Share

Bab 3

“Kamu kenapa, Gab?” tanya Mr. Thomas sambil mengelus pipiku hingga membuat bibir ini semakin bergetar dan memundurkan langkah. “Kamu tidak apa-apa, Gab?”

Kata-kata yang keluar dari bibir Mr. Thomas seperti sebuah sembilu mengoyak jiwa tanpa ampun. Dada berdegup dengan begitu kencang. Bulir-bulir bening tanpa terasa sudah membasahi pipi. Kaki semakin kumundurkan untuk menjaga jarak dengan sang pimpinan perusahaan. Entah apalagi yang ada dalam pikiranku saat ini, yang jelas rasa takut kembali menyelimuti diri.

“Pergi!” teriakku sambil menutup telinga dan membalikkan badan. Bayang-bayang kelam kembali berjalan di dalam otak bagai sebuah film mengerikan. Semakin aku menutup mata, maka bayangan itu terlihat semakin jelas. “Aku tidak ingin lagi melihat semuanya, pergi!”

Kurasakan sebuah pelukan erat dan sesekali kecupan mendarat di pucuk kepala. Tidak peduli siapa yang melakukan hal itu, yang jelas, saat ini otakku sedang sangat kacau. Tubuh masih bergetar hebat dan bibir masih meracau tanpa sadar. 

“Gab, are you ok?” Sebuah suara terdengar tepat di telinga kiri dan seketika aku melihat ke asal suara. Wajah Mr. Thomas begitu dekat bahkan hampir menempelkan bibirnya di pipiku. Sesekali kurasakan sebuah usapan di tangan seolah ingin membuat tenang. “Kamu baik-baik saja, Gab?”

“Mr. Thomas ... An ... Anda ...,” kataku terbata.

“Kamu kenapa? Bukankah langit terlalu indah, tidak mungkinkan hal itu membuatmu takut?” tanyanya yang masih memelukku cukup erat.

“I ... iya,” jawabku terbata sambil melepaskan diri dari dekapannya. Tubuh ini masih bergetar, ingin pergi dan menghindar tapi kaki terasa kaku hingga tak mampu digerakkan. Aku hanya mampu menatap Mr. Thomas yang masih berada di tempatnya semula sambil menyunggingkan seulas senyum. Dia terlihat sangat berbeda kali ini, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang beda, hanya hati yang mengatakan hal itu.

“Lalu kenapa kamu gemetar seperti itu, Gab?” tanya Mr. Thomas lagi dan membuatku kelimpungan mencari alasan yang tepat. Menceritakan semua bukanlah jawaban terbaik atas pertanyaan sang bos, terlebih, Aries yang termasuk orang paling peduli kepadaku saja tidak tahu mengenai hal itu, bagaimana mungkin aku mengatakan semuanya kepada Mr. Thomas?

Mataku menatap sisi lain hingga terhenti pada sebuah gedung yang berada tepat di samping kantor. Di sana berdiri seorang perempuan yang tengah berusaha menaiki pagar yang ada di sana. “Hai ... Mbak, turun!” teriakku sambil berlari ke tepi roof top yang entah bagaimana kaki ini tiba-tiba berhasil bergerak dengan begitu cepat.

“Sial!” terdengar Mr. Thomas berteriak dan kini dapat kurasakan tubuh tegap itu tepat berada di belakang tubuhku, bahkan embus napasnya terasa hangat membelai pucuk kepala. “Jangan macam-macam kamu, Nona, hidupmu tidak sepelik yang kamu pikirkan, semua ada jalan keluarnya!”

“Telepon security gedung sebelah, Pak!” kataku memberi perintah kemudian berusaha berteriak memanggil perempuan yang berada di seberang meski aku tak yakin dia akan mendengar suaraku.

Teriakan demi teriakan aku lakukan, tapi perempuan itu tidak juga menghentikan usahanya. Sesekali kaki perempuan itu terpeleset saat menaiki pagar hingga membuatku berteriak. Mr. Thomas pun turut berteriak, dari suaranya dia seperti mengkhawatirkan perempuan itu. Kami tidak mengenalnya, tapi menolong sesama bukankah menjadi kewajiban kita semua? Lagi pula, seandainya dia sampai melakukan hal yang tidak diinginkan, maka sudah barang pasti kami akan diintrogasi pihak kepolisian, dan urusannya akan ribet.

