Prince menarik napas panjang. Menenagkan debaran jantungnya yang berdetak kencang ketika melihat siluet Lavanya memasuki restoran. Melambai tangan ke arahnya di depan pintu masuk restoran tersebut. Dia mendadak tegang. Namun sebisa mungkin dia bersikap tenang. Balas melambai tangan kepada perempuan itu setelah merapikan jasnya. Mengukir senyum manis di wajah tampannya yang minim ekspresi itu. Senyum yang hanya dia tunjukkan kepada sang sahabat dan keluarganya saja.
Namun, senyum di wajah Prince seketika langsung pudar ketika mengetahui Lavanya tidak datang seorang diri. Melainkan dengan seorang pria yang tidak asing lagi. Dia memang tidak mengenal secara pribadi dengan pria itu. Tapi, dia tahu pria itu adalah Jerry Hermawan, aktor populer di negara mereka. Yang telah lalang melintang di dunia hiburan. Lawan main Lavanya dalam film terbaru perempuan itu.Batin Prince menjasi bertanya-tanya tanpa curiga. Untuk apa Lavanya membawa pria itu?“Hai, Prince.” Lavanya menyapa ketika ia dan Jerry tiba di hadapan Prince, membuyarkan lamunan pria itu.Prince membalas, “Hai, Van.”“Sudah lama menunggu?”Prince menggeleng, “Tidak juga.”“Oh, ya. Perkenalkan, dia adalah Jerry Hermawan. Kamu mungkin tidak asing dengannya.” Gadis yang kerap di sapa Vanya itu memperkenalkan pria di sampingnya.“Iya, sangat tidak asing. Dia aktor terkenal,” ucap Prince sambil berdiri dari duduknya.“Terima kasih atas pujiannya,” sahut Jerry.“Aku Prince, temannya Vanya?” Prince mengulurkan tangan.“Ya, aku tahu. Vanya sering bercerita tentangmu.” Jerry menerima jabatan tangan Prince.“Begituhkah?” Prince melirik Vanya yang mengulum senyum. Menatap penuh tanya sahabatnya itu dengan lirikkannya. Seakrab apa perempuan itu dengan pria di hadapannya kini hingga menceritakan tentangnya? Apa mereka punya hubungan khusus?“Kami sudah dua resmi pacaran dua minggu yang lalu," jawab Lavanya seolah dapat menebak apa yang dipikirkan Prince.“Ah, begitu, kah?” Prince mengangguk-angfik, tidak terkejut lagi ketika Vanya memperkenalkan seorang kekasih kepadanya. Ini bukan pertama kalinya. Tapi, rasa tidak nyaman dan menyesakkan dada itu selalu terasa. Sakit sekali. Namun sebisa mungkin dia tetap tenang.Lavanya mengangguk. “Tidak apa, kan, jika aku membawanya ikut makan bersama kita.”“Oh, tentu. Tidak masalah. Ayo, silakan duduk,” ujar Prince sambil menekan rasa tidak nyamannya. Memasang wajah setenang mungkin.“Silakan duduk, Tuan Putri.” Jerry menarik kursi di hadapan Prince untuk Lavanya.Lavanya mengulum senyum manis, “Terima kasih, Sayang.”Jerry membalas dengan senyum tidak kalah manis.Melihat sikap perhatian Jerry terhadap Lavanya. Dan sikap manis Lavanya tunjukkan kepada pria itu, membuat perasaan tidak nyamannya semakin menjadi. Namun sekuat tenaga dia berusaha bersikap tenang. Menahan cemburunya.“Aneh, kenapa restorannya sepi sekali? Tidak ada pengunjung lain,” gumam Lavanya saat menyapu setiap meja restoran itu kosong, “Padahal ini restoran terkenal, lho. Masa iya sepi pengunjung.”“Entahlah.” Prince tersenyum tanggung, salah tingkah. Dia tidak mungkin menjawab jika restoran itu sudah dia resorvasi untuk melamar perempuan itu. Saat Lavanya sudah memperkenalkan kekasih kepadanya. Menandakan cintanya telah ditolak secara tersirat.