Sehari setelah kelulusannya, Lidia langsung mengemasi semua barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke rumah. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Karena selama empat tahun ini, ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk pulang. Terbesit dalam hati kecilnya, ia sangat merindukan tanah kelahirannya.
Setelah bisa melewati semuanya sampai saat ini, Lidia sangat bersyukur, bahwa jiwa dan raganya tidak mendadak sakit tiba-tiba. Sehingga ia dapat menyelesaikan sebagian besar perintah dan wasiat kedua orangtuanya denga sangat lancar.
Jika berbalik melihat dirinya sendiri di waktu sebelumnya, bahkan dirinya yang berhasil kini akan tetap merasa ragu. Dia tersnyum dan bertanya pada dirinya sendiri, “Wah.. bagaimana semua itu bisa terjadi?”
Setelah semua persiapan kepulangannya selesai, Lidia bergegas menuju bandara. Karena ia tidak menyukai hal-hal yang terlalu sia-sia, jadi Lidia menaiki pesawat kelas ekonomi seperti biasa meskipun sebenarnya ia sangat mampu untuk membeli tiket VIP atau bahkan menyewa Jet pribadi. Toh, nantinya sama-sama akan sampai juga kan.
Berjam-jam Lidia menempuh perjalanan panjangnya, akhirnya pesawat yang ia tumpangi telah sampai dan mendarat dengan selamat. Di dalam pesawat tadi, Lidia tidak banyak melakukan sesuatu. Bahkan ia sama sekali tidak memakan makanan yang ditawarkan oleh pramugari ramah pesawat tersebut. Ia hanya tidur saja sepanjang perjalanan.
Setelah dijemput Tuan Utusan seperti biasa, ia akan diantar menuju ke rumah mewah lamanya.
“Tuan, aku tidak ingin tinggal di rumah itu. Aku akan membeli apartemen kecil saja,” pinta Lidia jauh sebelum mereka sampai di rumah miliknya dahulu.
“Mengapa Lidia?” tanya Tuan Utusan penasaran.
“Rumah itu terlalu besar untuk ditinggali sendiri,” jelas Lidia.
Sebenarnya selain itu, Lidia hanya tidak ingin tiba-tiba merasa sedih. Ia harus terus menjalani kehidupannya demi perintah orangtuanya, meskipun harus melupakan semua kenangan miliknya yang mungkin akan dapat menghalangi langkahnya dan membuat ia gentar lalu mundur.
“Baiklah.. Aku akan mengurus semuanya,” ucap utusan ayahnya tersebut.
“Tidak, aku bisa mengurusnya sendiri. Tolong antarkan aku ke tempat ini saja,” pinta Lidia sambil menunjukkan poselnya kepada pria tua yang telah banyak membantunya selama ini.
“Kamu yakin, Lidia?”
“Sangat yakin, Tuan.”
Apartemen yang diinginkan Lidia yakni apartemen minimalis yang tidak terlalu besar, namun, arsitekturnya sangat unik. Lidia memang tidak butuh tempat yang terlalu besar dan mewah, yang penting ia merasa nyaman saja itu sudah sangat cukup baginya.
Setelah sampai di sana, Lidia langsung turun dari mobil dan mengeluarkan kopernya dari bagasi dibantu oleh Tuan Utusan.
“Tuan, sampai sini saja. Aku akan menyelesaikan semua sendiri, untuk semua perintah selanjutnya, langsung hubungi saja aku. Dan terima kasih,” ungkap Lidia sopan.
Utusan ayah Lidia, yang selama ini mengurus segala yang harus dilakukan Lidia pun menatap gadis muda di depannya ini dengan seutas senyuman yang sarat akan arti. Penuh haru, perjalanan sulit Lidia sampai detik ini. Ialah saksi dari semuanya, Lidia dengan rasa sakit dan kerapuhannya. Kini menjadi wanita dewasa yang kuat dan sangat mandiri. Kehilangan seluruh masa remajanya yang berharga, dan menjadi dewasa jauh sebelum waktunya. Semuanya, sangat mengharukan.
“Jaga dirimu,” Ucap Tuan utusan sambil mengusap kepala Lidia pelan. Tak lupa senyuman tersebut yang masih bertengger manis di wajahnya.
“Iya, tuan.”
Lidia pergi menuju ke arah seorang makelar gedung yang sempat ia hubungi sebelum sampai di sini. Ia langsung berbincang untuk menentukan apartemen dan harga yang harus ia pilih. Setelah lama melihat-lihat dan berdiskusi tentang harga, akhirnya mereka telah menemui hasil akhir dan sepakat. Sebuah apartemen di lantai delapan dengan ukuran yang cukup luas untuk satu orang. Model arsitekturnya sangat unik, warna dominan pastel yang terasa sangat lembut untuk dilihat. Tempat yang ia pilih juga memilki balkon yang dari sana bisa menampakkan pemandangan padatnya bangunan kota. Telihat sangat indah.
