Share

Bab 4

Kulangkahkan kaki menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Jam memang sudah menunjukkan pukul 17.30, yang artinya sebagian banyak karyawan sudah pulang, yang tersisa hanya beberapa karyawan yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku sendiri memang belum pulang karena harus menyelesaikan laporan yang sempat terhenti pengerjaannya karena pergi ke roof top. Bukan sebuah kesalahan pergi ke sana, karena aku memang membutuhkan ketenangan dan menghindar dari Pricilia. Namun, keputusan itu nyatanya kurang tepat mengingat apa yang terjadi di sana.

“Kenapa?” tanya seorang pria yang membuatku menoleh ke arahnya, dan dia adalah Aries. “Setelah menghilang selama beberapa saat dan sekarang muka ditekuk seperti itu.”

Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan menghitung waktu yang aku habiskan percuma. Tidak, bukan berada di roof top karena di sana hanya sampai gadis itu ditarik turun dan mendengar sedikit ungkapan hati Mr. Thomas, tapi setelah itu aku memilih untuk melipir ke sebuah caffe yang ada di seberang kantor. Ketenangan, hanya itu yang aku butuhkan tadi. Bagaimana pun, perkataan Mr. Thomas sangat mengganggu pikiran. 

“Malah diem,” kata Aries sambil menjentikkan jari di depan wajah.

“Hhhmm ... tadi aku butuh secangkir kopi, jadi ke caffe seberang,” jawabku sambil tersenyum.

Aries sedikit mengerutkan dahi sebelum akhirnya berkata, “Di kantor gak ada kopi ya, Gab? Apa karena di sana jauh lebih enak?”

“You know my favorite,” kataku sambil berjalan menjauh untuk kembali ke ruanganku dan menyelesaikan semua pekerjaan. Besok ada meeting bersama Mr. Thomas dan beberapa client, jika laporan serta pekerjaan hari ini tidak selesai, maka sudah barang pasti menjadi sasaran kemarahan sang big boss.

“Gab, ikut gak nanti?” tanya Aries sambil berteriak dan aku hanya menjawab menggunakan lambaian tangan jika aku tak ikut mereka. “Ok, aku pun gak ikut kalau gitu.”

Seperti yang dikatakan Pricilia, Aries tidak akan pergi jika aku tidak pergi. Sempat bertanya alasannya kepada Aries, tapi dia hanya tersenyum. Aku sendiri tidak ingin terlalu jauh ikut campur urusan mereka dengan bertanya secara detail.

Aku masih berkutat dengan beberapa file saat tiba-tiba sebuah ketukan mengagetkan. Sesosok lelaki bertubuh tinggi dan tegap tengah berdiri di ambang pintu. Senyuman tersungging dari bibir yang memang terkenal dengan keramahannya. Biasanya bertemu dengan dia tidak akan membawa efek apa-apa bagiku, tapi kali ini berbeda. Setelah kejadian tadi siang, ada sedikit takut menyapa dalam jiwa hingga membuatku menarik napas beberapa kali.

Mr. Thomas, lelaki yang kusangka sudah meninggalkan kantor sejak tadi, tapi nyatanya pria itu justru sedang berjalan dengan begitu santai ke arahku. Ingin kabur tapi tidak memiliki alasan tepat untuk melakukannya. Menghindar pun sama saja tak akan bisa.

“Ehm ....” Sebuah deheman terdengar saat dia mulai menarik kursi yang ada di hadapanku kemudian mendudukinya. Apakah dia minta izin? Bukan seperti itu cara tepat minta izin, tapi sudahlah toh semua yang ada di kantor ini adalah miliknya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku yang masih berusaha tenang meski hati ini sudah meronta tidak karuan dan bibir rasanya ingin menjerit frustasi.

“Ini sudah malam, kenapa belum pulang?” tanyanya sok perhatian.

Kutatap jam yang melingkar di tangan yang menunjukkan angka delapan. Kemudian kuedarkan pandangan ke sekitar ruanganku, lampu masih nyala menandakan ada beberapa karyawan yang belum pulang, lalu kenapa sang CEO memutuskan untuk mampir ke sini? Padahal biasanya jika ada karyawan yang lembur, dia tak akan menghampiri secara spesial seperti saat ini. Dia paling sekedar menyapa sambil lalu—mungkin hanya sopan santun saja.

