Hai, Cantik. Mau ke mana? Cantik sekali malam-malam begini?” ujar salah satu preman itu ketika jarak mereka satu meter dengan Aiza.
Aiza tidak menghiraukan preman itu, membalik badan. Dia berjalan mengambil langkah lebar dikit demi sedikit. Kemudian dia berlari kencang ketika merasakan tiga preman itu mengikutinya. Dia harus cepat menghindar. Dia dalam bahaya.Dalam pelariannya itu, Aiza sempat merutuki gaun yang dia pakai. Gara-gara gaun yang dia pakai saat ini, ia jadi dalam bahaya. Dia yakin akibat gaun terbuka yang dia pakai inilah, ketiga preman itu mengganggunya.Namun sekuat apa pun Aiza berlari, ketiga preman itu berhasil mengejarnya. Mengepung tubuh mungil perempuan itu.“Buru-buru sekali, Cantik. Main dulu sama kita, yuk,” ujar Preman kedua.“Mas-mas ini mau apa, ya? Minggir saya mau pulang,” seru Aiza dengan seluruh keberaniannya.“Nanti dulu dong cantik. Main dulu sama kita, yuk,” timpal preman ketiga, melirik Aiza dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sangat menggoda.“Tidak. Saya tidak mau,” sentak Aiza, “Minggir saya mau lewat!”“Kita akan lepaskan kalau Neng Cantik mau main sama kita dulu,” ucap Preman satu, mengusap pundak Aiza yang terbuka.“Mas jangan kurang ajar, ya.” Aiza melototi Preman pertama.Ketiga preman itu tertawa, saling melirik.“Cantik-cantik galak sekali. Dari pada marah-marah mending main sama kita,” ucap Preman ketiga. Dia mendekati Aiza, hendak meraih tangan mungil perempuan itu.Namun belum sempat preman ketiga itu meraih tangannya. Aiza menendang selangkangan pria itu. Tepat di mana bendanya yang paling berharga.Selagi preman ketiga itu meringis, Aiza mendapatkan celah kembali berlari. Lebih kencang dari sebelumnya. Dia mengerahkan semua kekuatan yang saya punya.Naas, karena terlalu buru-buru di malam yang remang, Aiza tersandung karena sebuah batu besar yang tidak terlihat. Tubuhnya jatuh terselungkup di tanah. Mengabaikan rasa sakit di tubuhnya, dia buru-buru bangun. Tapi karena kakinya keseleo, Aiza jadi terduduk.“Aduh, Cantik. Buru-buru sekali sih. Jadinya jatuh, kan?” ujar preman kedua ketika mereka kembali berhasil mengejar Aiza.Dengan posisi duduk, Aiza merangkak mundur. Mendongkak ketiga preman itu dengan belas kasih. “Saya mohon, Mas. Jangan apa-apa kan saya. Saya mohon.”“Ketika tidak mau apa-apa kan Neng cantik. Kita Cuma mau ajak main,” ucap Preman kedua.Aiza menggeleng kuat. Air mata sudah bercucur di wajahnya. “Tidak, saya tidak mau.”Namun ketiga preman itu tidak tersentuh. Salah satu dari mereka maju hendak meraih tubuh mungil Aiza. Namun belum sempat preman itu menyentuh perempuan malang itu, sebuah suara berseru.“Jangan sentuh dia!”Ketiga preman itu refleks menoleh ke belakang, di mana sumber suara itu berasal. Dijarak sepuluh meter tempat mereka berdiri, seorang pria berdiri tegap di sana.Pria itu tidak lain adalah Prince Aariz Dewanta. Putri sulung Alena. Di bawa cahaya lampu jalan membias wajah tampannya, dia menatap tajam ketiga preman yang sedang mengerumuni Aiza.Prince sebenarnya itu suka ikut campur urusan orang lain. Namun dia tidak Mentolerir orang menyakati perempuan. Seperti nasihat sang mama, perempuan itu harus dilindungi bukan disakiti. Sebab itulah dia langsung menepikan mobil ketika melihat Aiza diganggu tiga preman itu. Dia harus menolong perempuan itu. Apalagi setelah melihat jika perempuan itu adalah orang yang dia kenal. Nuraninya semakin tergerak.“Mas ini siapa, ya?” tanya preman ketiga, “Mending Mas pergi sana jika tidak ingin wajah tampannya itu rusak. Jangan ikut campur urusan kita.”Prince menyeringai sinis. “Saya tidak bisa untuk tidak ikut campur jika ada orang menyakiti perempuan.”