Share

Bab 2

Penulis: Sinar matahari dan pelangi
“Kak, aku mulai ya.”

Jari-jari Sendy perlahan menekan sisi dadaku, melalui handuk hangat, dengan tekanan yang lembut.

Kepalaku langsung panas, awalnya aku ingin menolak, tapi rasa bengkaknya terlalu menyiksa, tangan kananku tak bisa bergerak, dan tenggorokanku pun terasa kering dan serak.

Napasnya makin dekat, membawa aroma lembut dari deterjen yang dipakainya, bersih, tapi entah kenapa terasa membakar.

Aku memalingkan wajah, menutup mata rapat-rapat.

“Jangan asal pencet.”

Suaraku pelan, nyaris tak terdengar.

“Aku tahu letaknya,”

Ia mendekat lagi, suaranya serak, “Kak, tahan sebentar, kalau udah lancar nanti enakan.”

Seluruh ototku menegang. Ujung jarinya menekan pelan, mengikuti tepiannya dan perlahan bergerak ke dalam. Bahkan lewat handuk pun rasanya panas membara.

“Sakit nggak?”

Tanyanya lembut.

Aku menggigit bibir. “Masih tahan.”

“Bagian sini keras banget, aku harus coba pijat biar nggak makin parah.”

Matanya menatap fokus ke bagian yang sudah membengkak dan memerah, wajahnya begitu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan bulu matanya bergetar.

Aku ingin mendorongnya menjauh, tapi tanganku tak kuat terangkat.

Detik berikutnya, tekanannya makin dalam.

“Ah...”

Aku menghirup napas dingin.

“Kak, tahan sedikit lagi.”

Dia refleks menahan lenganku yang satunya lagi. “Di sini ketahan, nggak lancar. Harus agak cepat dikit baru bisa.”

Gerakannya makin cekatan, seolah sudah sering melakukannya. Ujung jarinya memutar dengan sudut yang pas, bikin rasanya nyaris bikin aku ingin mendesah.

“Kamu, kamu beneran pernah ngelakuin ini?”

Suara aku bergetar pelan.

“Hmm, dulu jagain kakakku waktu habis lahiran, dia sempat bengkak lebih parah dari kamu.” Matanya tetap menunduk, fokus. “Jadi, Kak, kamu nggak usah malu.”

Aku menggigit bibir. “Kalau gitu, kamu tetap jaga batas, ya.”

“Aku tahu,” ujarnya, lalu menunduk dan berganti tangan. “Kamu jangan tegang, cukup rileks aja.”

Rileks? Mana mungkin aku bisa rileks?

Yang dia remas itu dadaku sendiri.

Aku diam, hanya bisa memalingkan kepala sejauh mungkin.

Tapi gerakannya justru makin dalam.

Tiba-tiba dia mengklik lidah, lalu berkata, “Kak, yang bagian ini nggak bisa, kayaknya harus disedot pakai mulut, baru bisa lancar.”

Aku tersentak, langsung duduk tegak. “Apa kamu bilang?”

Dia mendongak, ekspresinya tetap tenang, bahkan terlihat seperti dokter yang sedang serius menjalankan tugas.

“Kak, jangan salah paham. Aku bukan pakai mulut langsung, tapi pakai dot bayi. Cara kerjanya kayak hisapan bayi, biasanya lebih ampuh dari pompa ASI.”

Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan sebuah dot bening kecil dari saku celananya.

“Aku dulu juga bantuin kakakku begini caranya. Kalau kamu nggak nyaman, nggak papa, aku ajarin aja, kamu bisa lakuin sendiri.”

Wajahku langsung panas. Aku merasa bersalah, dia jelas-jelas cuma ingin bantu, tapi aku malah sempat curiga dia punya niat lain.

“Ka-kamu... pelan-pelan aja.”

Suaraku lirih, nyaris tak terdengar.

Dia menunduk sedikit dan menjawab singkat, “Oke.”

Dia berlutut di sisi ranjang, jarinya kembali menyentuh, telapak tangannya terasa panas membakar. Dan aku...

