Share

Part 2: Sekali lagi

Sejak lulus SMK di usia sembilan belas tahun. Aku memilih tidak melanjutkan kuliah. Mencoba peruntungan bekerja di dunia luar untuk sekedar meringankan beban orang tua.

Merantau ke Jogja bekerja sebagai karyawan rumah makan. Itu tidak masalah. Karena yang paling penting adalah kenyamanan ku. Seengaknya, aku tidak mendengar cek-cok yang setiap hari berkumandang di rumah. Hanya sebulan sekali ketika aku liburan.

Dua hari. Setiap sekonnya terasa begitu cepat. Sampai tanpa sadar waktu liburan ku buang percuma tanpa bercanda gurau dengan keluarga, membosankan.

Tubuh-tumbuhan hijau berdiri menjulang. Kutatap lembut penuh kilas balik memori, aku mencoba menerawang. Sesuatu hal yang aku andai-andaikan, tidak akan pernah terjadi di dalam keluargaku.

Suara deru bus mendadak lenyap termakan udara. Perjalanan ku kembali bekerja ke resto Jogja mendadak hilang berkabut. Pikiranku tidak lagi ditempat. Tidak lagi mengamati ke luar jendela bus seperti kebanyakan penumpang.

Memori dalam otak mendongkrak isi kabin paling belakang. Memilah sampai menemukan cerita usang. Sebuah dongeng yang terasa nyata nan sakit.

Dalam buku masa lalu itu aku menghela nafas pendek-pendek. Lelah sehabis pulang sekolah yang aku tempuh hanya dengan jalan kaki. Berhenti manekin di depan pintu dengan seragam smp. Tanganku lantas mengambang pada ganggang pintu, berangsur turun saat samar-samar terdengar orang yang tengah berdebat. Aku lantas merunduk.

Tanpa mengucap salam ataupun basa-basi lain, aku menerobos pintu utama itu begitu saja. Membiarkan kaki berlenggang ke arah pintu pembatas antara ruang tamu dan dapur rumah bergaya limasan tersebut. Berhenti di sana.

"Alah, selalu saja seperti itu. Terus saja kamu banding-bandingin aku dengan semua orang di luaran sana!" Itu suara Darmo. Ayahku yang terdengar geram membanting piring di meja makan.

"Aku tak pernah membandingkan. Sebenarnya apa, sih kurangnya aku? Sabar, iya? Istri mana yang tahan menghadapi suami yang tidak mau menafkai keluarganya?" ujar Ratna pilu. Beliau itu berusaha tegar sambil mengupas mete dengan alat pemotong kusus tradisional.

"Baik. Sebaiknya kamu kembalikan uang yang pernah aku berikan ke kamu! Saat ini juga! Mana?"

Ibu berdecak. Selalu saja seperti itu. Ayah akan selalu mengungkit masa lalu untuk menskak ibu. Lagi pula, bukankah memang sudah kewajiban seorang suami menafkai keluarganya? Dan Darmo, satu kali merantau itu memberikan sebagian uang pada ibu. Untuk apa jika harus diungkit dikemudian hari?

"Kalau kamu memang ngotot. Kamu belah, tuh otak Rani! Uangnya aku gunakan buat menyekolahkan dia."

Tetesan terasa begitu hangat menyelimuti wajah. Rasanya begitu dalam menusuk. Tangis yang membeku tanpa bisa aku tumpahkan dengan lantang. Mengikat kuat dadaku. Sesak.

"Kamu mau pisah, hah?" Ayah berdiri, otaknya terasa mendidih saat mendengar ucapan ibu. Dia menatap ibu yang duduk memunggunginya.

"Pisah saja. Aku malah untung."

Aku tidak ingin ada hal yang buruk terjadi setelah ini. Walaupun kata 'cerai' dari ayah maupun ibuki diucapkan sekedar untuk menggertak. Tetap saja, sebuah pernikahan adalah ikatan suci yang tidak dapat dipermainkan begitu saja. Apalagi dalam islam, ketika seorang suami mengucap kata cerai. Maka haram hukumnya keluarga itu tetap bersama. Yang artinya, secara agama orangtuaku telah pisah. Baik ayah maupun ibu selalu mengucapkan kalimat pantangan itu setiap pertengkaran dimulai.

