Share

Bab 4

Hai, Cantik. Mau ke mana? Cantik sekali malam-malam begini?” ujar salah satu preman itu ketika jarak mereka satu meter dengan Aiza.

Aiza tidak menghiraukan preman itu, membalik badan. Dia berjalan mengambil langkah lebar dikit demi sedikit. Kemudian dia berlari kencang ketika merasakan tiga preman itu mengikutinya. Dia harus cepat menghindar. Dia dalam bahaya.

Dalam pelariannya itu, Aiza sempat merutuki gaun yang dia pakai. Gara-gara gaun yang dia pakai saat ini, ia jadi dalam bahaya. Dia yakin akibat gaun terbuka yang dia pakai inilah, ketiga preman itu mengganggunya.

Namun sekuat apa pun Aiza berlari, ketiga preman itu berhasil mengejarnya. Mengepung tubuh mungil perempuan itu.

“Buru-buru sekali, Cantik. Main dulu sama kita, yuk,” ujar Preman kedua.

“Mas-mas ini mau apa, ya? Minggir saya mau pulang,” seru Aiza dengan seluruh keberaniannya.

“Nanti dulu dong cantik. Main dulu sama kita, yuk,” timpal preman ketiga, melirik Aiza dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sangat menggoda.

“Tidak. Saya tidak mau,” sentak Aiza, “Minggir saya mau lewat!”

“Kita akan lepaskan kalau Neng Cantik mau main sama kita dulu,” ucap Preman satu, mengusap pundak Aiza yang terbuka.

“Mas jangan kurang ajar, ya.” Aiza melototi Preman pertama.

Ketiga preman itu tertawa, saling melirik.

“Cantik-cantik galak sekali. Dari pada marah-marah mending main sama kita,” ucap Preman ketiga. Dia mendekati Aiza, hendak meraih tangan mungil perempuan itu.

Namun belum sempat preman ketiga itu meraih tangannya. Aiza menendang selangkangan pria itu. Tepat di mana bendanya yang paling berharga.

Selagi preman ketiga itu meringis, Aiza mendapatkan celah kembali berlari. Lebih kencang dari sebelumnya. Dia mengerahkan semua kekuatan yang saya punya.

Naas, karena terlalu buru-buru di malam yang remang, Aiza tersandung karena sebuah batu besar yang tidak terlihat. Tubuhnya jatuh terselungkup di tanah. Mengabaikan rasa sakit di tubuhnya, dia buru-buru bangun. Tapi karena kakinya keseleo, Aiza jadi terduduk.

“Aduh, Cantik. Buru-buru sekali sih. Jadinya jatuh, kan?” ujar preman kedua ketika mereka kembali berhasil mengejar Aiza.

Dengan posisi duduk, Aiza merangkak mundur. Mendongkak ketiga preman itu dengan belas kasih. “Saya mohon, Mas. Jangan apa-apa kan saya. Saya mohon.”

“Ketika tidak mau apa-apa kan Neng cantik. Kita Cuma mau ajak main,” ucap Preman kedua.

Aiza menggeleng kuat. Air mata sudah bercucur di wajahnya. “Tidak, saya tidak mau.”

Namun ketiga preman itu tidak tersentuh. Salah satu dari mereka maju hendak meraih tubuh mungil Aiza. Namun belum sempat preman itu menyentuh perempuan malang itu, sebuah suara berseru.

“Jangan sentuh dia!”

Ketiga preman itu refleks menoleh ke belakang, di mana sumber suara itu berasal. Dijarak sepuluh meter tempat mereka berdiri, seorang pria berdiri tegap di sana.

Pria itu tidak lain adalah Prince Aariz Dewanta. Putri sulung Alena. Di bawa cahaya lampu jalan membias wajah tampannya, dia menatap tajam ketiga preman yang sedang mengerumuni Aiza.

Prince sebenarnya itu suka ikut campur urusan orang lain. Namun dia tidak Mentolerir orang menyakati perempuan. Seperti nasihat sang mama, perempuan itu harus dilindungi bukan disakiti. Sebab itulah dia langsung menepikan mobil ketika melihat Aiza diganggu tiga preman itu. Dia harus menolong perempuan itu. Apalagi setelah melihat jika perempuan itu adalah orang yang dia kenal. Nuraninya semakin tergerak.

“Mas ini siapa, ya?” tanya preman ketiga, “Mending Mas pergi sana jika tidak ingin wajah tampannya itu rusak. Jangan ikut campur urusan kita.”

Prince menyeringai sinis. “Saya tidak bisa untuk tidak ikut campur jika ada orang menyakiti perempuan.”

“Kalau begitu jangan salahkan kita ya kalau wajah tampan Mas itu rusak,” ucap preman kedua.

Prince mengedikan bahu, dengan percaya diri, ia berucap menantang, “Siapa takut. Sini maju.”

