Share

5. Hilang II

 “Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.

Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.

 “Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.

 “Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.

“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.

Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.

“Kau sendiri, kenapa bisa kebetulan berada di ruangan tadi? Padahal aku telah memastikan sebelumnya, bahwa tempat itu telah bersih dan aman. Kau memang mau cari mati, ya?”

Ken bartanya dengan nada mengejek. Tak ingin berlama-lama di situasi canggung seperti tadi, Lidia pun ikut tertawa renyah.

“Sembarangan.. Sebenarnya, malam ini aku akan melakukan meeting dengan pemilik perusahaan yang sekertarisnya tadi kau bunuh itu. Astaga, lalu dia sekarang bagaimana?” tanya Lidia yang tiba-tiba teringat sekretaris yang dilumpuhkan oleh Ken tadi.

“Tenang saja, dia tidak mati. Dia juga telah diurus anggota khusus kami, dan menghilangkan semua jejak. Setelah aku melaporkan misiku untuk melumpuhkan target telah selesai, maka anggota lain akan datang mengurus sisanya. Makanya aku menarikmu untuk segera keluar dari sana. Berbahaya sekali jika kau ketahuan menjadi saksi mata atas perbuatanku tadi,” jelas Ken lagi.

Lidia membelalakkan matanya kaget, ia hampir saja berada dalam masalah yang sangat besar. Hari pertama menjadi CEO tidak berjalan lancar seperti perkiraannya. Semuanya benar-benar tidak terduga.

“Astaga, hampir saja..

Jika sekretaris CEO itu kau lumpuhkan, artinya kepolisian akan menangkap CEO perusahaan itu?” tanya Lidia setelah benar-benar mencoba memahami semuanya.

“Tepat sekali.”

“Memang apa kesalahannya?”

“CEO perusahaan tersebut merupakan bandar besar narkoba yang telah di buru sekitar satu tahun oleh kepolisian, ia memiliki banyak sekali perlindungan, termasuk sekretaris yang ku lumpuhkan tadi. Dia adalah perlindungan terkuat yang mereka punya, jadi aku harus melumpuhkannya terlebih dahulu sebelum ia membantu bosnya untuk kabur.”

Mendengar hal tersebut, Lidia merasa sangat lega. Ia belum memutuskan kerja sama ataupun kesepakatan penanaman modal dengan perusahaan bermasalah sepeti itu. Hari pertamana menjadi CEO ini, ia merasa sangat diberkahi karena diberi keberuntungan terhindar dari masalah yang mungkin akan menghancurkan semua yang telah ia perjuangkan selama ini.

“Syukurlah, aku tadi tersesat sedikit lama. Aku jadi terhindar dari masalah yang sangat besar,” ungkap Lidia sambil menghembuskan napas leganya.

“Maksudmu?” tanya Ken bingung.

“Sebenarnya, hari ini adalah hari pertama aku menjadi CEO perusahan milik kedua orangtuaku, dan kami melakukan akan melakukan meeting untuk rencana penanaman modal diperusahaan milik bandar narkoba itu. Dan karena aku tersesat saat mencari kamar mandi, lalu tidak sengaja masuk ke ruangan tadi, kami jadi belum sempat untuk menyepakati perjanjian apapun. Aku sangat lega, hampir saja perusahaanku terlibat masalah besar seperti ini..” jelas Lidia panjang lebar.

“Kau jadi CEO perusahaan?” kaget Ken.

“Iya, perusahaan tambang batu bara. Dan aku juga mengurus beberapa bisnis lain milik orangtuaku.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Kau tidak sedang membohongiku, kan?”

Lidi membuang napasnya jengah, ia tidak ingin menjawab pertanyaan dari keraguan Ken bausan. Ia benar-benar tidak ingin memperpanjangnya.

“Mana mungkin wanita semuda dirimu?” tanya Ken lagi saking tidak percayanya.

“Kau juga, pria semuda dirimu menjadi tukang hajar para penjahat-penjahat besar,” balas Lidia membalikkan perkataan dari pria di depannya ini.

