“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.
Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.
“Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.
“Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.
“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.
Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.
“Kau sendiri, kenapa bisa kebetulan berada di ruangan tadi? Padahal aku telah memastikan sebelumnya, bahwa tempat itu telah bersih dan aman. Kau memang mau cari mati, ya?”
Ken bartanya dengan nada mengejek. Tak ingin berlama-lama di situasi canggung seperti tadi, Lidia pun ikut tertawa renyah.
“Sembarangan.. Sebenarnya, malam ini aku akan melakukan meeting dengan pemilik perusahaan yang sekertarisnya tadi kau bunuh itu. Astaga, lalu dia sekarang bagaimana?” tanya Lidia yang tiba-tiba teringat sekretaris yang dilumpuhkan oleh Ken tadi.
“Tenang saja, dia tidak mati. Dia juga telah diurus anggota khusus kami, dan menghilangkan semua jejak. Setelah aku melaporkan misiku untuk melumpuhkan target telah selesai, maka anggota lain akan datang mengurus sisanya. Makanya aku menarikmu untuk segera keluar dari sana. Berbahaya sekali jika kau ketahuan menjadi saksi mata atas perbuatanku tadi,” jelas Ken lagi.
Lidia membelalakkan matanya kaget, ia hampir saja berada dalam masalah yang sangat besar. Hari pertama menjadi CEO tidak berjalan lancar seperti perkiraannya. Semuanya benar-benar tidak terduga.
“Astaga, hampir saja..
Jika sekretaris CEO itu kau lumpuhkan, artinya kepolisian akan menangkap CEO perusahaan itu?” tanya Lidia setelah benar-benar mencoba memahami semuanya.
“Tepat sekali.”
“Memang apa kesalahannya?”
“CEO perusahaan tersebut merupakan bandar besar narkoba yang telah di buru sekitar satu tahun oleh kepolisian, ia memiliki banyak sekali perlindungan, termasuk sekretaris yang ku lumpuhkan tadi. Dia adalah perlindungan terkuat yang mereka punya, jadi aku harus melumpuhkannya terlebih dahulu sebelum ia membantu bosnya untuk kabur.”
Mendengar hal tersebut, Lidia merasa sangat lega. Ia belum memutuskan kerja sama ataupun kesepakatan penanaman modal dengan perusahaan bermasalah sepeti itu. Hari pertamana menjadi CEO ini, ia merasa sangat diberkahi karena diberi keberuntungan terhindar dari masalah yang mungkin akan menghancurkan semua yang telah ia perjuangkan selama ini.
“Syukurlah, aku tadi tersesat sedikit lama. Aku jadi terhindar dari masalah yang sangat besar,” ungkap Lidia sambil menghembuskan napas leganya.
“Maksudmu?” tanya Ken bingung.
“Sebenarnya, hari ini adalah hari pertama aku menjadi CEO perusahan milik kedua orangtuaku, dan kami melakukan akan melakukan meeting untuk rencana penanaman modal diperusahaan milik bandar narkoba itu. Dan karena aku tersesat saat mencari kamar mandi, lalu tidak sengaja masuk ke ruangan tadi, kami jadi belum sempat untuk menyepakati perjanjian apapun. Aku sangat lega, hampir saja perusahaanku terlibat masalah besar seperti ini..” jelas Lidia panjang lebar.
“Kau jadi CEO perusahaan?” kaget Ken.
“Iya, perusahaan tambang batu bara. Dan aku juga mengurus beberapa bisnis lain milik orangtuaku.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Kau tidak sedang membohongiku, kan?”
Lidi membuang napasnya jengah, ia tidak ingin menjawab pertanyaan dari keraguan Ken bausan. Ia benar-benar tidak ingin memperpanjangnya.
“Mana mungkin wanita semuda dirimu?” tanya Ken lagi saking tidak percayanya.
“Kau juga, pria semuda dirimu menjadi tukang hajar para penjahat-penjahat besar,” balas Lidia membalikkan perkataan dari pria di depannya ini.