***Tidak terasa waktu berlalu cepat. Acara makan malam itu yang berlangsung sejam itu berjalan dengan hikmat walau dada Prince di penuh gemuruh melihat pasangan romantis di hadapannya. Dia cemburu. Namun dia berusaha tetap tenang, tersenyum. Tidak menunjukkan kecemburuannya sedikit pun.Setelah mengobrol sebentar usai makanan mereka tandas, Lavanya dan Jerry pulang lebih dulu.Sementara Prince tidak lekas beranjak. Pria itu mengeluarkan sesuatu yang dia simpan dalam saku jasnya. Sebuah cincin mahal beludru berlian, yang dia beli tadi sebelum menuju restoran. Cincin yang akan dia gunakan untuk melamar Lavanya. Namun belum sempat keinginannya itu di utarakan, perempuan itu sudah memiliki tambatan hati. Cincin itu akhirnya tidak berguna. Hatinya patah. Tentu.Namun Prince bisa apa selain merelakan. Kembali menyimpan perasaannya rapat-rapat untuk Lavanya.Lalu bagaimana dengan jabatannya sebagai CEO di Aditama Corp?Prince mengembus napas kasar. Sepertinya, dia juga harus merelakan jabatannya dicabut. Dia tidak mungkin menikah dalam waktu dekat ini. Sedangkan Lavanya sudah menolak cintanya walau tanpa perempuan itu tahu. Tidak mudah baginya jatuh lagi, sementara Lavanya sudah bertakhta di hatinya. Apalagi dalam waktu tiga bulan. Itu mustahil sekali.Sungguh Prince rasa tidak rela jika jabatan harus dicabut. Selama empat tahun ini dia sudah bekerja sangat keras untuk mengembangkan perusahaan itu. Andai dia punya modal yang cukup, dia akan membangun perusahaannya sendiri. Tapi sayang, tabungannya belum memadai untuk membangun perusahaannya sendiri. Sementara orang tuanya kompak tidak ingin meminjamkan ia modal. Mereka pasti sudah kerja sama dengan sang kakek. Ah, mungkin, dia memang harus turun jabatan. Memulai dari nol.Huft.Sekali lagi, Prince menghela napas panjang. Dia menyimpan kembali cincin dalam saku jasnya. Meski dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan cincin itu setelah ini. Tidak mungkin dia simpan. Mungkin akan dibuang.Tidak ingin terlalu larut dengan segala pikirannya, Prince beranjak meninggalkan restoran dengan hati yang galau. Dengan tidak semangat, dia mengendarai mobil memecah jalanan lenggang. Namun setengah perjalanan, dia memelankan laju mobilnya ketika melihat perempuan yang tidak asing diganggu oleh tiga Preman.Setelah mengamati wajah tidak asing perempuan yang diganggu tiga Preman itu, Prince menginjak rem.***Aiza mengembus napas kasar kala tidak menemukan angkutan umum di jalan raya. Tentu saja. Mana ada angkutan umum di malam sudah larut ini. Hampir pukul sebelas malam. Jalanan sudah hampir lenggang.Mau tidak mau, Aiza pulang dengan berjalan kaki. Dia tidak mungkin naik taksi yang biaya tarifnya sangat mahal. Apalagi jarak kosannya sangat jauh pastilah biayanya besar. Sementara dia harus berhemat. Dengan sisa uang yang dia punya mungkin makan saja tidak cukup sampai gajian dua minggu lagi.Sambil menutupi dadanya yang terbuka dan menarik ujung gaunnya yang setengah pahanya, Aiza menelusuri trotoar jalan raya. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri yang mau saja ikut dengan Sarah tadi tanpa curiga. Dia terlalu tergiur dengan uang yang bisa dia dapatkan dengan cepat seperti yang diucapkan tentangga kosannya itu tadi. Dia tidak menyangka pekerjaan yang dijanjikan oleh tetangga kosannya itu dengan menjual diri. Tentu saja dia tidak mau. Walau sangat membutuhkan uang, dia tidak akan merendahkan harga dirinya. Mungkin ada cara lain. Tapi apa? Entahlah. Yang pasti, dia tidak menjual diri.Dalam perjalanan pulangnya itu, Aiza sungguh tidak habis pikir. Ternyata pekerjaan Sarah selama ini adalah seorang gadis malam. Pantas saja hidup tetangga kosnya itu nyaman sekali. Selalu berbelanja barang mewah, makan enak. Padahal Sarah jarang sekali bekerja. Perempuan itu selalu keluar kosan saat malam hari. Dan ternyata...Karena terlarut dengan pikirannya, Aiza tidak menyadari jika dia sudah dalam setengah perjalanan pulang. Namun di jalan yang cukup sepi langkah perempuan itu harus terhenti ketika