Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi.
Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri.
Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
"Congratulations, Jeasy!"Ucapan selamat pada gadis bersurai pirang itu terus terlontar dari mulut sahabatnya.Jeasy membalas pelukan Millie dengan erat seraya berkata, "Congratulations for you to, Mil! Akhirnya kita lulus juga."Ya, kedua gadis berumur dua puluh dua tahun itu baru saja melangsungkan acara wisuda di Universitas Royal Institute of Technology di Swedia. Selama empat tahun menempuh perguruan tinggi di sana, akhirnya gelar sarjana System Informasi (IT) telah mereka dapatkan dengan bangga.Namun, Jeasy tidak sebahagia teman-temannya dengan hasil akhir yang ia rasakan sekarang. Karena pakaian toga yang dikenakannya sama sekali tidak terabadikan. Tak ada orang tua ataupun keluarga terdekat yang hadir di sana untuk dirinya. Karena kedua orang yang amat dia cintai itu telah tiada sejak ia kecil, dan sejak saat itu keluarganya sudah tak menganggapnya lagi. Entah alasan apa yang membuat mereka seolah membuang Jeasy. Perjuangan Jeasy untu
"Cepat katakan! Di mana kau menyembunyikan putriku, hah?"Lelaki berahang tegas itu terus menggertak pria di hadapannya yang hanya duduk santai dengan sebatang rokok. Willy benar-benar sudah kebakar emosi karena lawan bicaranya sedari tadi hanya tertawa hambar."Aku semakin yakin, kalau kau memang dalang di balik semua ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu, Pria Sialan!" Willy berbalik dan langsung mengambil langkah lebar hendak pergi meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu itu. Namun, suara bariton berhasil mencegatnya."Apa yang akan kau lakukan, Tuan Willyard Poulter? Melaporkanku ke polisi? Dengan tuduhan penculikan anak?" tanya Jacob tertawa remeh. "Tanpa bukti apa pun? Haha ... aku yakin polisi tidak akan mempercayaimu! Sudah kubilang, bukan? Kalau aku tidak tahu apa-apa perihal kehilangan putrimu."Tanpa menoleh sedikit pun, Willy menjawab, "Mau kau mengelak sekeras apa pun, aku tetap mengetahui akal busukmu itu!" Willy kembali berjalan dan ben
Setelah beberapa menit, akhirnya si kecil itu sampai di sebuah rumah besar nan mewah. Zio langsung membuka pintu mobil untuk mempersilakan sang tuan putri turun."Segeralah beristirahat, Sayang," ucap Zio membuat senyum di bibir Cassie mengembang."Okay, Om Zio," timpalnya seraya turun. "Daddy ada di rumah, 'kan?" lanjutnya.Mendengar pertanyaan Cassie perihal Daddy-nya, Zio jadi teringat sesuatu. Dia baru sadar, kalau sekarang dirinya sedang mendapat tugas dari si bos. Akan tetapi, dia malah lupa."Ah, Daddy-mu masih di kantor.""Yah, padahal Cassie sangat merindukan Daddy. Bisakah Om Zio menyuruhnya untuk pulang cepat?"Zio langsung mengangguk, dia hanya mencoba untuk tidak membuat Cassie sedih. "Pasti, Tuan Putri."Cassie pun berseri, ia memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Ya ampun!" kejutnya saat hendak memijakan kaki pada teras rumah."Kenapa, Tuan Putri?" Sontak Zio langsung bertanya."Cassie te
Sesaat sebelum mobil hitam pekat itu sampai pada tujuannya, seketika mata pria yang habis mabuk itu terbuka. Matanya langsung memicing melihat gadis yang tertidur pulas di sana. Zio sama sekali tidak menyadari kalau Willy sudah sadarkan diri, dia sibuk menyetir dan fokus pada jalanan. Mata tajam Willy masih belum teralihkan memandangi Jeasy. Entah kenapa, dia terus meneliti tubuh yang terlihat seksi itu. Walaupun pakaian Jeasy tidaklah minim, tetapi pria itu mampu menangkap postur tubuh Jeasy yang indah dan menggoda. 'Tubuhnya menarik juga,' batin Willy menyeringai. Sisi negatifnya mulai keluar. "Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?" kilahnya setelah sadar dari pikiran buruk tersebut. Sontak Zio langsung menoleh dan mendapati tuannya yang sudah sadar. "Will, kau sudah sadar?" Tak ada jawaban, Willy sibuk memijat pelipisnya. "Tepat sekali, kau sadar dan kita sudah sampai," lanjut Zio menghentikan mobilnya. Sebuah rumah b
"Ck, astaga! Kenapa ponselnya masih tidak aktif?" Wanita manis itu tampak panik, ia terus memandang benda persegi panjang dengan nyalang."Ada apa, Miliie? Kau terlihat gelisah." Brix bertanya."Ini Ayah, entah kenapa dua hari terakhir Jeasy tidak ada kabar. Bahkan ponselnya juga mati.""Mungkin dia sedang sibuk. Kau tidak coba pergi ke rumahnya?"Millie berakhir duduk di samping sang ayah. "Sudah, Ayah. Tapi dia tidak ada, rumahnya juga terkunci. Aku jadi khawatir.""Kau yang tenang, Ayah yakin dia baik-baik saja. Mungkin sekarang dia lagi butuh waktu untuk sendiri."Millie hanya mengangguk, semoga saja perkataan ayahnya memang benar. Kini dering ponsel di tangannya terdengar, wajah Millie langsung berubah senang. Namun, setelah ia lihat nama yang tertampang di sana, ternyata bukan Jeasy."Maaf, Ayah. Aku angkat telepon dulu." Millie pun pergi seraya menjawab panggilan."Halo, Pynson. Ada apa kau meneleponku?""Kenapa kau
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy