Suara sepatu memecah keheningan ruangan yang tertata dengan rapi. Tidak ada ketukan, tapi suara sepatu itu begitu nyata. Tanpa melihat ke arah orang yang memasuki ruang kerja, aku sudah tahu siapa pelakunya dan sangat tidak penting untuk memerhatikan orang itu. Pekerjaan yang sedikit menumpuk jauh lebih penting dibanding dia yang datang untuk hal sepele.
“Gab.” Suara lembut terdengar begitu jelas, tapi tetap tidak membuatku mengalihkan pandangan meski hanya sesaat. Fokusku tetap saja pada laptop yang menampilkan barisan huruf berisi rencana pemasaran produk yang tidak lama lagi akan segera launching. “Gab, nanti malam kita jalan yuk!”Aku tak menanggapinya, karena sedang diburu waktu. Tak ada waktu untuk menemaninya berbicara karena tidak puluh menit lagi Mr. Thomas meminta rencana pemasaran produk. Ini merupakan hidup dan mati karirku, jika sampai tidak tepat waktu, maka sudah dipastikan sang bos besar akan marah dan bisa menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi. Aku sendiri tentu saja tak mau membayangkan hal itu karena sekuat tenaga tak akan membiarkan hal itu terjadi.“Gabriela Armand, apakah kamu mendengar kata-kataku?” Sebuah teriakan keluar dari bibir wanita yang tadi masuk ke dalam ruangan kerja dan hanya kubalas dengan sebuah deheman. “Kamu keterlaluan, Gab!”Akhirnya, mau tak mau aku harus sesaat mengalihkan fokus dari laptop dan menatap wanita yang mengenakan baju berwarna navy. “Aku sedang kerja, Pricilia!”“Ya siapa yang bilang kalau kamu lagi melamun?” Pricilia memang sangat pintar menjawab setiap kata yang diucapkan orang lain. Namun, dia sering kali tidak bisa memahami kesibukan orang lain dan terkesan egois. “Aku juga tidak mau mengganggu waktu kerjamu! Aku hanya mengajakmu keluar nanti malam.”Berbicara dengan perempuan yang satu ini tak akan pernah selesai jika keinginannya belum dikabulkan. Namun kali ini aku memang tak bisa pergi bersamanya meski hanya untuk makan malam, pikiranku sedang kacau dan butuh ketenangan, bukan hingar bingar apalagi bergosip. Aku hanya ingin menyendiri dan mengobati luka ini seorang diri—sama seperti dulu. Kesendirian, memang selalu menjadi teman setia dan abadi bagi diriku di saat bayangan-bayangan menakutkan itu kembali menghantui.“Gab ....” Lagi dan lagi Pricilia mendesak sebuah jawaban yang seharusnya cukup dia pahami dari sikapku yang enggan menanggapi kata-katanya. Meski tahu sifatnya, terkadang aku malas untuk memberikan jawaban pasti karena akan berujung panjang.“Aku sibuk, jadi ga bisa pergi, Maaf,” ucapku tanpa mengalihkan fokus dari layar datar yang ada di hadapanku.“Come on, Gab, Aries gak akan mau pergi kalau kamu gak ikut.” Pricilia sedikit memelas dan hal tu menghancurkan semua konsentrasiku. Bukan rahasia umum jika Pricilia menyukai Aries dan selalu mengejarnya, tapi lelaki itu bahkan terkesan menghindar hingga akulah yang selalu menjadi korban dari semua usaha Pricilia untuk mengambil hati Aries.“Kali ini aku harus minta maaf sama kamu, Pri, aku benar-benar sibuk,” tolakku sambil menekan control S kemudian mematikan laptop dan beranjak dari tempat duduk ternyaman.Menghindar menjadi pilihan terbaik untuk saat ini, tak akan ada gunanya memohon atau bahkan mengemis agar Pricilia memahami keadaanku karena dia tak akan bisa melakukan hal itu. Pricilia adalah tipikal gadis egois dan jelas ingin menang sendiri dalam hal apa pun. Saat ini, aku sendiri sedang tidak dalam keadaan terbaik untuk meladeni semua tingkah kekanakannya. Kumelangkah menyusuri lorong kantor yang masih menunjukkan kesibukan beberapa pekerja, tidak semua memang karena masih ada yang menikmati waktu istirahat siang mereka. Mereka yang masih berkutat dengan pekerjaan adalah orang-orang