Dari seberang telepon, Mas Gala mendengar Lara tergelak. “Lara bercanda, Mas.” Ujar Lara. “Iya, sayang, Mas tau kok.” Jawab Mas Gala. Mendengar kata itu keluar dari mulut Mas Gala, Lara sedikit terkejut, perasaannya campur aduk. Antara senang dan aneh. Aneh karena di hari-hari sebelumnya Mas Gala biasanya mencibir, mengolok dan selalu melakukan hal-hal yang membuat Lara sebal. Aneh saja kalau saat ini Mas Gala berubah menjadi sangat manis padanya.“Mas?” Gumam Lara “Ya, sayang?” jawab Mas Gala. “Lara masih nggak nyangka deh.” Ujar Lara. “Nggak nyangka kenapa?’ Tanya Mas Gala.“Nggak nyangka aja kita bisa …” Jawab Lara terjeda, “Jadian.” Lanjutnya dengan nada yang terdengar malu-malu, untuk mengucakapan kata “jadian” pun terasa sangat janggal bagi Lara.“Sama, Ra. Mas juga nggak nyangka bisa dapetin perempuan seperti kamu.” Ucap Mas Gala.“Karena kita belum pernah ketemu, ya?” Tanya Lara.“Ya. salah satunya itu.” J
“Kenapa Kak Liza nelpon kamu?” Tanya Lara, dadanya berkecamuk cemburu. “Nanya-nanya kabar.” Jawab Mas Gala. “Oh, nanya kabar sampai berjam-jam, ya.” Cibir Lara. “Sama sedikit berantem juga, Ra.” Ujar Mas Gala dengan ragu-ragu. “Hah?” Lara ternganga, pertanyaan-pertanyaan baru mulai bermunculan menyesaki kepalanya, menimbun pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang tak sempat terjawab. “Ra, kamu jangan salah paham dulu ya, sayang.” Bujuk Mas Gala. “Apa sih sebenarnya, ada hubungan apa kamu sama Kak Liza, Mas?” Tanya Lara, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Seharusnya kamu tau ini sejak awal, Ra.” Gumam Mas Gala. “Apa?” Lara sedikit membentak. “Mas nggak sebaik yang kamu pikirkan, Ra.” Ucap Mas Gala, “Mas sebenarnya nggak setuju saat kamu bilang Ma situ sosok laki-laki idaman untuk dijadikan suami, karena Mas nggak baik.” Lanjutnya. “Nggak baik gimana?” Tanya Lara, suara
“Jadi kita harus gimana, Ra?” Tanya Mas Gala yang terdengar hampir menyerah.“Aku nggak mau pisah sama kamu, tapi aku juga nggak mau Kak Liza dan anak-anak platform tahu soal hubungan kita.” Jawab Lara.“Baik.” Ujar Mas Gala, “Mas akan coba melakukan segala cara buat menutupi hubungan kita, asal bukan mengakhirinya, Ra.” Lanjutnya dengan nada penuh permohonan.“Lara nggak akan mengakhirinya, Mas.” Ucap Lara, “Lara sudah sangat sayang sama Mas Gala.” Lanjutnya.“Terima kasih, Ra.” Ucap Mas Gala.“Mas Gala …” Gumam Lara.“Ya, sayang?” “Sudah berapa lama mereka seperti itu?”“Perempuan-perempuan itu?” Tanya Mas Gala.“Iya.”“Mas nggak terlalu ingat tepatnya kapan.” Jawab Mas Gala, “Tetapi ada yang sudah mulai seperti itu sejak awal platform itu ada.” Lanjutnya.“Dia Kak Liza?” Tanya Lara, “Yang paling lama itu Kak Liza?” Lanjutnya mempertegas.“Bukan …” Jawab Mas Gala dengan nada yang terdengar ragu-ragu.“Siapa dia, Mas?” Tanya Lara lagi, masih dengan pertanyaan yang sanga
“Sebenarnya Mas punya rencana, walaupun belum pasti tapi akan Mas usahakan dengan keras.” Ujar Mas Gala.“Rencana apa, Mas?” Tanya Lara.“Kamu inget nggak tentang rencana menjelajah nusantara?” Tanya Mas Gala.“Ingat dong.” Jawab Lara, “Pembicaraan itu kan sampai buat kita berantem, masa Lara lupa.” Lanjutnya lalu berdehem.“Iya juga dan Mas udah putuskan buat bawa ponsel kalau jadi pergi.” Ujar Mas Gala, “Karena sudah ada kamu.” Lanjutnya.“Tapi nanti Mas Gala nggak mendapatkan apa yang Mas cari.” Ucap Lara.“Memangnya apa yang Mas cari?” Tanya Mas Gala.“Ketenangan kan, katamu.” Jawab Lara.“Justru Mas nggak akan tenang kalau pergi tanpa mendapatkan kabar dari kamu.” Ucap Mas Gala.“Makasih, ya, Mas.” Ujar Lara. “Lara juga nggak mungkin akan tenang kalau kamu nggak bisa dihubungi. Tapi kalau misalnya kamu memang nggak bisa bawa ponsel Lara nggak apa-apa kok kalau nggak dikabarin, walaupun Lara nggak tenang tapi nggak apa-apa, kok, beneran.” Lanjutnya.“Ra, udah, ya. mas ng