Tidak lama setelah melihat-lihat balkon kamarnya, Lidia segera mengeluarkan barang-barang dan baju miliknya. Ia tidak membawa banyak baju dan barang, karena memang dengan hidup berpindah-pindah seperti itu, ia akan kesulitan jika memiliki banyak barang. Ia akan langsung membeli jika ia benar-benar membutuhkannya saja, seperti saat acara kelulusannya tempo hari. Ia membeli secara mendadak baju tersebut. Dan karena memang Lidia tidak pernah memiliki waktu untuk keluar, ia pun jadi tidak memiliki banyak baju.
Beres-beres selesai, Lidia pun beristirahat karena hari sudah mulai larut. Ia juga harus mempersiapkan diri esok di pagi hari untuk mengurus semua surat kepindahan kepemilikian bisnis-bisnis dan kedudukan CEO yang akan diambil alih olehnya.
Setelah mendapat telepon dari Tuan Utusan tadi pagi, Lidia bergegas untuk segera menuju ke perusahaan sesuai waktu yang diperintahkan kepadanya. Karena masih belum memiliki kendaraan pribadi, ia berangkat ke sana menaiki bus angkutan umum. Sebenarnya tuan utusan mengatakan akan menjemputnya, tapi Lidia menolaknya dengan sopan karena ia ingin lebih menikmati perjalanannya saja.
Setelah sampai di perusahaan, Lidia langsung memeriksa semua surat yang harus ia tanda tangani dan langsung menyelesaikan semuanya dalam waktu setengah hari saja. Setelah memberikan semuanya ke tangan Tuan Utusan, mulai hari ini Lidia secara resmi memegang kekuasaan tertinggi dari semua perusahaan peninggalan kedua orangtuanya. Bahkan, telah dipersiapkan seorang sekretaris juga untuk bekerja bersama dengan Lidia. Wanita yang sama-sama masih muda, mungkin hanya sekitar dua atau tiga tahun di atasnya, yang diutus sebagai rekan kerjanya mulai hari ini. Wanita tersebut bernama Kira.
Setelah mengumumkan ke seluruh perusahaan dan bisnis-bisnis yang tersebar di beberapa tempat, bahwa Lidia, putri dari pemilik sebelumnya telah kembali dan menduduki semua hak miliknya. Tuan Utusan pun berjalan ke arah Lidia sambil mengulurkan telapak tangannya untuk berjabat tangan.
“Selamat Lidia. Dengan begini wasiat terakhir untukmu adalah menjaga dan mengelola semua yang telah diberikan padamu dengan baik. Hal ini juga menandakan bahwa, tugasku telah selesai. Aku akan kembali ke keluargaku di desa,” jelas tuan utusan tanpa melepaskan jabat tangan mereka sambil menatap Lidia penuh bangga.
“Terima kasih banyak untuk selama ini, Tuan. Beristirahatlah, tuan sudah sangat bekerja keras selama ini. Aku akan bekunjung sesekali,” ucap Lidia, lantas memeluk erat pria paruh baya yang telah sangat membantunya selama ini tersebut.
“Sama-sama Lidia, kau tidak perlu memaksakan diri. Mungkin aku yang akan sering berkunjung karena merindukanmu,” jawab Tuan utusan ambil mengusap punggung Lidia yang terus memeluk erat tubuhnya ini.
Setelah perpisahan dengan Tuan Utusan selesai, Lidia langsung dihadapkan oleh semua tugas-tugas yang harus ia lakukan mulai hari ini. Ia harus mulai mengurus dari bisnis furnitur yang memiliki banyak cabang, sampai bisnis persewaan gedung-gedung besar yang tersebar di beberapa kota. Tidak lupa perusahaan yang menjadi prioritasnya kini, pengelolaan tambang batu bara. Banyak sekali orang yang mengincar kedudukan sebagai CEO di perusahaan ini, meskipun sudah jelas bahwa segala hak hanya dimiliki oleh Lidia saja. Sebab, pendirinya hanyalah dua orang, yaitu kedua orangtua Lidia. Didukung dengan wasiat kedua orangtua yang mengatakan akan menyerahkan kedudukan CEO hanya kepada putrinya seorang.
Baru saja hari pertama mengemban tugas menjadi CEO perusahaannya ini, ia langsung diberi penjelasan jadwal untuk hari ini. Bahkan malam nanti ada satu pertemuan penting untuk penanaman modal ke perusahaan yang dulu katanya pernah membantu perusahaan saat awal-awal pengembangan. Hari pertama saja sudah ada meeting, hal ini sudah membuat Lidia menghembuskan napas.
