Share

6. Panggilan Telepon

“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung.

“Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor.

Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan.

“Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini.

“Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banyak macet daripada lancar.

“Kita ke arah utara, Mas.” Aku memberi petunjuk arah. Namun, alih-alih mengikuti petunjukku, Mas Candra malah berbelok ke arah selatan.

“Lho, kok ke sini, Mas? Rumahku kan ke arah sana.” Aku menunjuk arah yang benar. Sekilas Mas Candra tersenyum tipis. Apa maksudnya? Apakah Mas Candra bermaksud lain sehingga mengarahkan mobil ke tempat yang berbeda?

“Mau ke mana kita, Mas?” tanyaku dengan jantung berdebar. Sejujurnya, aku tidak berkeberatan apabila harus pergi ke suatu tempat bersamanya.

“Aku lapar. Dari siang belum makan. Kita makan dulu sebelum pulang, ya?” sahutnya santai.

Oh. Jadi ia akan mengajakku untuk makan bersama lebih dahulu. Boleh juga. Kebetulan perutku juga keroncongan. Tadi siang aku tidak makan, sama seperti Mas Candra.

“Kamu mau makan apa?” tawar Mas Candra. Aku kebingungan.

“Terserah Mas saja. Aku kan cuma ditraktir.” Tawaku berderai. Mas Candra ikut tertawa.

“Kalau begitu terserah aku, ya. Itu ada restoran masakan laut. Kita ke sana saja, ya. Kayaknya, dulu kamu suka makan udang asam manis, kan?” Mata Mas Candra terarah ke sebuah tempat di depan kami. Tanpa menunggu jawaban, mobil Mas Candra lajukan ke arah halaman restoran.

Aku merasa terharu. Ternyata Mas Candra masih ingat masakan kesukaanku dulu. Ya, dulu kami sering makan udang asam manis bersama-sama. Masa-masa indah sebelum hubungan kami diketahui oleh istrinya. Apakah masa indah itu akan terulang kembali di sini? Aku diserang perasaan deja vu.   

Langit sore mulai berubah menjadi kuning keemasan di ufuk barat. Bola api yang condong ke arah magrib menjadi saksi bisu saat Mas Candra membukakan pintu mobilnya untukku, lalu kami berjalan bergandengan tangan menuju ke arah restoran. Romantis. Itulah yang aku rasakan kini. Apalagi saat siluet kami yang bergandengan tangan membelakangi matahari membentuk bayangan panjang yang indah di halaman restoran. Hari ini tidak akan pernah aku lupakan.

Kami makan sambil berbincang seru dan santai. Kebanyakan mengenang masa lalu. Apabila Mas Candra ingin kembali bersamaku, maka kupastikan kali ini ia tak akan lepas dari genggamanku. Aku mau melakukan apa saja agar bisa menjadi istri Mas Candra. Apa saja.

“Sepertinya aku masih menyimpan rasa buatmu, May.” Mas Candra berkata seusai kami makan.

“Oya? Kapan Mas mulai menyadarinya?” tanyaku seraya mengerjapkan mata di hadapannya.     

“Sejak hari pertama kamu melamar kerja di kantorku.”

Aku terperangah. Betulkah itu? Kalau iya, mengapa Mas Candra tak menampakkan perasaan itu sama sekali? Bahkan ia terkesan tak acuh dan tak memedulikanku.

“Tapi kok Mas biasa-biasa saja waktu itu? Bahkan kesannya Mas ingin menjauhiku?” Aku mempertanyakan kesungguhan pernyataannya.

“Aku sengaja bersikap kaku dan formal di hadapanmu selama ini, May. Aku berusaha membendung perasaanku kepadamu. Aku sadar, kita sudah pernah putus dulu. Hubungan kita tidak memiliki muara. Istriku tidak mau aku berpoligami,” jelas Mas Candra mengejutkan.

“Jadi, selama ini Mas hanya berpura-pura bersikap cuek kepadaku?” tegasku lagi. Mas Candra mengangguk pasti.

“Aku ingin hubungan kita biasa saja. Tapi ternyata aku tidak kuat. Saat kamu memijatku tadi siang, perasaanku kepadamu semakin kuat. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

Mas Candra mengambil kedua tanganku, lalu digenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku dari tangan yang digenggam olehnya. Hatiku berbunga. Perasaan bahagia meliputi seluruh tubuhku. Aku tidak mau hal ini berakhir. Aku ingin begini selamanya.

