Hingga tak lama sekretaris tersebut tumbang, lawannya pun segera melumpuhkannya dengan menyuntikkan sesuatu pada tubuh lawannya. Lidia yang sangat kaget itu pun hanya bisa membelalakkan mata dan tanpa sadar berdiri sambil menutup mulutnya.
Lidia terus menatap kejadian di depannya dengan raut tak percaya, tubuhnya kaku. Ia tak pernah melihat pembunuhan secara langsung tepat di depan matanya. Setelah perbuatannya selesai, pembunuh tersebut menekan earpeace yang terpasang di telinganya.
“Tugas selesai. Ruang rapat nomor 199,” ucap pria tersebut kepada orang di sebrang sana. Setelah itu ia menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan.
Setelah beberapa saat, pembunuh tersebut pun kaget, menyadari bahwa di ruangan tesebut ternyata masih ada orang selain dirinya. Dengan refleks, ia menarik tangan Lidia untuk segera keluar dari ruangan tersebut menuju sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan oleh pembunuh tersebut untuk menyembunyikan diri.
Mereka masuk ke sebuah kamar bernomor 201, tepat di ujung koridor yang berlawanan dengan aula khusus rapat yang di sewakan oleh hotel ini. Tepat setelah mereka masuk ke dalam kamar, terdengar suara sirine mobil kepolisian yang datang ke hotel ini.
“Sebenarnya ada apa ini?” batin Lidia dengan perasaan takut yang sangat amat, karena pembunuh membawa dirinya yang masih syok ini.
Seakan kemampuan bela diri Lidia luntur seketika, ia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa karena masih syok atas pembunuhan yang terjadi tepat di depan matanya tadi. Meskipun terlihat sangat halus dan tidak menampakkan sedikitpun darah, kengerian yang dilakukan pembunuh tadi tetap menempel di pikirannya.
Lidia segera melepaskan genggamannya setelah kekuatannya sedikit kembali terkumpul. Dilihatnya pria tersebut langsung mengunci pintu kamar dan memasukkan kunci tersebut ke dalam saku celananya. Pria tersebut membalikkan badan menghadap ke arah Lidia yang tampak masih menunduk ketakutan. Ia pun mencoba berjalan mendekati Lidia secara perlahan.
Setelah berjalan beberapa langkah, pria tersebut menyadari sesuatu. Ia memperhatikan wajah Lidia sambil mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Sepertinya ia mengenali wanita dihadapannya ini. Ia pun mempercepat langkahnya menuju Lidia, sedangkan Lidia kini makin gemetar ketakutan sambil terus menunduk. Lidia sangat takut, pembunuh tersebut berada sekamar dengannya saat ini. Bahkan dengan pintu yang terkunci. Membayangkan pembunuhan tadi hanya membuat perasaannya semakin kalut, ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih.
“Tolong kepaskan aku!! Apa salahku?” teriak Lidia dengan nada bergetar saat pembunuh tersebut berada tepat di hadapannya.
Namun, tiba-tiba saja pembunuh tersebut memeluk tubuh gemetar Lidia dengan lembut, ia mengelus punggung Lidia untuk menenangkan dirinya. Akan tetapi, hal tersebut malah membuat Lidia semakin bergidik. Hingga, pria tersebut akhirnya mengeluarkan kalimat dari mulutnya.
“Bahkan saat ini pun, kau masih tidak bisa mengingatku?” tanya pria tersebut lembut dengan nada berat miliknya.
“Siapa kau?” tanya Lidia yang kini mulai menangis ketakutan.
Pria tersebut melepas pelukannya, ia menatap wajah Lidia yang saat ini sedang menangis.
“Aku, teman SMA-mu. Sapu tangan hitam dan juga minuman herbal waktu itu,” jelas pria tersebut yang ternyata adalah Ken.
“Ken?...” ucap Lidia lirih sambil memandang wajah pria di hadapannya ini.
Ken menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum menghadap Lidia yang tengah terbelalak kaget melihatnya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Ken sambil membopoh tubuh Lidia yang masih lemas tersebut menuju ke sofa empuk di sebelah jendela balkon kamar sana.
“Sangat tidak baik! Bagaimana aku bisa baik-baik saja setelah melihat kejadian seperti tadi?” jawab Lidia dengan nada tak santai nya setelah duduk di sofa tersebut.
“Tenang saja, kau tidak perlu takut. Ini semua bukan seperti yang kau pikirkan,” ujar Ken terkekeh melihat ekspesi Lidia yang seperti itu. Ini benar-benar pertama kalinya ia melihat Lidia menunjukka ekspesi yang semacam ini.