yang tengah dituntut deadline, jika telat, maka sudah barang pasti surat pemecatan akan mampir ke meja mereka tanpa toleransi. Mr. Thomas, lelaki yang kini usianya menginjak angka 40 itu memang terkenal disiplin dan tidak memiliki belas kasihan. Seseorang yang mungkin dalam hidupnya hanya bekerja dan keuntungan, wajar jika dia kaya raya mengingat usahanya banyak dan pekerja keras.Saat lift terbuka, aku langsung masuk ke dalamnya dan memijit angka 24, lantai paling atas dari gedung ini. Tidak, tujuanku bukan kantor Mr. Thomas yang berada di lantai paling atas, melainkan roof top yang hanya bisa di akses dari lantai paling atas. Tempat terindah dan paling tenang untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang mulai menumpuk, terlebih setelah tadi kutinggal menangis selama beberapa saat. Meski masih jauh dari deadline, tapi lebih cepat lebih baik.“Gab.” Sebuah suara menghentikan langkah yang baru saja kupijakkan ke tangga pertama menuju roof top. Saat membalikkan badan, seorang pria berbadan tinggi dengan lengan kemeja digulung hingga sikut, rambut hitam yang sudah sedikit acak-acakan dan mata berwarna cokelat tengah menatapku. “Anda memanggil saya, Pak,” kataku yang kini sudah sepenuhnya menghadap ke arah lelaki paling berkuasa di perusahaan ini—Mr. Thomas.“Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil mengikis jarak yang ada di antara kami.“Ke roof top, Pak,” jawabku tanpa memalingkan wajah darinya.“Saya temani,” ucapnya yang membuatku terdiam bahkan untuk menarik napasmu terasa sulit. Bagaimana tidak, seorang Mr. Thomas tiba-tiba ingin menemaniku ke roof top. Bukan senang yang kurasakan saat ini, tapi khawatir dia membahas sesuatu yang sedang tidak ingin kubahas.“Ayo!” ucapnya yang kini sudah berada di tangga ketiga.“Ah ... iya, Pak,” ucapku yang kemudian mengikuti langkahnya.Hamparan langit biru biasanya akan memberi ketenangan bagiku, tapi kali ini justru terasa begitu menyesakkan. Bukan karena tak seindah biasanya, semua karena kehadiran Mr. Thomas yang entah ada angin apa tiba-tiba ingin ke roof top. Hak dia memang mau ke mana pun dan berada di mana pun, kantor-kantor dia, tapi kenapa harus ke roof top saat aku akan ke sini? Seolah tidak ada waktu lain untuk menikmati langit biru yang cerah ini.“Langit dengan semilir angin selalu membuat saya tenang dan bisa melupakan semua kepenatan hari dari berbagai tekanan kerja,” kata Mr. Thomas yang membuatku mundur beberapa langkah, “bukankah langit hari ini sangat indah, Miss. Armand?”Kata-kata terakhir Mr. Thomas membuatku semakin memundurkan badan, dia tidak pernah memanggil karyawan dengan sebutan keluarga, tapi kenapa saat ini melakukan hal itu? Ada yang tidak beres sudah pasti, tapi aku tak tahu apa itu. Dia seolah sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing sesuatu yang tidak ingin aku ingat meski hanya sekejap mata.“Miss. Armand,” panggilnya saat tidak ada jawaban sepatah kata pun keluar dari bibirku, “bukankah pemandangan dari sini sangat indah dan menenangkan hati?”Aku masih terpaku dan bibir ini mulai bergetar hebat, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Sedang Mr. Thomas masih menatap hamparan langit tanpa mengetahui bagaimana keadaanku saat ini. “Kamu menikmatinya kan, Gabriela Armand?” tanyanya sambil membalikkan badan hingga memperlihatkan senyuman yang tidak bisa kuartikan.