Tanpa sadar mencengkeram seprai di bawahku erat-erat.

Dot bayi yang tadi ada di sisi ranjang, kini sudah di tangannya. Dia menekannya perlahan, memastikan semuanya bersih.

“Kak, aku sedot lewat luar handuk aja ya, cuma sebentar.”

Dia duduk di tepi ranjang, nadanya tetap tenang dan terkendali seperti biasa, tapi entah kenapa, justru itu yang bikin jantungku berdetak makin kencang.

Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajah ke arah jendela. Cahaya lampu menyinari tirai yang setengah terbuka, dan malam di luar sana gelap pekat, seperti tirai berat yang menekan seluruh ruangan.

“Kak, aku mulai ya.”

Suara itu terdengar lagi, lembut tapi jelas. Jarinya kembali menekan, gerakannya hangat, meski rasa ngilu itu belum sepenuhnya hilang.

Aku menggigit bibir bawah, mencoba menahan suara agar tak lolos.

Napasnya sudah begitu dekat, cukup dekat hingga aku bisa mendengar tiap tarikan napasnya.

Lalu...

Sentuhan lembut itu menempel, lewat dot bayi yang menyentuh permukaan kulitku melalui lapisan tipis handuk.

Rasa asing itu langsung menerpa dari dada, membuat seluruh tubuhku menegang. Aku ingin menghindar, tapi tak sanggup bergerak.

“Kak, tenang aja. Aku cuma sedot sebentar, kayak bayi nyusu.”

Bisikannya terdengar di telingaku, membuat tubuhku memanas. Aku menutup mata rapat-rapat, tubuhku mulai dipenuhi keringat dingin.

Dia mulai mengisap pelan, lidahnya menekan ujung dot, dua kali, lembut tapi dalam.

Tenggorokanku tercekat. Aku menahan napas, tak berani mengeluarkan suara.

Handuk itu mulai lembap, dan keringat di tubuhku mengalir turun, menyusup ke dalam kerah bajuku.

Dia terus mengisap pelan-pelan, setiap tarikan terasa begitu tepat sasaran, tepat sampai rasanya aku ingin mendorongnya sekuat tenaga. Tapi aku tahu jelas, aku sama sekali tak punya kekuatan untuk menolak sekarang.

“Sakit nggak?” suaranya serak, bibirnya masih menempel.

“Hmm.” Aku hanya bisa memberi jawaban samar.

“Sebentar lagi lancar,”

Belum selesai bicara, gerakannya justru makin dalam.

Aku tak tahan dan menghirup napas dalam-dalam.

Dia berhenti sejenak, lalu berbisik pelan, “Kak, kamu wangi banget.”

Aku tertegun. Saat aku tersadar dari kebingungan, jarinya sudah menyentuh kulitku, menyelip dari tepi handuk.

“Sendy!”

Aku membentaknya, berusaha mendorong tubuhnya. Tapi tanganku lemah, hanya mampu membuat lengannya sedikit bergeser.

Lalu...

Dari luar kamar, terdengar suara dengkuran berat, seperti suara guntur yang menggelegar.

Aku terdiam sejenak, baru sadar itu suara Yuda. Dia sudah pulang, habis minum, dan sekarang tertidur di kamar utama.

Pintu kamar terbuka, bayangannya samar-samar terlihat dari celah pintu.

Sekujur tubuhku seakan disiram air es, kesadaranku kembali dalam sekejap.

“Keluar!”

Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mendorong Sendy. Dengan napas terengah, aku menarik handuk dan menutup dada, jantungku berdebar tak karuan.

Tapi Sendy tetap tak bergerak. Satu tangannya bertumpu di sisi ranjang, menatapku dari atas, sorot matanya gelap, lebih pekat dari malam di luar jendela.

“Kak, aku beneran nggak bisa nahan.”

“Keluar,” ulangku, suara serak dan gemetar. “Sekarang.”

Dia tak menjawab. Bibirnya hanya mengatup rapat, lalu matanya melirik ke arah handuk basah yang menempel di dadaku.

