Tidak ada yang hidup dalam raga yang bisu. Tidak ada yang berdetak dalam raga yang merobot.
Ada banyak sekali alasan untuk aku ingin kembali ke masa lalu dan merubah segalanya. Tapi keadaan dan kenyataan memaksa untuk tak acuh.
"Rani! Cepetan, jadi makan tidak?"
Aku masih asik dengan android yang melekat ditangan ketika mendengar suara merdu dari arah dapur. Merebahkan tubuh santai di ranjang berkelambu usang. Sambil tengkurap, aku cukup terkejut dengan teriakan beliau.
Tanpa aba-aba aku segera mematikan setelan video di android yang memang berisi konten hot kissing. Bergegas bangun dari tengkurap, aku mulai berjalan sambil mengikat rambut yang berantakan tak ubahnya jerami kusut. Di sana aku mendapati ibu yang tengah sibuk memasak.
"Lauknya apa?" Ujarku ringan. Seolah tidak memiliki rasa penyesalan dengan apa yang telah ku tonton sebelum ini.
Tayangan tersebut hampir setiap hari ku saksikan. Aku cukup penasaran dengan setiap adegannya. Tetapi dalam waktu bersamaan juga takut untuk melangkah lebih jauh melihat hal yang tidak sepantasnya. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak melihat konten tersebut. Tidak ada yang melarang ku, tidak ada yang memperhatikan semua gerak-gerik di rumah ini.
"Sayur lodeh," jawab beliau padaku.
Dan lagi hal itu membuatku merengut lesu. Ini untuk hari ke berapa aku memakan jenis sayur yang sama? Bahkan saking seringnya aku hampir kehilangan minat berandai memakan lauk apa yang mungkin saja lebih lezat. Sayur itu telah menjadi menu favorit ibuku karena rasa pedas dan bahannya yang murah.
Terbiasa sejak kecil mengonsumsi makanan pedas membuat lambungku kebal atau bisa dibilang mati rasa mendeteksi makanan pedas.
Ditambah lagi dengan kesukaanku makan mi instan dan cukup membenci sayur, wajahku menjadi putih pucat layaknya mayat berjalan. Yang pada akhirnya itu menjadi karakteristik ku. Wajah pucat dan datar dengan tubuh berjalan tegap. Apa aku mirip zombie?
Spontan aku bertanya pada ibu, "ibu sudah makan?" Beliau menggeleng samar.
Begitu aku duduk di kursi, hawa kutub merengsek agresif lewat pintu belakang. Ibu tidak ikut sarapan pagi. Melainkan berkutat fokus dengan ayam-ayam jawa yang dibiarkan bebas.
"Belum. Kerjaannya aja belum selesai. Seorang perempuan tuh seperti ini, Ran. Pagi-pagi masih sibuk berkutat di dapur," beliau menoleh sekilas pada ku, kemudian beralih pada ayam-ayamnya yang saling berebut makanan. Sesekali ibu mengusir ayam yang telah banyak makan menggunakan kayu panjang agar ayam lain ikut adil mendapat jatah "bangun jam empat jam segini belum selesai. Masih sibuk memberi makan ayam. Kapan mulai cekloknya?"
Jam delapan lewat seperempat. Ibuku memang seperti itu. Memberikan sebuah target untuk dirinya sendiri. Berusaha secepat mungkin mengurus rumah dan makanan hanya untuk gegas mencari uang dengan mengupas mete.
"Ya, nggak papa. Dibikin santai aja, jangan terlalu buru-buru." Aku berujar enteng. Aku paham jika pekerjaan yang penghasilannya tidak seberapa itulah yang aku makan. Tetapi jika lelah, tentu harus istirahat bukan?
"Terus siapa yang akan memberi makan kalau ibu tidak bekerja?" Aku hanya diam. Ingin berujar sepele lagi. Aku tidak sekuat beliau.
"Ayammu banyak, Bu?"
Aku mengalihkan atensi ku ke arah pintu belakang rumah. Terlihat sekali ibu sibuk memberi makan ayam. Sesekali beliau itu mengomel karena ayam-ayam yang sudah kenyang rusuh tidak mau digilir.
