Share

Bab 2

“Mario, tolong ke ruangan saya sebentar,” ujar Prince melalui interkomnya kepada Mario setelah lima menit Aiza keluar ruangannya.

Dalam hitungan detik, Mario masuk ke ruangannya.

“Ada yang bisa bantu, Pak Prince?”

Prince terdiam sejenak, ragu-ragu berujar, “Begini, Yo. Saya ingin minta tolong sama kamu untuk meresorvasikan saya restoran ternama nanti malam. Minta mereka untuk tidak menerima pengunjung lain. Siapkan makanan terenak mereka.”

“Heh?” Alis Mario bertaut dengan permintaan Prince yang tidak biasa itu, “Untuk apa, Pak Prince? Pak Prince ingin menyatakan cinta, ya, pada perempuan? Atau mau melamar?” tanyanya yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Prince mendelik tajam, “Tidak usah banyak tanya. Lakukan saja yang saya perintahkan.”

Mendapat tatapan tajam dari Prince, nyali Mario menciut. Dengan cepat dia mengangguk, meninggalkan ruangan Prince. Untuk melakukan perintah sang atasan. Namun sebelum keluar dari ruang atasannya itu, dia berseru di bingkai pintu, “Kalau boleh tahu, siapa perempuan itu, Pak?”

Prince mendelik lagi, melempar Mario dengan pulpen.

Mario buru-buru menutup pintu sebelum pulpen yang dilempar Prince mendarat di wajahnya.

“Dasar sekretaris kurang ajar. Jika bukan karena kinerja kamu yang bagus sudah saya pecat kamu, Yo,” ujar Prince pada pintu yang sudah tertutup rapat.

“Kalau bukan gajinya yang besar, saya juga sudah mengundurkan diri, Pak. Mana mau saya kerja sama bos otoriter seperti Pak Prince,” balas Mario yang masih berdiri di balik pintu, “Galak lagi.”

Prince mendesis tajam, “Cepat kerjakan yang saya perintahkan, Mario.”

Tidak ada sahutan lagi dari luar. Itu artinya, Mario sedang melakukan tugas yang Prince minta.

Tidak lama, sepuluh menit kemudian, Prince mendapat pesan dari Mario. Memberitahukan jika pria telah memesan restoran ternama seperti yang dia minta.

Prince tidak membalas. Dia justru mengirim pesan kepada Lavanya, sang sahabat. Untuk mengajak sahabatnya itu makan malam bersama dengan di restoran yang telah di reservasi oleh Mario tadi. Pria itu akhirnya memutuskan memberanikan diri untuk menyatakan cinta sekaligus melamar Lavanya. Dia berharap cintanya diterima.

Namun pesan Prince tidak segera di balas oleh Lavanya. Barulah ketika sore harinya perempuan itu membalas pesannya. Yang menyatakan, ‘Okey’.

Senyum di wajah Prince seketika mengembang. Pria itu lekas beranjak dari tempat duduknya. Dia hendak pergi mencari cincin untuk melamar sahabatnya itu nanti malam.

***

Setiba di kosannya yang berukuran 5×5 meter persegi, Aiza langgung menghempaskan tubuh lelahnya di tempat tidur tanpa mengganti pakaian lebih dulu.

Hari ini, gadis berusia dua puluh lima tahun itu benar-benar lelah. Bukan hanya karena banyaknya pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini juga, hingga membuatnya harus pulang terlambat tiga jam dari biasanya. Pukul lima sore ke jam delapan malam, dia juga lelah memikirkan biaya operasi sang Ibu.

Entah ke mana dia harus mendapatkan uang sebanyak itu?

“Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?” gumam Aiza sambil menatap langit kamar. Dia sudah meminjam uang di bank, di tempatnya bekerja, dan juga atasannya di kantor. Namun tidak mendapatkan hasil. Atau mungkin dia memang harus menjual ginjalnya?

Tok, tok, tok.

