Kulangkahkan kaki menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Jam memang sudah menunjukkan pukul 17.30, yang artinya sebagian banyak karyawan sudah pulang, yang tersisa hanya beberapa karyawan yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku sendiri memang belum pulang karena harus menyelesaikan laporan yang sempat terhenti pengerjaannya karena pergi ke roof top. Bukan sebuah kesalahan pergi ke sana, karena aku memang membutuhkan ketenangan dan menghindar dari Pricilia. Namun, keputusan itu nyatanya kurang tepat mengingat apa yang terjadi di sana. “Kenapa?” tanya seorang pria yang membuatku menoleh ke arahnya, dan dia adalah Aries. “Setelah menghilang selama beberapa saat dan sekarang muka ditekuk seperti itu.” Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan menghitung waktu yang aku habiskan percuma. Tidak, bukan berada di roof top karena di sana hanya sampai gadis itu ditarik turun dan mendengar sedikit ungkapan hati Mr. Thomas, tapi setelah itu aku memi
“Biar saya antar,” kata Mr. Thomas saat kami sudah berada di depan kantor dan kali ini sukses membuat kilasan-kilasan masa lalu kembali menghantui. Aku mundur selangkah dan tubuh mulai bergetar hebat. Ingin berteriak tapi lidah ini kelu. Ada bagian di dalam diri yang menolak kisah berulang, suatu ketakutan yang berusaha kuhindari sejak dulu. Pandangan sedikit kabur karena air mata yang siap meluncur tanpa tahu malu. Tangan berusaha menggapai apa pun yang berada di dekatku untuk dijadikan pegangan agar tubuh ini tidak ambruk. “Ayo!” ucap Mr. Thomas saat sebuah sedan berwarna hitam sudah terparkir tepat di hadapan kami. “Ti ... tidak perlu, Pak,” jawabku setelah berusaha untuk mengendalikan diri agar terlihat biasa di hadapan sang bos. “Ini sudah malam dan saya tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri,” ucapnya sambil membukakan pintu penumpang, “kamu tidak membawa kendaraan bukan?” Antara takut dan kaget, itulah rasa
Angin malam berembus dengan begitu perlahan menyapa kemeja yang sedari pagu kukenakan. Blazer yang menjadi lapisan terluar telah kulepaskan sejak beberapa saat lalu. Air mata masih saja mengalir tanpa mau ditahan meski hanya sejenak saja. Langkah kaki mulai sempoyongan bagai orang mabuk, tapi terus kupaksa untuk melewati jalanan yang mulai sepi. Malam begini cukup sulit untuk mendapatkan taksi, tapi aku juga tidak mungkin menerima tawaran Aries, ini bukan aib tapi aku tidak ingin orang lain mengetahui semuanya. “Taksi, Mbak?” tawar seseorang yang baru saja kulewati. Sejenak aku melihat tampilannya dari atas ke bawah, kemudian melirik sebuah mobil sedan yang terparkir di sampingnya. Keadaanku memang sedang tidak baik-baik saja tapi otak ini masih bisa berpikir secara jernih, tidak ada taksi tanpa keterangan. Jangan bilang soal taksi online, karena aku tidak memesannya jadi tidak mungkin tiba-tiba ada menawarkan diri. Tanpa mengindahkan perkataan lelaki i
“Aku di mana?” tanyaku saat mulai membuka mata dan menyadari jika kini tidak berada di kamarku. Sebuah kamar bercat putih dengan beberapa pernak-pernik yang sangat feminin seperti gorden bergambar bunga, hiasan dinding yang juga bercorak bunga. Beberapa kali mengedarkan pandangan—melihat apakah ada orang di sini—tapi nihil karena tidak ada siapa pun selain diriku. Kubereskan rambut dan tempat tidur sebelum akhirnya melangkah ke luar kamar mencari sang pemilik kamar. Saat ke luar, terpampang sebuah rumah yang cukup mewah dengan interior bergaya classic, sangat berbeda dengan kamar yang begitu modern. Aku kembali mengedarkan pandangan tapi masih saja tidak menemukan siapa-siapa hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai dasar rumah. Tangga kayu membentuk setengah lingkaran menjadi penghubung lantai dasar dan lantai dua rumah. Perlahan aku melewatinya bagai seorang pencuri yang takut ketahuan si empunya rumah. “Kamu tahukan siapa dia?” Terdengar suar