“Iya, Pak, masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan darinya. Andai boleh jujur, kehadirannya justru membuat pekerjaanku semakin lama selesai karena harus menemaninya ngobrol dan jelas itu tidak bisa dilakukan sambil bekerja. ‘Bos tidak tahu diri’, itu kata yang ingin aku ucapkan andai tidak sadar akan posisiku.

“Sudah, selesaikan besok saja, saya tidak ingin kamu sakit,” ucapnya yang membuatku terdiam seketika.

Siapa pun, tolong cubit aku untuk memastikan jika Mr. Thomas barusan mengkhawatirkanku. Jika dia hanya khawatir sebagai atasan, sebelumnya tak pernah ada kata seperti itu, tapi kali ini ... rasanya bagai mimpi buruk dan membuatku mual seketika. Sikapnya sungguh berbeda dengan kejadian di roof top tadi siang, dia seolah memiliki dua kepribadian.

“Ehm ... maksudnya, saya tidak ingin salah satu pekerja terbaik saya sakit,” ralatnya yang kini terlihat mengalihkan pandangan, “terlebih besok kita ada meeting bersama di mana semuanya tergantung dengan presentasimu dan saya jelas tidak ingin mengalami hal buruk setelah hal buruk lainnya.”

Aku semakin mengerutkan dahi saat mendengar alasannya. Terdengar begitu aneh dan sangat tidak biasa. Tiga tahun bekerja bersama di perusahaan ini, baru sekarang dia begitu perhatian—bahkan sangat berlebihan. Kutarik napas panjang sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan—hanya hal itu yang bisa kulakukan untuk menetralisir semua rasa yang mulai membuat tangan bergetar.

“Jadi, sebaiknya kamu pulang dan menyelesaikan semuanya besok,” ucapnya sambil menatapku.

Aku berdehem sejenak hanya untuk menetralkan suara yang kuyakini sedikit bergetar jika tak melakukannya. “Sebentar lagi saya pulang, Pak,” ucapku sambil kembali menatap layar datar yang masih menyala dan menunjukkan barisan kata, “jika Bapak tidak mengajak saya mengobrol terus.”

“Ah, maaf,” ucapnya, “silakan dilanjut!”

Aku kembali mengerjakan pekerjaan yang tadi sempat terhenti, tapi kini berada di bawah pengawasan sang bos. Mr. Thomas masih saja duduk di hadapanku dan tidak menunjukkan sedikit pun akan pergi. Dia memang hanya diam, tapi rasanya tidak nyaman bekerja sambil diawasi seperti ini. Konsentrasi sedikit buyar karena sesekali melihat ke arahnya yang masih saja menatapku dengan seksama.

“Maaf, ada apa Bapak sampai mengawasi saya bekerja?” tanyaku yang mulai risih karena sudah tiga puluh menit Mr. Thomas tidak juga beranjak dari hadapanku.

Tidak ada jawaban yang kudapatkan, dia benar-benar tidak mengajak ngobrol—mungkin agar pekerjaanku cepat selesai. Namun, hal itu justru membuat konsentrasiku semakin lama semakin hilang, aku adalah tipe orang yang suka bekerja dalam keheningan dan sendiri, tidak bisa jika diawasi. Dulu memang tidak seperti ini, tapi sejak kejadian itu, kesendirian menjadi hal yang selalu aku sukai.

“Saya tidak sedang mengawasimu, Gabriela Armand,” ucap Mr. Thomas sambil menyunggingkan seulas senyum.

“Lalu, kenapa Bapak duduk di hadapan saya dan memerhatikan saya yang sedang bekerja? Jika Anda takut saya akan melakukan kesalahan, tenang saja karena saya adalah orang yang profesional.”

“Saya percaya dengan profesionalisme kerjamu. Saya di sini bukan mengawasi, hanya menemanimu,” ucapnya sambil mengambil pulpen berwarna gold yang ada di atas meja, “bukankah kamu sangat suka jika ditemani saat lembur?”

Kata-kata terakhirnya membuatku terdiam dan tidak percaya dengan hal itu. Bagaimana dia bisa tahu mengenai sesuatu yang berusaha kulupakan dan menghilangkannya dari hidup ini? Siapa sesungguhnya Mr. Thomas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status