Share

Chapter 6

Pak Agustian adalah ayah dari tiga Z. Memiliki sebuah restoran kecil yang didirikan dari hasil kerja kerasnya sejak diusir dari keluarga besarnya yang sangat kaya.

Nah jadi, kakek-nenek si kembar yang membangun Ramli Corps dan salah satu anak perusahaan mereka adalah Waw Kosmetik, nyatanya adalah orang tua Pak Agus. Tapi dia membuat kesalaham besar yang telah mencoreng nama baik keluarga di masa mudanya. Beliau lantas diusir dan dicoret dari daftar ahli waris di usia 19 tahun.

Untungnya, setelah si kembar lahir, kerasnya hati Kek Ramli perlahan terkikis. Bukan berarti hati mereka menerima kembali anak dan menantunya. Kebahagiaan yang mereka tunjukkan saat si kembar lahir semata-mata karena bahagia telah memiliki cucu perempuan yang lahir sehat dan cantik-cantik.

Kek Ramli bahkan mengambil Zeze atas perminataan Marco muda yang memilih secara cap cip cup, dan diasuh selama lima belas tahun. Sebelum akhirnya Zeze meminta kembali ke rumah orang tua kandungnya tepat di usia tujuh belas tahun.

Oke, lari sejenak narasi nya biar kalian gak bingung gais.

Kembali ke restoran kecil Pak Agus yang diberi nama Baraka, diambil dari Bahasa Arab dengan arti Berkah. Katanya sih, biar sedikit ataupun banyak yang dihasilkan agar menjadi berkah dan tidak menjadi suatu kekurangan. Katanya.

“Udah dateng, ma!” sapa Pak Agus melihat istrinya memasuki pintu restoran bersama Zanna di belakangnya. “Zanna makan dulu sana, papa udah masak makanan favorit kamu.”

“Makasih, papa.” seru Zanna langsung menyambar piring berisi capcai dada ayam dan ikan rebus di atas meja dapur resto.

“Apa isi bekal itu, pa? Kok gede banget?” tanya Bu Riska saat ia tak sengaja melihat sebuah kotak makanan berukuran besar yang sudah dilapisi kain.

“Buat anak-anak di kantor. Kasihan, beberapa hari ini pekerjaannya menumpuk dan lembur terus. Papa gak mau anak papa kurus-kurus. Zanna juga makan yang banyak biar gak kurus begini.” Pak Agus mencubit lengan Zanna yang memang tak ada daging di sana. Hanya tulang belulang berlapis kulit.

“Pa, aku tuh model. Harus kurus biar dapat banyak job.” protes Zanna.

“Papa mau gitu aja datang ke kantor? Gak mau ganti baju dulu?” tanya Bu Riska yang sedikit segn memprotes penampilan suaminya.

“Gak sempat, ma. Kalau harus pulang dulu dan ganti baju, takut gak keburu dimakan mereka. Jam makan siang kan sebentar lagi.

Dan Pak Agus berangkat dengan langkah yang ringan dan hati yang riang membayangkan wajah gembira anak-anaknya menerima cinta darinya.

“Telepon Zeze! Perasaan mama gak enak nih.” kata Bu Riska panik mengingat sikap Fira yang terkadang gak bisa ditebak. Bisa saja Fira menganggap papanya malu-maluin.

Zanna menghubungi Zeze, tapi tidak diangkat sama sekali. Mungkin karena masih berada di jam sibuk. Setelah berulang kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban, Zanna berinisiatif mengabari lewat chat yang akan dibaca Zeze nantinya. Semoga saja tidak terlalu lama ya, Ze.

Lalu tak lama setelahnya, Pak Agus sudah ada di parkiran perusahaan tempat anak-anaknya bekerja. Menenggerkan motor bututnya, lalu menenteng bekal besar yang cukup menyusahkan langkahnya menuju lobby dan menemui respsionis.

