Share

KEDATANGAN TAK TERDUGA

    Dengan tangan gemetar hebat, Hasumi melangkah masuk ke ruangan yang ditunjukkan oleh Kinoshita. Nenek berusia 60 tahun itu merangkul bahu Hasumi, menuntun langkahnya memasuki ruangan serba putih di mana tampak seseorang tengah tertidur lelap. Wajahnya pucat, dari dada hingga bawah tubuhnya tertutup dengan kain yang juga berwarna putih.

Seketika, air mata membanjiri pipi Hasumi. Dadanya terasa sakit. Sangat sakit. Baru saja ia berbincang dengan perempuan itu tadi pagi. Namun kini, sosok itu sudah tak berdaya melawan takdirnya sendiri. Ia benar-benar pergi, meninggalkan putrinya sendiri di dunia yang keras ini.

“I-ibu..” suara Hasumi terpatah, menahan sesak yang kian menjalar hingga membuat tenggorokannya

perih.

“Hasumi chan.. ibumu sudah tidak sakit lagi.” Kinoshita mengelus-elus punggung Hasumi.

“Jangan tinggalkan aku sendiri..” “Kumohon.. jangan pergi.”

    Hasumi terisak sembari memeluk jenazah Reiko. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ibunya akan pergi secepat ini. Padahal tadi pagi ia masih bisa tersenyum sambil menyirami tanaman dengan ria. Padahal dokter bilang kesehatannya masih stabil. Ah.. bukan. Itu bukan kata dokter, tapi kata ibunya. Hasumi merasa sangat bodoh karena percaya begitu saja. Tidak mungkin ibunya akan mengatakan hal bisa membuat Hasumi khawatir, ‘kan? Pasti ibunya menyembunyikan fakta tentang kondisi tubuhnya. Kasihan sekali. Ia harus menanggung rasa sakitnya sendiri, demi membuat sang putri tenang melalui ujian masuk universitas.

Sayangnya, niat yang diutarakan Hasumi untuk menunda kuliah pagi itu membuat Reiko merasa bersalah. Diam-diam ia menangis setelah Hasumi pergi, sebelum rasa sakit yang menjalar hebat di jantungnya kambuh dan merenggut nyawanya.

Setelah sekian lama terisak, Hasumi pun beranjak mengecup kening sang ibu yang terasa amat dingin. Dengan berat hati, matanya perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan yang ada.

“Selamat tinggal, ibu. Aku mencintaimu.”

Setetes air mata pun jatuh mengaliri wajah Reiko.

     Upacara pemakaman dilangsungkan keesokan harinya. Berbalut pakaian serba hitam, Hasumi duduk di sebuah ruangan yang dihadiri banyak orang. Tak jauh dari tempat duduknya, terpampang sebuah foto yang dihias dengan bunga. Dalam foto itu, Reiko sedang tersenyum lebar. Seolah ia bahagia karena tak perlu lagi merasakan sakit di dunia. Seolah berkata, “selamat atas kelulusanmu, Hasumi”. Namun Hasumi hanya bisa menatap foto itu dengan mata sembab karena menangis semalaman. Ia benar-benar tak bisa tidur. Ia masih saja tak menyangka kalau kini ia tak punya siapa-siapa.

Rumah yang biasanya ditinggali berdua, kini terasa sangat asing baginya. Rumah yang biasanya memberi kehangatan, kini malah berbalik membawa kenangan yang membuat Hasumi makin teringat ibunya. Lagi-lagi, dadanya terasa sakit. 2 detik kemudian kepalanya pun merasakan sakit yang sama, lantas semuanya menjadi gelap.

BRUK.

***

Ibumu saat ini sedang kritis. Entah sampai kapan dia mampu bertahan. Dokter bilang kemungkinan untuk selamat sangat kecil. Datanglah ke rumah sakit. Aku tunggu sekarang juga.”

Hasumi.. Hasumi!

     Hasumi membuka matanya perlahan. Entah mimpi atau bukan, mendadak ia melihat sosok Yurika tengah menatapnya penuh khawatir. Gadis itu bersyukur saat Hasumi membuka matanya.

“Ahh.. syukurlah kau sadar.”

