Share

Berciuman Secara Tidak Langsung

Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.

Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu. 

"Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.

Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie. 

"Aunty sayang gak sama Cassie?"

Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?"

"Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy penuh sayang. "Aunty jangan pernah tinggalin Cassie, ya? Janji?"

Untuk sesaat Jeasy tidak bisa berkutik, karena memang ia tidak tahu dirinya bisa berjanji atau tidak dalam hal ini. "Iya, Sayang. Kamu tenang aja," ucap Jeasy, "Ayo, lanjut lagi makannya."

Jujur saja, melihat harapan Cassie pada Jeasy, membuat hati wanita itu tersentuh. Anak asing yang dipertemukan akibat penculikan ternyata bisa sesayang ini pada dirinya. Jeasy tidak mungkin membiarkan harapan Cassie lebur begitu saja. Setidaknya, melihat gadis kecil itu bahagia, Jeasy pun ikut serta bahagia.

Deru mobil terdengar berhenti di pelataran rumah. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 17.25, tidak biasanya Willy pulang secepat itu. 

"Daddy!" teriak Cassie menyambut sang ayah yang baru saja membuka pintu rumah. Di belakang Willyard tampak Zio membututinya.

"Hai, Tuan Putri." Pria itu dengan enteng langsung membawa Cassie ke dalam gendongannya. Tak lupa sebuah kecupan singkat ia hadiahkan di pipi Cassie. 

"Daddy temenin Cassie makan, ya?" pinta anak itu mengerlingkan matanya. 

"Sorry, Sun. Daddy sedang buru-buru, Daddy hanya mampir sebentar ke rumah. Lain kali saja, ya." Willy menjawab sembari berjalan gancang ke arah ruang kerjanya dan tetap setia memangku Cassie.

Bibir Cassie terlihat mengerucut, dia sangat ingin sekali makan bersama ayahnya, tapi pria itu selalu saja sibuk. Jeasy yang melihat hal tersebut langsung mengambil alih untuk menenangkan Cassie. "Sayang, sini sama Aunty saja. Kita lanjut lagi makannya. Daddy masih harus bekerja, dan lebih baik Cassie semangatin Daddy saja," ujar Jeasy seraya meraih Cassie dari pangkuan Willy.

Mata anak itu berbinar seraya mengangguk cepat. "Fighting, Dad! Jangan pulang malam-malam, ya. Aku sayang Daddy." 

Willy mengangguk lalu mencium puncak gadis kecil itu. Ia lantas melirik Jeasy sekilas, kemudian melanjutkan berjalan memasuki ruang kerjanya. Tak lama, pria berbulu halus di dagunya itu keluar dengan membawa beberapa berkas. 

"Daddy pergi dulu, ya. Jangan tidur terlalu larut, okay?"

"Okay, Dad. Dahhh!" 

Lambaian tangan mungil Cassie menjadi akhir percakapan mereka. Willy kembali melaju dengan mobilnya yang dikemudikan oleh Zio. Setelah mobil mewah itu menjauh, Jeasy baru teringat. Kenapa tadi ia tidak menanyakan soal pekerjaannya? Sungguh bodoh, wanita itu merutuki dirinya sendiri. 

"Aunty?"

Suara Cassie mengejutkan Jeasy yang setengah melamun. "Iya, kenapa Cassie?"

"Kapan Aunty menjadi Mommy-nya Cassie?"

Kening Jeasy mengkerut, pertanyaan anak itu ada-ada saja. "Hah? Maksud Cassie apa, Sayang?"

"Daddy bilang waktu itu, 'kan Aunty kekasihnya Daddy. Jadi pasti akan menjadi Mommy Cassie juga, 'kan?" gumam Cassie dengan wajah berseri. Kebahagiaan atas harapan itu benar-benar terpancar. 

Untuk sesaat Jeasy bingung, apa yang harus ia jelaskan pada bocah di hadapannya? Karena ia sendiri tahu perkataan Willy waktu itu hanyalah bualan semata. "Ah, sudahlah. Jangan bahas itu, Sayang. Cassie habiskan saja dulu makanannya, ya."

Senyuman yang begitu manis tampak tercetak di bibir anak itu. "Cassie harap Aunty bisa menjadi Mommy Cassie secepatnya."

Jeasy hanya terkekeh, lalu kembali menyuapi anak itu. Entah kenapa hati kecilnya begitu senang mendengar harapan Cassie yang meminta dirinya menjadi Mommy. Namun, semua itu hanyalah keinginan yang entah akan terwujud atau tidak. Jeasy ingin menjelaskan bahwa hal tersebut hanyalah kebohongan, tapi anak sekecil Cassie mana mungkin paham. 