“Selama ini kau menghilang hanya untuk menjadi penjahat seperti ini? Sia-sia sekali aku selalu mengkhawatikanmu,” ungkap Lidia dengan nada tak percayanya. Suasana pun sudah semakin mencair sejak beberapa waktu terakhir.
“Hahaha... Kau mengkhawatikanku?” tanya Ken dengan senyum jahil serta salah satu alisnya yang terangkat.
“Manusia yang tiba-tiba saja menghilang begitu saja, tanpa ada seorangpun yang tahu. Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Kukira kau diculik atau semacamnya? Tapi ada yang lebih aneh lagi, tidak ada seorang pun yang ikut khawatir ada orang yang tiba-tiba hilang, mereka seperti tidak peduli. Bahkan teman-teman sekelasmu tidak mengetahui namamu, dan dirimu,” ungkap Lidia.
Ken hanya terkekeh mendengar penjelasan Lidia yang terdengar sangat menggebu-gebu itu. Lidia yang dilihatnya kini, dengan semua ekspresi baru yang ia tampakkan, membuat hatinya menghangat dan juga senang. Sudah lama sekali, sejak senyuman terakhirnya dahulu saat masih duduk di bangku sekolah.
“Sebenarnya sejak saat terakhir itu aku juga beberapa kali terpikirkan tentangmu.”
Lidi menyipitkan matanya, Ken mengatakan hal tersebut dengan nada yang sangat tidak meyakinkan. Ia merasa bahwa Ken akan mempermainkannya.
“Bagaimana tidak? Melihat seorang manusia yang tiba-tiba berjalan sendirian di koridor sekolah, dengan banyak luka dan darah yang mengalir dari hidungnya itu. Sangat mengkhawatirkan,” ucap Ken lebih lanjut yang diakhiri dengan tawa kecil yang terdengar sangat manis.
Lidia hanya menatap Ken melalui ujung matanya dengan tajam. Ternyata Ken masih mengingat dengan dirinya yang dulu sangat mengenaskan seperti itu. Entah mengapa, ada kelegaan di hati Lidia, bisa menemui satu-satunya teman yang mempedulikan keadaannya di saat dirinya tak memiliki seorangpun, hanya untuk sapu tangan penyumbat mimisan selain Ken.
“Sepertinya aku bisa mempercayaimu,” ujar Ken tiba-tiba.
“Apa?” celetuk Lidia dengan nada bingungnya.
“Aku, bagaimana aku bisa tiba-tiba menghilang seperti itu. Apa kau tidak penasaran?”
Lidia mengangkat kedua alisnya untuk memastikan, apakah Ken kini serius dengan ucapannya atau tidak. Namun, ia tidak menemukan keraguan di raut wajah Ken. Akhirnya, Lidia pun menganggukkan kepalanya, sebagai tanda ia mau mendengar alasan mengapa pria dihadapannya ini tiba-tiba menghilang sekitar lima tahun yang lalu.
Setelah menjelaskan dengan panjang lebar, Lidia pun mengetahui bahwa sebenarnya kini Ken ternyata merupakan anggota dari sebuah kelompok khusus rahasia milik kepolisian, yang bertugas unutk melumpuhkan orang-oang yang menjadi ajudan dan bodyguard para penjahat, untuk menghilangkan penghalang besar dalam penangkapan. Serta mengatasi semua kemungkinan-kemungkinan yang akan menjadi penghalang dalam suatu operasi tangkap tangan, dan meminimalisir kegagalan.
Itulah juga yang menyebabkan Ken tiba-tiba menghilang tanpa satupun jejak lima tahun yang lalu. Ia benar-benar telah dilatih dan dipersiapkan masuk ke kelompok ini sedari dulu, karena potensi bela diri dan kecerdasannya jauh di atas rata-rata. Kelompok ini pun bersifat rahasia, identitas para anggota kelompoknya juga harus di sembunyikan. Serta semua anggota tidak bisa berkeliaran sembarangan saat masih dalam masa tugas.
“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?”