“Haha, benar juga.. Tapi aku memang terlahir memiliki kemampuan itu. Sedangkan kau?” ujar Ken dengan nada menggantung.
“Asal kau tahu saja, selama ini aku juga dilatih. Bahkan tiga tahun masa SMA-ku telah menghabiskan materi-materi S1, ditambah juga latihan bela diri itu. Sejak aku gila-gilaan dipersiapkan menjadi penerus perusahaan dan bisnis orangtuaku, aku jadi mudah mimisan. Seperti yang kau lihat dulu.. Saat itu aku benar-benar sedang kelelahan,” jelas Lidia, lalu terkekeh di akhir kalimatnya.
“Hahaha, Begitu rupanya.. Hei, tapi hari itu kau masih pergi ke tempat latihan dengan luka seperti itu. Sepertinya kau memang benar-benar gila-gilaan,” canda Ken sambil mengusap kepala Lidia gemas.
“Hari itu aku membolos semua pelajaran dan tidur di perpustakaan hingga bel pulang sekolah. Makanya, energiku telah penuh kembali dan bisa pergi ke tempat latihan.”
Setelah itu mereka pun tertawa bersama, menertawakan diri masing-masing. Karena sama-sama kehilangan masa remaja untuk mempersiapkan kejam dan sesaknya masa depan. Mereka benar-benar seperti melihat cerminan diri, situasi mereka sangatlah mirip.
Beberapa waktu berlalu dengan sangat cepat, setelah menerima laporan bahwa misi telah selesai sepenuhnya, Ken berpamitan pada Lidia dengan berat hati. Rasanya, mereka tidak ingin berpisah begitu saja, namun saat semuanya telah selesai, Ken diperintahkan untuk segera kembali.
“Baik, Ketua.”
Ken menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan, yang setelah sebelumnya menerima panggilan dari pimpinan kelompoknya tersebut.
“Aku harus kembali, misi telah selesai,” ungkap Ken sambil berdiri menatap Lidia.
Tidak ada jawaban.
Lidia memandang Ken dengan tatapan yang sangat sulit disrtikan. Ia sepeti ingin mengatakan sesuatu, tapi ada sebuah dinding besar yang sengaja ia bangun untuk menghalangi dirinya sendiri. Ken yang kini telah membuka pintu kamar nomor 201 ini balik menatap Lidia, berharap wanita itu mampu menyampaikan isi hatinya dengan percaya diri. Namun, nihil.
Sedangkan Ken, yang juga tengah menatap Lidia kini hatinya juga ikut bergemuruh. Ia benar-benar sangat ingin mengatakan perasaannya. Namun, ia segera sadar bahwa pekerjaannya itu bisa saja menyelakai diri Lidia nantinya.
Keduanya sama-sama saling menatap dengan kata-kata yang tertahan, berhenti sampai di balik bibir saja. Semuanya tampak tak mampu untuk saling mengungkapkan apapun dan melakukan apapun. Lidia dan Ken tidak akan bisa bersama meski saling menyukai, mereka tidak akan pernah bisa.
“Aku menyukaimu, Lidia..” batin Ken berteriak.
“Sampai jumpa,” namun malah kalimat ini yang mampu Ken katakan pada pertemuan singkatnya dengan Lidia ini.
Lidia masih duduk terdiam di sofa kamar, melihat ke arah pintu tepat di mana punggung Ken tadi menghilang. Ia tak pernah sesenang ini bertemu seseorang sebelumnya, namun tak disangka, perpisahannya pun juga terasa menyesakkan.
Sekali lagi, pertemuan tersebut menjadi pertemuan singkatnya bersama Ken. Seperti saat pertemuan pertama mereka, pertemuan kali ini terasa lebih singkat dan menyedihkan. Bahkan ia belum sempat membalas salam perpisahan dari Ken tadi, namun takdir memaksa untuk mereka berpisah lagi.
Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.&
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela
Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabra
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t
“Gio?..” batin Lidia.Setelah melakukan kesalahan tersebut, Gio pun langsung menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Lidia yang melihat keberadaan Gio di kantornya ini pun sedikit merasa terkejut. Tak disangka, setelah bertahun-tahun ia bertemu kembali dengan seseorang yang sempat membuatnya kesulitan di masa SMA dahulu. Apalagi dengan kalimat yang sama sekali belum pernah ia dengarkan sebelumnya yaitu, “Maaf.”“Tidak ap..”Belum selesai Lidia menjawab permintaan maaf dari penabraknya tersebut, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil Gio dari arah belakang.“Gio! Surat proposal yang kuminta buatkan kemarin sudah selesai?” tanya wanita yang Lidia lihat tadi ikut rapat bersamanya.“Sudah, Bu,” jawab Gio langsung pergi menuju ke arah wanita yang memanggilnya tadi.Setelah itu, Lidia dan Kira pun memutuskan untuk langsung menuju ruangannya saja untuk beristirahat sebentar s
“Untuk semua perbuatanmu dulu, aku juga sudah memaafkan itu,” ucap Lidia tulus.Gio yang merasa makin bingung dengan perkataan Lidia barusan hanya mengerutkan keningnya.“Halo, lama tidak bertemu, Gio!” sapa Lidia dengan tawa yang tertahan.Sedangkan Gio, kini masih tampak bingung dengan apa yang dikatakan wanita di hadapannya dari tadi. Ia melihat Lidia sambil terus berpikir dan berusaha mengingat-ingat. Hingga tak lama kemudian Gio pun terkejut sambil membelalakkan kedua matanya.“Apa, Lidia? Tidak mungkin..” ucap Gio dengan nada kaget dan rasa tidak percayanya.Sedangkan Lidia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan kedua alis matanya saja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lidia sambil terus menahan tawanya.“Aku baik, astaga... Kau sendiri bagaimana?” tanya Gio kembali masih dengan nada tidak percaya.“Aku juga baik.”“Sejak kelulusan hari itu
“Sebenarnya kamulah yang selama ini paling kesulitan, aku melihat semuanya.”Lidia menatap Kira dengan raut penuh kebingungan. Ia merasa belum pernah bertemu dengan Kira sekalipun sebelumnya, apalagi di masa-masa sulitnya dulu. Ia ingat, ia tidak banyak bertemu dengan orang lain, karena memang tidak memiliki waktu untuk itu.“Aku sering ikut pamanku mengunjungimu ke desa yang dahulu sempat kau tinggali selama hampir tiga tahun itu. Aku memang tidak pernah ikut masuk, karena beberapa alasan. Jadi, aku hanya menunggu dari mobil saja dan memperhatikanmu dari sana. Dan lagi, mungkin kau tidak tahu, kami sering sekali diam-diam mengunjungimu. Memperhatikanmu dari jauh, dari dalam rumah guru Kevin guru bela dirimu, dan juga mengawasimu saat berjalan kaki jauh menuju ke sekolah dan ke tempat latihan. Aku melihat semuanya,” ungkap Kira sambil tersenyum sarat akan arti.Lidia hanya menatap Kira dengan tatapan tak percaya, tanpa ia sadari, ternyata
“Dasar pria sialan!!” umpat Lidia sambil melajukan mobilnya kembali ke kecepatan normal, setelah sebelumnya sempat memperlambatnya karena ingin melihat Ken di dalam kafe tersebut.Lidia sampai di apartemennya dengan keadaan suasana hati yang tidak baik. Ia masih merasa kesal. Meskipun belum tahu pasti siapa wanita yang bersama Ken di kafe tadi, tapi perasaannya terus dihinggapi rasa kecewa.Tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan yang sia-sia, Lidia pun memutuskan untuk segera menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri saja. Meskipun sempat beberapa kali tetap terlintas pikiran tentang Ken di kepalanya, ia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan suatu hal yang lain.Setelah tubuhnya bersih dan terasa segar, Lidia langsung menuju ke meja kerjanya. Ia memeriksa daftar pekerjaan yang telah dibuat oleh Kira dari tab miliknya. Hari ini ia bahkan belum menyelesaikan seperempat dari target keseluruhan, padahal seharian penuh ia telah bekerja sangat ke