¤¤¤

Mobil hitam mengkilap tampak berhenti di pekarangan sebuah perusahaan. Willy kembali ke kantornya setelah mengambil beberapa berkas penting yang tertinggal. Sebelum pria itu keluar dari mobil, berkas yang tadi diambil nyatanya malah ia serahkan pada Zio. 

"Temui Jacob di Restoran HallWy. Desak dia agar mengaku. Kalau pria itu masih saja bungkam, ancam saja dengan dokumen itu," titah Willy yang langsung diangguki oleh Zio. 

Sebenarnya Willylah yang sudah menerima janji dari perusahaan Jacob untuk membahas masalah pekerjaan di restoran tersebut. Namun, karena ia masih mengira bahwa Jacoblah dalang di balik penculikan Cassie, ia jadi enggan menemuinya. Penyelidikan secara diam-diam masih ia lakukan pada pria bernama Jacob itu, walaupun sampai detik ini belum ada sesuatu yang mengarah pada penculikan Cassie. Willy berpikir Jacob begitu handal menyembunyikan semua itu dengan aman. 

Setelah merapikan jas, Willy akhirnya turun dari mobil. Akan tetapi, gerakannya malah tercegat kala mengingat perihal Jeasy. Ia baru sadar, Jeasy adalah orang yang menyelamatkan Cassie. Berarti kemungkinan besar ia melihat wajah penculiknya. 

"Oh, shit! Kenapa aku baru kepikiran sekarang?" Willy menggeram sembari memukul pintu mobil pelan. Otaknya benar-benar dipenuhi kesibukan dari urusan kantor sehingga melupakan hal tersebut. 

"Ada apa, Will?" tanya Zio yang merasa heran dengan perubahan atasannya. 

Willy hanya menggeleng, lalu bergegas keluar dan memasuki perusahaan. Ia harus menanyakan masalah itu pada Jeasy secepatnya. Namun, pekerjaan kantor masih harus ia urus. Pria penggila kerja seperti Willy memang harus pandai mengatur waktu. 

¤¤¤

Wanita berpiyama sutra sedang berusaha turun dari ranjang sepelan mungkin. Gerakannya jangan sampai membangunkan gadis kecil yang baru saja ia tidurkan. Ya, Jeasy baru saja menidurkan Cassie. Sementara dirinya masih belum terlelap juga. Entah kenapa rasa kantuk belum menyerangnya. 

Jeasy mengembuskan napas kala melihat jam dinding tua di sudut ruangan yang menunjukan pukul sepuluh malam. Ia tidak biasanya terkena insomnia seperti ini. Paling lambat ia tidur pun sampai jam sembilan, tapi sekarang matanya benar-benar masih kuat dan enggan diajak terpejam. Seolah waktu sedang menahannya untuk tetap membuka mata. 

Seketika rasa ingin menyeruput teh hangat melintas di pikiran. Tanpa berpikir panjang, ia akhirnya melangkah ke dapur dan membuat segelas teh hangat untuk menemaninya di malam yang dingin ini. Sesekali telinganya ia pertajam untuk mendengar apakah sudah ada suara mobil atau tidak, karena kalau memang deru mobil terdengar memasuki pekarangan, berarti Willyard telah pulang. Namun, kali ini suasana di luar masih tetap sunyi. 

Selesai mengaduk teh, Jeasy berjalan ke teras rumah dan duduk di bangku teras. Ia mulai menikmati teh hangat tersebut dengan menyeruputnya pelan. Sangat cocok sekali tengah malam begini begadang bersama secangkir teh hangat. Jujur, Jeasy jarang merasakan itu. 

Tak lama, suara gerbang rumah terdengar. Menunjukan seseorang yang berjalan jenjang memasuki pekarangan. Sontak Jeasy langsung berdiri dengan sikap waspada, takut jika orang tersebut hendak berbuat jahat. Namun, setelah mendekat Jeasy mampu melihat siapa orang itu. Ternyata Willy, dia pulang tanpa mobilnya.

"Kau sudah pulang? Kenapa tidak memakai mobilmu? Apa terjadi sesuatu?" Jeasy memberondong pria itu dengan pertanyaan. Membuat Willy menghela napas kasar karena harus disambut seperti itu. 

"Mobilku masih dipakai Zio, jadi aku pulang naik taksi," jawabnya dingin. Netranya sontak melihat secangkir teh yang tergeletak pada meja kecil di teras rumah. Tanpa berpikir panjang, pria itu meraihnya lalu meneguk dengan kasar. Seolah dia begitu kehausan. 

