Share

Bab 2

Suara sepatu memecah keheningan ruangan yang tertata dengan rapi. Tidak ada ketukan, tapi suara sepatu itu begitu nyata. Tanpa melihat ke arah orang yang memasuki ruang kerja, aku sudah tahu siapa pelakunya dan sangat tidak penting untuk memerhatikan orang itu. Pekerjaan yang sedikit menumpuk jauh lebih penting dibanding dia yang datang untuk hal sepele.

“Gab.” Suara lembut terdengar begitu jelas, tapi tetap tidak membuatku mengalihkan pandangan meski hanya sesaat. Fokusku tetap saja pada laptop yang menampilkan barisan huruf berisi rencana pemasaran produk yang tidak lama lagi akan segera launching. “Gab, nanti malam kita jalan yuk!”

Aku tak menanggapinya, karena sedang diburu waktu. Tak ada waktu untuk menemaninya berbicara karena tidak puluh menit lagi Mr. Thomas meminta rencana pemasaran produk. Ini merupakan hidup dan mati karirku, jika sampai tidak tepat waktu, maka sudah dipastikan sang bos besar akan marah dan bisa menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi. Aku sendiri tentu saja tak mau membayangkan hal itu karena sekuat tenaga tak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Gabriela Armand, apakah kamu mendengar kata-kataku?” Sebuah teriakan keluar dari bibir wanita yang tadi masuk ke dalam ruangan kerja dan hanya kubalas dengan sebuah deheman. “Kamu keterlaluan, Gab!”

Akhirnya, mau tak mau aku harus sesaat mengalihkan fokus dari laptop dan menatap wanita yang mengenakan baju berwarna navy. “Aku sedang kerja, Pricilia!”

“Ya siapa yang bilang kalau kamu lagi melamun?” Pricilia memang sangat pintar menjawab setiap kata yang diucapkan orang lain. Namun, dia sering kali tidak bisa memahami kesibukan orang lain dan terkesan egois. “Aku juga tidak mau mengganggu waktu kerjamu! Aku hanya mengajakmu keluar nanti malam.”

Berbicara dengan perempuan yang satu ini tak akan pernah selesai jika keinginannya belum dikabulkan. Namun kali ini aku memang tak bisa pergi bersamanya meski hanya untuk makan malam, pikiranku sedang kacau dan butuh ketenangan, bukan hingar bingar apalagi bergosip. Aku hanya ingin menyendiri dan mengobati luka ini seorang diri—sama seperti dulu. Kesendirian, memang selalu menjadi teman setia dan abadi bagi diriku di saat bayangan-bayangan menakutkan itu kembali menghantui.

“Gab ....” Lagi dan lagi Pricilia mendesak sebuah jawaban yang seharusnya cukup dia pahami dari sikapku yang enggan menanggapi kata-katanya. Meski tahu sifatnya, terkadang aku malas untuk memberikan jawaban pasti karena akan berujung panjang.

“Aku sibuk, jadi ga bisa pergi, Maaf,” ucapku tanpa mengalihkan fokus dari layar datar yang ada di hadapanku.

“Come on, Gab, Aries gak akan mau pergi kalau kamu gak ikut.” Pricilia sedikit memelas dan hal tu menghancurkan semua konsentrasiku. Bukan rahasia umum jika Pricilia menyukai Aries dan selalu mengejarnya, tapi lelaki itu bahkan terkesan menghindar hingga akulah yang selalu menjadi korban dari semua usaha Pricilia untuk mengambil hati Aries.

“Kali ini aku harus minta maaf sama kamu, Pri, aku benar-benar sibuk,” tolakku sambil menekan control S kemudian mematikan laptop dan beranjak dari tempat duduk ternyaman.

Menghindar menjadi pilihan terbaik untuk saat ini, tak akan ada gunanya memohon atau bahkan mengemis agar Pricilia memahami keadaanku karena dia tak akan bisa melakukan hal itu. Pricilia adalah tipikal gadis egois dan jelas ingin menang sendiri dalam hal apa pun. Saat ini, aku sendiri sedang tidak dalam keadaan terbaik untuk meladeni semua tingkah kekanakannya. 