Mama, wanita yang sejatinya adalah orang yang akan selalu memberikan apa pun yang diinginkan anak-anaknya menjadi sebuah ketakutan tersendiri. Bagian dari masa lalu yang ingin dihindari tapi aku sepenuhnya sadar bahwa tidak akan bisa melakukannya. Mama masih menjadi orang masa kini dan akan selalu ada dalam hidup sekeras apa pun aku menghindar. Bertahun memutuskan tidak pulang, tapi wanita yang telah melahirkanku itu terus datang mengusik meski kadang hanya bertemu beberapa jam saja.Kuenyahkan semua pemikiran mengenai mama dan memilih untuk menatap mobil yang hampir lima tahun tidak kugunakan. Sejak kejadian itu, aku memang memilih untuk menggunakan kendaraan umum, daripada di tengah jalan semua masa lalu itu hadir hingga akhirnya menyebabkan kecelakaan. Baik jika hanya aku saja yang mati, bagaimana jika orang lain yang mati sedang aku selamat? Andai itu terjadi, maka seumur hidup aku tidak akan bisa memaafkan diri sendiri.“Non, mau ...,” kata
“Non,” kata Mbok Nah membuatku kembali dari bayangan masa lalu yang indah tapi menjadi awal petaka dari semuanya. Hal yang seharusnya menghilang dari ingatan tapi sudah bertahun masih juga bersemayam dengan indahnya. “Ah, ada apa, Mbok?” tanyaku sambil melepaskan gantungan dari tempatnya semula. “Non melamun ya tadi?” tanya Mbok Nah dengan begitu perhatian. Perempuan berusia setengah abad itu memang sangat perhatian, tidak jarang dia memberlakukanku seperti anak kecil. Buatku, dia seperti ibu yang sesungguhnya jika dibanding mama. “Tidak apa, Mbok,” ucapku sambil tersenyum agar dia tidak lagi khawatir dengan keadaanku, “ini tolong dibuang ya, Mbok!” Membuang semua benda yang akan mengingatkan kepadanya adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Aku sadar betul, semua yang terhubung dengan dia adalah sebuah petaka dan harus dienyahkan dari hidup. Dia yang menyuguhkan cinta begitu indah, tapi dia pula yang memberikan luka begitu dalam hing
Aku menarik napas dalam saat tiba-tiba ponsel Mr. Thomas berbunyi, setidaknya kali ini terselamatkan dari pertanyaan yang sangat tidak penting. Mr. Thomas berlalu dari ruang rapat setelah menjawab teleponnya meninggalkanku seorang diri. Beberapa kali kuhirup napas dalam hanya agar diri ini sedikit lebih tenang. Sikap Mr. Thomas tadi membuatku sedikit takut, kilasan masa lalu pun kembali menyapa hingga membuat tubuh bergetar dan keringat mulai bercucuran.“Kenapa obat itu tidak berpengaruh apa-apa sekarang? “ tanyaku bermonolog. “Bukankah seharusnya membuatku lebih tenang dan bisa mengendalikan diri?”Kuremas kertas yang ada di hadapan tanpa peduli apakah itu bagian dari file penting atau hanya sebuah kertas biasa. Saat ini yang aku butuh kan adalah pelepasan dari semua keadaan yang menyelimuti diri. Aku terus meremasnya hingga terdengar suara robek tapi tidak dihiraukan. Rasa yang menyelimuti jiwa perlahan mulai membaik hingga akhirn
Suasana kantin siang ini sama seperti biasanya, ramai dan penuh dengan para karyawan yang sedang menyantap makan siang mereka sebagai bekal tenaga untuk kembali bekerja. Aku duduk berdua dengan Pricilia, dan obrolan kami seperti biasanya mengenai Aries. Bahasan mengenai lelaki yang satu itu tidak akan pernah ada habisnya jika bersama Pricilia. Mulai dari outfit yang dipakai hingga kegiatan Aries akan dia bicarakan secara detail, dan aku jelas sudah bosan membicarakan hal itu. Kenapa? Terlalu sering dan Aries sendiri tidak pernah merespons Pricilia padahal dia tahu kalau gadis itu menyukainya.Berulang kali aku sudah mengatakan kepada Pricilia mengenai perasaan laki-laki yang satu itu, tapi dia tidak peduli. Menurutnya, selama janur kuning belum melengkung maka masih bisa diusahakan. Padahal, mana ada janur kuning melengkung di kediaman mempelai laki-laki, Pricilia memang terkadang tidak beres pemikirannya. Namun, di balik sifatnya yang ceplas-ceplos dan terkadang sepert