“Kamu kenapa, Gab?” tanya Mr. Thomas sambil mengelus pipiku hingga membuat bibir ini semakin bergetar dan memundurkan langkah. “Kamu tidak apa-apa, Gab?” Kata-kata yang keluar dari bibir Mr. Thomas seperti sebuah sembilu mengoyak jiwa tanpa ampun. Dada berdegup dengan begitu kencang. Bulir-bulir bening tanpa terasa sudah membasahi pipi. Kaki semakin kumundurkan untuk menjaga jarak dengan sang pimpinan perusahaan. Entah apalagi yang ada dalam pikiranku saat ini, yang jelas rasa takut kembali menyelimuti diri. “Pergi!” teriakku sambil menutup telinga dan membalikkan badan. Bayang-bayang kelam kembali berjalan di dalam otak bagai sebuah film mengerikan. Semakin aku menutup mata, maka bayangan itu terlihat semakin jelas. “Aku tidak ingin lagi melihat semuanya, pergi!”Kurasakan sebuah pelukan erat dan sesekali kecupan mendarat di pucuk kepala. Tidak peduli siapa yang melakukan hal itu, yang jelas, saat ini otakku sedang sangat kacau. Tubuh masih bergetar h
Kulangkahkan kaki menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Jam memang sudah menunjukkan pukul 17.30, yang artinya sebagian banyak karyawan sudah pulang, yang tersisa hanya beberapa karyawan yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku sendiri memang belum pulang karena harus menyelesaikan laporan yang sempat terhenti pengerjaannya karena pergi ke roof top. Bukan sebuah kesalahan pergi ke sana, karena aku memang membutuhkan ketenangan dan menghindar dari Pricilia. Namun, keputusan itu nyatanya kurang tepat mengingat apa yang terjadi di sana. “Kenapa?” tanya seorang pria yang membuatku menoleh ke arahnya, dan dia adalah Aries. “Setelah menghilang selama beberapa saat dan sekarang muka ditekuk seperti itu.” Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan menghitung waktu yang aku habiskan percuma. Tidak, bukan berada di roof top karena di sana hanya sampai gadis itu ditarik turun dan mendengar sedikit ungkapan hati Mr. Thomas, tapi setelah itu aku memi
“Biar saya antar,” kata Mr. Thomas saat kami sudah berada di depan kantor dan kali ini sukses membuat kilasan-kilasan masa lalu kembali menghantui. Aku mundur selangkah dan tubuh mulai bergetar hebat. Ingin berteriak tapi lidah ini kelu. Ada bagian di dalam diri yang menolak kisah berulang, suatu ketakutan yang berusaha kuhindari sejak dulu. Pandangan sedikit kabur karena air mata yang siap meluncur tanpa tahu malu. Tangan berusaha menggapai apa pun yang berada di dekatku untuk dijadikan pegangan agar tubuh ini tidak ambruk. “Ayo!” ucap Mr. Thomas saat sebuah sedan berwarna hitam sudah terparkir tepat di hadapan kami. “Ti ... tidak perlu, Pak,” jawabku setelah berusaha untuk mengendalikan diri agar terlihat biasa di hadapan sang bos. “Ini sudah malam dan saya tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri,” ucapnya sambil membukakan pintu penumpang, “kamu tidak membawa kendaraan bukan?” Antara takut dan kaget, itulah rasa
Angin malam berembus dengan begitu perlahan menyapa kemeja yang sedari pagu kukenakan. Blazer yang menjadi lapisan terluar telah kulepaskan sejak beberapa saat lalu. Air mata masih saja mengalir tanpa mau ditahan meski hanya sejenak saja. Langkah kaki mulai sempoyongan bagai orang mabuk, tapi terus kupaksa untuk melewati jalanan yang mulai sepi. Malam begini cukup sulit untuk mendapatkan taksi, tapi aku juga tidak mungkin menerima tawaran Aries, ini bukan aib tapi aku tidak ingin orang lain mengetahui semuanya. “Taksi, Mbak?” tawar seseorang yang baru saja kulewati. Sejenak aku melihat tampilannya dari atas ke bawah, kemudian melirik sebuah mobil sedan yang terparkir di sampingnya. Keadaanku memang sedang tidak baik-baik saja tapi otak ini masih bisa berpikir secara jernih, tidak ada taksi tanpa keterangan. Jangan bilang soal taksi online, karena aku tidak memesannya jadi tidak mungkin tiba-tiba ada menawarkan diri. Tanpa mengindahkan perkataan lelaki i