     Hasumi bangkit, lantas mencubit pipi Yurika. Gadis itu meringis kesakitan, lalu dalam sekejap kembali menampilkan raut khawatir melihat mata sembab sahabatnya. Sial, ia merasa sangat bersalah karena telah meninggalkannya kemarin. Yurika tak tahu jelas apa saja yang terjadi di hari kemarin. Namun begitu ia mendengar kabar dari bibi Kinoshita semalam, ia memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali dari Osaka.

    Benar saja, kondisi Hasumi jauh lebih menyedihkan dari yang ia kira. Sahabatnya itu hanya bisa menatap Yurika dengan mata berkaca-kaca, kemudian memeluk Yurika dengan erat. Yurika ikut menangis, paham betul rasa sakit yang dirasakan Hasumi. Ia juga pernah merasakan sakitnya ditinggal oleh orang terkasih. Tepatnya saat kakaknya meninggal karena kecelakaan saat Yurika masih SMP.

Ia tahu betul bagaimana kuatnya harapan untuk tak terbangun agar tak melihat kenyataan. Ia tahu jelas bagaimana perihnya hati untuk sekedar menghadapi hari esok. Semua itu.. tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Aku di sini.. menangislah.”

“Dan bangkit lagi esok hari.” Tambah Yurika di sela isak tangis Harumi yang makin menjadi.

***

     Dua hari, tiga hari, empat hari terlampaui. Ini sudah hari kelima sejak ibunya meninggal. Hasumi menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri. Berbaring di atas hamparan tatami seraya menatap langit-langit rumah. Sesekali, ia bermimpi melihat Reiko tengah bersenandung ria di halaman seraya menyiram bunga atau menjemur baju. Sesekali juga ia berjalan mengelilingi rumah, membayangkan sosok sang ibu tengah memasak di dapur atau membersihkan tempat tidurnya.

Ahh.. nostalgianya.

Ia tak tahu hal yang biasa saja waktu itu akan terasa sangat berharga saat ini. Memang, segala sesuatu akan terasa berharga apabila telah hilang. Dan bodohnya Hasumi malah membiarkan hari-hari berharga itu berlalu begitu saja.

    Hasumi berjalan memasuki kamar Reiko. Ia bisa melihat sosok Reiko tengah berbaring sambil membaca buku, salah satu kebiasaan buruk yang sering membuat Hasumi mengomel. Senyum getir tergores di bibir tipis gadis itu. Entah sudah berapa kali ia terus berkhayal seperti ini.

Hasumi melangkah masuk, lalu duduk di ranjang berbalut seprei putih yang sudah 5 hari ditinggal pemiliknya. Iseng, ia pun membuka laci meja yang berada tepat di samping ranjang. Anehnya, Hasumi menemukan sebuah kotak hitam berukuran kecil di sana. Ada sebuah surat di bawah kotak itu.

Tanpa ragu, Hasumi mengambil kotak itu, lantas membuka suratnya.

Teruntuk putriku, selamat ulang tahun!

Aku masih tak menyangka tubuh mungil yang terlahir 19 tahun lalu sudah tumbuh menjadi gadis yang hobi mengomeli ibunya hahaha

Kau pasti bertanya-tanya, kenapa permata cincin ini berwarna hitam

Ya kan?

Itu karena.. cintaku padamu sama seperti permata hitam ini

Meskipun warnanya gelap, tapi ia takkan berubah warna ataupun kotor

Meski tak menarik seperti permata lain, namun ia juga menyimpan keindahan tersendiri

Meski kita sering berdebat tentang hal kecil, aku sangat menyayangimu lebih dari apapun di dunia ini

Kelahiranmu membuatku sadar bahwa kau adalah cinta terbaik dalam hidupku

Terima kasih, karena kau telah lahir dari perempuan lemah dan punya banyak keterbatasan ini

Terima kasih, karena kau telah bersedia menemani hari-hariku yang singkat ini Setelah aku pergi, kumohon teruslah hidup dan lanjutkan perjalanan panjangmu Masa depan yang cerah pasti sedang menunggumu

Dengan cinta seorang ibu, Reiko.”

    Hasumi tak sanggup menahan air matanya. Lagi-lagi ia menangis sembari mendekap erat surat tersebut, lantas membuka kotak hitam kecil yang entah kapan dibeli Reiko tanpa sepengetahuannya. Seketika, ia takjub sekaligus terharu tatkala melihat sebuah cincin perak berhias permata hitam mungil di atasnya.