“Kalau begitu jangan salahkan kita ya kalau wajah tampan Mas itu rusak,” ucap preman kedua.Prince mengedikan bahu, dengan percaya diri, ia berucap menantang, “Siapa takut. Sini maju.”Ketiga preman itu saling melirik, memasang kuda-kuda. Setelahnya mereka maju, melayangkan bogeman mentah kepada Prince.Namun, Prince yang sudah berlatih bela diri sejak berusia sepuluh tahu dengan gesit menghindari serangan mereka. Tidak kalah melayangkan balasan.“Ah, sialan.” Prince mendesis kala pukulan salah satu preman itu mengenai sudut bibirnya. Ini tidak bisa dimaafkan. Harus segera diselesaikan.Dengan kekuatan penuh, Prince melawan mereka. Dalam sekejap pertarungan itu berakhir yang dimenangkan olehnya.Tidak ingin semakin bonyok di tangan Prince, ketiga preman itu menyerah, berlari terbirit-birit.Sementara Prince menghampiri Aiza yang masih terduduk ketakutan. Setiba di depan perempuan itu, dia mengulurkan tangan untuk membantu perempuan itu berdiri.“Pak Prince,” gumam Aiza setelah mengetahui dengan jelas sosok yang telah menolongnya.“Iya, ini saya. Prince. Sekarang, Ayo, sudah tidak apa-apa. Ketiga premannya sudah pergi. Kamu sudah aman,” ucapnya dengan tangan masih menggantung di udara. Belum mendapat sambutan dari perempuan di hadapannya.Aiza menatap gamang ulur tangan Prince.“Tenang, saya tidak akan menyakiti kamu. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucap Prince saat menatap keraguan di manik mata hazel Aiza.Aiza yang merasa aman mendengar kata atasannya itu menerima uluran tangan Prince.Perlahan, Prince membantu Aiza berdiri. Membawa tubuh lemah yang habis jatuh itu ke dalam mobilnya.Aiza yang sudah nyaman duduk di mobil Prince tiba-tiba menangis kala teringat kemalangan nasibnya. Dia mendadak emosional. Niat hati ingin mencari uang untuk membiayai pengobatan sang ibu, dia hampir saja dilecehkan. Dia tidak bisa membayangkan bagaikana hidupnya jika tiga preman tadi berhasil melakukan hal buruk padanya. Mungkin dia tidak bisa lagi bertahan hidup.“Hah! Dia menangis." Prince mendengus melihat Aiza terseduh. Dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis, "Tenang! Kamu sudah aman sekerang sama saya. Tidak ada yang menyakiti kamu lagi,” sambungnya yang sudah duduk di bangku kemudi.“Maaf. Saya mendadak emosional. Tidak bisa membayangkan hidup saya bagaimana setelah ini jika Pak Prince tidak menolong saya." Dengan lirih, Aiza berujar, menyeka sudut matanya.“Its. Okey. Sekarang sudah tidak apa-apa. Ini Seka air mata kamu.” Prince menyerahkan tisu kepada perempuan itu yang dia ambil di atas dashbor mobilnya.Aiza yang masih setengah sesegukkan menerima tisu dari Prince, "Terima kasih, Pak."Prince berdecak melirik penampilan Aiza yang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pakaian perempuan itu sedikit terbuka. Dia langsung melepaskan jasnya. Hingga menyisakan kemeja putihnya yang sudah basa oleh keringat ketika bertarung dengan tiga preman tadi. Kemudian melemparnya pelan kepada Aiza, “Pakai ini. Pantas saja ketiga preman tadi mengganggu kamu. Kamu berkeliaran tengah malam dengan pakaian terbuka. Siapa yang tidak tergoda. Mau jual diri kamu?"Aiza tertunduk. “Saya sebenarnya juga tidak mau, Pak. Tapi karena teman saya bilang akan membawa saya ke tempat bisa mendapatkan uang dengan cepat, saya manut saja. Saya tidak menyangka, dia justru membawa saya ke kelap malam untuk jual diri. Saya tentu saja tidak mau. Saya memang membutuhkan uang, tapi saya tidak akan merendahkan diri saya hanya karena uang."“Lantas kenapa kamu pulang jalan kaki? Kenapa tidak naik taksi? Kamu tahu sendiri bahayanya ibu kota seperti apa."“Uang saya tidak cukup, Pak. Untuk makan sampai akhir bulan ini saja pas-pasan,” lirih Aiza lagi, nyaris seperti bisikan.Prince terenyak mendengar pengakuan Aiza. Menyedihkan sekali hidup perempuan di sampingnya ini. Rupanya bawahnya ini benar-benar membutuhkan uang. Dia pikir kemarin, Aiza hanya ingin menipunya.