“Aku di mana?” tanyaku saat mulai membuka mata dan menyadari jika kini tidak berada di kamarku. Sebuah kamar bercat putih dengan beberapa pernak-pernik yang sangat feminin seperti gorden bergambar bunga, hiasan dinding yang juga bercorak bunga. Beberapa kali mengedarkan pandangan—melihat apakah ada orang di sini—tapi nihil karena tidak ada siapa pun selain diriku. Kubereskan rambut dan tempat tidur sebelum akhirnya melangkah ke luar kamar mencari sang pemilik kamar. Saat ke luar, terpampang sebuah rumah yang cukup mewah dengan interior bergaya classic, sangat berbeda dengan kamar yang begitu modern. Aku kembali mengedarkan pandangan tapi masih saja tidak menemukan siapa-siapa hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai dasar rumah. Tangga kayu membentuk setengah lingkaran menjadi penghubung lantai dasar dan lantai dua rumah. Perlahan aku melewatinya bagai seorang pencuri yang takut ketahuan si empunya rumah. “Kamu tahukan siapa dia?” Terdengar suar
Mama, wanita yang sejatinya adalah orang yang akan selalu memberikan apa pun yang diinginkan anak-anaknya menjadi sebuah ketakutan tersendiri. Bagian dari masa lalu yang ingin dihindari tapi aku sepenuhnya sadar bahwa tidak akan bisa melakukannya. Mama masih menjadi orang masa kini dan akan selalu ada dalam hidup sekeras apa pun aku menghindar. Bertahun memutuskan tidak pulang, tapi wanita yang telah melahirkanku itu terus datang mengusik meski kadang hanya bertemu beberapa jam saja.Kuenyahkan semua pemikiran mengenai mama dan memilih untuk menatap mobil yang hampir lima tahun tidak kugunakan. Sejak kejadian itu, aku memang memilih untuk menggunakan kendaraan umum, daripada di tengah jalan semua masa lalu itu hadir hingga akhirnya menyebabkan kecelakaan. Baik jika hanya aku saja yang mati, bagaimana jika orang lain yang mati sedang aku selamat? Andai itu terjadi, maka seumur hidup aku tidak akan bisa memaafkan diri sendiri.“Non, mau ...,” kata
“Non,” kata Mbok Nah membuatku kembali dari bayangan masa lalu yang indah tapi menjadi awal petaka dari semuanya. Hal yang seharusnya menghilang dari ingatan tapi sudah bertahun masih juga bersemayam dengan indahnya. “Ah, ada apa, Mbok?” tanyaku sambil melepaskan gantungan dari tempatnya semula. “Non melamun ya tadi?” tanya Mbok Nah dengan begitu perhatian. Perempuan berusia setengah abad itu memang sangat perhatian, tidak jarang dia memberlakukanku seperti anak kecil. Buatku, dia seperti ibu yang sesungguhnya jika dibanding mama. “Tidak apa, Mbok,” ucapku sambil tersenyum agar dia tidak lagi khawatir dengan keadaanku, “ini tolong dibuang ya, Mbok!” Membuang semua benda yang akan mengingatkan kepadanya adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Aku sadar betul, semua yang terhubung dengan dia adalah sebuah petaka dan harus dienyahkan dari hidup. Dia yang menyuguhkan cinta begitu indah, tapi dia pula yang memberikan luka begitu dalam hing
Aku menarik napas dalam saat tiba-tiba ponsel Mr. Thomas berbunyi, setidaknya kali ini terselamatkan dari pertanyaan yang sangat tidak penting. Mr. Thomas berlalu dari ruang rapat setelah menjawab teleponnya meninggalkanku seorang diri. Beberapa kali kuhirup napas dalam hanya agar diri ini sedikit lebih tenang. Sikap Mr. Thomas tadi membuatku sedikit takut, kilasan masa lalu pun kembali menyapa hingga membuat tubuh bergetar dan keringat mulai bercucuran.“Kenapa obat itu tidak berpengaruh apa-apa sekarang? “ tanyaku bermonolog. “Bukankah seharusnya membuatku lebih tenang dan bisa mengendalikan diri?”Kuremas kertas yang ada di hadapan tanpa peduli apakah itu bagian dari file penting atau hanya sebuah kertas biasa. Saat ini yang aku butuh kan adalah pelepasan dari semua keadaan yang menyelimuti diri. Aku terus meremasnya hingga terdengar suara robek tapi tidak dihiraukan. Rasa yang menyelimuti jiwa perlahan mulai membaik hingga akhirn