Sebuah senyuman pun tersungging indah, beberapa detik kemudian cincin itu sudah tersemat rapi di jari tengahnya. Pas sekali, dan.. sangat cantik.

“Terima kasih, ibu. Meskipun ini terlalu cepat.” ujarnya dengan senyum getir, mengingat hari ulang tahunnya yang ke-19 masih 3 bulan lagi.

Hasumi berbaring di kasur Reiko sambil menatap langit-langit kamar. Biasanya, ia hanya bisa menemukan kehampaan di atas sana. Namun kali ini, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melempar tatapan serius pada cincin barunya. Kini, kehampaan yang biasa ia temukan telah terganti dengan keindahan yang terpancar dari cincin permata hitam. Ada-ada saja. Padahal biasanya, orang- orang membeli cincin dengan permata putih atau merah, pikirnya. Namun ia tetap bahagia. Sangat bahagia.

     Hasumi pun terlelap dalam mimpi yang cukup panjang. Ketika ia membuka mata, hari sudah gelap. Jam menunjukkan pukul setengah 8 malam. Mimpi panjang yang ia lihat seketika hilang, tak menyisakan ingatan sedikit pun.

“Tadi aku mimpi apa ya?” gumamnya bangkit, lalu menyalakan lampu.

Hasumi sedang menuruni tangga saat terdengar suara orang memanggilnya dari luar.

“Hasumi! Hasumi! Ini aku! apa kau ada di dalam?” suara laki-laki yang sepertinya agak tua. Hah? Siapa itu? Hasumi tak kenal suara itu.

    Suara itu terdengar beberapa kali. Sontak, gadis itu pun mulai waspada. Sial, bisa-bisanya ada orang yang mau merampok gadis piatu sepertiku. Ia memekik dalam hati seraya mengambil alat pel untuk dijadikan pemukul. Untung saja, lampu di bagian depan rumahnya belum sempat dinyalakan sehingga Hasumi bisa bergerak menuju ke pintu tanpa ketahuan. Begitu pintu dibuka, ia akan langsung plak plak plak dug dug memukul si perampok itu.

Awas saja kau, berani-beraninya menipuku. Aku bahkan tidak kenal suaramu, dasar perampok!

Tangan kirinya perlahan membuka pintu dengan alat pel, sedangkan tangan kanannya memegang saklar lampu. Hasumi membuka pintu, lantas memukul si pria dengan alat pel yang ia bawa.

    Pria setengah baya itu mengaduh kesakitan. Tentu saja ia kaget lantaran langsung diserang. Terlebih, apa gadis itu memang tidak mengenalnya sampai ia dipukul seperti ini? Hirotaka memekik dalam hati.

“Brengsek! Siapa kau?” kata Hasumi sambil terus memukul.

“Aduh! Hentikan. Apa kau benar-benar tidak kenal ayahmu sendiri?”

“Berani-beraninya kau- “ suara Hasumi terputus, raut wajahnya berganti jadi bingung.

Ayah?

     Hirotaka membetulkan posisi kacamatanya, lantas tersenyum kikuk dengan muka kotor terkena debu. Hasumi terpana, setelah beberapa detik sebelumnya terdiam. Kini ia ingat wajah ini. Wajah yang selama 7 tahun terakhir ia rindukan. Sekaligus wajah yang entah kenapa kini membuat amarah dalam hatinya muncul.

“Ayah?”

“Ya, maaf karena baru menemuimu. Aku pulang.”

Seketika, amarah yang entah kenapa dirasakan Hasumi pun berkurang setelah melihat senyuman Hirotaka. Ia masih tak menyangka kini sosok itu berada tepat di hadapannya. Hatinya mulai berdesir, bingung harus merasa bahagia atau marah. Seraya menundukkan wajahnya, Hasumi hanya mengucap satu kata.

“Okaeri.. nasai.”

***

     Malam makin larut. Di tengah ramainya suara jangkrik malam, Hasumi dan Hirotaka duduk berhadapan seraya meneguk teh yang baru saja disajikan. Suasana amat terasa canggung, meski tak seharusnya ayah dan anak saling terdiam seolah tak saling kenal. Namun, Hasumi terlalu bingung. Apakah harusnya ia senang karena bertemu kembali dengan sang ayah setelah 7 tahun lamanya? Ataukah sedih karena ketidakhadiran Reiko di antara mereka? Entahlah.. tapi, kedua rasa itu kini bergumul hebat dalam dadanya.