“Sekarang di mana alamat kamu? Saya antar kamu pulang. Kamu tidak pulang dengan pakaian kurang bahan itu. Nanti ada yang menganggu kamu lagi,” ucap Prince beberapa detik kemudian, menyalahkan mesin mobil.Sambil mengenakan jas Prince, Aiza menyebutkan alamat kosannya.Tanpa basa basi lagi, Prince langsung tancap gas.Selama dalam perjalanan menuju kosan Aiza tidak ada percakapan. Prince dan Aiza diam seribu bahasa. Mereka larut dengan pikiran masing-masing. Memikirkan masalah yang sedang menggeluti mereka. Aiza dengan masalah kemiskanannya, yang saat ini sedang membutuhkan uang untuk biaya operasi sang ibu. Entah ke mana dia mencari uang itu.Sedang Prince bingung harus bagaimana mempertahankan jabatannya sebagai CEO tanpa harus menikah. Keduanya dipusingkan bagaimana mencari solusi dari masalah mereka saat ini.Karena terlalu larut dengan lamunan masing-masing, tanpa terasa mobil yang dikendarai Prince tiba di kosan Aiza tiga puluh menit kemudian."Terima kasih banyak Pak Prince sudah menolong saya tadi,” ujar Aiza sebelum keluar dari mobil sport Prince, “Kalau tidak ada Pak Prince, saya tidak tahu bagaimana nasib saya. Mungkin saya sudah habis di tangan tiga preman tadi. Saya merasa sangat berhutang budi kepada Anda.”“Tidak masalah. Tidak perlu dipikirkan. Saya hanya melalukan tugas saya sesama
Mario sudah menunggu di samping mobil ketika Prince keluar rumah esok paginya. Menjemput sang bos untuk berangkat ke kantor. Rutinitas yang selalu dia lakukan setiap pagi sebagai sekretaris Pangeran Aditama Grup itu selama empat tahun terakhir ini.Tanpa di suruh, Mario langsung membukakan pintu mobil ketika Prince menghampirinya dengan wajah datar, khas milik pria itu. Kemudian dia berseru, “Selamat pagi, Pak Prince.”Prince tidak menyahut, masuk ke dalam mobil.“Dasar pelit suara. Apa susahnya dijawab? Toh berbicara tidak dibayar. Aku tidak bisa membayangkan perempuan yang menikah dengannya nanti. Pasti perempuan itu menderita menikah dengan pria irit bicara sepertinya. Selain itu wajahnya selalu muram durja. Tidak punya selera humor. Sedangkan kebanyakan perempuan menyukai pria yang humoris,” gerutu Mario dalam hati sambil masuk ke dalam mobil, duduk di kursi. Dia tidak mungkin mengatakannya secara langsung. Bisa-bisa dia dipecat hari ini juga. Sedangkan dia masih sangat membutuhka
Iya, Sepertinya memang tidak ada cara lain. Menerima tawaran itu adalah satu-satunya cara saat ini. Jika dia pergi ke rumah sakit untuk menjual ginjal butuh proses. Dia juga harus mencari orang yang membutuhkan. Tidak asal donor. Sedangkan dia tidak punya banyak waktu lagi. Ibunya harus segera dioperasi jika tidak ingin kehilangan orang tua yang tinggal satu-satu bagi ia dan kedua adiknya. Mereka belum siap.Maka tanpa pikir panjang lagi, Aiza beranjak dari duduknya, pergi ke ruangan Prince di lantai paling atas. Meninggalkan pekerjaannya yang masih menumpuk.Setiba di kantor Prince, Aiza menghampiri Mario. “Permisi, Pak Mario.”“Iya, Mbak Aiza. Ada yang bisa saya bantu?” Mario beranjak dari duduknya.“Apa Pak Prince ada di ruangannya, Pak Mario? Saya ingin bertemu dengan beliau.”Mario mengangguk, “Ada, Mbak Aiza. Kiranya ada perlu apa, Mbak Aiza ingin bertemu dengan beliau?”“Ada yang ingin saya bicarakan dengannya. Ini sangat penting! Bisa hubungi beliau jika saya ingin bertemu den
