Share

Bab 3

Prince menarik napas panjang. Menenagkan debaran jantungnya yang berdetak kencang ketika melihat siluet Lavanya memasuki restoran. Melambai tangan ke arahnya di depan pintu masuk restoran tersebut. Dia mendadak tegang. Namun sebisa mungkin dia bersikap tenang. Balas melambai tangan kepada perempuan itu setelah merapikan jasnya. Mengukir senyum manis di wajah tampannya yang minim ekspresi itu. Senyum yang hanya dia tunjukkan kepada sang sahabat dan keluarganya saja.

Namun, senyum di wajah Prince seketika langsung pudar ketika mengetahui Lavanya tidak datang seorang diri. Melainkan dengan seorang pria yang tidak asing lagi. Dia memang tidak mengenal secara pribadi dengan pria itu. Tapi, dia tahu pria itu adalah Jerry Hermawan, aktor populer di negara mereka. Yang telah lalang melintang di dunia hiburan. Lawan main Lavanya dalam film terbaru perempuan itu.

Batin Prince menjasi bertanya-tanya tanpa curiga. Untuk apa Lavanya membawa pria itu?

“Hai, Prince.” Lavanya menyapa ketika ia dan Jerry tiba di hadapan Prince, membuyarkan lamunan pria itu.

Prince membalas, “Hai, Van.”

“Sudah lama menunggu?”

Prince menggeleng, “Tidak juga.”

“Oh, ya. Perkenalkan, dia adalah Jerry Hermawan. Kamu mungkin tidak asing dengannya.” Gadis yang kerap di sapa Vanya itu memperkenalkan pria di sampingnya.

“Iya, sangat tidak asing. Dia aktor terkenal,” ucap Prince sambil berdiri dari duduknya.

“Terima kasih atas pujiannya,” sahut Jerry.

“Aku Prince, temannya Vanya?” Prince mengulurkan tangan.

“Ya, aku tahu. Vanya sering bercerita tentangmu.” Jerry menerima jabatan tangan Prince.

“Begituhkah?” Prince melirik Vanya yang mengulum senyum. Menatap penuh tanya sahabatnya itu dengan lirikkannya. Seakrab apa perempuan itu dengan pria di hadapannya kini hingga menceritakan tentangnya? Apa mereka punya hubungan khusus?

“Kami sudah dua resmi pacaran dua minggu yang lalu," jawab Lavanya seolah dapat menebak apa yang dipikirkan Prince.

“Ah, begitu, kah?” Prince mengangguk-angfik, tidak terkejut lagi ketika Vanya memperkenalkan seorang kekasih kepadanya. Ini bukan pertama kalinya. Tapi, rasa tidak nyaman dan menyesakkan dada itu selalu terasa. Sakit sekali. Namun sebisa mungkin dia tetap tenang.

Lavanya mengangguk. “Tidak apa, kan, jika aku membawanya ikut makan bersama kita.”

“Oh, tentu. Tidak masalah. Ayo, silakan duduk,” ujar Prince sambil menekan rasa tidak nyamannya. Memasang wajah setenang mungkin.

“Silakan duduk, Tuan Putri.” Jerry menarik kursi di hadapan Prince untuk Lavanya.

Lavanya mengulum senyum manis, “Terima kasih, Sayang.”

Jerry membalas dengan senyum tidak kalah manis.

Melihat sikap perhatian Jerry terhadap Lavanya. Dan sikap manis Lavanya tunjukkan kepada pria itu, membuat perasaan tidak nyamannya semakin menjadi. Namun sekuat tenaga dia berusaha bersikap tenang. Menahan cemburunya.

“Aneh, kenapa restorannya sepi sekali? Tidak ada pengunjung lain,” gumam Lavanya saat menyapu setiap meja restoran itu kosong, “Padahal ini restoran terkenal, lho. Masa iya sepi pengunjung.”

“Entahlah.” Prince tersenyum tanggung, salah tingkah. Dia tidak mungkin menjawab jika restoran itu sudah dia resorvasi untuk melamar perempuan itu. Saat Lavanya sudah memperkenalkan kekasih kepadanya. Menandakan cintanya telah ditolak secara tersirat.

***

Tidak terasa waktu berlalu cepat. Acara makan malam itu yang berlangsung sejam itu berjalan dengan hikmat walau dada Prince di penuh gemuruh melihat pasangan romantis di hadapannya. Dia cemburu. Namun dia berusaha tetap tenang, tersenyum. Tidak menunjukkan kecemburuannya sedikit pun.

Setelah mengobrol sebentar usai makanan mereka tandas, Lavanya dan Jerry pulang lebih dulu.