“Yah.. sudah lama sekali ya. Kau sudah tumbuh dewasa sekarang. Terakhir kali kita bertemu kau masih kecil dan nakal. Hahahah.” Hirotaka membuka pembicaraan, sementara Hasumi masih tertunduk.

“Oh ya, aku sudah dengar soal ibumu. Maafkan aku karena tidak bisa datang di hari itu.” Seketika,

Hirotaka turut menundukkan kepalanya, menyesali keterlambatannya.

“Ayah.. “ “Ya?”

“Apa kau tak pernah memikirkan soal aku dan ibu?”

Hirotaka  menelan  ludah.  Tenggorokannya  terasa  sakit.  Ia  sudah  menduga  kaalu  putrinya  akan bertanya seperti itu. Lagipula, ia memang berhak menanyakan hal itu.

“Itu tidak mungkin. Aku sangat merindukan kalian.”

“Kalau begitu kenapa kau tak pernah menemui kami selama 7 tahun ini?” Hasumi melempar tatapan sinis. Kedatangan Hirotaka benar-benar telah membuat amarah dan kesedihan dalam hatinya makin meluap, membuat Hirotaka sedikit tersentak kala menangkap sorot mata putrinya.

“Maafkan aku. Aku tahu kau sangat kesepian tanpa seorang ayah. Tapi jujur saja, kupikir Reiko sudah menikah lagi.. “

“Karena itu.. “ suaranya terputus.

“Kenapa ayah tidak pernah datang? Aku.. sangat merindukan ayah.” Hasumi meneteskan air mata.

Dalam hati ia berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah ini ia tak akan menangis lagi. Janji.

“Hasumi.. aku benar-benar minta maaf. Selama ini aku sibuk bekerja, tapi aku sangat merindukanmu.

Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi.”

“Bagaimana bisa? Keluarga baru ayah pasti.. “ suara Hasumi terputus. “Huh? Keluarga baru?” raut Hirotaka berganti jadi bingung.

“Lho? Bukannya ayah menikah lagi?” Hasumi jadi ikut bingung. “Siapa bilang?”

“Bibi penjual sayur yang bilang. Eh tunggu.. “ Hasumi mengerutkan kening, Hirotaka juga. Ia mencoba mengingat-ingat lagi kata bibi penjual sayur waktu itu.

Kudengar Hirotaka sudah menikah lagi. Selamat ya, Hirose-kun.

Ujar bibi penjual sayur saat Hasumi belanja di sana beberapa minggu lalu.

      Ya ampun, Hasumi terlalu fokus pada nama Hirotaka tanpa sadar kalau yang dimaksud si bibi itu bukan ayahnya. Ternyata ayahnya Hirose Kouta, si anak gembul yang terkenal karena pernah kentut saat pelajaran biologi. Gara-gara itu, seisi kelas harus tutup hidung dan Hirose sendiri harus menanggung malu yang berkepanjangan.

“J-jadi ayah tidak menikah lagi?”

“Hahahah tentu saja tidak. Kau tidak lihat kalau aku sudah tua begini?” Hirotaka menunjuk dirinya sendiri. Seketika, mata Hasumi berbinar mendengarnya. Ternyata selama ini, ibunya tidak meninggalkannya sendiri. Benar, ia masih punya keluarga!

“K-kalau begitu, apa aku boleh tinggal bersama ayah?” katanya semangat. Reaksi Hirotaka juga jauh

lebih semangat.

“Tentu! Kalau begitu besok kita berangkat ke Tokyo!!”

“Kita berangkat! Ke.. eh? Ke Tokyo? Tokyooooo?” Hasumi baru menyadari kalimat akhirnya.

Tinggal di Tokyo? TOKYO?

***

    Hasumi terburu-buru menaiki tangga menuju kamarnya. Dengan sigap ia mengambil HP nya yang belakangan ini selalu ia abaikan. Gemetar ia mencari kontak Yurika, lantas segera memencet tombol telpon. Hasumi menunggu beberapa detik dengan gelisah.

Tak lama, terdengar suara Yurika dari seberang.

“Hallo- “

“Yurika! Aku ingin bicara denganmu. Ini penting!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status