Bunyi ketokan pintu kosannya membuyarkan Aiza dari lamunannya. Dengan malas gadis itu beranjak membuka pintu. Sungguh, saat ini dia sedang tidak ingin menerima tamu.

Tok, tok, tok.

“Ck. Siapa sih? Tidak sabaran sekali.” Aiza mencibir kesal kala pintu kosannya diketok lagi, semakin keras.

“Hai, Nak Aiza.” Seorang perempuan paru baya menyapa ketika Aiza membuka pintu.

“Ah, Ibu kos.” Aiza tersenyum tanggung saat mengetahui siapa pelaku orang yang mengetok pintunya, yang tidak lain adalah pemilik kosannya. Kekesalannya berubah menjadi kecemasan dengan kehadiran sosok perempuan itu. Pemilik kosannya itu pasti datang untuk menagih sewa kosnya. Pasalnya sudah tiga bulan dia menunggak membayar sewa. Semenjak sang ibu sering jatuh sakit. Uang gajinya habis digunakan untuk membayar pengobatan sang ibu, hidupnya sehari-hari dan kebutuhan adik-adiknya di kampung halaman.

“Sudah tiga bulan. Kapan kamu mau bayar kos, Nak Aiza?” ujar Ibu Kos tanpa basa basi. Kenapa alasannya mengunjungi gadis itu di malam hari. Sesuai tebakan Aiza.

“A-nu, Bu. Apa saya boleh minta tempo sebulan lagi? Saya bulan ini belum ada uang, Bu,” ucap Aiza sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Kebiasaannya kalau lagi bingung.

“Tidak bisa!” Ibu Kos menggeleng tegas, “Jika, kamu tidak bisa membayar, sekarang kamu keluar dari kosan saya.”

“Saya mohon, Bu! Saya saat ini benar-benar tidak punya uang. Tolong berikan saya waktu sebulan lagi. Kalau bulan depan saya gajian, saya janji akan melunasi semuanya.” Aiza memelas, memohon belas kasih.

“Sepuluh hari. Saya kasih kamu tempo sepuluh hari. Jika, dalam waktu sepuluh hari kamu tidak membayar, maka kamu angkat kaki dari kosan saya,” tawar Ibu kosan.

“Sepuluh hari? Apa tidak bisa sebulan lagi, Bu?” Aiza mencoba memberi penawaran lagi. Dia tidak mungkin bisa mendapatkan uang secepat itu.

Ibu kos menggeleng tegas, “Sepuluh hari! Jika, kamu masih mau tinggal di sini, kamu harus bayar sepuluh hari lagi. Tidak ada bulan depan.”

Menghela napas panjang, Aiza akhirnya mengangguk, “Baik, Bu. Saya usahakan akan bayar sepuluh hari lagi.”

Ibu kos mengangguk puas dengan jawaban Aiza, “Kalau begitu saya permisi. Sepuluh hari lagi saya akan datang lagi.”

Tanpa kata lagi, dengan angkuh Ibu Kos berlalu meninggalkan Aiza.

Aiza menghela napas panjang, meraup wajah dengan kasar setelah kepergian Ibu kos. “Oh, Tuhan, apa memang hidup seberat ini? Kenapa masalah tidak habis menimpaku. Belum selesai masalah yang sedang menimpaku, kini masalah baru datang. Sekarang ke mana aku harus mencari uang dalam tempo sepuluh hari? Saat aku sendiri belum mendapat pinjaman untuk biaya operasi ibu.”

Untuk pertama kali, Aiza yang selalu menerima keadaan sulit dalam hidupnya dengan senyum, mengeluh. Sungguh saat ini beban yang dihadapi saat terlalu berat. Dia merasa tidak kuat menjalaninya.

Air mata tanpa sadar mengalir di wajah Aiza. Gadis yang selalu tersenyum dalam keadaan apa pun itu, tampak begitu rapuh.