Tidak berapa lama kulihat  beberapa security dan seorang pria berpakaian rapi berada di sana. Teriakan-teriakan tidak jelas mulai terdengar yang kuperkirakan mereka meminta perempuan itu untuk segera turun. Sedikit lega saat melihat mereka datang, tapi hal itu tidak sepenuhnya membuat jantung berdegup normal karena perempuan itu belum juga menghentikan aksinya. Perlahan tapi pasti, para security itu mulai mendekat hingga akhirnya dapat menggapai tubuh sang perempuan dan menariknya. Kali ini, barulah kumerasakan lega dan berkeyakinan jika perempuan itu akan aman dan bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik—semoga. 

“Manusia, jika sudah dihampiri masalah yang cukup berat visa membuat otaknya berpikiran sempit,” kata Mr. Thomas yang kini sudah berada di sampingku, “padahal, masalah tidak akan selesai hanya dengan bertemu dengan kematian.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya membuatku menoleh ke arah pria yang selalu terlihat rapi setiap saat. Matanya tengah menatap perempuan yang terus memberontak—memoghon—untuk dilepaskan dari cengkeraman para security. Miris melihat keadaannya, tapi itu menjadi jalan terbaik daripada dia melompat dan menggemparkan semua orang. Tangan yang biasa dia gunakan untuk menunjukkan sesuatu kini tersembunyi di kantong celana. Ketenangan yang biasanya terlihat dalam setiap tindakan, entah kenapa kini seolah hilang ditelan keadaan.

“Betulkan, Miss. Armand, mati bukan penyelesaian dari semua masalah yang menyapa?” tanyanya yang entah kenapa kembali memanggil dengan sebutan yang terlalu formal.

Kutelan air liur hanya untuk membasahi kerongkongan yang terasa sangat kering. Otak berpikir mencari jawaban terbaik yang bisa aku ungkapkan. Berpikir bukan berarti tidak setuju dengan pendapatnya, hanya saja aku memerlukan pemilihan kata yang tepat. Mr. Thomas adalah orang yang sangat cepat tangkap dan mampu membalikkan setiap kata yang orang ucapkan jika kata-kata itu tidak dipilih dengan baik.

“Ehm ....” Aku berdehem sejenak sebelum akhirnya berkata, “Mati memang bukan penyelesaian terbaik dari masalah yang menyapa. Ada baiknya masalah itu dihadapi dengan penuh ketegaran, keyakinan, dan ketenangan, maka niscaya semua masalah itu akan mendapat jalan keluar terbaik.”

“Benar.”

“Namun, sebagian orang berpikir bahwa dengan mati maka semua masalah selesai,” ucapku sambil menatap perempuan itu yang kini mulai menghilang di balik pintu roof top gedung sebelah, “ya, masalah itu memang tidak akan lagi menghampirinya karena dia sudah tak bernapas, tapi tidak demikian dengan orang yang ditinggalkan. Mereka harus menyelesaikan semua masalah yang ditimbulkan si orang yang mengakhiri hidupnya.”

“Aku suka dengan pemikiranmu, Miss. Armand,” kata Mr. Thomas dan kini kurasakan sebuah tangan sudah tersampir di bahu, “orang-orang yang ditinggalkan akan menyelesaikan masalah dari dia yang pergi. Bukan membalas dendam, tapi lebih kepada mengharap sebuah ketenangan bagi orang yang sudah mati, karena dengan menyelesaikan masalah itu, maka akan membuat semua selesai dan impas.”

"Mr. Thomas sepertinya sedang kerasukan atau ada sebuah guncangan besar karena sehari-harinya dia tak pernah bersikap demikian, bahkan sangat irit dalam bicara kecuali saat memberi perintah dan menjelaskan beberapa hal. Namun hari ini dia begitu banyak bicara dan semuanya mengenai hal-hal yang tidak perlu dibicarakan dengan seorang bawahan.

Apakah dia memiliki pengalaman buruk hingga membuatnya bersikap demikian? Sehebat apa pengalamannya hingga membuat seseorang bersikap seperti saat ini, cuek dan dingin," batinku sambil menatap Pak Bos yang masih menatap lurus ke depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status