Beranda / Urban / Tobat Terakhir Istri Kedua / 6. Panggilan Telepon

Share

6. Panggilan Telepon

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-30 12:40:58

“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung.

“Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor.

Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan.

“Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini.

“Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banyak macet daripada lancar.

“Kita ke arah utara, Mas.” Aku memberi petunjuk arah. Namun, alih-alih mengikuti petunjukku, Mas Candra malah berbelok ke arah selatan.

“Lho, kok ke sini, Mas? Rumahku kan ke arah sana.” Aku menunjuk arah yang benar. Sekilas Mas Candra tersenyum tipis. Apa maksudnya? Apakah Mas Candra bermaksud lain sehingga mengarahkan mobil ke tempat yang berbeda?

“Mau ke mana kita, Mas?” tanyaku dengan jantung berdebar. Sejujurnya, aku tidak berkeberatan apabila harus pergi ke suatu tempat bersamanya.

“Aku lapar. Dari siang belum makan. Kita makan dulu sebelum pulang, ya?” sahutnya santai.

Oh. Jadi ia akan mengajakku untuk makan bersama lebih dahulu. Boleh juga. Kebetulan perutku juga keroncongan. Tadi siang aku tidak makan, sama seperti Mas Candra.

“Kamu mau makan apa?” tawar Mas Candra. Aku kebingungan.

“Terserah Mas saja. Aku kan cuma ditraktir.” Tawaku berderai. Mas Candra ikut tertawa.

“Kalau begitu terserah aku, ya. Itu ada restoran masakan laut. Kita ke sana saja, ya. Kayaknya, dulu kamu suka makan udang asam manis, kan?” Mata Mas Candra terarah ke sebuah tempat di depan kami. Tanpa menunggu jawaban, mobil Mas Candra lajukan ke arah halaman restoran.

Aku merasa terharu. Ternyata Mas Candra masih ingat masakan kesukaanku dulu. Ya, dulu kami sering makan udang asam manis bersama-sama. Masa-masa indah sebelum hubungan kami diketahui oleh istrinya. Apakah masa indah itu akan terulang kembali di sini? Aku diserang perasaan deja vu.   

Langit sore mulai berubah menjadi kuning keemasan di ufuk barat. Bola api yang condong ke arah magrib menjadi saksi bisu saat Mas Candra membukakan pintu mobilnya untukku, lalu kami berjalan bergandengan tangan menuju ke arah restoran. Romantis. Itulah yang aku rasakan kini. Apalagi saat siluet kami yang bergandengan tangan membelakangi matahari membentuk bayangan panjang yang indah di halaman restoran. Hari ini tidak akan pernah aku lupakan.

Kami makan sambil berbincang seru dan santai. Kebanyakan mengenang masa lalu. Apabila Mas Candra ingin kembali bersamaku, maka kupastikan kali ini ia tak akan lepas dari genggamanku. Aku mau melakukan apa saja agar bisa menjadi istri Mas Candra. Apa saja.

“Sepertinya aku masih menyimpan rasa buatmu, May.” Mas Candra berkata seusai kami makan.

“Oya? Kapan Mas mulai menyadarinya?” tanyaku seraya mengerjapkan mata di hadapannya.     

“Sejak hari pertama kamu melamar kerja di kantorku.”

Aku terperangah. Betulkah itu? Kalau iya, mengapa Mas Candra tak menampakkan perasaan itu sama sekali? Bahkan ia terkesan tak acuh dan tak memedulikanku.

“Tapi kok Mas biasa-biasa saja waktu itu? Bahkan kesannya Mas ingin menjauhiku?” Aku mempertanyakan kesungguhan pernyataannya.

“Aku sengaja bersikap kaku dan formal di hadapanmu selama ini, May. Aku berusaha membendung perasaanku kepadamu. Aku sadar, kita sudah pernah putus dulu. Hubungan kita tidak memiliki muara. Istriku tidak mau aku berpoligami,” jelas Mas Candra mengejutkan.

“Jadi, selama ini Mas hanya berpura-pura bersikap cuek kepadaku?” tegasku lagi. Mas Candra mengangguk pasti.