“Haha, benar juga.. Tapi aku memang terlahir memiliki kemampuan itu. Sedangkan kau?” ujar Ken dengan nada menggantung.

“Asal kau tahu saja, selama ini aku juga dilatih. Bahkan tiga tahun masa SMA-ku telah menghabiskan materi-materi S1, ditambah juga latihan bela diri itu. Sejak aku gila-gilaan dipersiapkan menjadi penerus perusahaan dan bisnis orangtuaku, aku jadi mudah mimisan. Seperti yang kau lihat dulu.. Saat itu aku benar-benar sedang kelelahan,” jelas Lidia, lalu terkekeh di akhir kalimatnya.

“Hahaha, Begitu rupanya.. Hei, tapi hari itu kau masih pergi ke tempat latihan dengan luka seperti itu. Sepertinya kau memang benar-benar gila-gilaan,” canda Ken sambil mengusap kepala Lidia gemas.

“Hari itu aku membolos semua pelajaran dan tidur di perpustakaan hingga bel pulang sekolah. Makanya, energiku telah penuh kembali dan bisa pergi ke tempat latihan.”

Setelah itu mereka pun tertawa bersama, menertawakan diri masing-masing. Karena sama-sama kehilangan masa remaja untuk mempersiapkan kejam dan sesaknya masa depan. Mereka benar-benar seperti melihat cerminan diri, situasi mereka sangatlah mirip.

Beberapa waktu berlalu dengan sangat cepat, setelah menerima laporan bahwa misi telah selesai sepenuhnya, Ken berpamitan pada Lidia dengan berat hati. Rasanya, mereka tidak ingin berpisah begitu saja, namun saat semuanya telah selesai, Ken diperintahkan untuk segera kembali.

“Baik, Ketua.”

Ken menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan, yang setelah sebelumnya menerima panggilan dari pimpinan kelompoknya tersebut.

“Aku harus kembali, misi telah selesai,” ungkap Ken sambil berdiri menatap Lidia.

Tidak ada jawaban.

Lidia memandang Ken dengan tatapan yang sangat sulit disrtikan. Ia sepeti ingin mengatakan sesuatu, tapi ada sebuah dinding besar yang sengaja ia bangun untuk menghalangi dirinya sendiri. Ken yang kini telah membuka pintu kamar nomor 201 ini balik menatap Lidia, berharap wanita itu mampu menyampaikan isi hatinya dengan percaya diri. Namun, nihil.

Sedangkan Ken, yang juga tengah menatap Lidia kini hatinya juga ikut bergemuruh. Ia benar-benar sangat ingin mengatakan perasaannya. Namun, ia segera sadar bahwa pekerjaannya itu bisa saja menyelakai diri Lidia nantinya.

Keduanya sama-sama saling menatap dengan kata-kata yang tertahan, berhenti sampai di balik bibir saja. Semuanya tampak tak mampu untuk saling mengungkapkan apapun dan melakukan apapun. Lidia dan Ken tidak akan bisa bersama meski saling menyukai, mereka tidak akan pernah bisa.

“Aku menyukaimu, Lidia..” batin Ken berteriak.

“Sampai jumpa,” namun malah kalimat ini yang mampu Ken katakan pada pertemuan singkatnya dengan Lidia ini.

Lidia masih duduk terdiam di sofa kamar, melihat ke arah pintu tepat di mana punggung Ken tadi menghilang. Ia tak pernah sesenang ini bertemu seseorang sebelumnya, namun tak disangka, perpisahannya pun juga terasa menyesakkan.

Sekali lagi, pertemuan tersebut menjadi pertemuan singkatnya bersama Ken. Seperti saat pertemuan pertama mereka, pertemuan kali ini terasa lebih singkat dan menyedihkan. Bahkan ia belum sempat membalas salam perpisahan dari Ken tadi, namun takdir memaksa untuk mereka berpisah lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status