Sama seperti Zeze, Fira juga mengalami intimidasi dari bawahan. Baik fisik maupun psikis. Wajar saja, dalam dunia pekerjaan, iri, dengki, dan fitnah adalah hal biasa. Apalagi, Fira yang dalam kurun waktu dua tahun bekerja di perusahaan mampu mengalahkan senior dan berhasil menduduki jabatan penting.
Banyak yang tak suka dirinya, jadi mari kita sebut haters. Para haters berusaha melakukan apapun untuk menjatuhkan Fira. Salah satunya dengan menyebarkan berita hoaks, dimana Fira memiliki seorang penyokong kaya, tua, dan gendut untuk sampai ke posisinya saat ini.
Ada juga berita hoaks lain yang terdengar. Bahwa Fira selingkuh dengan Seno dan secara sukarela naik ke ranjang Seno demi sebuah jabatan yang dekat dengan CEO. Dih.
“Omongan adalah doa. Semoga dia benar-benar bisa naik ke ranjang ku dan menjadi istriku.” celetuk Seno saat Satrio baru menyampaikan laporan perihal rumor-rumor Fira di luar sana.
Satrio menautkan kedua alisnya bingung dengan sosok Seno yang makin lama makin gak jelas. “Seseorang tolong sadarkan beliau!” pinta Satrio dalam hati.
“Gak mau amin-in Sat?” tanya Seno sinis karena tidak ada tanggapan dari Satrio.
“Amin.” jawab Sat gak niat. “Jadi, apa perlu saya benamkan mereka yang berbicara tak sopan tentang bu Fira?”
Seno menggebrak meja kerjanya. “Dilarang memakai kekerasan di kantor ini. Hanya Ivan yang boleh. Paham?” Satrio mengangguk.
“Oh iya pak, soal Pak Ivan. Saya...” Belum tuntas Sat bicara, seno langsung menyerobot perkataannya.
“Ivan itu memegang kendali kedua setelah saya di perusahaan ini. Anggap saja dia sedang menyamar sebagai ketua tim sekarang. Kamu lihat posisi direktur yang kosong kan? Itulah tempatnya kelak.
Ah, pantas saja. Batin Sat.
“Apa-apaan tatapan mu itu? Setidaknya aku tetap pewarisnya.” elak Seno membanggakan diri setelah membaca air muka Sat yang memandangnya dengan tatapan kasihan. “Asisten kurang ajar!” kesalnya.
*****
“Gak usah didengerin. Mereka cuma iri karena lo bisa dekat dengan mas Seno.” hibur Zeze di kamar mandi.
Setiap kali Fira galau karena hinaan orang-orang padanya, ia akan mengirim pesan ke Zeze untuk bertemu dan curhat di kamar mandi. Walau ia harus menerima titah macam-macam dari Ivan dulu sebelum diijinkan pergi.
“Gue sih se-bodo amat itu naggapinnya. Toh mereka juga belum tentu bisa melakukan apa yang sudah gue kerjakan. Hakikat manusia kan hanya melihat keberhasilan orang lain tanpa pernah ia tahu sakitnya proses menjalani itu.” tutur Fira setengah sedih setengah cuek.
“Iya, bagus. Adik gue harus kuat dong.” ujar Zeze membelai kepala Fira. “ Kita harus bertahan supaya jadi pribadi yang tangguh.” sambung Zeze menyemangati.
“Halah, lo lebih bego dari gue. Dibully Mira malah diam aja.” cerca Fira membenarkan lipstiknya. Menambah ketebalan warna hingga tampak lebih segar.
“Ya gue bisa apa. Jujur aja gue juga kesal. Kalau bukan karena Mas Marco, gue gak bakal begini. Lo tau kan gue bakal dikirim ke luar negeri kalau bantah.” rengek Zeze menggema di seluruh kamar mandi.
“Mas lo tuh!” hardik Fira cengengesan.
“Hooh, mas gue.” Pasrah.
“Sabar. Kita harus bertahan my twins, agar jadi pribadi yang tangguh.” ucap Fira mengulangi kalimat Zeze, bermaksud meledek kembarannya.
“Eh btw, tadi gue dengar, kayaknya Mira lagi dekat sama pria bule.”
“Ya bagus kan? Dia udah gak bisa gatel-gatel lagi ke mas Ivan.” jawab Fira lalu membenarkan riasannya sambil cengengesan ke arah Zeze.
“Ish, bukan itu.” Zeze memukul pelan lengan Fira. “Tapi entah kenapa gue mikirnya langsung ke mas Marco. Dia kan keturunan bule.” lirih Zeze.
“Ah, gak mungkin. Masa mas Marco mau sama ular itu. Lagian bule atau keturunannya udah berserak di Indonesia.” elak Fira yang juga ngerih membayangkan jika benar Mira dekat dengan kakak sepupunya.