Kumelangkah menyusuri lorong kantor yang masih menunjukkan kesibukan beberapa pekerja, tidak semua memang karena masih ada yang menikmati waktu istirahat siang mereka. Mereka yang masih berkutat dengan pekerjaan adalah orang-orang yang tengah dituntut deadline, jika telat, maka sudah barang pasti surat pemecatan akan mampir ke meja mereka tanpa toleransi. Mr. Thomas, lelaki yang kini usianya menginjak angka 40 itu memang terkenal disiplin dan tidak memiliki belas kasihan. Seseorang yang mungkin dalam hidupnya hanya bekerja dan keuntungan, wajar jika dia kaya raya mengingat usahanya banyak dan pekerja keras.

Saat lift terbuka, aku langsung masuk ke dalamnya dan memijit angka 24, lantai paling atas dari gedung ini. Tidak, tujuanku bukan kantor Mr. Thomas yang berada di lantai paling atas, melainkan roof top yang hanya bisa di akses dari lantai paling atas. Tempat terindah dan paling tenang untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang mulai menumpuk, terlebih setelah tadi kutinggal menangis selama beberapa saat. Meski masih jauh dari deadline, tapi lebih cepat lebih baik.

“Gab.” Sebuah suara menghentikan langkah yang baru saja kupijakkan ke tangga pertama menuju roof top. Saat membalikkan badan, seorang pria berbadan tinggi dengan lengan kemeja digulung hingga sikut, rambut hitam yang sudah sedikit acak-acakan dan mata berwarna cokelat tengah menatapku. 

“Anda memanggil saya, Pak,” kataku yang kini sudah sepenuhnya menghadap ke arah lelaki paling berkuasa di perusahaan ini—Mr. Thomas.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil mengikis jarak yang ada di antara kami.

“Ke roof top, Pak,” jawabku tanpa memalingkan wajah darinya.

“Saya temani,” ucapnya yang membuatku terdiam bahkan untuk menarik napasmu terasa sulit. Bagaimana tidak, seorang Mr. Thomas tiba-tiba ingin menemaniku ke roof top. Bukan senang yang kurasakan saat ini, tapi khawatir dia membahas sesuatu yang sedang tidak ingin kubahas.

“Ayo!” ucapnya yang kini sudah berada di tangga ketiga.

“Ah ... iya, Pak,” ucapku yang kemudian mengikuti langkahnya.

Hamparan langit biru biasanya akan memberi ketenangan bagiku, tapi kali ini justru terasa begitu menyesakkan. Bukan karena tak seindah biasanya, semua karena kehadiran Mr. Thomas yang entah ada angin apa tiba-tiba ingin ke roof top. Hak dia memang mau ke mana pun dan berada di mana pun, kantor-kantor dia, tapi kenapa harus ke roof top saat aku akan ke sini? Seolah tidak ada waktu lain untuk menikmati langit biru yang cerah ini.

“Langit dengan semilir angin selalu membuat saya tenang dan bisa melupakan semua kepenatan hari dari berbagai tekanan kerja,” kata Mr. Thomas yang membuatku mundur beberapa langkah, “bukankah langit hari ini sangat indah, Miss. Armand?”

Kata-kata terakhir Mr. Thomas membuatku semakin memundurkan badan, dia tidak pernah memanggil karyawan dengan sebutan keluarga, tapi kenapa saat ini melakukan hal itu? Ada yang tidak beres sudah pasti, tapi aku tak tahu apa itu. Dia seolah sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing sesuatu yang tidak ingin aku ingat meski hanya sekejap mata.

“Miss. Armand,” panggilnya saat tidak ada jawaban sepatah kata pun keluar dari bibirku, “bukankah pemandangan dari sini sangat indah dan menenangkan hati?”

Aku masih terpaku dan bibir ini mulai bergetar hebat, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Sedang Mr. Thomas masih menatap hamparan langit tanpa mengetahui bagaimana keadaanku saat ini. “Kamu menikmatinya kan, Gabriela Armand?” tanyanya sambil membalikkan badan hingga memperlihatkan senyuman yang tidak bisa kuartikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status