewati hari.“Bagaimana hasilnya? Jadi kamu dan Sahrul mau jadi pengepul b

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 130

    “Ndra, makin tampan saja. Duda muda memang mempesona. Apa istilahnya itu? Duren! Duda keren!” Sahrul terkekeh saat berjabat tangan dengan Indra. “Kabarnya sudah sebulanan pulang ya? Baru kelihatan sekarang. Itu juga karena aku yang mencari tahu. Kalau aku tidak menghubungi, mungkin kita tidak ngobrol pagi ini.”Indra terkekeh pelan. Dia mengikuti langkah Sahrul menuju warung kopi di dekat sana. Setelah menyalami beberapa orang yang juga satu desa dengan mereka, Indra duduk di dekat Sahrul. “Biasa, baru pulang masih penyesuaian dulu. Apalagi sekarang sudah tidak ada yang mengurus lagi. Jadi apa-apa serba sendiri. Makanya jarang keluar rumah.”“Ah, alasan saja. Aku berani bertaruh kalau sekarang yang mengurus semua keperluanmu adalah Bi Rida. Mana mungkin dia membiarkan anak laki-laki satu-satunya ini mengucek baju atau menjarang banyu?” Sahrul memesan kopi hitam pekat, khas daerah sana yang biji kopinya diolah sendiri. “Atau … sudah ada rencana menikah lagi karena tidak kuat sendiri?”

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 129

    “Selamat pagi, Naura binti Bendri.” Fatih tersenyum lebar saat duduk di meja makan. Di hadapannya, nasi goreng sosis dengan dua telur mata sapi sudah siap untuk disantap. Segelas kopi hangat menguarkan aroma menggoda hingga membuat lelaki itu langsung menghirupnya dengan nikmat.“Pagi.” Naura ikut tersenyum. Dia meletakkan buah pir dan melon yang sudah dipotong-potong. Wanita itu melirik ke arah rambut suaminya yang masih setengah basah karena keramas sebelum subuh tadi. Wajah lelaki itu terlihat segar dan sumringah. “Abang kayaknya sedang dalam posisi hati yang senang ya?”“Iya dong, Sayang. Service tadi malam sangat menyenangkan. Kamu ulang tahun setiap hari saja tidak apa-apa, Nau. Abang tidak keberatan membuat dekor-dekor dan membelikan kue ulang tahun. Asaaaaal, ada inovasi baru seperti yang tadi malam itu walau sedang h.langan. Aw!” Fatih mengelus bahunya. Cubitan Naura terasa pedas di kulitnya. Namun, tak lama dia kembali terkekeh saat melihat wajah Naura yang bersemu merah.“J

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 128

    Naura membuka mata. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat wajah tampan suaminya sedang menatap layar ponsel yang sedang di charge. Tidak ada usapan halus di kepala atau ci.man di dahi seperti biasa. Fatih benar-benar menjadi orang yang berbeda dan menyebalkan sejak pagi tadi.“Loh, Nau?” Fatih terkejut melihat Naura berdiri dan langsung meninggalkannya keluar kamar. Lelaki itu setengah berlari mengejar Naura yang sudah diluar rumah. Dia bisa melihat Wahid yang masih duduk di teras bertanya keheranan pada Naura.“Nggak tahu, tuh, kurang jatah kali makanya jadi ngeselin begitu!”Wahid berdehem pelan mendengar ucapan Naura. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat Fatih melintas dengan wajah merona merah. Dia terkekeh saat mobil Fatih keluar dari halaman rumah. Entah apa yang diributkan oleh keduanya hingga membuat Naura terlihat sangat rungsing sejak sore tadi.Sepanjang perjalanan pulang, Naura dan Fatih tidak mengobrol. Naura menyimpan kesal karena Fatih terlihat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status