“Iya, sih.”
“Gue bakal maju paling depan kalau itu sampai terjadi. Gue paling gak ikhlas kalau dia menjadi bagian keluarga kita.”
Cukup puas menculik Zeze demi mendengarkan curahan hatinya, Fira berniat mengembalikan Zeze kembali ke pekerjaannya. Tapi, sepertinya Zeze lupa mengerjakan sesuatu yang tadi disuruh Ivan. Gawat, gawat!
*****
“Apa?” tanya Ivan kesal melihat Zeze muncul dari balik pintu.
Cukup lama ia menunggu Zeze untuk mengambilkan sebuah berkas. Empat puluh menit. Ivan sudah menunggu selama empat puluh menit.
“Ini, pak. Berkas yang bapak minta dari tim peoduksi.” nafas Zeze tersengal karena berlarian untuk naik-turun tangga demi mengambil berkas yang diminta Ivan.
Tanpa menjawab, tangan Ivan dijulurkan ke arah Zeze. Cepat-cepat ia memberikan folder itu ke tangan Ivan. Baru saja dibuka selembar, Ivan langsung membuang berkas itu hingga berhamburan ke lantai.
Jantung Zeze bahkan bellum berdetak normal, dan kini harus siap berdetak cepat kembali untuk menerima kemarahan Ivan.
“Beresin ini dulu!” perintah ivan lagi sebelum Zeze melangkah keluar ruangan.
Dan Zeze menurut. Dia langsung jongkok untuk mengumpulkan kertas dengan posisi tepat berada di hadapan Ivan. Zeze gak sadar jika saat itu dia menggunakan rok sepan selutut yang sempitnya bukan main. Ditambah ia bergerak secara sembrono mengikuti tempat kertas mendarat.
“Pakaianmu meresahkan!” celetuk Ivan. Kan, kan, jadi gak bisa konsen dia kerja. Pasti sedang membayangkan ada apa saja di dalam rok sempit itu.
“Apa sih? Gak ada habisnya mengomentari pakaian yang kupakai. Iya, iya, kayak karung. Memang aku lebih pantas pakai karung daripada kain. Kalau gak suka harusnya jangan dilihat. Kok repot.” omel Zeze pelan masih dalam posisi berjongkok.
Ada satu kertas nyellip di antara kedua kaki Ivan. Eh, nackal. Tanpa berpikir panjang, Zeze mendekat ke kaki Ivan. Berlutut sebentar di depan dengku; Ivan untuk megikat rambut terurainya. Supaya lebih memudahkannya dalam menggapai berkas itu.
Sementara Ivan hanya terdiam disertai longok-an dan mata yang mengerjap heran melihat Zeze begitu berani mendekatinya. Jarak di antara mereka palingan hanya 50 cm.
“Si kampret ini kenapa gak mau minggir sih?” benak orang normal (Zeze).
“Posisi sialan ini!” benak orang pikiran kotor (Ivan). “Gak bisa, gak bisa. Sebelum adikku bangun, dia harus kuusir.” gulat Ivan dengan batinnya.
“Halah, sudah pergi lah kamu. Biar saya yang kutip!” hardik Ivan tak tahan lagi. Yah gimana, namnaya kucing dikasih ikan walau malu kan mau juga.
Zeze terhentak kaget dan langsung pergi dari ruangan Ivan setelah meminta ijin.
*****
Ujian Satrio masih berlanjut.
“Top lane! Top lane, bangsade!”
“Turet botak, astaga!”
“Pada bego kalian semua!”
“Heh, core gelobok, elo bottom, ya ampun!”
Teriakan demi teriakan Seno kumandangkan saat sedang asyik bermain game online yang memang adalah bakat utamanya dalam hidup yang fana ini. Satrio hanya bisa menatap sinis karena ia masih merasa canggung dengan status asisten baru. Ia masih menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan Seno, walau saat ini CEO itu telah mengganggu konsentrasinya dalam mempelajari berkas yang sehariusnya ditujukan pada Seno.
“Ah, berisik lo!” celetuk perempuan dari arah hp Seno yang ternyata adalah teman se-tim yang saat ini bermain bersama.
“Elo gubluk. Mm itu di bawah!” perintah Seno.
“Kok nge-gas lo? Terserah gue mau di mana juga. Gue lagi emosi nih ya. Lo jangan nambah-nambahin!” perempuan itu juga kesal karena dihina oleh orang asing.
“Kalau emosi gak usah main. Beban lo!” sentak Seno lagi gak terima dirinya yang indah itu dihina seseorang.
“Halah, elo jadi tank juga bloon.” sambung perempuan itu lagi dan lagi. Terus disambut oleh Seno.
“By one lo sama gue!” tantang Seno. Beginilah, game mojol ledjen ini memang syarat dengan orang-orang berjiwa toxic.