"Iya, kalau dihitung semua sama anak-anaknya, lima puluhan ada. Katul sekilo aja kurang, kucampuri nasi."
Agak rugi memelihara ayam jawa seperti itu. Selain makananya banyak, harga jualnya tidak seberapa.
Beberapa suap nasi masuk ke mulutku. Terasa sekali panas membakar ujung mulut hingga perut. Tetapi ini sensasi nikmat yang aku kagumi.
"Nggak dijual?" tanyaku sambil mengunya sisa makanan di mulut.
"Ayamnya masih doro semua. Indukan sama jago ada, buat bibit."
Mendengar hal tersebut aku mengangguk hikmat bahkan ketika beliau menatapku. Aku mulai berlenggang ke arah cucuian piring kotor. Menumpukkan bersama temannya yang lain. Sedikit berantakan karena tempat cuciannya hanya di atas tanah tanpa alas apapun.
Terkadang aku ingin bercerita banyak hal kepada ibu. Apapun yang sepele, yang menjadi beban pikiran, dan sesuatu yang membangkitkan tawa. Sayangnya, aku tidak pernah diajari seperti itu. Agak canggung untuk memulai.
"Akhh, panas!" Aku sontak mengibaskan tangan dengan lidah terjulur.
"Makanya kalau minum itu dilihat dulu, airnya panas atau tidak." Ujar beliau.
Aku mendengus. Lidahku sudah kepalang melepuh.
Diam sepersekon. Kembali pada kursiku semula. Aku mulai membuka mulut, "papa pulang jam berapa?"
"Nggak tau, ya? Paling sebentar lagi. Emang kamu berangkat jam berapa nanti?"
"Jam sembilan."
Status ibu dan ayah sebagai anak tunggal menjadi serba salah. Karena dalam kondisi kakek dari ayah dan nenek dari ibu dalam kondisi renta membutuhkan perhatian lebih. Belum lagi jika nenek dan kakek tidak mau dijadikan satu rumah. Maka terpaksa ayah dan ibu harus pisah rumah untuk mengurus salah satunya.
"Ini udah jam tujuh, keburu kesiangan."
Aku mengangguk. Bergegas ke kamar mandi bersama setelan baju bersih. Hendak bersiap-siap.
"Kayaknya Angga suka deh sama kamu."Aku tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Tetapi apa peduliku? Yang kupikirkan saat ini hanya ketenangan batin. Tidak lebih."Tau dari mana?""Keliatan jelas banget dari matanya. Gelagatnya juga kelihatan tidak suka dengan kehadiranku." Aku tidak cukup paham kenapa Farhan terkekeh saat mengucapkan itu. Tetapi ia kembali meneruskan, "dia itu kaya bocil. Pikirannya belum dewasa.""Tauu, kamu saja juga gitu.""Lah, kalau aku kan kaya gini biar ngimbangin kamu."Saat itu aku hanya bisa tersenyum kecil. Tidak tau harus seperti apa menanggapi. Tapi satu hal yang pasti, terkadang aku membenci semesta. Ia mampu melambatkan atau mempercepat waktu. Dan yang mengesalkan ia tidak berkoordinasi denganku. Dia lancang mempercepat waktu sampai larut malam. Bahkan sebelum aku bisa merasakan arti dari perjalanan ini.
