Share

Chapter 7

Marco memasuki rumah Pak Agus dengan langkah terburu untuk meminta penjelasan dari adik-adiknya. Secepat kilat menuju kamar Zeze yang tengah  terbuka. Zeze saat itu hendak menutup pintu kamarnya, tapi kaget dan hampur saja melompat melihat sosok Marco yang menakutkan sedang berdiri di depannya.

“Astaga dragin!” celetuk Zeze mengelus-elus dadanya.

Maco memicing mata sinis menatap Zeze yang masih sibuk mengatur nafasnya. Lalu berjalan masuk ke kamar Zeze dan duduk di pinggiran ranjang.

“Bisa jelaskan apa yang terjadi hari ini?” tanya Marco. Nada bicaranya tersendat menahan emosi yang seharian ditahan. Akibatnya seluruh pekerjaannya benar-benar tak masuk ke kepalanya. Otak Marco terus berpikir kepada Zeze dan Fira yang tega menelantarkan om nya.

“Kamu tahu, jika om tidak memperingatkanku, kalian sudah aku seret ke bawah!”

“Maaf, mas. Aku benar-benar sedang rapat saat itu.” ucap Zeze menunduk.

Masih fokus menyelidiki melalu Zeze dan belum menemukan jawaban yang memuaskan hati, perbincangan harus terhenti karena terdengar suara ribut-ribut dari kamar Fira. Sesekali terdengar suara teriakan yang diyakini suara Zanna.

“Berhenti, berhenti!” suara Pak Agus juga terdengar dari sana namun keributan belum juga dapat diredakan.

Marco mendadak bangkit dari ranjang Zeze dan berlari ke sumber suara. Benar saja, ia melihat Zanna dan Fira yang sudah terlibat jambak-jambakan. Belum lagi tubuh Pak Agus yang terhuyung ke sana ke mari mencoba melelrai keuda anak perempyannya.

“KALIAN BERDUA BERHENTI!” teriak Marco yang sudah mencoba menahan emosi tapi tak bisa ditahan lagi dan harus ia keluarkan jika tidak ingin jadi penyakit nantinya.

Dan hanya suara berat itu yang berhasil menghentikan perkelahian keduanya. Membuat tiga Z mati kutu. Mereka sangat takut pada Marco. Caranya menatap, mendidik, dan juga menghukum adalah pengalaman yang tidak bisa dilupakan bagi 3Z.

Bu Riska yang sudah paham sifat keponakannya, tampak khawatir setengah mati. Ia takut jika Marco menghukum para putrinya dengan kejam seperti saat dia menghukum Zeze ke luar negeri dan memisahkan ibu-anak selama beberapa tahun.

Sementara Pak Agus masih ngos-ngosan setelah kelelahan melerai keributan. Kini memnadangi wajah kedua putrinya yang sudah kacau balau secara bergantian.

“Semuanya turun ke ruang keluarga!” perintah Marco yang tak terbantahkan.

Ruang keluarga yang dimaksud bukanlah ruang keluarga [ada umumnya yang dipakai untuk haha hihi sembari menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Tapi ruang keluarga di rumah ini bagai ruang sidang yang sengaja dibuat untuk menghukum siapapupn yang melakukan kesalahan besar.

Gak cuma Zanna dan Fira, Zeze serta orang tua ,ereka juga ikut ke ruang keluarga begitu dititah Marco. Menyimak bagaimana Marco akan memberi pelajaran pada kedua saudara bebuyutan itu.

“Apa lagi kali ini?” tanya Marco dengan suara yang menggelegar. Yang tak bersalah pun bisa ikut-ikutan takut jika mendengarnya.

Zanna dan Fira duduk bersimpuh di lantai, berhadapan dengan Marco yang duduk di sofa bersama Pak Agus dan Bu Riska di sampingnya.

“Aku hanya gak suka dia cuekin papa di kantor, mas.” jawab Zanna.

Marco menoleh ke arah Zeze yang berdiri kaku di belakangnya. Yang tahu kejadian ini hanyalah mereka yang ada di tempat. Jika Zanna tahu, berarti Zeze sudah mengadu soal ini ke Zanna.

“Kamu juga duduk di situ, Ze!” perintah Marco semakin kesal. Ia menggosok wajahnya secara kasar.

Untung Zeze menurut walau takut menatap mata Marco. Lucunya, Zanna dan Fira bergeser masing-masing ke kanan dan kiri. Seolah mempersilahkan Zeze bersimpuh di ruang tengah yang kosong. Ikut merasakan penyiksaan dan siap mendengar omelan Marco sampai kaki menajdi mati rasa.

“Mas baru aja ingin mendengar penjelasan dari Zeze, kenapa bisa ada kejadian seperti tadi siang di depan mata mas. Tapi kalian sudah ribut dan bertengkar kayak anak kecil?” sentak Marco bersidekap tegak di hadapan ketiganya.

“Mas, aku...” ucap Zanna pelan.

“Diam! Belum waktunya kalian berbicara!” bentak Marco mengagetkan semua orang. Bahkan Bi Yan yang ada di dapur pun tak berani mengantarkan minuman ke ruangan itu.

“Kalau bukan karena om yang melarang, udah mas jambak rambut kalian satu-satu seperti yang kalian lakukan tadi.”  tunjuknya pada Fira dan Zeze yang merupakan akar masalah ini. “Jelaskan!” titahnya lagi.