“Boleh, lo tunggu ya. Tunggu!” balas perempuan tadi lalu mematikan mic nya untuk kembali bermain walau berujung pada kekalahan.
Seno yang selalu mengaku sebagai pria sejati wajib hukumnya memgang janji. Termsuk janji pada perempuan di game yang bernickname, Chuppachuppy itu. Apalagi dia sendiri yang menantang dan bertanding 1 lawan 1 dengan role yang sama.
“Oke, kita liaht ya. Kalau gue kalah, lo turutin mau gue. Gitu juga sebaliknya. Paham gak lo? Biar gue kasih paham dulu lo, perempuan!” tantang Seno lagi saat mereka sedang di lobby mode VS AI.
“Gak takut gue. Bacot banget lo jadi cowok!” sentak perempuan tadi semakin sebal dengan sikap sombong Seno.
Play.
Pertandingan berjalan biasa. Belum ada ketegangan di sana karena masing-masing dari mereka sibuk nge-biff untuk menambah kecepatan naik level hero marksman yang sedang diduelkan.
Sepuluh menit berlalu, skor kill saat ini Seno memimpin dengan 4 lawan 3. Dia diuntungkan karena tipe hero yang lincah dan berdamage besar dibanding millik Chuppacguppy yang Cuma mengandalkan damage (Layla).
“Hero lo aja udah bocah, mau lawan gue lagi lo.” congak Seno yamg merasa di atas angin.
Akhirnya lebih dari 13 menit, pertandingan usai dan dimenangkan oelh sang ahlinya game dengan skor kill 10 vs 8. Yah, gak malu-maluin amat lah. (Ya kan, Mat)
“Jadi lo mau apa?” tanya si Chuppa dengan sportifnya walau sebenarnya bisa aja dia kabur dan memblokir Seno.
Cocok nih, pikir Seno.
“Sini nomo lo, kita bikin squad. Kalau mau main entar berkabar. Gue user tank, bisa melindungi elo.” Eyak... Ingat Fira, Sen.
Seno yang memandang tingkah Seno kini mengerti maksud perkataan Ivan tempo hari saat menyambutnya. Berat. Ini tak hanya beban berat. Tapi sangat berat. Di saat ia harus berkutt dengan berkas, Seno malah asyik main-main. Menantang perempuan pula itu. Haduh.
Sat mengecek jam tangan miliknya. Dia terhenyak karena sudah saatnya dia dan Seno harus menyambut seorang yang penting di perusahaan mereka.
“Pak, sudah jam 2. Pak Marco dari Waw Kosmetik sedang dalam perjalanan menuju ke sini.” ucap Sat dengan wajah datarnya.
“Oh, ya. Tentu saja kita harus menyambut beliau.”
Alhasil dua orang ganteng itu pergi menuju lobby demi menanti kehadiran tamu agung. Sekaligus menjadi kemunculan pertama Sat yang sudag ditunggu-tunggu oleh pegawai wanita.
Para fans sebelulmnya masih saja mengkorek informsi ke Nina. Tapi tak seantusias saat asisten itu datang, Nina kini malas menjawab pertanyaan soal Satrio. Dia hanya menjawab, “Nanti kalian lihat sendiri saja. Aku sedang gakmiid.”
Ya, sifat tegas dan keras Sat sudah ia perlihatkan walau masih di ;ingkungan kantor CEO. Acapkali Nina juga menjadi sasaran empuk Sat yang ternyata sangat perfeksionis saat bekerja.
Tak lama setelah Seno dan Sat berada di lobby, sekelompol pria berjas hotam yang kurang lebih lima orang berjalan memasuki peeusahaab iklan milik Seno, dengan pria tinggi berwajah bule memimpin jalan dan menyapa Seno sendirian.
Sebentar saja kaabr itu terhembus, lobby sudah dipenuhi pegawai wanita yang sudah selayaknya fans yang menunggu kedatangan idolanya di red carpet.
“Siapa tuh?” Mereka berbisik.
“Yang bule itu CEO Waw Kosmetik. Sampingnya asistennya, kalau gak salah namnaya Kevin.”
“Gila-gila. Cowok ganteng kalau digabung jadinya savage banget.”
“Kurang Pak Ivan tuh. Kalau digabung kan bisa ngalahin EXO.”
*****
Profil Zhafira (Hampir lupa akku tuh)
Nama : Zhafira Callista Agustian / Fira
TTL : Udah lah, capek kali aku tuh ditanyain terus. Mereka itu kembar tiga, lihat dong di bagian Zanna. Balik!
Hobby : Hm, kasih tau gak ya...
Ciri fisik : Rambut sebahu dan ikal di bawah, berponi ala Lisa Blekping, tinggi 168 cm, kulitnya kuning langsat, matanya bulat, tubuhnya sedikit berisi dengan dada yang pas-pas-an. Kesayangan papa.