Semburat sinar matahari menyusup melalui celah-celah yang terdapat di atas jendela kamar Mas Gala. Cahaya itu merasuk lalu menusuk mata dan menggangu tidurnya, pria itu menggeliat di atas kasur, tangannya meraba-raba ke sisi kasur di sebelahnya namun tak ada siapa-siapa di sana kecuali udara. Perlahan Mas Gala membuka perlahan matanya sembari mencari-cari di mana Lara.“Ra …” Gumamnya, kemudian bangkit dengan nyawa yang masih terkumbul setengah.“Lara!” Mas Gala mulai berteriak memanggil nama kekasihnya itu.Dia kemudian menyadari bahwa dirinya tidak sedang berada di penginapan melainkan berada di kamarnya sendiri. Mas Gala masih tidak percaya, kejadian menakjubkan yang dialaminya semalam ternyata hanya mimpi. Dia berusaha menolak kenyataan itu, namun segera terbungkam saat mendapati sesuatu membasahi bagian bawah tubuhnya.“Oh sh*t!” Gumamnya.***Pagi itu bis yang di tumbangi Lara ke kampus terjebak kemacetan kota dan hal itu yang menyababkan Lara berlarian berkejaran dengan
“Halo, Mas.” Ucap Lara setelah teleponnya di terima oleh Mas Gala.“Halo, sayang.” Jawab Mas Gala, “Mas udah ada di kantor.” Lanjutnya.“Iya, Mas.” Ucap Lara, “Kenapa tadi nelpon?” Lanjutnya bertanya.“Nggak apa-apa sayang, cuma kangen aja.” Jawab Mas Gala, “Tadi pas bangun tidur rasanya kangen kamu, kangen yang banget banget.” Lanjutnya.“Bisa aja.” Gumam Lara disertai dengan deraian tawa karena mengira yang diucapkan Mas Gala hanya gombalan konyol semata.“Eh, kok ketawa.” Protes Mas Gala. “Mas serius loh ini.” Lanjutnya.“Iya, iya, Mas. Lara percaya kok.” Ujar Lara, sisa tawanya masih ada.“Mas serius, Ra.” Ucap Mas Gala terjeda. “Rasanya kangen banget dan ingin ketemu kamu saat itu juga. Mungkin karena habis mimpiin kamu.” Lanjutnya.“Mimpiin aku?” Tanya Lara.“Iya.”“Mimpi apa, Mas?”“Lara nggak usah tahu, ya.” Ujar Mas Gala.“Loh kok nggak usah tahu.”“Soalnya Mas juga bingung mimpi itu, antara indah atau memalukan.” Ujar Mas Gala, ragu-ragu.Jiwa penasaran dalam diri La
Lara dan Aria terlihat serius dengan obrolan mereka dan sesekali mengunyah makanan yang ada di hadapannya tanpa menghentikan mulutnya berbicara. Karena mulut mereka dipaksa melakukan dua pekerjaan sekaligus; mengunyah dan berbicara, Aria tersedak beberapa kali dan anehnya, Lara tak pernah tersedak meski melakukan hal yang sama. Ekor mata Lara mengikuti gerakan tangan Aria yang hendak mencomot bakwan di keranjang gorengan, setelah sadar pergerakannya diperhatikan oleh Lara, Aria mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali bakwan yang sudah dipegangnya.“Ih, jorok banget sih udah dipegang nggak jadi diambil.” Gerutu Lara, “Kasihan tahu orang yang makan bekas tanganmu yang penuh bakteri itu.” Lanjutnya.“Habisnya kamu ngeliatin.” Ucap Aria.“Memangnya kenapa kalau aku ngeliatin?” Tanya Lara, “Kamu mau ngambil terus nggak bayar lagi kayak kemarin?” Tuduhnya.Aria menyeringai sebagai jawaban atas tuduhan Lara. Lara menggeleng-gelengkan kepala karena sudah terlalu lelah dengan sikap buruk s
“Mas mimpi kita bertemu, terus …” Ucap Mas Gala, terjeda.“Apa?” desak Lara.“Kita bercinta.” Jawab Mas Gala dengan menyingkirkan semua keraguan yang ada di dalam benaknya.“Astaga.” Ujar Lara, kemudian menutup mulutnya karena berusaha menahan tawa.“Maaf, Ra. Mas sama sekali nggak bermaksud kurang ajar sama kamu.” Pinta Mas Gala dengan suara memelas.Lara tak kuasa lagi menahan, tawanya meledak-ledak. Entah mengapa membayangkan Mas Gala meminta maaf seakan-akan telah melakukan kesalahan besar, hanya karena sebuah mimpi, itu sangat menggelitik bagi Lara dan membuatnya tertawa terbahak-bahak.“Kok malah ketawa.” Protes Mas Gala yang telah bermenit-menit hanya mendengarkan gelak tawa Lara dari seberang telepon.“Sorry, sorry.” Ucap Lara yang susah payah menghentikan tawanya. “Gimana aku nggak tertawa kalau kamu lucu banget.” Lanjutnya, saat ini tawanya mulai reda.“Ra, are you serious? Lucunya di mana?” Mas Gala masih tidak menemukan letak kelucuan dari sikapnya.“Kamu minta maaf seakan