Tempat dan waktu meeting telah ditentukan, Lidia ditemani oleh kira, sekretarisnya. Hanya perlu berangkat menuju tempat tersebut saja. Bahkan kendaraan dan sopir telah di siapkan oleh perusahaan.
Tak lama, sampailah mereka di hotel Sorgio, tempat meeting pertama mereka hari ini. Mereka pun langsung masuk menuju aula yang telah terdapat beberapa orang yang duduk di meja putih melingkar dan di bagian ujung sana terdapat layar proyektor besar menggantung. Entah karena gugup atau apa, saat ini Lidia ingin sekali pergi ke kamar kecil. Ia pun menyuruh Kira untuk masuk terlebih dahulu.
Setelah bertanya ke petugas hotel di mana letak kamar kecil tadi, Lidia tetap tidak menemukan di mana sebenarnya kamar mandi hotel ini berada. Ia malah tersasar masuk ke sebuah ruangan beukuran cukup luas yang di dalam sana tedapat beberapa pintu lagi. Namun, saat berjalan tergesa untuk mengejar waktu, Lidia tanpa sengaja menyenggol beberapa botol di atas meja besar yang telah tertata rapi. Ia pun segera memungut semua botol tersebut dari lantai.
Hingga tiba-tiba, ada suara dua orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Dari bawah meja, Lidia dapat melihat dengan sangat jelas bahwa mereka saling bertarung. Mereka saling adu jotos dan mencoba untuk saling menyakiti satu sama lain. Ada salah satu dari mereka yang Lidia kenali, dia adalah sekretaris CEO dari perusahaan yang akan ia tanami modal pada meeting kali ini. Lidia pun sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Hingga tak lama sekretaris tersebut tumbang, lawannya pun segera melumpuhkannya dengan menyuntikkan sesuatu pada tubuh lawannya. Lidia yang sangat kaget itu pun hanya bisa membelalakkan mata dan tanpa sadar berdiri sambil menutup mulutnya.Lidia terus menatap kejadian di depannya dengan raut tak percaya, tubuhnya kaku. Ia tak pernah melihat pembunuhan secara langsung tepat di depan matanya. Setelah perbuatannya selesai, pembunuh tersebut menekan earpeace yang terpasang di telinganya.“Tugas selesai. Ruang rapat nomor 199,” ucap pria tersebut kepada orang di sebrang sana. Setelah itu ia menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan.Setelah beberapa saat, pembunuh tersebut pun kaget, menyadari bahwa di ruangan tesebut ternyata masih ada orang selain dirinya. Dengan refleks, ia menarik tangan Lidia untuk segera keluar dari ruangan tersebut menuju sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan oleh pembunuh tersebut
“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.“Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.“Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.“Kau sendiri, kenapa bi
Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.&
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela
Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabra
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t
“Gio?..” batin Lidia.Setelah melakukan kesalahan tersebut, Gio pun langsung menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Lidia yang melihat keberadaan Gio di kantornya ini pun sedikit merasa terkejut. Tak disangka, setelah bertahun-tahun ia bertemu kembali dengan seseorang yang sempat membuatnya kesulitan di masa SMA dahulu. Apalagi dengan kalimat yang sama sekali belum pernah ia dengarkan sebelumnya yaitu, “Maaf.”“Tidak ap..”Belum selesai Lidia menjawab permintaan maaf dari penabraknya tersebut, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil Gio dari arah belakang.“Gio! Surat proposal yang kuminta buatkan kemarin sudah selesai?” tanya wanita yang Lidia lihat tadi ikut rapat bersamanya.“Sudah, Bu,” jawab Gio langsung pergi menuju ke arah wanita yang memanggilnya tadi.Setelah itu, Lidia dan Kira pun memutuskan untuk langsung menuju ruangannya saja untuk beristirahat sebentar s
“Untuk semua perbuatanmu dulu, aku juga sudah memaafkan itu,” ucap Lidia tulus.Gio yang merasa makin bingung dengan perkataan Lidia barusan hanya mengerutkan keningnya.“Halo, lama tidak bertemu, Gio!” sapa Lidia dengan tawa yang tertahan.Sedangkan Gio, kini masih tampak bingung dengan apa yang dikatakan wanita di hadapannya dari tadi. Ia melihat Lidia sambil terus berpikir dan berusaha mengingat-ingat. Hingga tak lama kemudian Gio pun terkejut sambil membelalakkan kedua matanya.“Apa, Lidia? Tidak mungkin..” ucap Gio dengan nada kaget dan rasa tidak percayanya.Sedangkan Lidia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu dan kedua alis matanya saja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lidia sambil terus menahan tawanya.“Aku baik, astaga... Kau sendiri bagaimana?” tanya Gio kembali masih dengan nada tidak percaya.“Aku juga baik.”“Sejak kelulusan hari itu