Sontak Jeasy membulatkan mata, ia menelan saliva gugup karena bingung dengan tingkah Willy barusan. 

"Willy, i-itu —"

"Cassie tidak melewati jam tidurnya, bukan?"

Ucapan Jeasy tercekat begitu saja. "I-iya, seperti biasa dia tidur jam delapan. Tapi —"

"Bagus kalau begitu." Willy menyeka sisa teh di bibir lalu berjalan hendak membuka pintu, tetapi suara Jeasy berhasil menahannya. 

"Teh yang kau minum tadi itu bekasku," ujar Jeasy dengan deru napas yang sudah tak beraturan. Ia siap jika Willy akan memarahinya.

Seketika Willy langsung terbatuk-batuk sambil menatap Jeasy nyalang. "Dasar bodoh!" geramnya.

"Tadi aku berusaha memberitahumu, tapi kau malah terus memotong ucapanku," cicit Jeasy gugup.

"Lain kali jangan menuang teh pada gelas favoritku. Itu gelas hanya khusus untukku, bibir siapa pun tidak boleh menyentuhnya." Willy berucap dengan wajah datar. Ia pun kembali masuk dengan menutup pintu kasar. 

Jeasy mencerna perkataan Willy barusan. Ternyata ia menyangka teh tersebut untuknya karena menggunakan gelas kesukaannya. Astaga, Jeasy sungguh bodoh. Bisa-bisanya dia menggunakan peralatan di rumah tersebut sembarangan. Namun, wanita itu juga berpikir ini bukan salah dirinya. Siapa suruh Willy tidak memberi tahu sebelumnya perihal gelas tadi.

Tanpa sadar jemari Jeasy menyentuh bibirnya sendiri dengan pelan, otak wanita itu seketika memikirkan yang tidak-tidak. "Apa tadi aku sudah berciuman secara tidak langsung?" monolognya polos, "ish! Ada apa denganku? Kenapa pikiranku buruk sekali!"

Ia segera meraih gelas yang menjadi saksi adegan tadi. Jeasy berjanji akan mencucinya sebersih mungkin. 

Jeasy begitu terkejut saat dirinya sampai di dapur, ternyata Willy juga ada di sana. Pria itu menyilangkan kedua tangan di dada dengan tubuh bersender pada dinding. Tatapannya terhunus kuat mengarah pada Jeasy. Sepertinya wanita itu akan mendapat amukan yang luar biasa. 

"K-kenapa kau di sini?" Jeasy bertanya dengan gugup. Pria di depannya berhasil membuat jantung wanita itu bergemuruh hebat. "Kalau kau ingin memarahiku karena masalah teh tadi, sebaiknya jangan sekarang. Takutnya Cassie terbangun," ucap Jeasy berusaha menghindar, tetapi panggilan Willy mencegat langkahnya.

"Tunggu!" seru pria itu, "aku hanya ingin bertanya padamu."

Jeasy hanya bergeming, menunggu ucapan Willy selanjutnya.

"Kau adalah orang yang menolong putriku saat dia diculik," tutur Willy yang langsung diangguki dengan gugup oleh wanita di hadapannya. "Berarti kau pasti melihat wajah penculik itu, bukan?"

Jeasy mengernyit, dia tahu maksud dari perkataan pria satu anak itu. "Iya, aku sempat melihatnya."

Seketika Willy mendekat, membuat Jeasy spontan memundurkan langkah. "Kau ingat wajahnya seperti apa?"

Wanita itu malah mengerjap beberapa kali, berusaha untuk tetap fokus dan mengingat kejadian waktu itu. "Um ... sebenarnya aku juga tidak tahu pasti. Karena waktu itu aku tak sadarkan diri, ditambah rasa sakit akibat tembakan di kakiku membuatku tidak begitu memperhatikan mereka dengan saksama. Jadi aku tidak sepenuhnya ingat wajah mereka."

Mata Willy sontak bergulir pada betis Jeasy yang menampilkan luka akibat tembakan yang sudah mengering. Jauh di dalam hati, pria itu merasa bersalah karena tidak seberani wanita asing yang rela berkorban demi menolong putrinya.

Melihat bekas luka itu, Willy jadi berpikir tidak mau membahas hal tersebut lebih lanjut. Tepatnya ia tidak akan melibatkan Jeasy lagi dalam masalah ini. "Ya sudah, kau istirahatlah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status