Share

Prolog

Beberapa orang tidak pernah tau bagaimana rasanya tenggelam dalam jurang masa lalu. Atau bisa jadi mereka telah mengarungi lebih dulu dan mampu berdiri dipuncak masa depan.

Tetapi aku masih di sini. Di persimpangan jalan antara masa lalu dan masa depan. Rupanya kepalaku telah belajar menoleh kebelakang teramat dalam sampai aku salah kereta. Kereta masa depan yang seharusnya ku naiki. Aku malah bersandar nyaman dengan kereta masa lalu.

Sampai suatu ketika logika itu datang menyadarkan ku. Seharusnya aku tidak pernah ada didalam kereta ini.

Dalam kondisi sadar dan tidak aku mencoba untuk lari. Diantara gerbong-gerbong sesekali aku terjatuh. Ku dapati sebuah pintu. Tetapi kereta tidak mau berhenti. Dia terus berjalan cepat. Yang bisa aku lakukan untuk menyadarkan diriku sendiri hanya satu. Melukai diri sendiri agar fokus ke masa depan.

Aku memutuskan untuk lompat dari kereta. Mengabaikan suatu kemungkinan bahwa tubuhku akan remuk redam. Tidak apa. Dari pada aku akan terlihat naif dan menyedihkan di dalam sini selamanya. Bahkan sampai melupakan orangtuaku. Tidak!

đź«€

Jalanan tidak akan pernah berubah. Dan semesta tidak akan pernah menunggu untuk aku sadar dari ratapan.

Wajahku kini penuh awan mendung yang berusaha ku tekan sedemikian rupa agar menyingkir.

Kutarik paksa gelang karet yang bertengger kuat dipergelangan tanganku sendiri. Bunyinya tidak terlalu keras. Membuatku tidak cukup puas karena ini tidak mampu menyingkirkan pemikiran-pemikiran yang terus menggelayut manja di otak.

Karena kurasa tidak cukup menyakitkan aku mencubit secara berulang lenganku sendiri. Berharap semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di sesali dan ditakuti di dunia ini. Selama aku yakin!

Tidak! Percuma saja. Sekuat apapun aku menyakiti diriku sendiri. Otak tetap saja memiliki alurnya sendiri. Apa aku perlu memotong nadi?

Terkejut. Seseorang menampik pundaku cukup kuat. Sampai gemuruh dalam otak mendadak sirna sepersekon. Aku memalingkan wajah. Ku dapati seseorang yang tengah memasang tampang sok garang tetapi masih dengan gaya kemayu.

"Apa! Mati aja sono sekalian! Nih ya," ujar pemuda kemayu tersebut. Kata-katanya masih mengambang minta diteruskan. Dan dengan gerakan spontan pemuda itu menarik kedua ujung bibirku sampai membentuk sebuah lekukan manis, "senyum! Kan cantik kalau gitu," matanya masih menerawang jauh menatap kearahku, "heran aku. Buang sono jauh-jauh gelang karetnya!"

Sangat kentara sekali bahwa pemuda tersebut tampak kesal. Kendati demikian bukannya aku gondok tetapi malah kuterbitkan senyum lebih lebar dari sebelumnya.

"Makasih, Ren."

"Ya." Ketus, singkat. Tetapi dalam batinnya aku tau Rendi tidak seperti itu.

Kata Rendi ada banyak alasan kenapa ia masih stay denganku. Katanya "Rani itu baik."

🏮

Puterisenja

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status