Seringkali aku berusaha menebak. Kata apa saja yang telah diucapkan Desi tentangku pada Farhan. Sanjungankah? Atau bahkan keburukan?Entah mengapa aku menjadi sepeduli ini mengenai pendapat Farhan tentang diriku. Terlepas dari iya atau tidak Desi mengumpat dibelakangku. Yang paling penting untuk saat ini hanya satu. Farhan masih menghubungiku walau sekedar butuh.Tepat pukul 8 malam nanti Farhan berjanji akan datang. Mengajakku keliling Jogja, terutama Malioboro. Meski aku sudah sering ketempat itu, pasti akan lain lagi rasanya jika Farhan yang menemani.Dengan diiringi rasa nano-nano aku membereskan resto untuk tutup. Hal itu tidak lepas dari kebahagiaan yang menular pada Bu Ikhlas. Beliau sesekali mengarahkan aku untuk bersiap-siap. Baju apa yang sekiranya pantas dipakai?Rasanya jantung seolah ingin lepas dari asalnya begitu paham Farhan datang lebih awal. N
Aku mengangguk tanpa ragu, meletakkan android milikku ke atas meja. "pakai saja, nggak disandi," ujarku ringan. Dulu pernah bersama dengan Farhan selama dua bulan lebih membuatku dan ia layaknya kakak adik. Kupikir tidak ada yang salah dengan terbuka padanya.Dengan wajah pucat tanpa ekspresi tersebut aku tak acuh menatap Farhan melakukan sesuatu pada androidku. Sekilas aku mendengar dari belakang Desi masih setia mendongeng merdu bersama Bu Ikhlas dan Nurul. Dan Angga masih setia bercinta dengan game yang aku tidak tau apa namanya dibangku pojok, terpisah menyendiri.Selama aku bekerja dua bulan ini, Angga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Berselancar jauh meninggalkan posisinya. Tentu saja aku tidak peduli dengan siapapun. Bagaimanapun."Hai, Mik!"Secara mendadak aku tersadar. "Kamu ngapain, Han?"Sekilas senyum licik menjelma jail. Farhan menurunkan posisi android ku yang semula b
Seperti biasa, dalam acara makan malam bersama sebagai karyawan aku duduk tersisih. Satu meja dengan Angga dan saling berhadapan. Sungguh aneh jika Bu Ikhlas dan Nurul yang baru keluar dari rumah lebih memilih meja lain. Sedangkan setiap meja mampu menampung empat orang. Terdapat banyak celah di mejaku untuk mereka bergabung. Tatkala begitu, aku sungguh tidak peduli. Mereka punya hak atas apa yang ingin mereka lakukan.Dalam keheningan yang menyapu temaram selepas menuntaskan makanan, aku lebih memilih sibuk dengan android. Membuat cerita fantasi berjudul "Wolf Fair Eyes" di Wattpad. Mengabaikan Nurul dan Bu Ikhlas yang sibuk bercanda gurau. Sedangkan Angga? Aku yakin bahwa pemuda tersebut sibuk bermain game.Berbeda dari malam biasanya, saat ini mereka tengah menanti seseorang. Aku tidak tahu siapa itu, dan tentunya aku tidak peduli. Bu Ikhlas bilang namanya Desi. Menurut ceritanya Desi dulu hanyalah anak berandal yang suka mengumpat sana-sini. Namun lambat laun segal
'Alam pernah berkata...Ada kalanya dua pasang manusia yang saling mencinta itu kadang ditakdirkan tidak untuk bersama. Mereka hanya akan melengkapi separuh rasanya untuk orang lain yang dirasa lebih pantas mendapatkanya. Dan itu terjadi antar aku denganmu. Ada rasa sesal yang tidak pernah bisa membalikkan waktu ketika aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri.'Catatan kecil tersebut seakan menjelma bebatuan terjal yang menimpaku secara bersamaan. Kesakitannya seolah becek tanpa pengering.Jika resiko mencintai adalah terluka. Maka aku adalah pemegang rekor murni, tanpa terbalas telah meninggalkan bekas. Lelah akan harap yangku bangun sendiri.
"Ish, kamu mah ngga tau. Bahasa cinta itu indah. Nanti kamu sakit hati loh ngga pernah mau berjuang selagi bisa.""Cinta itu relatif, In. Dia bakal datang dan pergi kapan saja dan kepada hati siapa saja kamu mau, asalkan kita ilhlas dan sungguh-sungguh. Ngga bakal sakit hati, deh." Kala itu aku masih berpegang teguh.Semilir angin menjeda perdepatan. Meluangkan otak untuk berpikir jernih. Kata yang barusan terucap. Apakah iya? Aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menipu untuk sejumput ketenangan."Aku bingung banget sama perasaanku sendiri." Ina memusatkan perhatiannya ke arahku yang menunduk, memainkan rerumputan yang tampak hijau."Kamu cuman terlalu sering me