Share

Bab 7. Pertemuan pertama

Author: Liazta
last update Last Updated: 2025-05-26 15:28:58

Ini untuk pertama kalinya, Amora melihat putranya. Seorang perawat membimbingnya memasuki ruang NICU, tempat di mana bayi-bayi kecil berjuang untuk hidup. Jantungnya berdebar kencang, seakan mengikuti langkahnya yang ragu. Ia ingin segera melihat kondisi anak yang baru saja dilahirkannya.

"Dokter, bagaimana keadaan bayi saya? Apakah dia sudah membaik?" tanya Amora dengan suara bergetar, matanya tak lepas dari sosok mungil yang terbaring di ranjang inkubator. Dada kecil itu naik turun perlahan, ketika menghirup oksigen. Padahal bayi malang itu sudah memakai alat bantu pernapasan, namun tetap saja ia kesulitan untuk bernapas.Mata sang bayi tertutup rapat, dan selang-selang menempel di sekujur tubuhnya yang kurus, nyaris tak berdaging. Hati Amora terasa sangat sakit, perih, seolah ada pisau yang menggores setiap helainya. Ia tahu, bayinya tampak kekurangan gizi.

“Bayi mbak Amora masih dalam pemantauan dan pemeriksaan lebih lanjut,” jelas dokter spesialis anak, Attar.

“Saat lahir, beratnya hanya 1,9 kilogram, di bawah batas normal. Pernapasannya juga lemah. Kami masih memeriksa kemungkinan adanya komplikasi lain, dan kami berharap tidak ada yang serius.”

Penjelasan itu membuat Amora terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Selama masa kehamilan, ia tidak bisa makan makanan bergizi. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak mampu. Hampir setiap hari ia hanya makan nasi dengan sayur bening. Atau nasi dengan tahu dan tempe. Tidak ada ikan segar, apa lagi daging. Ia bahkan tak sempat memeriksakan kehamilannya ke bidan. Jarak yang jauh dan biaya yang harus ditekan demi bisa membeli beberapa helai bedong dan baju bayi anaknya.

Suaminya yang tidak pulang-pulang membuat Amora harus menabung untuk biaya persalinan. Kini, ia menatap bayi itu dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada.

“Jika ASI-nya sudah keluar, mbak Amora bisa memberikannya kepada perawat. ASI sangat membantu menaikkan berat badan bayi dengan cepat," jelas dokter Attar.

“Sudah mulai keluar, Dok, tapi masih sedikit." Amora berkata dengan malu-malu. Ia tidak memiliki uang untuk membeli alat pompa asi yang bagus. Hingga Amora hanya bisa memaki cari manual untuk mengeluarkan asinya. Dapatnya sangat sedikit, tapi rasanya sangat perih.

Amora kemudian memperlihatkan asi yang dimasukan nya kedalam gelas pelastik.

Dokter itu terdiam melihat asi yang dibawa Amora. Seperti apa Kondisi Amora ketika datang ke rumah sakit, semua orang tahu. Bahkan sampai detik ini tidak ada satu orang pun yang datang mengunjunginya.

"Apa Mbak Amora tidak memakai alat pemompa asi elektrik?" Tanya dokter tersebut. Attar melihat gelas yang dibawa Amora.

Amora menggelengkan kepalanya. "Apa boleh saya mengantarkannya langsung ke sini?” tanya Amora penuh harap. Ia ingin selalu dekat dengan anaknya, meski hanya untuk sesaat.

“Tentu boleh,” jawab dokter itu dengan lembut.

Dokter Attar kemudian bertanya, “Apakah mbak Amora memiliki BPJS atau kartu jaminan kesehatan dari pemerintah?”

Amora menggeleng pelan. “Saya tidak punya, Dok. Kartu jaminan kesehatan juga tidak ada.”

Dua bulan lalu, ia sempat berjalan kaki menuju kantor camat yang lokasinya sangat jauh. Demi mengurus kartu jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin. Namun semua usahanya sia-sia. Ia tidak memiliki persyaratan lengkap seperti buku nikah, KTP suami, serta kartu keluarga. Karena itu, ia hanya bisa bertanya tanpa bisa mengajukan permohonan.