Sifat yang dominan : Cuek, gak peduli pada lingkungann manusia yang bikin hati dan pikiran gak sehat (Patut ditiru)
Hal yang tidak disukai : Paling beda di antara 3Z (gak terlalu mirip Zanna-Zeze yang sangat identik), Tidak suka apapun bekas Zanna, Paling malas membahas Zanna, Kenyataan kalau iri dengan Zanna
Pak Agustian adalah ayah dari tiga Z. Memiliki sebuah restoran kecil yang didirikan dari hasil kerja kerasnya sejak diusir dari keluarga besarnya yang sangat kaya.Nah jadi, kakek-nenek si kembar yang membangun Ramli Corps dan salah satu anak perusahaan mereka adalah Waw Kosmetik, nyatanya adalah orang tua Pak Agus. Tapi dia membuat kesalaham besar yang telah mencoreng nama baik keluarga di masa mudanya. Beliau lantas diusir dan dicoret dari daftar ahli waris di usia 19 tahun.Untungnya, setelah si kembar lahir, kerasnya hati Kek Ramli perlahan terkikis. Bukan berarti hati mereka menerima kembali anak dan menantunya. Kebahagiaan yang mereka tunjukkan saat si kembar lahir semata-mata karena bahagia telah memiliki cucu perempuan yang lahir sehat dan cantik-cantik.Kek Ramli bahkan mengambil Zeze atas perminataan Marco muda yang memilih secara cap cip cup, dan diasuh selama lima belas tahun. Sebelum akhirnya Zeze meminta ke
Marco memasuki rumah Pak Agus dengan langkah terburu untuk meminta penjelasan dari adik-adiknya. Secepat kilat menuju kamar Zeze yang tengah terbuka. Zeze saat itu hendak menutup pintu kamarnya, tapi kaget dan hampur saja melompat melihat sosok Marco yang menakutkan sedang berdiri di depannya.“Astaga dragin!” celetuk Zeze mengelus-elus dadanya.Maco memicing mata sinis menatap Zeze yang masih sibuk mengatur nafasnya. Lalu berjalan masuk ke kamar Zeze dan duduk di pinggiran ranjang.“Bisa jelaskan apa yang terjadi hari ini?” tanya Marco. Nada bicaranya tersendat menahan emosi yang seharian ditahan. Akibatnya seluruh pekerjaannya benar-benar tak masuk ke kepalanya. Otak Marco terus berpikir kepada Zeze dan Fira yang tega menelantarkan om nya.“Kamu tahu, jika om tidak memperingatkanku, kalian sudah aku seret ke bawah!”“Maaf, mas. Ak
“Dikit lagi, dikit lagi!” ucap Seno heboh bersantai ria di meja kerjanya sepagi buta ini.Victory. Terdengar suara dan hp miliknya. Satrio menggeleng kepala melihat tingkah Seno. Padahal dirinya sedang disibukkan dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Seno. Untung Ivan sudah mewanti-wanti lebih dulu dan diiming-imingi gaji yang besar melakukan pekerjaan double. Kalau tidak, sudah dia ratakan perusahaan aneh ini beserta CEO nya yang tak kompeten.“Pak, jadwal rapat dengan Waw Kosmetik setengah jam lagi. Jika kita tidak berangkat sekarang, kita akan terlambat keren terjebak macet.” jelas Satrio dengan nada datar dan wajah yang kesal.Tak terprovokasi dengan kesalnya Sat, jadi dia membiarkan asistennya itu melakukan apapun pada dirinya. Pasrah lah intinya. Dihina ya biarin, dicaci ya terima. Sudah.“Gue kerja dulu. Kalian lanjut tanpa gue.” kata Seno yan
Ceklek.Pintu ruangan terbuka dan terlihat sosok Satrio dari sela pintu sambil membawa berkas yang tadi sidurug Seno untuk dicarikan.“Mas ganteng?” Zanna tercengang melihat Satrio ada di tempat itu. Berjalan penuh percaya diri dibarengi senyum tipis. Namun senyum itu lekas hilang setelah Sat menyadari kehadiran Zanna.“Ish, matilah. Yang akan terjadi biar saja terjadi. Aku harus keluar dari situasi ini dulu.” Kemelut di hati Zanna membuncah.Jari telunjuknya menuju ke arah Satrio yang berdiri bingung saat ini. Tambah bingung lagi ketika Seno dan Marco serempak menoleh ke arahnya.“Dia orangnya!” seru Zanna.Apa? Kenapa? Aku kenapa? Pikiran Sat juga ikut bergelut di kepala. Pasalnya ia baru saja masuk ke ruangan, tapi diperlakukan seperti terdakwa yang ketahuan melakukan kejahatan besar.S
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma