“Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?,” ledek Nela. “Itu karena ... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu,” bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu.“Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?”Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar.“Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco,” timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik.
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku.Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman.Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi.Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta.Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku.Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat.Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku.“Ibu ... Serahkan tamu undangku, kepadaku,” pinta Clara, bersuara lembut. Den
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.“Ibu ... Tidak melihat Angelia, ya?” tanyaku, sekali lagi.“Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di sini lagi,” jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam.Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah?“Jadi, Ibu telah menegurnya? Huh ... Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu,” timpalku, bersyukur.“Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu,” tegas Nyonya Emilia, lagi-lagi merendahkanku.Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini.“Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu.” Rupanya Nyonya Emilia mengancamku.“Ibu ...
Kedua mataku seolah tak mampu berkedip. Aku menyaksikan dengan ngeri bagaimana Nyonya Emilia mengambil sebongkah batu berukuran sedang. Dan dengan tenaga penuh, batu itu diayunkan, dihantamkan ke kepala Angelia.Suara benturan menggema di udara yang dingin, diikuti oleh teriakan Angelia yang tertahan. Namun teriakan itu segera terhenti. Angelia membeku, tubuhnya ambruk ke tanah, seperti patung es yang rapuh.D*rah segar mengalir deras, mengotori hamparan salju putih yang tadinya bersih. Warna merah menyala itu begitu kontras dengan putihnya salju, menciptakan pemandangan yang mengerikan.Telapak tanganku menutupi mulutku, mencegah jeritan yang ingin keluar dari kerongkonganku. Tubuhku gemetar hebat, perasaanku campur aduk.Aku tak mampu mempercayai apa yang baru saja kulihat. Aku tidak bisa membayangkan kekejaman yang baru saja terjadi di depan mataku.Tunggu, apakah Angelia telah tewas? Tubuhnya sudah tak bergerak lagi. Lalu, a
Entah mengapa semenjak mendapat undangan langsung dari Clara, Yang Mulia Duchess. Perasaanku jadi tidak enak. Terlebih, ia mengatakan akan memberiku sebuah kejutan, makin membuatku tidak tenang, dan terus menerka-nerka, apa yang akan ia lakukan padaku? Apa yang akan terjadi padaku? Sungguh ... Aku merasa sedikit frustrasi sekarang.Pikiran-pikiran buruk masih berputar-putar di kepalaku seperti angin ribut, menciptakan kekacauan yang tak terkendali. Tiba-tiba, sentuhan lembut di tanganku menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh, mendapati suamiku, Marco, sedang berdiri di sampingku. Senyum manisnya, yang selalu ia tunjukkan kepadaku, terpancar dari wajahnya yang tampan. Tatapan matanya yang hangat, seakan mampu memberikan rasa aman dan nyaman di tengah kalutnya pikiranku.“Kenapa kamu terlihat murung, Sayang?” tanya Marco, suaranya lembut dan penuh kasih sayang.Marco meraih tanganku, menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Aroma tubuhnya yang famil
Aku langsung mencibirnya, “Kamu ingin melaporkanku, tanpa bukti? Kamu ini kurang waras, ya? Jangan asal menuduh.”Seketika Angelia bungkam, dan tampak panik. “Pikir pakai logika, untuk apa aku menggeledah rumahmu? Apalagi sampai mencuri barangmu. Hey ... Lihat baik-baik. Apakah aku terlihat seperti orang susah?” sosorku. “Lantas ... Siapa yang melakukan itu, jika bukan dirimu!” Angelia masih saja nyolot. “Mana aku tahu, memangnya aku ini penjaga, asrama pelayan?” timpalku, menghembuskan napas. “Kamu membuang-buang waktu santaiku,” keluhku. Tanpa menunggu tanggapan, atau jawaban dari Angelia, aku melenggang meninggalkannya. Membiarkannya merenung dengan isi kepala yang dipenuhi banyak pertanyaan soal siapa yang telah menggeledah isi rumahnya. Wajahku menggulung sebuah senyuman. Aku tidak tahu, apakah Angelia memiliki bukti atas perbuatanku, atau tidak, yang pasti, aku akan bergerak terlebih dahulu. Sebelum wanita