melihat tiga preman berjalan ke arahnya, menatapnya dengan intens.Aiza seketika menjadi waspada. Dia mendadak tegang. Tanpa sadar langkahnya bergerak mundur. Radarnya mengatakan dia dalam bahaya.Hai, Cantik. Mau ke mana? Cantik sekali malam-malam begini?” ujar salah satu preman itu ketika jarak mereka satu meter dengan Aiza.Aiza tidak menghiraukan preman itu, membalik badan. Dia berjalan mengambil langkah lebar dikit demi sedikit. Kemudian dia berlari kencang ketika merasakan tiga preman itu mengikutinya. Dia harus cepat menghindar. Dia dalam bahaya.Dalam pelariannya itu, Aiza sempat merutuki gaun yang dia pakai. Gara-gara gaun yang dia pakai saat ini, ia jadi dalam bahaya. Dia yakin akibat gaun terbuka yang dia pakai inilah, ketiga preman itu mengganggunya.Namun sekuat apa pun Aiza berlari, ketiga preman itu berhasil mengejarnya. Mengepung tubuh mungil perempuan itu.“Buru-buru sekali, Cantik. Main dulu sama kita, yuk,” ujar Preman kedua.“Mas-mas ini mau apa, ya? Minggir saya mau pulang,” seru Aiza dengan seluruh keberaniannya.“Nanti dulu dong cantik. Main dulu sama kita, yuk,” timpal preman ketiga, melirik Aiza dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sangat menggoda.“Tida
Selama dalam perjalanan menuju kosan Aiza tidak ada percakapan. Prince dan Aiza diam seribu bahasa. Mereka larut dengan pikiran masing-masing. Memikirkan masalah yang sedang menggeluti mereka. Aiza dengan masalah kemiskanannya, yang saat ini sedang membutuhkan uang untuk biaya operasi sang ibu. Entah ke mana dia mencari uang itu.Sedang Prince bingung harus bagaimana mempertahankan jabatannya sebagai CEO tanpa harus menikah. Keduanya dipusingkan bagaimana mencari solusi dari masalah mereka saat ini.Karena terlalu larut dengan lamunan masing-masing, tanpa terasa mobil yang dikendarai Prince tiba di kosan Aiza tiga puluh menit kemudian."Terima kasih banyak Pak Prince sudah menolong saya tadi,” ujar Aiza sebelum keluar dari mobil sport Prince, “Kalau tidak ada Pak Prince, saya tidak tahu bagaimana nasib saya. Mungkin saya sudah habis di tangan tiga preman tadi. Saya merasa sangat berhutang budi kepada Anda.”“Tidak masalah. Tidak perlu dipikirkan. Saya hanya melalukan tugas saya sesama
Mario sudah menunggu di samping mobil ketika Prince keluar rumah esok paginya. Menjemput sang bos untuk berangkat ke kantor. Rutinitas yang selalu dia lakukan setiap pagi sebagai sekretaris Pangeran Aditama Grup itu selama empat tahun terakhir ini.Tanpa di suruh, Mario langsung membukakan pintu mobil ketika Prince menghampirinya dengan wajah datar, khas milik pria itu. Kemudian dia berseru, “Selamat pagi, Pak Prince.”Prince tidak menyahut, masuk ke dalam mobil.“Dasar pelit suara. Apa susahnya dijawab? Toh berbicara tidak dibayar. Aku tidak bisa membayangkan perempuan yang menikah dengannya nanti. Pasti perempuan itu menderita menikah dengan pria irit bicara sepertinya. Selain itu wajahnya selalu muram durja. Tidak punya selera humor. Sedangkan kebanyakan perempuan menyukai pria yang humoris,” gerutu Mario dalam hati sambil masuk ke dalam mobil, duduk di kursi. Dia tidak mungkin mengatakannya secara langsung. Bisa-bisa dia dipecat hari ini juga. Sedangkan dia masih sangat membutuhka
