Share

BAB 3

last update Last Updated: 2025-06-30 10:02:36

Naura berjalan cepat meninggalkan suara-suara sumbang yang masih terus terdengar di belakang sana. Wanita itu menghapus air mata dengan tangan gemetar. Dia sudah tak sanggup lagi berjalan, tapi terus dia paksakan. Patah hati hampir membuatnya terkapar m.ti. Sekarang ditambah pula dengan ejekan dan cemoohan tanpa henti. Andai bisa memilih, Naura ingin menghilang saja dari dunia ini.

Andai ada tempat berlari, mungkin dia tidak akan sefrustasi ini. Masalahnya, Naura hanya sendiri. Kedua orangtuanya yang bercerai sejak dia masih di sekolah dasar membuatnya terpaksa mandiri dan menyelesaikan semua masalah sendiri.

Dia tak ada pegangan. Selama ini hanya Indra yang menjadi tumpuan. Saat lelaki itu ternyata malah menghancurkan harapan, Naura tenggelam dalam sakit tak berkesudahan.

“Naura!” Via yang mengikuti Naura dari belakang berlari cepat saat melihat tubuh temannya limbung. Dia bergegas menahan tubuh Naura agar tidak terjatuh mengh.ntam anak tangga.

“Tolong …, Pak, tolong!” Via berteriak memanggil security yang kebetulan lewat. Dia menghela napas lega saat ada beberapa karyawan lain juga mendekat untuk membantu mengangkat Naura menuju klinik kantor di lantai bawah.

“Coba testpack, mana tahu hamil. Biasanya kalau orang hamil muda memang sering pusing dan pingsan begitu.” Salah satu karyawan berkomentar saat Naura sudah ditangani oleh dokter.

Lelaki yang mengenakan kacamata itu mengangkat bahu saat melihat Via melotot ke arahnya. “Saya hanya menyampaikan kemungkinan, Mbak Via. Hal itu bisa saja terjadi mengingat teman Mbak Via selama ini kumpul k.bo dengan pacarnya."

Via meninggalkan karyawan lain yang masih terus bergunjing di depan klinik. Dia memilih menemani Naura di dalam karena tidak kuat mendengar ucapan-ucapan jahat yang keluar dari mulut mereka.

Sesampai di dalam sana, Via menghela napas lega saat melihat Naura sudah sadar dari pingsannya. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Sementara sebelah tangannya terpasang plester karena baru saja diambil darah.

Lima belas menit menunggu hasil pengecekan darah, dokter masuk kembali ke ruangan tempat Naura dirawat. "Ini saya kasih surat sakit sampai besok. Istirahat yang banyak. Kamu kelelahan dan banyak begadang sepertinya ya?" Dokter bertanya pada Naura sambil memberikan resep obat untuk ditebus di apotik.

"Naik ojek online saja, Nau, jangan motoran." Via menahan langkah Naura yang menuju ke arah parNaura setelah keluar dari klinik. "Maaf, aku tidak bisa mengantar karena sebentar lagi jam istirahat selesai." Via mengembuskan napas kencang melihat Naura yang tetap menuju parNaura.

"Ini dibawa makananya, Nau, buat makan di kosan. Jangan lupa makan biar bisa minum obat.” Via membantu Naura memasang jaket. Dia menatap khawatir saat Naura mulai menjalankan motornya. Wanita itu benar-benar prihatin dengan masalah yang dihadapi sahabatnya. Kondisi seperti ini, selalu wanita yang paling dirugikan.

Sesampainya di kosan, Naura terpekur di kasur busa yang selama tiga tahun ini dia tiduri. Air matanya kembali terjatuh saat melihat kasur yang biasa ditiduri oleh Indra. Dia bergerak perlahan mengambil bantal, guling dan selimut yang sering dipakai lelaki itu. Tangis Naura semakin kencang saat mencium aroma tubuh Indra yang masih tertinggal disana.

“Nau, ini kok mirip sama Indra ya? Mirip banget, Nau. Coba lihat. Ih ternyata benar ya kalau doppelganger itu ada? Jadi merinding sendiri saat menemui fenomena itu terjadi pada orang-orang disekitar kita. Mirip banget loh, Nau. Lihat, ini ada videonya juga. Perawakan, cara jalan bahkan suara juga mirip.”

Naura menutup telinga saat mengingat ucapan Via tiga hari yang lalu. Mereka sedang menikmati makan siang di kantin saat Via menemukan foto dan video pernikahan Indra di media sosial seorang wanita yang lewat di berandanya.

Hati Naura seperti tersengat saat melihat foto wajah pengantin yang sedang bersanding. Dia sempat menyangkal, tapi rekaman video saat ijab kabul menjelaskan semua. Wali mempelai pria dengan jelas menyebut nama panjang Indra. Naura pingsan seketika hingga membuat Via berteriak panik.

Kabar tentang pernikahan Indra menyebar luas seperti api melahap padang ilalang di musim kemarau. Ada yang prihatin dengan Naura. Namun, tak sedikit juga yang mencemooh keb.dohannya selama ini yang mau-mau saja tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan.

Naura berkali-kali pingsan hari itu hingga diantar pulang. Dia sempat sakit dua hari dan baru saja masuk hari ini. Namun, saat dia sedang berusaha menguatkan hati untuk terus meneruskan langkah, h.ntaman lain datang menghadang. Dia bukan hanya menghadapi cemoohan, tapi juga ancaman pemutusan kontrak jika tidak mau menuruti keinginan kepala HRD tempatnya bekerja.

“Apa salahku, Ndra? Kenapa kamu tega?” Naura menatap foto-foto kebersamaan mereka yang dipasang di dinding kosan. Wanita itu menatap sekitar dengan mata basah. Jejak-jejak kebersamaan mereka terekam jelas di kamar ini.