Pakaiannya kala itu tak diganti. Bermodal celana gombrang sepanjang mata kaki, baju kaos yang kebesaran dan mengendur, serta sendal jepit khas yang selalu ia menemani langkah kakinya. Penampilan ini menjadi perbincangan di kalangan pegawai yang berlalu lalang. Terlebih ketika ia mengaku bernama Agustian.

Sontak orang-orang di perusahaan itu khususnya yang berada di lantai yang sama dengan Fira heboh mencibir keadaan tamu yang sedang mencarinya. Fira mengecek sebentar dan mengintip dari balik lift yang dapat melihat jelas keadaan dari meja resepsionis. Namun ia enggan menyapa papanya karena omongan orang yang semakin pedas begitu melihatnya turun ke bawah.

“Eh, eh, papanya Bu Fira?”

“Ah, mana mungkin. Gak cocok!”

“Iya yuh gak cocok. Supirnya kali.”

Isi cibiran mereka yang membuat Fira harus menahan sakit di tenggorokannya.

Cukup lama Pak Agus menunggu resepsionis yang tampaknya tak niat memanggilkan anak yang dimaksud bapak itu. Seno dan kliennya, Marco, baru saja keluar dari lift. Mereka berdua tertegun menyadari keberadaan Pak Agus. Situasi itu semakin canggung untuk Seno, karena ia tahu hubungan Pak Agus dan Marco yang merupakan paman dan keponakan.

Sebelumnya Seno dan Marco mendengar keributan dari sekretaris Nina dan Tia yang menggebu membicarakan kemiripan pria yang tampak seperti gelandangan itu dengan Fira.

“Om!” sapa Seno.

“Oh, nak Seno.”

“Om nuggu Fira atau Zeze? Atau keduanya? Sudah lama om menunggu?” tanya Seno tanpa jeda.

Marco diam di belakang Seno. Oa sudah mendapat isyarat dari om nya untuk tak menggubris keberadaannya demi keamanan Zeze dan Fira.

“Belum. Masih nunggu.” jawab Pak Agus tersenyum ramah memamerkan gigi-gigi putihnya.

Seno mulai emosi memperhatikan resepsionis yang tadi sempat ia tangkap bersantai dan mengacuhkan Pak Agus, kini heboh menelepon wakil setiap divisi untuk mengabari keberadaan Pak Agus di lobby.

Seno memanggil resepsionisnya dengan bahasa isyarat. Dengan perasaan takut, kedua resepsionis itu menghampiri.

“Sudah kalian panggil anak beliau?”

“Maaf, pak. Saya sudah umumkan, tapi tidak ada yang turun.”

“Sudah berapa lama?”

“Dua puluh menit, pak.” jawab resepsionis itu jujur.

Marco tercengan. Dua puluh menit om nya berdiri di sini. Apa yang dilakukan para adik di atas hingga membuat om nya terhina oleh seorang resepsionis begini.

“Beliau tak meninggalkan nama?” bentak Seno.

“Ada, pak.”

“Katakan!”

“Pak Agustian, pak.” Kembali resepsionis itu menjawab saat CEO mereka menanyakan sesuatu.

“Bukankah sudah jelas siapa yang belian maksud? Kalian tinggal menghubunginya dan memanggilnya!” sentak Seno yang merasa sangat malu di depan Pak Agus dan Marco sekaligus.

“Kami hanya bingung, apakah Bu Zhafira atau Mbak Zeline yang harus kami panggilkan. Untuk itu kami mengumumkan ke seluruh gedung, pak.”

“Siapapun yang datang itu tak masalah. Baik Fira atau Zeline!!!”

“Sudah nak, jangan marah-marah. Mbak berdua ini sangat sibuk dan hanya melanjutkan pekerjaan mereka. Om juga tidak keberatan menunggu loh.” Pak Agus mengelus punggung Seno yang sudah menegang akibat urat-urat yang tertarik ke permukaan kulit akibat marah.

Tak lama muncul Zeze yang baru saja membaca pesan singkat dari Zanna setengah jam yang lalu. “Papa! Hosh, hosh!” Sesaknya karena baru saja berlarian dari lantai 4 menuju lobby. Zeze juga harus mengalami shock theraphy melihat Marco di sana menyaksikan kejadian tak menyenangkan yang dialami Pak Agus dari awal hingga akhir.