Detik berikutnya, tanpa peringatan, tangannya terangkat.

Dan menarik naik gaun tidur sutra yang belum sempat kututup rapat.

Mataku membelalak. Aku bahkan belum sempat bergerak untuk menghentikannya.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 7

    Yuda seperti orang gila, menerjang ke arahku.“Kasih aku videonya! Perempuan jalang! Kamu mau hancurin reputasiku?! Mau hancurin aku? Serahkan videonya, cepat!”“Reputasimu?” Aku tertawa dingin.Sendy dengan tenang menahannya, menghalangi tubuhnya yang mengamuk.“Yuda,” katanya pelan, “kamu bahkan sudah kehilangan rasa malu, masih bicara soal reputasi?”Aku menekan satu tombol.Pemutar media berpindah ke file berikutnya, kali ini sebuah rekaman audio.Itu suara yang direkam diam-diam oleh Sendy.Dan suara Yuda begitu jelas, nyaring menusuk.“Dia itu orangnya keras kepala, sok kuat. Asal ditekan dikit aja, pasti runtuh. Pelan-pelan saja, yang penting bisa ambil gambar jelas, video dan audio lengkap. Biar nanti aku serahkan ke pengacara.”Kata demi kata, seperti bilah pisau yang ditusukkan ke dada.Aku menatap wajahnya yang memucat, dan bertanya tenang.“Mau sekalian aku kirim ke pengadilan?”Bibir Yuda bergetar.Kedua tangannya mengepal, urat-urat di punggung tangan menegang seperti hen

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 6

    Aku perlahan membuka selimut, berdiri, menatapnya tajam.“Kamu dapat rekaman apa? Aku buka baju? Aku merintih? Kamu punya bukti apa?”“Jangan coba-coba membela diri!” dia menggeram marah, “Kamu sendirian di kamar sama asisten rumah tangga, tengah malam di ranjang, satu telanjang dada, satu cuma pakai jubah tidur, menurutmu pengadilan bakal percaya sama kamu?”“Bukankah dari awal kamu memang berharap aku berbuat salah?”Suaraku gemetar, tapi tetap tenang. “Kamu sengaja menyuruh dia datang, atur posisi kamera, lalu pura-pura ‘menangkap basah’. Puas? Bangga?”Yuda terdiam karena tertohok, menggertakkan gigi. “Tunggu saja, keluar dari rumah tanpa sepeser pun itu masih ringan! Anak? Rumah? Jangan mimpi!”Aku terkekeh pelan. “Kamu minta aku melahirkan anakmu, tapi kamu juga yang suruh orang ambil ‘bukti perselingkuhan’ saat aku masih menyusui. Menurutmu kamu pantas disebut ‘suami’?”Dia tercengang, wajahnya kaku sesaat.“Waktu aku hamil, kamu ke mana? Berapa kali kamu menemaniku periksa kand

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 5

    Sendy berdiri di bawah lampu dapur, suaranya rendah seperti tetesan air yang pecah di bak cuci. Pelan, tapi cukup untuk menghancurkan segalanya."Suamimu, dia sudah lama punya perempuan lain di luar." Suaranya serak. "Bawahan kantor. Mereka sudah jalan hampir setengah tahun."Dadaku seketika terasa sesak.“Tapi dia tahu, kalau sampai cerai, dia nggak akan dapat apa-apa. Semua harta atas nama kamu, anak juga ikut kamu, nama baik kamu yang punya. Dia nggak punya jalan keluar kecuali dapatin bukti kamu selingkuh.”“Jadi kamu disewa buat godain aku.” Aku tertawa miris. “Profesional juga, ya.”Wajah Sendy memucat, dia menggeleng keras. “Bukan kayak gitu. Aku awalnya memang cuma kerjaan. Dia yang datang nyari aku duluan. Dia bilang kamu nggak mungkin selingkuh beneran, cukup bikin beberapa ‘adegan jebakan’, terus ambil beberapa foto ambigu udah cukup buat naik meja pengadilan.”Aku menatapnya tajam. “Berapa harga kamu?”Bibirnya bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar. “Empat puluh juta.”Ak