Iya, Sepertinya memang tidak ada cara lain. Menerima tawaran itu adalah satu-satunya cara saat ini. Jika dia pergi ke rumah sakit untuk menjual ginjal butuh proses. Dia juga harus mencari orang yang membutuhkan. Tidak asal donor. Sedangkan dia tidak punya banyak waktu lagi. Ibunya harus segera dioperasi jika tidak ingin kehilangan orang tua yang tinggal satu-satu bagi ia dan kedua adiknya. Mereka belum siap.Maka tanpa pikir panjang lagi, Aiza beranjak dari duduknya, pergi ke ruangan Prince di lantai paling atas. Meninggalkan pekerjaannya yang masih menumpuk.Setiba di kantor Prince, Aiza menghampiri Mario. “Permisi, Pak Mario.”“Iya, Mbak Aiza. Ada yang bisa saya bantu?” Mario beranjak dari duduknya.“Apa Pak Prince ada di ruangannya, Pak Mario? Saya ingin bertemu dengan beliau.”Mario mengangguk, “Ada, Mbak Aiza. Kiranya ada perlu apa, Mbak Aiza ingin bertemu dengan beliau?”“Ada yang ingin saya bicarakan dengannya. Ini sangat penting! Bisa hubungi beliau jika saya ingin bertemu den
“Halo, Baby Boy,” ujar Alena ketika memasuki kantor Prince. Prince mendesah pelan mendengar panggilan sang mama tujukan untuknya, “Please, Ma. Usiaku hampir tiga puluh tahun, dan mama masih memanggilkan bayi?” Alena mengedikan bahu, dengan acuh dia duduk di sofa di ruangan itu. “Bagi orang tua, tidak peduli sudah besar dan sedewasa anak mereka, bagi mereka, anak tetaplah anak-anak.” “Ya, ya. Terserah mama saja.” Prince mengangguki, enggan berdebat. Dia menghampiri sang mama, ikut duduk di sofa, “Ngomong-ngomong, apa yang membawa Mama kemari?”“Hanya ingin mengunjungi putra mama yang bekerja. Seperti apa dia ketika sedang bekerja? Apa dia keren ketika terlihat serius di belakang meja kerjanya?” “So, bagaimana? Apa tadi Prince terlihat keren?” tanya Prince dengan memasang wajah serius. Alena mengangguk, “Iya, lumayan. Tapi, masih keren Papa kamu.” Prince mendengus, “Iya, Papa memang tidak ada tandingannya. Di mata Mama, dia adalah pria yang paling keren di dunia ini.” Alena terg
“Kak, kata dokter, Ibu harus segera dioperasi. Jika tidak, Ibu akan meninggal. Sedangkan biaya operasinya dua ratus juta. Itu pun biaya operasi. Belum biaya lain-lainnya. Apa Kakak ada uang sebanyak itu?”Zalina Aiza Habiba atau yang kerap disapa Aiza menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar kala teringat telepon dari Rendi – sang adik di kota provinsi mereka dua hari yang lalu. Dia bahkan tidak dapat konsentrasi dengan pekerjaannua.Adik kedua yang baru kelas tiga SMA itu mengabarkan jika kondisi sang ibu semakin buruk. Harus segera dioperasi secepatnya. Sedangkan biaya operasinya tidaklah murah. Dua ratus juta. Ke mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Sedangkan gajinya sebagai staf biasa di divisi humas perusahaan besar di ibu kota tidak terlalu besar. Butuh waktu dua tahun dia baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Itu pun kalau tidak dipotong biaya hidupnya di Ibu Kota, biaya sewa rumah di kampung halaman, biaya kedua adiknya yang masih sekolah, dan biaya pengobatan
“Mario, tolong ke ruangan saya sebentar,” ujar Prince melalui interkomnya kepada Mario setelah lima menit Aiza keluar ruangannya.Dalam hitungan detik, Mario masuk ke ruangannya.“Ada yang bisa bantu, Pak Prince?”Prince terdiam sejenak, ragu-ragu berujar, “Begini, Yo. Saya ingin minta tolong sama kamu untuk meresorvasikan saya restoran ternama nanti malam. Minta mereka untuk tidak menerima pengunjung lain. Siapkan makanan terenak mereka.”“Heh?” Alis Mario bertaut dengan permintaan Prince yang tidak biasa itu, “Untuk apa, Pak Prince? Pak Prince ingin menyatakan cinta, ya, pada perempuan? Atau mau melamar?” tanyanya yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.Prince mendelik tajam, “Tidak usah banyak tanya. Lakukan saja yang saya perintahkan.”Mendapat tatapan tajam dari Prince, nyali Mario menciut. Dengan cepat dia mengangguk, meninggalkan ruangan Prince. Untuk melakukan perintah sang atasan. Namun sebelum keluar dari ruang atasannya itu, dia berseru di bingkai pintu, “Kalau boleh tahu