Tapi, ia berusaha mengabaikannya untuk sekarang ini. Ia harus pergi ke toilet secepatnya terlebih dahulu. Dengan berjalan cepat dan mata yang was-was serta penuh waspada seperti itu, akhirnya Lidia sampai di toilet. Tempat yang sangat ingin ia tuju sedari tadi.Tidak memakan waktu yang lama, Lidia telah selesai dengan urusannya di toilet. Setelah mencuci tangannya di wastafel, perasaannya saat ini perlahan sudah mulai tenang. Mungkin yang ia rasakan tadi hanya perasaan negatifnya saja.Setelah mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer yang terpasang di dinding dekat kaca wastafel itu, Lidia berjalan keluar untuk segera pergi mencari makan. Perutnya sudah benar-benar keroncongan saat ini. Hari sudah semakin siang, dan perut Lidia masih belum terisi apapun sedari pagi.Saat baru saja keluar dari pintu toilet, tiba-tiba saja Lidia melihat ada beberapa orang yang berjalan menuju ke arahnya melalui ujung matanya. Meskipun tidak melihatnya dengan jelas ka
Setelah dipikir-pikir lagi, Lidia sebenarnya resah. Selain karena merasa ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya saat ini, ia juga bingung bagaimana cara agar ketakutannya bisa segera menghilang. Karena perasaannya ini sangat terasa tidak biasa serta tidak masuk akal sama sekali. Dan penjahat itu bisa mendatanginya lagi kapan saja.Lidia tiba di kantornya tanpa memakan banyak waktu. Sepertinya ia akan lebih sering naik bus nanti. Selain karena cepat, di dalam bus ini juga ramai. Halte pun hanya berjarak beberapa langkah saja dari gedung apartemennya dan juga kantor. Ia merasa lebih nyaman seperti ini.“Selamat pagi, Kira!”Lidia berjalan masuk ke dalam ruangannya sambil menyapa Kira yang memang selalu telah berada di sana sebelum dirinya. Karena terus-menerus berusaha menyembunyikan wajah, Lidia selalu memandang ke arah lain, agar Kira tidak menyadari kondisi terkini penampakan wajahnya saat ini.“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak Bu C
Setelah beberapa lama ia baru sadar, bahwa tangannya tengah terikat saat ini. Resah, gelisah, hanya itu yang bisa Lidia rasakan. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa bisa berteriak sedikitpun.Hingga tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki orang.Dak, duk, dak, duk..Suara langkah kaki yang terdengar menggema, seperti suara orang yang memakai sepatu boot yang alasnya tebal dan keras. Perasaan Lidia makin tidak enak seiring dengan suara langkah itu yang terus mendekat. Napasnya memburu karena ketakutan, peluh dan keringat pun terus bercucuran. Pikirannya sama sekali tidak bisa tenang dan jernih. Berbagai macam dugaan memenuhi kepalanya hingga nyaris membuat pikirannya meledak bagai petasan.“Sebenarnya ada apa ini? Di mana aku?”Batin Lidia terus menerus berteriak. Meskipun rasanya se-menakutkan ini, tapi Lidia sepertinya memang pernah mengenal tempat ini. Setiap melihat di setiap sudut, rasanya seperti se
“Kenapa kau tidak peka sekali? Ini artinya aku ingin bersamamu, Lidia. Dasar!!” ungkap Ken sambil mengusap kepala Lidia gemas.Tawa keduanya pun pecah. Selama perjalanan, mereka terus melempar candaan ataupun saling meledek satu sama lain untuk meramaikan suasana. Keduanya seakan bisa melupakan hiruk pikuknya dunia yang begitu sibuk dan kejam meskipun hanya sejenak.Tidak terasa, saat ini mereka telah sampai di depan gedung apartemen Lidia. Bersamaan dengan itu, suasana juga jadi semakin hening. Helaan napas keduanya saling beradu yang menandakan rasa sedih. Untuk kesekian kalinya, keduanya harus saling melepaskan diri.“Sudah sampai,” ujar Lidia dengan senyum tipis yang bertengger manis di wajahnya. Namun, di dalam nadanya tersimpan banyak sekali kesedihan.“Kenapa? Kau lega akan segera berpisah denganku?” canda Ken.“Tidak, aku malah merasa sedih, tahu.”Mereka saling menatap. Berusaha menyer