"Baik. Kalau begitu semua hewan peliharaan aku yang bawa. Termasuk Rani, anakku."

Tidak! Aku tidak mau.

Ingin saja aku berteriak kencang ditengah pertikaian mereka. Tetapi entah mengapa, masa itu. Rasanya kaki ini memaku kuat dengan lantai plester.

"Ajak aja kalau pun anaknya mau." ujar ibu cuek.

"Brengsek." Ayah berteiak sambil melempar pisau dapur dari meja ke arah Dara, kelinci putih kesayangan ku yang tengah berlenggang. Suara memekikan telinga itu berbaur dengan darah dari telinga hewan malang tersebut. Aku membekap mulut, tangis meledak makin menjadi. Bahkan hewan lucu yang tidak mengerti apapun turut menjadi korban.

Pria paruh baya berusia 45 tahun itu menjauh dari dapur. Sekilas aku dapat melihat mata sendu sang ayah saat berjalan melewatiku. Hal yang ayahku tau, sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau ikut dengannya.

Sorot mataku mengikuti ayah yang tidak menyadari kehadiranku, sampai tenggelam pada pintu utama. Deru honda fisz-R semakin meredam. Pasti sang ayah akan ke rumah kakek di Deles. Yang berjarak sekitar tiga desa dari rumah ini.

Aku berjongkok saat sampai di depan kelinci malang yang tak bernyawa tersebut. Dengan lembut jemariku menggusap tubuh yang mulai kaku. Hatiku membeku, seakan ikut mati bersama temanku satu-satunya di rumah. Tubuhku bergetar meredam isak tangis. Beberapa kali aku menyeka, beberapa kali pula air mataku luruh ke tanah.

Mataku membidik ke arah ibu. Aku tau, beliau tidak setegar itu menyembunyikan sakit hatinya dengan bersikap seolah tidak ada yang terjadi barusan. Aku tau, lengan yang sibuk bergerak mengupas mete itu bergetar menahan perih luka yang terus tergores sampai belasan tahun lamanya, belasan tahun terpendam. Bahkan, aku yang notabene anaknya tidak cukup berani menenangkan beliau. Aku takut, jika aku bertanya maka ibu akan teringat degan luka dihatinya lagi.

Selama ini ibu sudah cukup lelah dengan sikap ayah yang tempramen, sikap ayah yang tidak mau menafkai keluarga. Selama ini, ibu berusaha tegar dengan perbedaan yang ada antara teman-temannya yang lain. Disaat semua temannya tinggal mengurus rumah. Ibu tidak. Karena dirinya harus sibuk banting tulang, duduk setiap hari mengupas mete tanpa istirahat.

Mungkin pekerjaan itu tampak sepele jika kebanyakan orang lain memandang. Tapi tidak, karena ibu harus mengupas mete dari pabrik itu setiap hari. Upah yang dia dapat pun tidak sebanding, karena setiap mengupas 10 kilo mete beliau hanya akan diberi upah 10 ribu. Sedangkan mengupas mete sampai benar-benar bersih itu memerlukan waktu 9 jam.

Ibuku tidak bisa memilih pekerjaan lain selain itu. Karena kondisi kedua kakinya yang cacat sejak lahir, membuat ibuku tidak mampu berkutat dengan pekerjaan lain yang mengharuskan berdiri terlalu lama.

Cairan bening menetes untuk kesekian kali. Mendamba sebuah kedamaian tanpa ingatan. Aku ingin melupa walau sejenak. Luka dalam hati, batin dan raga. Merong-rong seluruh tubuh, sampai hanya sebuah kilas balik ingatan mampu membuatku menangis, terbacok untuk kesekian kali setiap aku mengingat.

Aku ingin memiliki keluarga harmonis seperti temanku yang lain. Yang mampu bercanda gurau. Paling tidak saling mengerti setiap ada konflik. Apa mungkin tidak hanya aku saja yang mengalami hal ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status