“Kamu kenapa, Za?” Sarah, tetangga kosan Aiza yang baru pulang dari toserba bertanya, “Kenapa Ibu kos kemari?”

“Habis menagih uang sewa saya, Sar. Saya sudah tiga bulan menunggak.”

“Hah? Kamu sudah tiga bulan tidak membayar sewa kosa?” Mata Sarah membeliak, tidak percaya.

Aiza mengangguk, “Iya, Sar. Saya sudah tiga bulan tidak bayar sewa kos. Ibu saya sakit-sakitan, jadi gaji saya habis untuk pengobatannya. Ini saja saya lagi bingung buat cari uang operasinya.”

“Memang berapa biaya operasinya, Za.”

“Dua ratus juta, Sar.”

“Woah! Lumayan ya biayanya.”

Aiza mengangguk, “Aku tidak tahu ke mana lagi mencari uang sebanyak itu, Za. Aku sudah pinjam bank, kantor, bahkan ke atasan langsung. Tapi tetap saja tidak mendapat pinjaman.”

Sarah terdiam sejenak, menatap Aiza dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian dia berucap, “Kamu benar-benar butuh uang, kan, Za?”

Aiza mengangguk, “Sangat.”

“Baiklah, kalau begitu kamu malam ini, kamu ikut denganku saja. Aku jamin kamu bisa mendapatkan uang itu secepatnya. Bahkan malam ini juga.”

“Benarkah?” Aiza berseru antusias mendengar tawaran itu.

Sarah mengangguk, “Kamu tunggu di sini sebentar.”

Setelah mengatakan itu, Sarah masuk kosannya. Membuat alis Aiza berkerut. Tidak lama kemudian perempuan itu kembali.

“Bersiaplah. Jangan lupa pakai itu!” Sarah melempar sebuah gaun kepada Aiza, “Sebentar lagi aku panggil.”

Aiza belum sempat bertanya mereka akan ke mana, tapi Sarah sudah keburu masuk dalam kosannya. Namun demi bisa perempuan itu tetap manut. Ke mana pun Sarah akan membawanya dia akan ikut asal bisa mendapatkan uang dengan segera.

Aiza tidak tahu saja jika Sarah ingin membawa ke kelap malam. Mata perempuan itu seketika membeliak ketika keluar dari taksi. Jangan katakan jika tempat inilah yang Sarah katakan tadi. Dia bisa menghasilkan uang mudah. Dengan cara menjual diri. Pantas saja Sarah menyuruhnya memakai midi dress yang begitu ketat. Bodohnya dia tidak curiga.

Mata Aiza langsung bergulir melirik Sarah, untuk memastikan apa yang dia pikirkan, bertanya, “Sarah kita kenapa ke sini? Jangan katakan pekerjaan yang kamu katakan tadi... menjual diri.” Dia tercekat mengucap kalimat terakhirnya.

Sarah mengangguk, “Iya, di sini kamu bisa mendapatkan uang dengan mudah.”

“Gila kamu, Sar.” Aiza mendesis tajam, “Aku tidak mau. Aku memang membutuhkan uang, tapi tidak dengan menjual diri.”

“Jangan naif kamu, Za. Kamu bilang sedang sangat membutuhkan uang. Dan tempat inilah satu-satu cara mendapatkan uang dengan mudah dan cepat. Aku punya kenalkan mencarikan Oom kaya untuk kamu.”

Aiza menggeleng kuat, “Tidak, Sar. Aku tidak mau. Pasti ada jalan lain. Tapi tidak dengan menjual diri.”

“Ya, terserah kamu, deh.” Sarah mengedikan bahu, “Sekarang kamu mau ikut aku masuk atau pulang.”

“Aku pulang saja,” sahut Aiza dengan cepat.

“Kalau begitu sana pulang. Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku saja nanti.”

Setelah mengatakan itu, Sarah masuk ke kelap malam. Meninggalkan Aiza yang menatap nanar punggungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status