Randy menghubungi art yang bekerja di kediaman Sanjaya. Dia meminta beberapa barang untuk diantarkan ke rumah sakit. Randy juga meminta kepada art-nya untuk membawakan makan siang dan juga makan malam untuk dirinya dan juga sang Ibu. Karena mereka sudah sangat merindukan rasa masakan rumah. Hanya menunggu sekitar enam puluh menit, art sudah datang membawa tas pakai, beserta makanan yang diinginkan Randy.Wanita berusia 40 tahun itu menata makanan lezat tersebut di atas meja. Dan kemudian memasukkan pakaian-pakaian yang telah dibawanya ke dalam lemari. "Tuan muda," panggil wanita itu.Randy memandang art-nya yang sudah bekerja cukup lama di kediaman Sanjaya. "Ya ada apa Mbak Mel?" Wanita itu tidak langsung menjawab. Dia berusaha untuk menarik nafas terlebih dahulu dan kemudian barulah memulai perkataannya. “Maaf... Tuan Randy,” suara si ART tercekat. “Bu Miranda... mengamuk di rumah. Ia... menghancurkan barang-barang mahal yang nyonya beli. Bukan hanya itu, nyonya Miranda juga mena
“Amora… Tante tahu kamu besar di panti asuhan. Tapi cerita barusan… itu kejadian di panti, ya?” tanya Yurika dengan lembut.Amora tersenyum tipis dan menggeleng pelan.“Bukan, Tante. Itu waktu aku hamil tujuh bulan… Saat tinggal sendirian.”Ruangan mendadak hening.Alvaro menghentikan sendoknya di udara, tatapannya terpaku pada Amora. Sementara Zolin memandang polos ke arah ibu asuhnya, seolah mencoba memahami satu per satu kalimat yang baru saja diucapkan.“Gimana ceritanya?” tanya Yurika pelan. Ia sangat penasaran dan ingin mendengar cerita Amora.Amora menarik napas, lalu mulai bercerita dengan nada tenang, seolah sedang mengisahkan sesuatu yang tak menyakitkan lagi.“Waktu itu Mora tinggal di rumah kontrakan kecil. Letaknya jauh dari mana-mana, tersembunyi di belakang pabrik tua yang sudah tak beroperasi. Tapi anehnya, tiap malam selalu ada bau menyengat dari arah pabrik itu. Kata warga sekitar, dulunya pabrik itu memproduksi gula.”Ia berhenti sejenak, menatap jauh seolah kembali
Beberapa menit setelah Miranda keluar dari kamar Dewi...Langkahnya memburu, tubuhnya gemetar menahan ledakan emosi. Napasnya naik-turun tak beraturan. Suara sepatu hak tingginya menghentak keras lantai koridor rumah sakit, menggemakan denting kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan. Perut besarnya tak menghalanginya untuk tetap tampil anggun—setidaknya di mata orang lain. Tapi di dalam dirinya, Miranda sedang sekarat oleh rasa malu.Pandangan orang-orang yang berseliweran di lorong rumah sakit terasa menusuk bagai pisau tajam. Ia bisa merasakan bagaimana mereka menggosipkan dirinya. Semua yang terjadi di ruangan tadi, penolakan Yurika, ucapan dingin Alvaro, penghinaan halus yang menyayat, semuanya membekas seperti luka bakar di hatinya.Dengan tangan yang masih gemetar, ia membuka pintu mobil dan masuk ke belakang kemudi. Bukannya langsung melaju, Miranda terdiam. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Tapi sia-sia. Suara-suara di kepalanya terus berteriak
Sementara itu, Yurika hanya tersenyum miring. Baginya, Miranda hanyalah salah satu dari sekian banyak wajah penjilat yang sudah terlalu sering ia temui. Ia tak terpengaruh sedikit pun oleh kata-kata manis itu.“Bagaimana kondisimu?” tanya Yurika, duduk di sisi tempat tidur sahabatnya. Tatapannya mengandung iba saat menatap wajah Dewi yang pucat.Meskipun Yurika kurang suka melihat sifat Dewi yang sombong dan angkuh, namun melihat kondisi temannya yang seperti ini, membuat ia merasa kasihan.Dewi mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya terasa sangat sakit dan kepalanya masih berdenyut hebat.“Rasanya... sakit sekali,” bisiknya lirih.“Bagaimana ceritanya kamu bisa ditabrak mobil?” Ini bukan pertama kalinya Yurika menanyakan pertanyaan itu. Namun tak satu pun dari orang yang memberi kabar mampu memberikan jawaban yang masuk akal.Dewi tersenyum samar, lalu menjawab, “Aku nggak hati-hati. Nggak lihat ada mobil melintas.”Ia tak mungkin menceritakan soal pertengkaran dengan Randy. Hubungan r
Miranda.Wanita itu berdiri, tersenyum manis seolah menyambut tamu agung. Gaun hamil yang dikenakannya memeluk tubuhnya dengan lembut, menegaskan usia kandungannya yang hampir mencapai akhir. Wajahnya dipoles sempurna, matanya berbinar, dan bibirnya melengkung dengan kepalsuan yang begitu mengganggu.“Saya senang... Syukurlah. Mami sangat menantikan kehadiranmu,” ucap Miranda lembut sambil mengulurkan tangan. “Sejak tadi beliau gelisah.”Alvaro menatap tangan itu. Ia diam. Ragu. Dalam pikirannya, seakan-akan tangannya akan terkena virus jika menyentuh kulit wanita itu. Namun, demi menjaga kesopanan, ia pun akhirnya menjabat tangan Miranda. Cepat. Dingin. Seperti formalitas yang memuakkan.“Sudah tugas saya menjenguk orang sakit,” sahutnya datar.Namun senyum Miranda tidak pudar. Justru semakin manis, seperti racun yang dibungkus madu. Tatapannya menggoda, menggeliat seperti ular. Bahkan lupa bahwa ada pria lain berdiri di sisi ruangan. Pria yang membuat dada Alvaro bergemuruh dengan a
“Al, Mami sudah siap nih. Ayo kita pergi sekarang. Jangan tunggu malam,” suara Yurika terdengar dari arah belakang, menggema di ruang tamu yang tenang.Alvaro menoleh cepat, wajahnya terlihat kesal. Dengan langkah berat, ia bangkit dari kursi dan menghembuskan napas panjang, seperti hendak membuang rasa malas yang tak bisa ia lawan.“Bukannya tadi kamu yang menawarkan diri buat temani Mama?” gumamnya kesal, nyaris seperti ocehan yang sengaja dibiarkan terdengar.Yurika menatap putranya dengan kerutan di dahi. “Justru karena kamu sendiri yang nawarin, Al. Mama sebenarnya nggak mau ngajak kamu. Tapi kamu maksa. Sekarang malah ngeluh?”Wanita paruh baya itu sudah sangat mengenal karakter putranya. Alvaro tipe yang sulit beradaptasi, namun ada sisi lembut yang sering tersembunyi di balik sikapnya yang cuek. Karena itulah, saat Alvaro menawarkan diri untuk menemani, Yurika sedikit heran. Dan kini, saat melihat perubahan sikapnya, ia hanya bisa menghela napas dalam hati.“Iya, iya, aku ikut