“Aku ingin hubungan kita biasa saja. Tapi ternyata aku tidak kuat. Saat kamu memijatku tadi siang, perasaanku kepadamu semakin kuat. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

Mas Candra mengambil kedua tanganku, lalu digenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku dari tangan yang digenggam olehnya. Hatiku berbunga. Perasaan bahagia meliputi seluruh tubuhku. Aku tidak mau hal ini berakhir. Aku ingin begini selamanya.

“Aku cinta kamu, Maya.”

Matahari terbenam menjadi saksi atas pernyataan cinta Mas Candra kepadaku. Saat itu aku betul-betul bertekad untuk menjadi istri Mas Candra, walaupun aku harus menjadi istri kedua.      

“Bagaimana dengan istrimu, Mas? Bukannya kamu bilang istrimu tidak mengizinkanmu berpoligami? Lalu apakah muara dari hubungan kita ini?” lirih aku bertanya.

“Gampang itu. Aku akan meyakinkan dia. Kalau dia tidak mau, kita tetap bisa menikah walaupun tanpa izinnya.” Mas Candra menatapku sungguh-sungguh. Saat itulah aku memercayai janjinya.

“Betul ya, Mas. Aku tidak mau kamu tinggalkan seperti dulu lagi. Aku enggak mau kamu putuskan secara sepihak. Aku ingin kita betul-betul bersanding di pelaminan,” tegasku dengan penekanan.

“Jangan khawatir. Aku yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Dulu aku memang pengecut, tapi sekarang aku tidak akan mengecewakanmu lagi.” Mas Candra kembali meyakinkan diriku.

Entah bagaimana caranya kami bisa menikah. Terus terang saja saat ini hal itu masih kabur di dalam pandanganku. Apabila istri Mas Candra tidak setuju, pasti sulit bagi kami untuk menikah. Apakah itu berarti aku harus menikah siri? Menikah sembunyi-sembunyi dari istri Mas Candra. Aku mematung memikirkan kemungkinan itu.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mas Candra saat melihatku melamun.

“Aku berpikir caranya menikah bila istrimu tidak setuju. Kamu pasti dilarang menikah ataupun menemuiku, seperti dulu,” kataku jujur.

“Sudah. Biar itu jadi urusanku. Kamu tidak usah risau memikirkannya. Pokoknya kita pasti menikah, bagaimanapun caranya.” Mas Candra menenangkanku.

Ah! Daripada pusing, lebih baik aku menuruti sarannya. Biarlah masalah pernikahan menjadi urusan Mas Candra. Aku tahu beres saja. Aku tersenyum ke arah Mas Candra. Kami saling menatap dengan penuh cinta.

Sedang asyik-asyiknya saling memandang, tiba-tiba ponsel Mas Candra di atas meja bergetar hebat. Aku sampai terkejut mendengar getarannya yang cukup keras. Mas Candra juga terlihat kaget. Kami sama-sama memandang ponsel yang bergetar dan layarnya berkedip-kedip. Foto Indira tampil di layar ponsel, seolah-olah Indira sendiri yang memanggil suaminya secara langsung. Seketika wajahku muram. Aku lihat wajah Mas Candra juga masam pertanda tak senang.

“Halo. Ada apa, Ma?” Mas Candra menerima telepon tepat di hadapanku. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan kejengkelan. Suara melengking Indira terdengar sampai ke telingaku.

“Kok belum pulang, Pa? Enggak biasanya pulang telat enggak bilang-bilang.”

“Iya, Ma. Ada lemburan mendadak. Papa sampai lupa bilang ke Mama. Maaf, ya.” Mas Candra menjawab santai.

“Sekarang masih lembur? Jangan terlalu larut pulangnya. Kasihan Cantika, dari tadi menanyakan Papa terus.”

“Iya. Sebentar lagi Papa pulang, kok. Sudah dulu, ya. Papa mau pulang sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban Indira, Mas Candra memutuskan sambungan telepon. Aku mendongak dengan bibir mengerucut. Mas Candra yang melihatku cemberut lalu tersenyum.

“Kamu semakin cantik kalau cemberut.” Mas Candra mencubit bibirku yang maju setengah sentimeter itu.

“Sekarang kita pulang dulu. Nanti akan aku atur agar kita bisa sering bertemu.”

Mas Candra bangkit dari duduknya. Aku mengikuti sikapnya. Baiklah. Aku cukup puas malam ini Mas Candra mengaku cinta kepadaku. Selanjutnya, akan aku atur strategi agar kami bisa segera menikah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status