Naura berjalan cepat meninggalkan suara-suara sumbang yang masih terus terdengar di belakang sana. Wanita itu menghapus air mata dengan tangan gemetar. Dia sudah tak sanggup lagi berjalan, tapi terus dia paksakan. Patah hati hampir membuatnya terkapar m.ti. Sekarang ditambah pula dengan ejekan dan cemoohan tanpa henti. Andai bisa memilih, Naura ingin menghilang saja dari dunia ini.
Andai ada tempat berlari, mungkin dia tidak akan sefrustasi ini. Masalahnya, Naura hanya sendiri. Kedua orangtuanya yang bercerai sejak dia masih di sekolah dasar membuatnya terpaksa mandiri dan menyelesaikan semua masalah sendiri. Dia tak ada pegangan. Selama ini hanya Indra yang menjadi tumpuan. Saat lelaki itu ternyata malah menghancurkan harapan, Naura tenggelam dalam sakit tak berkesudahan. “Naura!” Via yang mengikuti Naura dari belakang berlari cepat saat melihat tubuh temannya limbung. Dia bergegas menahan tubuh Naura agar tidak terjatuh mengh.ntam anak tangga. “Tolong …, Pak, tolong!” Via berteriak memanggil security yang kebetulan lewat. Dia menghela napas lega saat ada beberapa karyawan lain juga mendekat untuk membantu mengangkat Naura menuju klinik kantor di lantai bawah. “Coba testpack, mana tahu hamil. Biasanya kalau orang hamil muda memang sering pusing dan pingsan begitu.” Salah satu karyawan berkomentar saat Naura sudah ditangani oleh dokter. Lelaki yang mengenakan kacamata itu mengangkat bahu saat melihat Via melotot ke arahnya. “Saya hanya menyampaikan kemungkinan, Mbak Via. Hal itu bisa saja terjadi mengingat teman Mbak Via selama ini kumpul k.bo dengan pacarnya." Via meninggalkan karyawan lain yang masih terus bergunjing di depan klinik. Dia memilih menemani Naura di dalam karena tidak kuat mendengar ucapan-ucapan jahat yang keluar dari mulut mereka. Sesampai di dalam sana, Via menghela napas lega saat melihat Naura sudah sadar dari pingsannya. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Sementara sebelah tangannya terpasang plester karena baru saja diambil darah. Lima belas menit menunggu hasil pengecekan darah, dokter masuk kembali ke ruangan tempat Naura dirawat. "Ini saya kasih surat sakit sampai besok. Istirahat yang banyak. Kamu kelelahan dan banyak begadang sepertinya ya?" Dokter bertanya pada Naura sambil memberikan resep obat untuk ditebus di apotik. "Naik ojek online saja, Nau, jangan motoran." Via menahan langkah Naura yang menuju ke arah parNaura setelah keluar dari klinik. "Maaf, aku tidak bisa mengantar karena sebentar lagi jam istirahat selesai." Via mengembuskan napas kencang melihat Naura yang tetap menuju parNaura. "Ini dibawa makananya, Nau, buat makan di kosan. Jangan lupa makan biar bisa minum obat.” Via membantu Naura memasang jaket. Dia menatap khawatir saat Naura mulai menjalankan motornya. Wanita itu benar-benar prihatin dengan masalah yang dihadapi sahabatnya. Kondisi seperti ini, selalu wanita yang paling dirugikan. Sesampainya di kosan, Naura terpekur di kasur busa yang selama tiga tahun ini dia tiduri. Air matanya kembali terjatuh saat melihat kasur yang biasa ditiduri oleh Indra. Dia bergerak perlahan mengambil bantal, guling dan selimut yang sering dipakai lelaki itu. Tangis Naura semakin kencang saat mencium aroma tubuh Indra yang masih tertinggal disana. “Nau, ini kok mirip sama Indra ya? Mirip banget, Nau. Coba lihat. Ih ternyata benar ya kalau doppelganger itu ada? Jadi merinding sendiri saat menemui fenomena itu terjadi pada orang-orang disekitar kita. Mirip banget loh, Nau. Lihat, ini ada videonya juga. Perawakan, cara jalan bahkan suara juga mirip.” Naura menutup telinga saat mengingat ucapan Via tiga hari yang lalu. Mereka sedang menikmati makan siang di kantin saat Via menemukan foto dan video pernikahan Indra di media sosial seorang wanita yang lewat di berandanya. Hati Naura seperti tersengat saat melihat foto