Dewi masih berlutut, tubuhnya gemetar. Kakinya sudah terasa sakit, tapi ia tidak peduli. Air matanya mengalir tanpa henti, jatuh membasahi lantai marmer yang dingin.Amora berdiri kaku, dadanya naik turun tak beraturan. Luka di hatinya seolah terbuka kembali, bercampur dengan rasa iba yang sulit ia bendung.Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari arah pintu. Yurika masuk, matanya menatap pemandangan itu dengan sorot sulit terbaca.“Ada apa ini?” suara Yurika pelan, tapi penuh wibawa. Pandangannya tertuju pada Dewi yang berlutut di depan Amora.Amora buru-buru mengusap air matanya, namun suaranya masih bergetar. “Nyonya ini datang… katanya ingin meminta maaf.”Yurika menatap Dewi tajam. Ada sedikit keheranan, namun rasa dingin jelas terpancar dari sorot matanya. “Meminta maaf?” ia mengulang pelan. “Setelah semua yang sudah kamu lakukan pada anakku?”Dewi menunduk semakin dalam, suaranya parau. “Aku tahu… aku tak pantas, Yurika. Aku salah besar… aku dibutakan kebencian dan tipu daya. Ta
Ruangan itu mendadak terasa sesak. Hanya suara tangisan Dewi yang terdengar, memecah keheningan di antara mereka.Amora menunduk, air matanya jatuh satu per satu. Hatinya diguncang hebat. Selama ini, ia sering membayangkan bagaimana jika suatu hari Dewi muncul kembali. Dalam bayangannya, ia ingin menatap wanita itu dengan penuh kebencian, melontarkan kata-kata tajam yang bisa membalas semua luka.Namun kini, kenyataan jauh berbeda. Di hadapannya, Dewi justru berlutut dengan tubuh gemetar, menangis seperti seorang ibu yang kehilangan segalanya.Kaki wanita itu bahkan belum pulih total. Rasa sakit jelas menusuk setiap kali ia memaksa diri berlutut. Tapi Dewi tidak peduli.“Kenapa baru sekarang…?” suara Amora pecah, parau, penuh luka yang tak bisa lagi disembunyikan. “Kenapa saat aku hampir mati sendirian, anda tidak ada? Saat aku butuh pengakuan sebagai keluarga, anda justru mengatakan tidak mengenalku.”Tangis Amora pecah hingga tubuhnya bergetar.“Nak… mami salah. Mami mohon… maafkan
Randy berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah merah padam. Kedua tangannya mengepal, urat di lehernya menegang. Suara napasnya berat, seperti hewan buas yang dikurung.“Mami tidak mengerti…” gumamnya, suaranya serak namun penuh tekanan. “Amora itu milikku. Dia istriku. Dia melahirkan anakku. Tidak ada yang boleh mengambilnya dariku, bahkan Alvaro Dominic sekalipun!”Dewi menatap putranya dengan cemas dari kursi roda. “Randy… tolong tenangkan dirimu, Nak. Jangan bicara seperti itu. Kau tidak tahu siapa keluarga Dominic. Mereka bukan orang yang bisa kau lawan begitu saja.”Namun Randy tak mendengar. Matanya berkilat liar. “Aku tidak peduli! Aku akan melawan siapa pun yang mencoba memisahkan aku dari Amora. Kalau perlu… aku akan hancurkan Alvaro!”Suara Randy meninggi, tangannya menghantam dinding hingga meninggalkan bekas darah. Dewi tersentak, tubuhnya bergetar. Ia belum pernah melihat anaknya seobsesif ini.“Randy!” seru Dewi, suaranya serak bercampur ketakutan. “Kau tidak b
Randy melangkah masuk ke kediaman Sanjaya dengan wajah kusut, matanya merah sehabis menangis. Kertas DNA yang tadi ia sodorkan ke Amora kini terlipat kusut di genggamannya, nyaris robek karena genggaman terlalu erat.Dewi, sang mami, duduk di kursi roda dengan gaun mewah yang menegaskan statusnya. Meski wajahnya tetap anggun, sorot matanya langsung berubah tegang saat melihat putranya.“Randy? Kenapa wajahmu seperti itu? Ada apa?” tanyanya, nada tajam namun penuh kegelisahan.Randy tidak menjawab. Ia hanya melempar kertas DNA itu ke meja dengan gerakan kasar, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa dengan napas berat. “Aku… aku bertemu Amora, Mi.”Dewi membeku. Nama itu menghantam telinganya seperti gelegar petir. “Apa… kau bilang Amora?” bisiknya tak percaya. “Dia masih hidup?”“Dia bukan hanya hidup,” Randy menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka. “Dia sehat… cantik… dia punya anak. Anakku. Tapi dia tidak sendiri, Mi. Dia bersama Alvaro Dominic.”Wajah Dewi seketika pucat. “Apa?
Alvaro tersenyum samar. Tubuhnya menjulang, sorot matanya menusuk langsung ke dalam jiwa Randy. Nafasnya tenang, tapi penuh tekanan. Ia menunduk sedikit, bibirnya hanya berjarak beberapa senti dari telinga Randy.“Dengar baik-baik, Tuan Randy. Demi batu krikil, kau membuang berlian,” suaranya dalam, lirih, namun tajam bagai bilah pedang. “Kamu sudah membuangnya. Kamu sudah menghancurkannya. Sekarang, kamu tidak punya hak lagi. Amora adalah milikku, dan segera akan menjadi istriku. Sedangkan Emran, dia putraku. Jika kau berani menyentuh atau sekadar mengusik ketenangan mereka…” Alvaro menahan sebentar, lalu menatap lurus ke mata Randy, “Aku akan pastikan kau menyesal seumur hidup.”Senyum dingin mengembang di bibir Alvaro, sebelum akhirnya ia berbalik, masuk ke dalam mobil, dan duduk di samping Amora.Randy terpaku. Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada pukulan apa pun. Jemarinya yang menggenggam kertas DNA bergetar hebat, lalu tanpa sadar, kertas itu terlepas dari tang
Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depan mobil Randy. Suara pintu terbuka terdengar jelas, membuat Amora dan Randy sama-sama menoleh.Dari dalam, seorang pria tegap dengan jas rapi turun. Sorot matanya dingin namun penuh wibawa. Begitu pandangannya jatuh pada Amora yang berdiri dengan Emran di gendongannya, wajahnya melunak, penuh rasa sayang. Namun saat matanya beralih ke Randy, sorot itu berubah tajam bak pisau yang siap menembus.“Mas Alvaro…” bisik Amora lirih, dadanya seketika menghangat meski suasana begitu tegang.Langkah Alvaro mantap, setiap gerakannya menunjukkan kalau ia datang bukan sekadar kebetulan. Ia berhenti tepat di sisi Amora, tangannya terulur melindungi bahu wanita itu. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, matanya tidak lepas dari Randy.Amora mengangguk pelan, meski hatinya masih gemetar. Kehadiran Alvaro seperti menjadi benteng besar yang melindunginya.“Dad!” Emran langsung memanggil Alvaro dan mengembangkan tangannya.Randy dapat mendengar