“Maaf, pak. Saya sudah membuat keributan. Saya baru saja selesai rapat dengan ketua tim.”

“Mampus gue, Van. Mampus. Bego lo, Van!” rutuk Seno dalam hati sambil melirik ke arah Marco yang sepertinya sedang menahan amarah memperhatikan Zeze.

“Sekali lagi saya minta maaf, pak!” tunduk Zeze takut melihat mata Marco yang setajam silet.

“Ya sudah. Kalau begitu saya tibggal ya, om.” ijin Seno penuh dengan senyum keramah tamahan di wajahnya. Berbeda saat ia mengalihkan padangannya ke resepsionis yang kurang ajar tadi. “Kalian berdua silahkan ke ruangan saya dan jumpai Pak Satrio!” Seno melangkahkan kakinya menuntun Marco yang hendak berkeliling ke seluruh divisi.

“Pa.” panggil Zeze yang iba melihat papanya termangu.

“Apa papa malu-maluin kalian?” tanya Pak Agus dengan nada kecewa.

“Enggaklah. Kalau malu-maluin mana mungkin aku samperin ke sini.” Zeze terhentak dengan jawabannya sendiri. Ini kah alasan mengapa Fira tak segera turun dan menemui papa? Karena malu sama penampilannya? “Papa itu ganteng. Pakai apa saja juga ganteng. Noh, beda tipis sama Mas Marco kalau dandanan rapi.” puji Zeze menghibur papanya.

“Halah, cocotmu.” canda Pak Agus. “Nih ambil, jangan lupa berbagi sama adikmu. Papa pulang dulu.”

“Siap, bos!” hormat Zeze setelah menerima kotak makan siang itu.

Hah, berbagi. Kalau sudah begini mana mungkin Fira mau. Zeze juga gak akan mungkin menemui Fira secara pribadi di kantor ini. Apa dimakan sendiri aja sampai perut pecah karena sebanyak ini? Zeze terus memikirkan cara menghabiskan bekal itu agar papanya tak kecewa dengan makanan yang bersisa.

Saat makan siang berlangsung, semua pegawai wanita ngeluyur tak karuan. Seperti biasa, Zeze dikucilkan dan mereka tak berniat mengajak Zeze, kecuali membutuhkan tenaga dan uangnya. Barulah Zeze diajak.

Yang ada di tempat sekarang hanya ada Ivan dan dirinya. Ivan memang jarang makan siang keluar dan lenih memilih menetap di depan komputer untuk menyelesaikan pekerjaannya.

“Hm, permisi, pak.” sapa Zeze di pintu ruangan Ivan yang terbuka.

Jari-jari Ivan yang tadinya sibuk mengetik keyboard, menjadi tak bergerak karena matanya fokus melihat sosok Zeze. Rasa bersalah masih meliputi dirinya sejak insiden kopi kemarin. “Ada apa?”

“Apa bapak tidak makan siang?” tanya Zeze sedikit ragu.

Ivan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jengan dengan pertanyaan Zee yang tak bisa ia jawab ke mana ranah nya. “Kenapa?”

“Papa saya baru saja mengirim makan siang. Tapi terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Apa bapak bersedia membantu saya menghabiskan semua?”

“Kamu fikir saya tong sampah?”

Zeze tersinggung. Tong sampah? Makanan yang dimasak papanya disebut sampah?

“Yasudah jika bapak tidak mau, saya berikan saja ke Pak Wawan.”

Wawan? Wawan kan pria single berusia 25 tahun yang duduk bersebelahan dengan Zeze. Juga diketahui satu-satunya orang yang baik memperlakukan Zeze layaknya manusia di kantor ini. Oh, no.

“Letakkan di sini!” perintah Ivan.

“Ya?”

“Makanannya. Letakkan di sini!” tunjuk Ivan ke sisi kosong di mejanya.

“Ah, baik.” jawab Zeze girang.