“Saran saya, sebaiknya Ibu mengurus BPJS atau kartu kesehatan masyarakat miskin. Biaya Perawatan bayi, kemungkinan cukup besar. Dengan jaminan kesehatan, setidaknya beban bisa lebih ringan,” ujar dokter Attar dengan nada prihatin.

Amora terdiam sejenak. Lalu, dengan mata yang masih basah dan hati yang gamang, ia mengangguk perlahan.

Beginilah risiko jika memiliki pendidikan yang rendah. Begitu mudah ditipu, begitu gampang dibodohi. Baru kali ini Amora benar-benar menyadari bahwa selama ini pria itu hanya mempermainkannya. Ia ditipu, dibohongi, dan pada akhirnya ditendang tanpa belas kasihan, bahkan tanpa sempat membawa dokumen-dokumen penting.

"Mbak Amora, ini pompa asi, saya yang memberikan. Setiap 2 jam sekali harus dipompa asinya. Jika memakai pompa asi seperti ini dapatnya pasti lebih banyak." Dokter Attar berkata sambil memberikan satu kotak perlengkapan untuk memompa ASI.

Amora seakan tidak percaya ketika mendengar perkataan sang dokter. Apa dokter itu benar-benar memberikan secara gratis?

Amora tahu, pompa asi seperti ini harganya cukup mahal. Ia mendengar percakapan ibu-ibu di kamar rawatnya. Karena itu ia memilih mengeluarkan asi dengan cara manual.

"Mbak Amora, ambil." Dokter Attar kembali menyodorkan kotak ditangannya.

"Apa dokter beneran memberikan ini untuk saya? "Amora berkata dengan sedikit ragu.

"Ya, kamu sangat membutuhkannya. Bayi kamu sangat membutuhkan ASI." Dokter itu berkata sambil tersenyum.

Amora terdiam sesaat dan kemudian dia mengambil kotak tersebut. Ternyata di dunia ini masih banyak orang yang baik. Dan di rumah sakit ini dia sangat banyak bertemu dengan orang-orang yang berhati mulia.

Setelah menjelaskan kondisi sang bayi, dokter Attar keluar dari ruangan. Amora menatap wajah bayinya dengan hati yang perih.

"Nak, ini mami." Amora diam sesaat.

Anaknya bisa menjadi bahan ejekan jika memanggilnya mami. Panggilan itu untuk orang-orang kaya, tidak cocok untuk mereka. Dengan cepat Amora langsung merubah panggilannya.

"Nak, ini mama. Mama tahu kamu, anak yang sangat kuat. Mama harap kamu bisa bertahan demi mama. Mama sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya kamu yang mama punya. Masalah uang pengobatan, jangan cemas, mama akan mencari uang yang banyak." Amora berkata sambil mengusap pipi putranya dari celah kecil yang ada di dinding inkubator.

"Nak, kamu harus cepat sehat agar kita bisa pulang bersama-sama." Amora menangis dan kemudian mengusap air matanya.

Seakan mendengar suara tangis ibo, Mata bayi itu terbuka lebar sambil memandang Amora.

Melihat putranya membuka mata dan memandang ke arahnya, tangis Amora semakin pecah. Ia ingin mengendong anaknya, namun tidak bisa. Untuk sekarang ia hanya bisa melihat dengan cara seperti ini.

"Nak, maaf ya mama baru bisa datang. Mama baru bisa berjalan karena itu baru bisa lihat kamu. Oh iya, nama kamu akan mama cari yang keren. Mama berharap papa bisa datang. Mama berpikir kalau papa sudah menyiapkan nama untuk kamu. Tapi sepertinya papa sangat sibuk, karena itu mama aja yang akan mencarikan nama." Amora berkata dengan tersenyum. Namun tetap saja air matanya terus menetes.

Meski hanya sebentar diperbolehkan menatap buah hatinya, hati Amora sudah penuh rasa bahagia. Ia pun keluar dari ruangan itu.

Jika tadi ia diantar perawat, kini Amora menyusuri koridor sendirian, perlahan sambil menggerakkan kursi roda dengan bantuan tangannya.

Pikirannya tak lepas dari kondisi sang bayi. Kapankah putranya boleh pulang?

Belum sempat kegelisahan itu mereda, kekhawatiran lain menghampiri. Tagihan rumah sakit. Bagaimana ia akan melunasinya?

Sambil terus memutar roda, Amora mencari-cari jalan keluar. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada seorang gadis kecil yang berjalan sendiri, dibuntuti dua pria asing. Anak itu melangkah tepat ke arahnya.

Begitu berpapasan, Amora meraih tangan mungil gadis itu. Si kecil terkejut, namun tak bersuara. Hanya menatapnya dengan mata bening dan bola mata kecoklatan.

“Adek, kamu diikuti orang jahat,” bisik Amora.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 336

    Pagi itu, matahari menyapa lembut dari jendela besar mansion milik keluarga Alvaro. Amora berdiri di dapur, mengenakan gaun santai berwarna pastel, tangannya sibuk mengaduk cokelat hangat sambil sesekali menatap perutnya yang mulai membuncit. Usia kehamilannya baru masuk bulan ketiga, tapi Alvaro sudah memperlakukannya secara berlebihan. Seolah dunia bisa runtuh jika Amora sedikit saja lelah. “Sayang, kamu nggak usah berdiri lama-lama,” suara Alvaro terdengar dari balik meja makan. Ia mendekat, membawa nampan berisi buah potong. “Biar aku aja yang lanjut.” Amora tersenyum kecil, menatap suaminya dengan pandangan lembut yang penuh rasa syukur. Kehamilannya yang kali ini jauh berbeda dengan ketika hamil Emran. Dulu dia diperlakukan seperti babu, yang harus mengurus semua kebutuhan suami serta mertuanya. Namun kali ini ia diperlakukan seperti seorang ratu. “Kalau semua kamu yang kerjain, nanti aku malah nggak bisa ngapa-ngapain,” ujarnya sambil tertawa pelan. “Tugas kamu sekarang c

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 335

    Randy menatapnya lama sekali, seolah tak ingin melewatkan satu detik pun yang ada di hadapannya.Tatapan itu bukan tatapan lelaki yang sedang jatuh cinta secara terburu-buru, tapi tatapan seseorang yang menemukan tempat berlabuh setelah sekian lama terombang-ambing di lautan.Bibirnya perlahan tersenyum, dan tanpa banyak kata, ia menggenggam tangan Luna.Luna menunduk sedikit, menatap jemari mereka yang kini saling bertaut. Padahal hanya pegangan tangan, tapi jantungnya sudah berdebar dengan cepat.“Kak Randy…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Randy hanya menggeleng lembut. “Nggak usah ngomong apa-apa.” Ia menatap mata Luna, dalam dan jujur. “Kadang, perasaan nggak perlu dijelasin. Cukup dirasain.”Luna tersenyum dan kemudian mencubit pinggangnya. “Aku bukan mau bicara masalah perasaan.”“Jadi apa?” Randy tersenyum kecil.Baru saja Luna berniat untuk bicara, namun pria itu sudah menarik tubuh wanita itu dan kemudian memeluknya.“Apapun masalahnya, bisa dibicarakan nanti.”Wajah

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 334

    Hari itu, hujan turun pelan sejak sore.Langit kelabu, udara lembap, dan aroma tanah basah memenuhi halaman rumah milik Luna.Randy datang seperti biasa, membawa payung dan dua kantong belanja. Tapi begitu membuka pintu, langkahnya terhenti.Luna terbaring di sofa, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, dan keningnya tampak basah oleh keringat.Detik itu juga, dada Randy mencelos.“Luna…” suaranya tercekat, hampir tak keluar. Ia bergegas mendekat, menyentuh kening wanita itu—panas. Terlalu panas.Ia menatap sekeliling, mencari sesuatu, apa pun yang bisa menurunkan demam. Tapi rumah itu begitu sederhana, hanya ada termos kecil dan beberapa bungkus obat batuk di meja.“Kenapa kamu nggak bilang kamu sakit?” tanyanya pelan, nyaris seperti teguran.Luna membuka mata perlahan, menatapnya dengan senyum lemah.“Aku cuma capek… kerjaan lagi numpuk. Lagipula, aku nggak mau nyusahin Kak Randy.”Randy memejamkan mata sesaat, menahan napas. “Nyusahin?