“Halo, Baby Boy,” ujar Alena ketika memasuki kantor Prince. Prince mendesah pelan mendengar panggilan sang mama tujukan untuknya, “Please, Ma. Usiaku hampir tiga puluh tahun, dan mama masih memanggilkan bayi?” Alena mengedikan bahu, dengan acuh dia duduk di sofa di ruangan itu. “Bagi orang tua, tidak peduli sudah besar dan sedewasa anak mereka, bagi mereka, anak tetaplah anak-anak.” “Ya, ya. Terserah mama saja.” Prince mengangguki, enggan berdebat. Dia menghampiri sang mama, ikut duduk di sofa, “Ngomong-ngomong, apa yang membawa Mama kemari?”“Hanya ingin mengunjungi putra mama yang bekerja. Seperti apa dia ketika sedang bekerja? Apa dia keren ketika terlihat serius di belakang meja kerjanya?” “So, bagaimana? Apa tadi Prince terlihat keren?” tanya Prince dengan memasang wajah serius. Alena mengangguk, “Iya, lumayan. Tapi, masih keren Papa kamu.” Prince mendengus, “Iya, Papa memang tidak ada tandingannya. Di mata Mama, dia adalah pria yang paling keren di dunia ini.” Alena terg
“Kak, kata dokter, Ibu harus segera dioperasi. Jika tidak, Ibu akan meninggal. Sedangkan biaya operasinya dua ratus juta. Itu pun biaya operasi. Belum biaya lain-lainnya. Apa Kakak ada uang sebanyak itu?”Zalina Aiza Habiba atau yang kerap disapa Aiza menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar kala teringat telepon dari Rendi – sang adik di kota provinsi mereka dua hari yang lalu. Dia bahkan tidak dapat konsentrasi dengan pekerjaannua.Adik kedua yang baru kelas tiga SMA itu mengabarkan jika kondisi sang ibu semakin buruk. Harus segera dioperasi secepatnya. Sedangkan biaya operasinya tidaklah murah. Dua ratus juta. Ke mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Sedangkan gajinya sebagai staf biasa di divisi humas perusahaan besar di ibu kota tidak terlalu besar. Butuh waktu dua tahun dia baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Itu pun kalau tidak dipotong biaya hidupnya di Ibu Kota, biaya sewa rumah di kampung halaman, biaya kedua adiknya yang masih sekolah, dan biaya pengobatan
“Mario, tolong ke ruangan saya sebentar,” ujar Prince melalui interkomnya kepada Mario setelah lima menit Aiza keluar ruangannya.Dalam hitungan detik, Mario masuk ke ruangannya.“Ada yang bisa bantu, Pak Prince?”Prince terdiam sejenak, ragu-ragu berujar, “Begini, Yo. Saya ingin minta tolong sama kamu untuk meresorvasikan saya restoran ternama nanti malam. Minta mereka untuk tidak menerima pengunjung lain. Siapkan makanan terenak mereka.”“Heh?” Alis Mario bertaut dengan permintaan Prince yang tidak biasa itu, “Untuk apa, Pak Prince? Pak Prince ingin menyatakan cinta, ya, pada perempuan? Atau mau melamar?” tanyanya yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.Prince mendelik tajam, “Tidak usah banyak tanya. Lakukan saja yang saya perintahkan.”Mendapat tatapan tajam dari Prince, nyali Mario menciut. Dengan cepat dia mengangguk, meninggalkan ruangan Prince. Untuk melakukan perintah sang atasan. Namun sebelum keluar dari ruang atasannya itu, dia berseru di bingkai pintu, “Kalau boleh tahu
Prince menarik napas panjang. Menenagkan debaran jantungnya yang berdetak kencang ketika melihat siluet Lavanya memasuki restoran. Melambai tangan ke arahnya di depan pintu masuk restoran tersebut. Dia mendadak tegang. Namun sebisa mungkin dia bersikap tenang. Balas melambai tangan kepada perempuan itu setelah merapikan jasnya. Mengukir senyum manis di wajah tampannya yang minim ekspresi itu. Senyum yang hanya dia tunjukkan kepada sang sahabat dan keluarganya saja.Namun, senyum di wajah Prince seketika langsung pudar ketika mengetahui Lavanya tidak datang seorang diri. Melainkan dengan seorang pria yang tidak asing lagi. Dia memang tidak mengenal secara pribadi dengan pria itu. Tapi, dia tahu pria itu adalah Jerry Hermawan, aktor populer di negara mereka. Yang telah lalang melintang di dunia hiburan. Lawan main Lavanya dalam film terbaru perempuan itu.Batin Prince menjasi bertanya-tanya tanpa curiga. Untuk apa Lavanya membawa pria itu?“Hai, Prince.” Lavanya menyapa ketika ia dan Jer