Dengan senang hati Zeze menyusuhkan setengah dari nasi beserta lauk pauknya ke priing yang ia dipinjam dari pantry.

“Ini, pak.” Zeze meletakkan di atas meja Ivan.

“Terima kasih.” ucap Ivan sedikit tersenyum kepada Zeze.

Jantung oh jantung janganlah berdetak heboh. Nanti didengar Ivan, bisa malu loh.

*****

Setelah seharian bekerja dari satu tempat ke tempat lain, bukan berarti rasa dongkol di hati Zanna hilang. Ia sudah dengar dari Zeze, kalau sepertinya Fira malu pada papanya. Makanya tak ada niat dari Fira untuk segera menemui papa dan membuat papanya menunggu.

“Awas lo ya!” gigi Zanna bergemeretak saat mobil yang ia naiki memasuki halaman rumah.

Bukannya lari ke kamar miliknya, Zanna justru menerjang kamar Fira. Menerobos masuk seperti orang kesurupan dan memukul pintu dengan kencang.

“Apa sih?” tanya Fira yang sama dongkolnya karena ketidak sopanan Zanna.

Tanpa basa-basi, Zanna menyerang rambut Fira dan menjambaknya sekuat tenaga. Tak tinggal diam, Fira pun membalas. Pertempuran sengit lalu terjadi. Seluruh tenaga dalam dilekuarkan keduanya sampai mereka terseruduk ke meja rias milik Fira.

Bu Riska yang mendengar keributan datang untuk melerai. Begitu pula Pak Agus yang bergegas naik ke lantai dua menuju kamar Fira.

“Berhenti, berhenti!” teriak Pak Agus tidak nerhasil melerai kedua putrinya.

Tubuh Pak Agus kewalahan melerai mereka yang masih tidak inign menghentikan tingkah konyolnya. Persis seperti anak kecil. Jika lawan belum menangis, tidak ada kata menyerah dalam pertempuran harga diri ini.

“Kalian berdua berhenti!!!”

*****

Profil Pak Agustian

Nama     : Agustian Ramli

TTL        : Ngawi, 27 Agustus 1976

Kita mulai wawancaranya ya pak.

Author      : Bagaimana rasanya punya tiga anak kembar, pak? Cewek semua lagi.

Pak Agus  : Ribet, mbak. Waktu kecil, dah besar juga ribet. Hehehe.

Author      : Bapak kan berasal dari keluarga kaya, kenapa buka restoran kecil-kecilan?

Pak Agus  : Saya itu diusir dari rumah dan tak punya apa-apa. Jadi restoran kecil inilah yang menjadi nyawa saya dan bisa membesarkan anak-anak.

Author      : Dapat keterampilan dari mana, pak?

Pak Agus  : Namanya demi kebutuhan, mbak. Kerjakan aja apa yang ada. Lama-lama juga terbiasa. Karena saya punya tanggung jawab.

Author      : Hm, gak pernah mengunjungi Kek Ramli, pak?

Pak Agus : Ehem, mau sih mbak. Tapi saya masih takut.

Author      : Usia bapak berapa tahun kalau boleh tahu?

Pak Agus : 45 tahun, mbak.

Author      : (terkesima) Wah, masih muda dan masih genteng ya, pak. Cocok kok kalau mau diadu sama Marco.

Pak Agus : Ah, mbak author bercanda aja. (malu-malu)

Author      : Ada yang disampaikan pak? Silahkan.

Pak Agus : Untuk siapa. Mbak?

Author      : Bebas, pak. Siapa saja juga boleh.

Pak Agus : Hm.. (mikir keras) Untuk author, bapak mohon jangan buat anak saya bertengkar dan jambak-jambakan lagi ya. Saya pusing dan capek hati lihatnya. Terus, jangan lah buat cerita tentang keluarga bapak ngenes-ngenes gitu. Gak kasihan apa sama bapak. Kalau sampai anak bapak si Zanna tahu, saya gak jamin loh anak saya bisa dibujuk lagi. Tolong ya, thor.

Author      : (Tak mampu berkata-kata)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status