“Ken, kini giliran kau. Kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur,” ujar Lidia dengan dengan raut yang sok diseriuskan.Ken melihat perilaku Lidia yang menurutnya menggemaskan itu hanya bisa tertawa kecil. Entah mengapa, setiap pergerakan kecil yang dilakukan oleh Lidia selalu dapat membuatnya terpikat. Seumur hidup, baru kali ini ia merasakan perasaan yang seperti ini. Perasaan yang terasa sangat rumit dan juga membingungkan, terkadang rasa senang dan gelisah bisa terjadi dalam satu waktu. Mungkin karena memang dalam hidupnya ia belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, sehingga perasaan asing yang memaksa masuk dalam kehidupannya itu pun menjadi suatu hal yang cukup mengagetkan bagi perasaannya. Begitu pula bagi Lidia.“Baiklah, kau mau bertanya apa?”Lidia menatap Ken penuh selidik. Tapi setelah beberapa saat, tiba-tiba saja ia menjadi ragu. Setelah beberapa detik memikirkannya lagi, Lidia berniat untuk mengurungkan niatnya saj
Ken hanya membuang napasnya jengah, ia terus menatap Lidia dengan raut yang sangat serius. Entah mengapa, hal itu membuat Lidia sedikit khawatir.“Kalau kau percaya padaku, seperti aku mempercayaimu, tolong jawab dengan jujur pertanyaanku.”Lidia semakin bingung dan khawatir dibuatnya, raut Ken yang se-serius itu sedikit membuat jantungnya berdebar. Sambil menaruh cangkirnya ke atas meja, Lidia bertanya, “Apa?” dengan nada yang terdengar mengambang.“Ada apa?” tanya Ken dengan suara berat lembutnya itu. Matanya pun juga ikut melembut.“Apa yang kau maksud?” tanya Lidia.Ken hanya mendengus. Ia sudah menduga, Lidia tidak akan langsung berbicara jujur padanya.Melihat raut Ken yang berubah menjadi seperti kecewa itu, Lidia akhirnya memilih menyerah. Ia sadar, bahwa Ken telah percaya penuh padanya, bahkan sampai memberitahu pekerjaan super rahasianya saat ini. Ia tidak ingin membuat Ken kecewa. Ak
Ken pun langsung berdiri tepat di hadapan Lidia, ia tersenyum pada wanita di depannya ini dengan maksud menyapa. Belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Lidia memeluk Ken erat. Sangat erat. Tubuh Lidia yang sedari tadi menahan gemetar itupun kembali melepaskan semuanya tepat di dalam pelukan Ken. Ia benar-benar membutuhkan sebuah pelukan saat ini, sekedar untuk menghilangkan semua ketakutannya.“Kau kenapa, Lidia?” tanya Ken setelah memastikan bahwa tubuh Lidia sudah tidak bergetar lagi. Ia memang menunggu saat-saat Lidia tenang terlebih dahulu, sebelum menanyakaan keadaannya.Semenjak Lidia tiba-tiba saja memeluknya tadi, Ken yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Lidia. Apalagi keadaan Lidia yang sedikit berantakan dan juga ceroboh ini, sama sekali seperti bukan Lidia biasanya. Meskipun hanya bertemu beberapa kali, Ken sudah sangat hafal betul bagaimana Lidia.Lidia pun melepaskan pelukannya secara perlahan, lalu menarik napas leganya yang sejak
“Siapa di sana?” tanya Lidia dengan nada yang sangat hati-hati.Tidak ada jawaban.Namun, Lidia tahu bahwa seirig dengan pergerekannya yang perlahan seperti saat ini, pria tersebut juga ikut bergerak. Ia terus berjalan mendekat dengan langkah lebih pelan lagi. Ia terus saja mendekat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.Saat posisinya sudah benar-benar dekat, tanpa memberi celah sedikitpun Lidia langsung berbelok dengan cepat menuju ke tempat yang ia duga menjadi tempat bersembunyinya orang mencurigakan tadi.“Siapa..?” ucapnya dengan nada yang sedikit lebih keras, dan menggangtung di bagian akhirnya.Namun, saat ia melihat tempat itu, di sana tidak ada satupun orang. Hanya angin lalu yang memenuhi tempat itu. Lidia pun mengerutkan dahinya bingung, ia yakin sekali di sini tadi ada orang. Ia celingukan ke arah sekitar untuk memastikan tidak ada orang lagi selain dirinya. Dan ya, basement ini sepi, bahkan sangat sepi.
“Aku baik, Paman Jo. Kalian bagaimana?” tanya Lidia kembali pada dua orang tersebut.Kira yang memang telah mengetahui bahwa mereka berdua merupakan kerabat Lidia, tidak kaget sama sekali mendengar hal tersebut. Bahkan, orang-orang di kantor ini yang telah bekerja sejak lama pasti juga telah mengetahui fakta ini.“Kami sangat baik, Lidia. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan berbicara, bahkan aku sempat kaget melihat semua perubahanmu ini dalam rapat pertamamu tempo hari. Kami turut bangga melihatmu,” ungkap Paman Lidia.Lidia hanya membalasnya dengan senyum manis miliknya itu.“Bu, saya akan kembali ke ruangan terlebih dahulu,” ijin Kira pergi dari tempat tersebut, karena merasa kehadirannya akan mengganggu pertemuan keluarga jauh yang telah lama tidak bertemu ini. Dan Lidia pun hanya mengengguk untuk memberikan jawaban.“Sekarang kamu tinggal di mana, Nak? Di rumahmu yang dulu?” tany