“Aku cinta kamu, Maya.”

Matahari terbenam menjadi saksi atas pernyataan cinta Mas Candra kepadaku. Saat itu aku betul-betul bertekad untuk menjadi istri Mas Candra, walaupun aku harus menjadi istri kedua.      

“Bagaimana dengan istrimu, Mas? Bukannya kamu bilang istrimu tidak mengizinkanmu berpoligami? Lalu apakah muara dari hubungan kita ini?” lirih aku bertanya.

“Gampang itu. Aku akan meyakinkan dia. Kalau dia tidak mau, kita tetap bisa menikah walaupun tanpa izinnya.” Mas Candra menatapku sungguh-sungguh. Saat itulah aku memercayai janjinya.

“Betul ya, Mas. Aku tidak mau kamu tinggalkan seperti dulu lagi. Aku enggak mau kamu putuskan secara sepihak. Aku ingin kita betul-betul bersanding di pelaminan,” tegasku dengan penekanan.

“Jangan khawatir. Aku yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Dulu aku memang pengecut, tapi sekarang aku tidak akan mengecewakanmu lagi.” Mas Candra kembali meyakinkan diriku.

Entah bagaimana caranya kami bisa menikah. Terus terang saja saat ini hal itu masih kabur di dalam pandanganku. Apabila istri Mas Candra tidak setuju, pasti sulit bagi kami untuk menikah. Apakah itu berarti aku harus menikah siri? Menikah sembunyi-sembunyi dari istri Mas Candra. Aku mematung memikirkan kemungkinan itu.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mas Candra saat melihatku melamun.

“Aku berpikir caranya menikah bila istrimu tidak setuju. Kamu pasti dilarang menikah ataupun menemuiku, seperti dulu,” kataku jujur.

“Sudah. Biar itu jadi urusanku. Kamu tidak usah risau memikirkannya. Pokoknya kita pasti menikah, bagaimanapun caranya.” Mas Candra menenangkanku.

Ah! Daripada pusing, lebih baik aku menuruti sarannya. Biarlah masalah pernikahan menjadi urusan Mas Candra. Aku tahu beres saja. Aku tersenyum ke arah Mas Candra. Kami saling menatap dengan penuh cinta.

Sedang asyik-asyiknya saling memandang, tiba-tiba ponsel Mas Candra di atas meja bergetar hebat. Aku sampai terkejut mendengar getarannya yang cukup keras. Mas Candra juga terlihat kaget. Kami sama-sama memandang ponsel yang bergetar dan layarnya berkedip-kedip. Foto Indira tampil di layar ponsel, seolah-olah Indira sendiri yang memanggil suaminya secara langsung. Seketika wajahku muram. Aku lihat wajah Mas Candra juga masam pertanda tak senang.

“Halo. Ada apa, Ma?” Mas Candra menerima telepon tepat di hadapanku. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan kejengkelan. Suara melengking Indira terdengar sampai ke telingaku.

“Kok belum pulang, Pa? Enggak biasanya pulang telat enggak bilang-bilang.”

“Iya, Ma. Ada lemburan mendadak. Papa sampai lupa bilang ke Mama. Maaf, ya.” Mas Candra menjawab santai.

“Sekarang masih lembur? Jangan terlalu larut pulangnya. Kasihan Cantika, dari tadi menanyakan Papa terus.”

“Iya. Sebentar lagi Papa pulang, kok. Sudah dulu, ya. Papa mau pulang sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban Indira, Mas Candra memutuskan sambungan telepon. Aku mendongak dengan bibir mengerucut. Mas Candra yang melihatku cemberut lalu tersenyum.

“Kamu semakin cantik kalau cemberut.” Mas Candra mencubit bibirku yang maju setengah sentimeter itu.

“Sekarang kita pulang dulu. Nanti akan aku atur agar kita bisa sering bertemu.”

Mas Candra bangkit dari duduknya. Aku mengikuti sikapnya. Baiklah. Aku cukup puas malam ini Mas Candra mengaku cinta kepadaku. Selanjutnya, akan aku atur strategi agar kami bisa segera menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status