wajah pengantin yang sedang bersanding. Dia sempat menyangkal, tapi rekaman video saat ijab kabul menjelaskan semua. Wali mempelai pria dengan jelas menyebut nama panjang Indra. Naura pingsan seketika hingga membuat Via berteriak panik. Kabar tentang pernikahan Indra menyebar luas seperti api melahap padang ilalang di musim kemarau. Ada yang prihatin dengan Naura. Namun, tak sedikit juga yang mencemooh keb.dohannya selama ini yang mau-mau saja tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. Naura berkali-kali pingsan hari itu hingga diantar pulang. Dia sempat sakit dua hari dan baru saja masuk hari ini. Namun, saat dia sedang berusaha menguatkan hati untuk terus meneruskan langkah, h.ntaman lain datang menghadang. Dia bukan hanya menghadapi cemoohan, tapi juga ancaman pemutusan kontrak jika tidak mau menuruti keinginan kepala HRD tempatnya bekerja. “Apa salahku, Ndra? Kenapa kamu tega?” Naura menatap foto-foto kebersamaan mereka yang dipasang di dinding kosan. Wanita itu menatap sekitar dengan mata basah. Jejak-jejak kebersamaan mereka terekam jelas di kamar ini. “AAAHHHHH!!” Naura menutup telinganya erat-erat saat lenguhan napas mereka saat tenggelam dalam lautan maksiat seperti diputar ulang. Wanita itu meringkuk dengan lutut ditekuk saat bayangan tubuhnya dan Indra yang bermandi peluh terbentang jelas di dalam ruang memori. Kenikmatan sesaat yang melenakan itu kini datang menghantui. Naura melemparkan apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya. Dia sendiri dan merasa frustasi menghadapi semua. Kalimat-kalimat ejekan yang penuh hinaan dan mengatakan dia b.doh, tak punya harga diri dan sejenisnya berkeliaran di kepala. Gerakan Naura yang mengamuk terhenti seketika saat tangannya tanpa sengaja meraih p.sau. Wanita itu menatap nanar pada benda t.jam yang kini ada di genggaman tangannya.Naura mengangguk. Itu artinya, Bibi dan mamangnya bekerja hanya untuk mengisi hari tua, bukan untuk mencari makan lagi. Kebanyakan orang tua disana enggan ikut anaknya merantau walau kehidupan anaknya sudah nyaman. Mereka terlanjur mencintai kampung halaman yang menjadi tempat mereka lahir dan dibesarkan.“Abangmu sering menanyakan kabarmu kalau sedang telpon, Nau. Beberapa kali dia minta nomormu, tapi Bibi tidak punya.”Naura membisu mendengar ucapan bibinya. Dia menghela napas panjang untuk yang kesekian kali. Sejak merantau dan yakin akan janji kehidupan lebih baik bersama Indra, dia mengganti nomor ponselnya. Naura ingin melupakan semua kepahitan hidupnya di masa lalu dan fokus untuk menyongsong masa depan bersama lelaki yang menjadi tumpuan harapannya.“Lusa, abangmu pulang. Teman baiknya sejak kecil menikah, sehingga dia menyempatkan untuk datang.” Ila memperhatikan Naura yang kini menoleh ke arahnya. “Mungkin ini jalan Tuhan, Nau. Kamu datang disaat abangmu juga pulang.”Naura
Bendri membisu. Dia kehabisan kata karena apa yang sepupunya ucapkan adalah kebenaran. Sejak bercerai dengan mantan istrinya, dia tidak mau tahu menahu tentang Naura sama sekali. Bendri bahkan tidak memberikan uang saat Naura minta untuk membeli seragam saat akan masuk SMP sekitar sembilan tahunan yang lalu.“Kita pulang, Nau. Seharusnya, sejak awal datang kau tahu kemana harus pulang. Pintu rumah Bibi selalu terbuka untuk kau datangi.” Ila menarik tangan Naura agar mengikutinya. Dia mengambil keranjang yang terjatuh di halaman. Setelah memasukkan kembali isinya yang tercecer, Ila berjalan diiringi oleh Naura.“Dimana baju-bajumu, Nau?” Ila bertanya setelah mereka sampai di rumah. Dia memberikan segelas air dingin pada Naura yang terlihat sudah jauh lebih tenang. Wanita itu menghela napas panjang melihat wajah lelah dan kuyu yang terpancar jelas di wajah keponakannya.“Di rumah Farhan, Bi.” Naura menjawab pelan. Dia mengambil gelas yang diberikan oleh Ila dan meminumnya satu tegukan.
“Jaga mulutmu, Naura. Jangan bicara seperti orang tak pernah mendapat pendidikan. Aku ini bapakmu!” Bendri terengah. Dia tersinggung mendengar ucapan yang keluar dari bibir anaknya. “Untuk apa kamu pulang kalau hanya membuat kekacauan saja? Tahunan kamu pergi dari sini kehidupan kami aman dan tenang terkendali.”Naura meludah. Cairan ludah bercampur darah menempel di batu hias yang disusun di pekarangan. Wanita itu menggeleng pelan. Tenaganya habis sudah untuk menjawab semua ucapan bapaknya. Fisiknya lelah. Batinnya apalagi.Dia akhirnya duduk di teras rumah. Lelah rasanya berhadapan dengan para manusia yang selalu ingin dihormati sebagai orangtua, tapi tidak pernah mengurusnya sama sekali. Tidak berpendidikan katanya? Naura berdecak pelan. Ingin rasanya dia mengembalikan kata-kata Bendri lagi. Apa selama ini Bendri memberikan pendidikan padanya hingga bisa berkata demikian?Namun, dia memilih diam. Tamp.ran dari bapaknya barusan cukup membuat mentalnya semakin jatuh. Pada akhirnya ap
“Nau, kita masuk dulu.” Rida membantu Naura berdiri. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat tetangganya yang saling menggamit dan berbisik, menggunjingkan tentang keluarganya.“Ayo, Naura.” Rida menghela napas panjang saat tidak ada penolakan dari Naura. Mereka berjalan pelan masuk ke dalam rumah, sementara yang lain masih berdiri di tempat semula, berharap ada kelanjutan cerita.“Minum dulu.” Rida memberikan segelas air putih dingin pada Naura yang langsung menghabiskannya sampai tandas. “Pulanglah, Nau, Indra tidak ada disini. Semakin lama kamu disini, tetangga akan semakin bergunjing. Jadi, Ibu mohon, pulanglah ….”“Kemana?” Naura menggigit bibir. Tatapan matanya kosong. Kemana dia harus pulang? Selama ini, tujuannya kembali hanya Indra. Sekarang, saat lelaki itu menghilang, dia harus kemana?Rida menghela napas panjang melihat wajah Naura yang basah. Dia tahu betul cerita hidup Naura. Namun, mau bagaimana lagi? Indra dan Naura tidak berjodoh. Dia tak mau membuat Naura berha
“Indra!”Naura bergegas berdiri saat suara panggilan kembali terdengar. Tak disangka, belum satu jam menginjakkan kaki di desa ini, dia langsung bertemu dengan lelaki pengecut yang memblokir semua akses kontak mereka. Wanita itu menelan sisa roti di mulutnya dengan cepat. Setelah menghela napas beberapa kali, Naura memaksakan diri untuk menoleh.Walau belum siap jika harus bertemu dengan Indra yang mungkin saja sedang bersama istrinya, Naura tidak mau melewatkan kesempatan ini. Bisa saja, Indra malah pergi lagi jika tahu dia ada di desa ini.“Farhan?" Naura menautkan alis melihat teman satu sekolahnya sejak SD sampai SMA. Lelaki yang membawa parang di pinggang dan tangan kanan menenteng nangka berjalan mendekat ke arahnya.Naura mengedarkan pandangan. Tidak ada orang lain yang ada disana. Hanya ada mereka berdua karena letak masjid di kampung itu memang ada di ujung desa. Mendadak, Naura menyadari sesuatu. Sejak dia berpacaran dengan Indra, Farhan selalu memanggilnya dengan nama lelak
Sakti semakin mengencangkan tangannya di bahu Naura hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik. “Sudah kubilang kalau kau membuatku penasaran, Nau. Jadi, jangan harap bisa lepas begitu saja. Lagi pula, apa susahnya, sih? Paling sepuluh sampai lima belas menit juga beres. Kita sama-sama diuntungkan disini.”Sakti melirik jam dinding. Dia melepaskan Naura yang mengepalkan kedua tangannya di paha. Lelaki itu mengulas senyum saat kembali ke tempatnya duduk. “Tentu saja tidak disini. Tidak sekarang, Nau. Jadi, bawa kembali surat pengunduran dirimu. Lebih baik kita bersenang-senang bersama. Apa kau tidak merindukan itu? Sebulan lebih kamu nganggur ditinggal Indra ‘kan?”“Picik!” Naura menatap Sakti dengan ujung mata. Dia memasang wajah datar saat melihat Sakti yang terkekeh pelan mendengar makiannya barusan. “Seperti yang Bapak bilang, saya cerdas. jadi, walau saat ini keadaan saya sedang kacau, saya tetap bisa berpikir jernih.”Naura mengangkat ponselnya dan memutar rekaman suara Sakti. “