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 4

    Setelah Sendy pergi, aku masih duduk terpaku di sofa.Di kepalaku terus terngiang kalimat terakhir yang dia ucapkan sebelum pergi.“Suamimu bukan orang seperti yang kamu kira.”Aku tak tahu apa maksudnya.Tapi entah kenapa, kalimat itu membuat hatiku tak tenang.Siang itu, aku sengaja bangun agak siang.Saat aku turun ke bawah setelah berganti pakaian, Sendy sudah ada di dapur, sedang memasak dengan ekspresi datar.“Pagi, Kak.”Nada suaranya bersih dan sopan, tapi dingin. Tak ada sedikit pun kehangatan.Aku sempat terdiam, lalu akhirnya bertanya pelan, “Tentang semalam…”“Nggak ada yang terjadi,” potongnya cepat. “Tenang saja, aku tahu batas.”Aku menatap punggungnya selama beberapa detik, tak bisa memastikan apakah aku merasa kecewa atau justru lega.Dia begitu tenang, begitu dingin, seolah semua yang terjadi semalam hanya ilusi.Aku duduk di meja makan, menatap semangkuk sup ikan gurame yang masih mengepul panas, entah kenapa, aku tak berselera.Yuda masuk ke rumah sambil menggendong

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 3

    Saat dia mengangkat rok tidurku, seluruh tubuhku langsung membeku.“Sendy, kamu gila.”Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, dia sudah menunduk dan mengecup perut bawahku, hanya terhalang kain tipis dari gaun tidur sutra. Sentuhannya lembut, tapi hangatnya seperti api yang membakar setiap syarafku yang sudah tegang sejak tadi.“Kak, jangan bicara, kumohon.”Suaranya nyaris tak terdengar, napasnya jatuh tepat di kulitku yang terbuka.“Aku udah nahan terlalu lama.”Aku berusaha mendorongnya, jari-jariku baru saja menyentuh bahunya.Braaak!Terdengar suara keras dari samping. Jantungku serasa meloncat ke tenggorokan. Aku menoleh cepat.Yuda.Dia di kamar utama, berguling sambil mendengkur, lalu tiba-tiba bersuara,“Sayang, air… ambilin air…”Dia bergumam dalam tidur, lalu diam lagi, kembali tenggelam dalam mimpi.Aku nyaris kehilangan kendali atas napasku.Dan dalam keheningan yang mencekam itu, Sendy tiba-tiba membungkus bibirnya di sisi lain dadaku, yang sejak tadi sudah bengkak dan s

  • Tolong, Aku Seorang Ibu Menyusui   Bab 2

    “Kak, aku mulai ya.”Jari-jari Sendy perlahan menekan sisi dadaku, melalui handuk hangat, dengan tekanan yang lembut.Kepalaku langsung panas, awalnya aku ingin menolak, tapi rasa bengkaknya terlalu menyiksa, tangan kananku tak bisa bergerak, dan tenggorokanku pun terasa kering dan serak.Napasnya makin dekat, membawa aroma lembut dari deterjen yang dipakainya, bersih, tapi entah kenapa terasa membakar.Aku memalingkan wajah, menutup mata rapat-rapat.“Jangan asal pencet.”Suaraku pelan, nyaris tak terdengar.“Aku tahu letaknya,”Ia mendekat lagi, suaranya serak, “Kak, tahan sebentar, kalau udah lancar nanti enakan.”Seluruh ototku menegang. Ujung jarinya menekan pelan, mengikuti tepiannya dan perlahan bergerak ke dalam. Bahkan lewat handuk pun rasanya panas membara.“Sakit nggak?”Tanyanya lembut.Aku menggigit bibir. “Masih tahan.”“Bagian sini keras banget, aku harus coba pijat biar nggak makin parah.”Matanya menatap fokus ke bagian yang sudah membengkak dan memerah, wajahnya begit

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status