Ketiga preman itu saling melirik, memasang kuda-kuda. Setelahnya mereka maju, melayangkan bogeman mentah kepada Prince.

Namun, Prince yang sudah berlatih bela diri sejak berusia sepuluh tahu dengan gesit menghindari serangan mereka. Tidak kalah melayangkan balasan.

“Ah, sialan.” Prince mendesis kala pukulan salah satu preman itu mengenai sudut bibirnya. Ini tidak bisa dimaafkan. Harus segera diselesaikan.

Dengan kekuatan penuh, Prince melawan mereka. Dalam sekejap pertarungan itu berakhir yang dimenangkan olehnya.

Tidak ingin semakin bonyok di tangan Prince, ketiga preman itu menyerah, berlari terbirit-birit.

Sementara Prince menghampiri Aiza yang masih terduduk ketakutan. Setiba di depan perempuan itu, dia mengulurkan tangan untuk membantu perempuan itu berdiri.

“Pak Prince,” gumam Aiza setelah mengetahui dengan jelas sosok yang telah menolongnya.

“Iya, ini saya. Prince. Sekarang, Ayo, sudah tidak apa-apa. Ketiga premannya sudah pergi. Kamu sudah aman,” ucapnya dengan tangan masih menggantung di udara. Belum mendapat sambutan dari perempuan di hadapannya.

Aiza menatap gamang ulur tangan Prince.

“Tenang, saya tidak akan menyakiti kamu. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucap Prince saat menatap keraguan di manik mata hazel Aiza.

Aiza yang merasa aman mendengar kata atasannya itu menerima uluran tangan Prince.

Perlahan, Prince membantu Aiza berdiri. Membawa tubuh lemah yang habis jatuh itu ke dalam mobilnya.

Aiza yang sudah nyaman duduk di mobil Prince tiba-tiba menangis kala teringat kemalangan nasibnya. Dia mendadak emosional. Niat hati ingin mencari uang untuk membiayai pengobatan sang ibu, dia hampir saja dilecehkan. Dia tidak bisa membayangkan bagaikana hidupnya jika tiga preman tadi berhasil melakukan hal buruk padanya. Mungkin dia tidak bisa lagi bertahan hidup.

“Hah! Dia menangis." Prince mendengus melihat Aiza terseduh. Dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis, "Tenang! Kamu sudah aman sekerang sama saya. Tidak ada yang menyakiti kamu lagi,” sambungnya yang sudah duduk di bangku kemudi.

“Maaf. Saya mendadak emosional. Tidak bisa membayangkan hidup saya bagaimana setelah ini jika Pak Prince tidak menolong saya." Dengan lirih, Aiza berujar, menyeka sudut matanya.

“Its. Okey. Sekarang sudah tidak apa-apa. Ini Seka air mata kamu.” Prince menyerahkan tisu kepada perempuan itu yang dia ambil di atas dashbor mobilnya.

Aiza yang masih setengah sesegukkan menerima tisu dari Prince, "Terima kasih, Pak."

Prince berdecak melirik penampilan Aiza yang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pakaian perempuan itu sedikit terbuka. Dia langsung melepaskan jasnya. Hingga menyisakan kemeja putihnya yang sudah basa oleh keringat ketika bertarung dengan tiga preman tadi. Kemudian melemparnya pelan kepada Aiza, “Pakai ini. Pantas saja ketiga preman tadi mengganggu kamu. Kamu berkeliaran tengah malam dengan pakaian terbuka. Siapa yang tidak tergoda. Mau jual diri kamu?"

Aiza tertunduk. “Saya sebenarnya juga tidak mau, Pak. Tapi karena teman saya bilang akan membawa saya ke tempat bisa mendapatkan uang dengan cepat, saya manut saja. Saya tidak menyangka, dia justru membawa saya ke kelap malam untuk jual diri. Saya tentu saja tidak mau. Saya memang membutuhkan uang, tapi saya tidak akan merendahkan diri saya hanya karena uang."

“Lantas kenapa kamu pulang jalan kaki? Kenapa tidak naik taksi? Kamu tahu sendiri bahayanya ibu kota seperti apa."

“Uang saya tidak cukup, Pak. Untuk makan sampai akhir bulan ini saja pas-pasan,” lirih Aiza lagi, nyaris seperti bisikan.

Prince terenyak mendengar pengakuan Aiza. Menyedihkan sekali hidup perempuan di sampingnya ini. Rupanya bawahnya ini benar-benar membutuhkan uang. Dia pikir kemarin, Aiza hanya ingin menipunya.

“Sekarang di mana alamat kamu? Saya antar kamu pulang. Kamu tidak pulang dengan pakaian kurang bahan itu. Nanti ada yang menganggu kamu lagi,” ucap Prince beberapa detik kemudian, menyalahkan mesin mobil.

Sambil mengenakan jas Prince, Aiza menyebutkan alamat kosannya.

Tanpa basa basi lagi, Prince langsung tancap gas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status