LOGINSembari memasang ekspresi gelisah, Nyonya Emilia Mondar-mandir tak tentu arah di hadapan Clara. Kelakuannya membuat Clara bingung sekaligus bertanya-tanya. "Ibu... Berhentilah bergerak," pinta Clara, yang lama-lama pusing mengikuti ke mana arah ibu mertuanya melangkah. Dengan gusar, Nyonya Emilia duduk di sofa yang berada di seberang Clara. "Ibu kenapa? Semenjak pulang dari rumah sakit, ibu terlihat tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Gisela? Apakah lukanya sangat parah? Kenapa dia tak kunjung pulang?" cecar Clara, mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini ia tahan. "Apakah Lukas tidak memberitahumu soal keadaan Gisela?" Bukannya menjawab, Nyonya Emilia justru balik bertanya. Clara mengerucutkan bibirnya. "Lukas sudah memberitahuku. Tapi... Kenapa Ibu terlihat tidak tenang? Bahkan Ibu kehilangan nafsu makan Ibu... Apakah Ibu mengkhawatirkan Gisela?" Dengan cepat Nyonya Emilia menyangkal jika dirinya mengkhawatirkan Gisela. Ia justru senang karena orang yang pa
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya. Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Gisela meringis, napasnya tercekat. "Aku.... Masih hidup?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian. Dari sudut pandang terbatas, Gisela bisa melihat seseorang du
3 tahun lalu. Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa. Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana. Wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban. Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah. "Lekas selamatkan Tuan Marco!" perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan. Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati pria muda itu. Dengan perlahan, Gisela membuka seragam yang dikenakan Marco, lalu mulai mengobati luka yang terpajang di tubuh s
"Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?" ledek Nela. "Itu karena... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu," bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu. "Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?" Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar. "Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco," timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu raksasa saat kedua mataku melihat M
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku. Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman. Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi. Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta. Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku. Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat. Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku. "Ibu, serahkan tamu undangku, kepadaku," pinta Clara, bersuara lembut.
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. "Ibu... Tidak melihat Angelia, ya?" tanyaku, sekali lagi. "Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi," jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam. Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah? "Jadi, Ibu telah menegurnya? Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu," timpalku, bersyukur. "Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu," tegas Nyonya Emilia, masih jijik denganku. Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini. "Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu." Nyonya Emilia mengancamku. "Ibu... Aku tidak akan pe






![MY CEO [Hate And Love]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
