Share

Part 1: Saldaga

Tidak ada yang hidup dalam raga yang bisu. Tidak ada yang berdetak dalam raga yang merobot.

Ada banyak sekali alasan untuk aku ingin kembali ke masa lalu dan merubah segalanya. Tapi keadaan dan kenyataan memaksa untuk tak acuh.

"Rani! Cepetan, jadi makan tidak?"

Aku masih asik dengan android yang melekat ditangan ketika mendengar suara merdu dari arah dapur. Merebahkan tubuh santai di ranjang berkelambu usang. Sambil tengkurap, aku cukup terkejut dengan teriakan beliau.

Tanpa aba-aba aku segera mematikan setelan video di android yang memang berisi konten hot kissing. Bergegas bangun dari tengkurap, aku mulai berjalan sambil mengikat rambut yang berantakan tak ubahnya jerami kusut. Di sana aku mendapati ibu yang tengah sibuk memasak.

"Lauknya apa?" Ujarku ringan. Seolah tidak memiliki rasa penyesalan dengan apa yang telah ku tonton sebelum ini.

Tayangan tersebut hampir setiap hari ku saksikan. Aku cukup penasaran dengan setiap adegannya. Tetapi dalam waktu bersamaan juga takut untuk melangkah lebih jauh melihat hal yang tidak sepantasnya. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak melihat konten tersebut. Tidak ada yang melarang ku, tidak ada yang memperhatikan semua gerak-gerik di rumah ini.

"Sayur lodeh," jawab beliau padaku.

Dan lagi hal itu membuatku merengut lesu. Ini untuk hari ke berapa aku memakan jenis sayur yang sama? Bahkan saking seringnya aku hampir kehilangan minat berandai memakan lauk apa yang mungkin saja lebih lezat. Sayur itu telah menjadi menu favorit ibuku karena rasa pedas dan bahannya yang murah.

Terbiasa sejak kecil mengonsumsi makanan pedas membuat lambungku kebal atau bisa dibilang mati rasa mendeteksi makanan pedas.

Ditambah lagi dengan kesukaanku makan mi instan dan cukup membenci sayur, wajahku menjadi putih pucat layaknya mayat berjalan. Yang pada akhirnya itu menjadi karakteristik ku. Wajah pucat dan datar dengan tubuh berjalan tegap. Apa aku mirip zombie?

Spontan aku bertanya pada ibu, "ibu sudah makan?" Beliau menggeleng samar.

Begitu aku duduk di kursi, hawa kutub merengsek agresif lewat pintu belakang. Ibu tidak ikut sarapan pagi. Melainkan berkutat fokus dengan ayam-ayam jawa yang dibiarkan bebas.

"Belum. Kerjaannya aja belum selesai. Seorang perempuan tuh seperti ini, Ran. Pagi-pagi masih sibuk berkutat di dapur," beliau menoleh sekilas pada ku, kemudian beralih pada ayam-ayamnya yang saling berebut makanan. Sesekali ibu mengusir ayam yang telah banyak makan menggunakan kayu panjang agar ayam lain ikut adil mendapat jatah "bangun jam empat jam segini belum selesai. Masih sibuk memberi makan ayam. Kapan mulai cekloknya?"

Jam delapan lewat seperempat. Ibuku memang seperti itu. Memberikan sebuah target untuk dirinya sendiri. Berusaha secepat mungkin mengurus rumah dan makanan hanya untuk gegas mencari uang dengan mengupas mete.

"Ya, nggak papa. Dibikin santai aja, jangan terlalu buru-buru." Aku berujar enteng. Aku paham jika pekerjaan yang penghasilannya tidak seberapa itulah yang aku makan. Tetapi jika lelah, tentu harus istirahat bukan?

"Terus siapa yang akan memberi makan kalau ibu tidak bekerja?" Aku hanya diam. Ingin berujar sepele lagi. Aku tidak sekuat beliau.

"Ayammu banyak, Bu?"

Aku mengalihkan atensi ku ke arah pintu belakang rumah. Terlihat sekali ibu sibuk memberi makan ayam. Sesekali beliau itu mengomel karena ayam-ayam yang sudah kenyang rusuh tidak mau digilir.

"Iya, kalau dihitung semua sama anak-anaknya, lima puluhan ada. Katul sekilo aja kurang, kucampuri nasi."

Agak rugi memelihara ayam jawa seperti itu. Selain makananya banyak, harga jualnya tidak seberapa.

Beberapa suap nasi masuk ke mulutku. Terasa sekali panas membakar ujung mulut hingga perut. Tetapi ini sensasi nikmat yang aku kagumi.

"Nggak dijual?" tanyaku sambil mengunya sisa makanan di mulut.

"Ayamnya masih doro semua. Indukan sama jago ada, buat bibit."

Mendengar hal tersebut aku mengangguk hikmat bahkan ketika beliau menatapku. Aku mulai  berlenggang ke arah cucuian piring kotor. Menumpukkan bersama temannya yang lain. Sedikit berantakan karena tempat cuciannya hanya di atas tanah tanpa alas apapun.

Terkadang aku ingin bercerita banyak hal kepada ibu. Apapun yang sepele, yang menjadi beban pikiran, dan sesuatu yang membangkitkan tawa. Sayangnya, aku tidak pernah diajari seperti itu. Agak canggung untuk memulai.

"Akhh, panas!" Aku sontak mengibaskan tangan dengan lidah terjulur.

"Makanya kalau minum itu dilihat dulu, airnya panas atau tidak." Ujar beliau.

Aku mendengus. Lidahku sudah kepalang melepuh.

Diam sepersekon. Kembali pada kursiku semula. Aku mulai membuka mulut, "papa pulang jam berapa?"

"Nggak tau, ya? Paling sebentar lagi. Emang kamu berangkat jam berapa nanti?"

"Jam sembilan."

Status ibu dan ayah sebagai anak tunggal menjadi serba salah. Karena dalam kondisi kakek dari ayah dan nenek dari ibu dalam kondisi renta membutuhkan perhatian lebih. Belum lagi jika nenek dan kakek tidak mau dijadikan satu rumah. Maka terpaksa ayah dan ibu harus pisah rumah untuk mengurus salah satunya.

"Ini udah jam tujuh, keburu kesiangan."

Aku mengangguk. Bergegas ke kamar mandi bersama setelan baju bersih. Hendak bersiap-siap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status