Sementara Prince tidak lekas beranjak. Pria itu mengeluarkan sesuatu yang dia simpan dalam saku jasnya. Sebuah cincin mahal beludru berlian, yang dia beli tadi sebelum menuju restoran. Cincin yang akan dia gunakan untuk melamar Lavanya. Namun belum sempat keinginannya itu di utarakan, perempuan itu sudah memiliki tambatan hati. Cincin itu akhirnya tidak berguna. Hatinya patah. Tentu.

Namun Prince bisa apa selain merelakan. Kembali menyimpan perasaannya rapat-rapat untuk Lavanya.

Lalu bagaimana dengan jabatannya sebagai CEO di Aditama Corp?

Prince mengembus napas kasar. Sepertinya, dia juga harus merelakan jabatannya dicabut. Dia tidak mungkin menikah dalam waktu dekat ini. Sedangkan Lavanya sudah menolak cintanya walau tanpa perempuan itu tahu. Tidak mudah baginya jatuh lagi, sementara Lavanya sudah bertakhta di hatinya. Apalagi dalam waktu tiga bulan. Itu mustahil sekali.

Sungguh Prince rasa tidak rela jika jabatan harus dicabut. Selama empat tahun ini dia sudah bekerja sangat keras untuk mengembangkan perusahaan itu. Andai dia punya modal yang cukup, dia akan membangun perusahaannya sendiri. Tapi sayang, tabungannya belum memadai untuk membangun perusahaannya sendiri. Sementara orang tuanya kompak tidak ingin meminjamkan ia modal. Mereka pasti sudah kerja sama dengan sang kakek. Ah, mungkin, dia memang harus turun jabatan. Memulai dari nol.

Huft.

Sekali lagi, Prince menghela napas panjang. Dia menyimpan kembali cincin dalam saku jasnya. Meski dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan cincin itu setelah ini. Tidak mungkin dia simpan. Mungkin akan dibuang.

Tidak ingin terlalu larut dengan segala pikirannya, Prince beranjak meninggalkan restoran dengan hati yang galau. Dengan tidak semangat, dia mengendarai mobil memecah jalanan lenggang. Namun setengah perjalanan, dia memelankan laju mobilnya ketika melihat perempuan yang tidak asing diganggu oleh tiga Preman.

Setelah mengamati wajah tidak asing perempuan yang diganggu tiga Preman itu, Prince menginjak rem.

***

Aiza mengembus napas kasar kala tidak menemukan angkutan umum di jalan raya. Tentu saja. Mana ada angkutan umum di malam sudah larut ini. Hampir pukul sebelas malam. Jalanan sudah hampir lenggang.

Mau tidak mau, Aiza pulang dengan berjalan kaki. Dia tidak mungkin naik taksi yang biaya tarifnya sangat mahal. Apalagi jarak kosannya sangat jauh pastilah biayanya besar. Sementara dia harus berhemat. Dengan sisa uang yang dia punya mungkin makan saja tidak cukup sampai gajian dua minggu lagi.

Sambil menutupi dadanya yang terbuka dan menarik ujung gaunnya yang setengah pahanya, Aiza menelusuri trotoar jalan raya. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri yang mau saja ikut dengan Sarah tadi tanpa curiga. Dia terlalu tergiur dengan uang yang bisa dia dapatkan dengan cepat seperti yang diucapkan tentangga kosannya itu tadi. Dia tidak menyangka pekerjaan yang dijanjikan oleh tetangga kosannya itu dengan menjual diri. Tentu saja dia tidak mau. Walau sangat membutuhkan uang, dia tidak akan merendahkan harga dirinya. Mungkin ada cara lain. Tapi apa? Entahlah. Yang pasti, dia tidak menjual diri.

Dalam perjalanan pulangnya itu, Aiza sungguh tidak habis pikir. Ternyata pekerjaan Sarah selama ini adalah seorang gadis malam. Pantas saja hidup tetangga kosnya itu nyaman sekali. Selalu berbelanja barang mewah, makan enak. Padahal Sarah jarang sekali bekerja. Perempuan itu selalu keluar kosan saat malam hari. Dan ternyata...

Karena terlarut dengan pikirannya, Aiza tidak menyadari jika dia sudah dalam setengah perjalanan pulang. Namun di jalan yang cukup sepi langkah perempuan itu harus terhenti ketika melihat tiga preman berjalan ke arahnya, menatapnya dengan intens.

Aiza seketika menjadi waspada. Dia mendadak tegang. Tanpa sadar langkahnya bergerak mundur. Radarnya mengatakan dia dalam bahaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status