“AAAHHHHH!!” Naura menutup telinganya erat-erat saat lenguhan napas mereka saat tenggelam dalam lautan maksiat seperti diputar ulang. Wanita itu meringkuk dengan lutut ditekuk saat bayangan tubuhnya dan Indra yang bermandi peluh terbentang jelas di dalam ruang memori. Kenikmatan sesaat yang melenakan itu kini datang menghantui.

Naura melemparkan apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya. Dia sendiri dan merasa frustasi menghadapi semua. Kalimat-kalimat ejekan yang penuh hinaan dan mengatakan dia b.doh, tak punya harga diri dan sejenisnya berkeliaran di kepala.

Gerakan Naura yang mengamuk terhenti seketika saat tangannya tanpa sengaja meraih p.sau. Wanita itu menatap nanar pada benda t.jam yang kini ada di genggaman tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 161

    “Sudah dapat datanya, tinggal di olah. Cuma aku masih malas mulai, Bang. Dosennya juga lagi ikut seminar internasional di Hongkong. Nantilah kalau dosennya sudah pulang baru dikerjakan.” Naura memainkan jari telunjuknya di dada Fatih. Wanita itu tersenyum tipis saat suara napas suaminya terdengar berat dengan suara sedikit serak.“Paling berat itu memang mengerjakan tugas akhir. Apalagi kalau dosennya gaib, hilang-hilangan.” Fatih terkekeh melihat Naura manyun. Dia iseng menarik bibir Naura yang dimonyongkan hingga membuat wanita itu spontan bangun dari tiduran. Namun, Fatih kembali menarik Naura, tak rela jika harus melepaskan kenyamanan kedekatan mereka.“Nikmati saja. Itulah seninya menjadi mahasiswa.” Fatih merapikan anak rambut Naura yang jatuh di dahi. “Setiap fase ada perjuangan dan ujiannya. Ya saat menjadi mahasiswa, fase perjuangannya selama proses belajar. Puncaknya saat menyusun tugas akhir dan ujiannya saat sidang. Itu yang akan menentukan lulus atau tidak untuk menyandan

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 160

    “Papa, kapan pulang? Bawain oleh-oleh yang banyak ya? Atau nanti libur sekolah semester depan Arjun saja yang main kesana. Biar bisa lihat tempat Papa tinggal. Boleh ya, Ma?”Indra tersenyum lebar mendengar suara Aini yang mengiyakan permintaan Arjun. Seperti biasa, setiap menjelang maghrib di Ketapang, dia akan melakukan panggilan video pada Arjun. Mendengarkan cerita tentang keseharian anak lelaki itu menjadi hiburan tersendiri bagi Indra yang sering merasa sepi di tempat barunya ini.Tak terasa, setengah tahun sudah dia disana. Usaha konveksi rumahan yang dia kelola progresnya cukup menjanjikan. Di awal kedatangannya, Indra setiap hari selalu keluar rumah. Berangkat saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Dia menyusuri jalanan, door to door mempromosikan usaha yang baru saja dia mulai.Benu tidak salah menaruh kepercayaan penuh pada Indra. Dalam waktu setengah tahun, usaha yang dia modali mulai memperlihatkan progres yang cukup menjanjikan. Setelah mula

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 159

    “Sudah, tapi dosennya minta tambah data karena ada beberapa variabel tambahan juga.” Naura mengembuskan napas kencang. Seharusnya, dia sudah mulai bisa menyusun skripsi. Namun, karena dosen pembimbingnya minta tambahan data, jadilah dia harus turun ke lapangan lagi.“Besok jadi mau coba minta doa, Nau?” Dewi bertanya hati-hati. Sejujurnya, dia ikut sedih karena lima tahun lebih menikah, Naura dan Fatih belum juga dikarunia buah hati. Padahal, usaha yang mereka lakukan tidak main-main. Memanfaatkan libur semester, dua tahun lalu, Naura dan Fatih pernah mencoba bayi tabung di Penang, Malaysia. Namun, usaha itu belum berhasil karena embrio tidak menempel di rahim.Setahun mereka memilih istirahat, mengembalikan mental yang sudah pasti down. Tak dipungkiri, keduanya menaruh harapan besar akan keberhasilan bayi tabung kemarin. Setelah berhasil bangkit lagi, mereka menjadi lebih kuat karena saling menguatkan. Naura dan Fatih sepakat akan terus berusaha selama rezeki ada dan tubuh mereka mas

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 158

    Indra menghela napas panjang saat pengumuman landing terdengar. Dia memasang sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Lelaki itu menoleh ke arah jendela pesawat, memperhatikan sungai barito yang memanjang dan berkelok-kelok di bawah sana. Kapal tongkang tampak berjalan sangat pelan karena membawa tonan beban batubara di belakangnya, mutiara hitam tanah Kalimantan. Kapal Ferry dan klotok tampak berlalu-lalang, masih menjadi alat transportasi yang terus dilestarikan. Dada Indra berdebar kencang seiring dengan getaran pesawat yang semakin terasa. Saat roda burung besi itu menyentuh landasan, bayangan wajah Aini memenuhi kepala Indra. Hampir satu dekade yang lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali di pulau ini. Lima tahun kemudian, dia angkat kaki. Hari ini, setelah hampir lima tahun meninggalkan Borneo, dia kembali lagi. Bedanya, tak ada Aini yang selama ini selalu mendampingi. “Selamat datang kembali, anakku.” Benu merentangkan tangan. Lelaki itu memeluk Indra erat di depan pintu

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 157

    Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 156

    Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status