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 333

    Sudah lama Randy tidak merasakan ketenangan seperti ini.Angin sore berhembus lembut, menyingkap tirai putih di ruang tamu rumah milik Luna.Cahaya matahari menembus masuk, menimpa wajah wanita itu yang sedang menyiapkan teh di meja, tenang, lembut, dan sederhana.Tidak ada perhiasan berkilau di tubuhnya, tidak ada riasan berlebihan di wajahnya.Namun entah mengapa, bagi Randy, Luna terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Setiap gerakannya, dari cara ia menata cangkir, menata rambut yang terurai, hingga caranya tersenyum, semuanya menenangkan.“Tehnya sudah pas, nggak terlalu manis,” ucap Luna pelan sambil duduk di hadapannya.Randy hanya menatap, tanpa langsung menyentuh cangkir.“Kamu selalu tahu caranya bikin segalanya terasa damai,” gumamnya tanpa sadar.Luna menoleh, tersenyum tipis. “Mungkin karena aku terbiasa mencari kedamaian, bukan kehebohan.”Kalimat itu sederhana, tapi bagi Randy terdengar dalam.Ia dulu hidup dikelilingi gemerlap, suara bisi

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 332

    Ruang rawat itu berbeda hari ini.Tak ada aroma tajam obat-obatan yang menusuk seperti biasa, hanya wangi lembut bunga lily dan melati yang menghiasi setiap sudut ruangan.Langit-langitnya dipenuhi pita putih, dan di pojok ruangan berdiri sebuah meja kecil tempat sepasang cincin diletakkan di atas kain beludru biru.William berdiri di sana, mengenakan setelan jas berwarna abu lembut.Tatapannya tak lepas dari wanita yang duduk di ranjang, Miranda yang kini menjadi pusat semestanya.Ia mengenakan gaun putih sederhana dengan renda tipis, wajahnya pucat tapi memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.Dan di pelukannya, bayi mungil mereka menggeliat pelan, tertawa kecil seperti mengerti bahwa hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidup kedua orang tuanya.“Cantik sekali,” bisik William saat melangkah mendekat.Miranda tersenyum samar, pipinya memerah. “Kamu sudah bilang itu sejak pagi.”“Aku bakal bilang itu setiap hari kalau perlu,” jawabnya lembut, menatap mata istrinya lama.

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 331

    Ruang tamu itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan pelan.William duduk di sofa dengan posisi santai, tapi tatapan matanya menusuk.Di hadapannya, Edi berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah penuh gugup.Ditipu seperti ini jelas membuat William marah. Namun kemarahan bukan hal utama yang ingin ia luapkan kali ini. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar kehilangan uang.“William…” suara Edi bergetar pelan. “Bapak tahu bapak salah. Bapak minta maaf. Tapi apa yang bapak lakukan murni kesalahan bapak sendiri. Kamu boleh melakukan apa saja terhadap bapak, mau dipukul, marah, terserah. Tapi tolong… jangan sakiti Miranda dan juga anaknya. Bapak yang berbuat, biar bapak yang tanggung jawab.”William menatapnya lama, wajahnya tetap datar tanpa emosi.“Uang yang anda ambil dariku,” tanyanya pelan, “apa sudah habis?”Edi menunduk, mengangguk perlahan.“Digunakan untuk apa? Mengapa bisa habis?” nada suara William meninggi sedikit, tapi tetap terkendali. Ia ingin tahu langs

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status