Giliran disuruh jawab, ketiganya malah memilih bungkam. Bingung menjelaskan dari mana karena semua punya versi masing-masing. Tak tega menyaksikan wajah ketiga putrinya yang bagai terdakwa, Pak Agus ikut nimbrung ke dalam percakapan. Kali ini Marco tak marah dan membentak orang yang memotong jalannya sidang seperti yang ia lakukan ke Zanna tadi. Sebab ia sangat menghormati om nya.

“Jadi tadi om itu ngantar bekal untuk untuk Fira sama Zeze. Tapi om lupa ganti baju. Om pakai baju yang lusuh datang tanpa tahu malu ke kantor. Om maklum kok. Kamu jangan marah lagi toh le.” Pak Agus berusaha semampunya agar keponakannya berhenti marah.

“Kalian apa malu dengan om ku? Ha? Siapa yang malu? Kamu Ze?” tunjuknya pada Zeze. Lalu menggeleng cepat, tak setuju. “Berarti kamu Fira?” Beralih ke Fira.

“Mas, aku bukan nyalahin papa. Tapi posisiku di kantor itu...” Fira terhenti. Suaranya tercekat, menggantungkan kalimatnya.

“Posisi? Psoisi?” bentak Marco. “Sehebat apa rupanya posisimu hingga malu menerima papamu?” Mata Merco sudah membulat sempurna. Tak lagi bisa menahan amarahnya.

“Baru di posisi itu aja kamu malu dengan papamu? Bagaimana jika lebih tinggi lagi posisimu itu, bakal kamu terlantarkan? Ha? Jawab Fira!!”

“Sudah, Co. Sudah, nanti darah tinggi mu naik lagi. Ze, ambil air hangat untuk mas!” Bu Riska mengerlingkan matanya memberi isyarat ke Zeze agar segera lari ke dapur dan membawa air untuk menekan suhu panas di diri Marco.

“Nih, mas.” Zeze menyerahkan gelas itu ke tangan Marco lalu kembali ke tempat hukumannya.

Marco meneguk air itu tanpa ragu hingga tandas isi dari gelas itu. Segar. Tenggorokannya sudah terlalu kering akibat marah-marah tak karuan bagai orang gila.

Lalu ia mengambil nafas dalam-dalam dan kembali fokus untuk menanti jawaban dari Fira. “Mas masih menanti jawaban kamu Fira!” katanya dengan nada suara yang agak rendah dari sebelum ia meminum air tadi.

“Mas, banyak orang membenciku dan berusaha menjatuhkan aku karena psoisiku. Aku gak bisa nunjukkan papa ke mereka. Takut mereka akan menghina papa.” jelas Fira tertunduk malu, tak sanggup menatap papanya yang juga menatap kasihan ke arahnya.

“Nyalahin mereka udah menghina papa!” sambar Zanna.

“Kamu diam! Masih Fira yang boleh berbicara saat ini.” tunjuk Marco ke Zanna. “Lalu kamu Ze? Kenapa harus ngadu ke Zanna ?” teriak Marco. Kali ini giliran Zeze.

“Mas, sebelum papa datang, Zanna nge chat aku. Ngabarin kalau papa datang. Jadi pas papa balik dia nge chat lagi. Aku hanya mengabarkan siatuasi yang terjadi. Aku gak bermaksud ngadu. Gak juga mengadu domba, mas.” rengek Zeze mendapat tatapan sinis dari Marco.

Duh, kalau urusan Zeze, Marco agak berat. Hatinya mudah goyah setiap kali menghukum anak ini. Apalagi adik kesayangannya itu agak cengeng. Jadi gak sanggup jika harus buat Zeze menangis.

“Lain kali jangan gitu. Yang kamu lakukan itu bisa bikin kesalahpahaman. Ngerti kamu?” sentak Marco pura-pura marah. “Tapi penampilan apa yang kamu tunjukkan di kantor tadi?”

Mata Zeze berputar. Bingung harus menjawab apa. Takut dengan apa yang akan terjadi bila ia jujur mengatakan alasan penyamaran ini karena tak ingin terlihat mirip dan menghindari Fira di kantor.

“Maaf, mas. Ada alasan yang gak bisa aku jelasin.” jawab Zeze. Habis itu mulutnya terkatub rapat dan tak lagi menjawab desakan Marco yang masih terus menanyakan soal penampilan aneh itu.

“Dan kamu Zanna? Mau jadi pegulat aja? Apa gak bisa dibicarakan baik-baik dulu?” Marco beralih ke Zanna karena frustasi pertanyaannya tak mendapat jawaban dari Zeze.

“Aku kesal, mas. Bayangin papa dicuekin selama dua puluh menit itu rasanya sesak. Aku juga gak tega bilang ke papa soal pakaiannya karena aku fikir, mereka akan memaklumi.”

Marco menyilangkan kedua kakinya. Zanna berdehem pelan. Tenggorokannya terasa tak sanggup menelan ludah karena sudah gugup pada sikap dominan yang dimiliki Marco. “Terus?” tantangnya ke Zanna.

“Kamu itu yang paling tua di antara mereka, tapi tak memberi contoh yang baik dan malah ribut dengan adikmu!” bentak Marco.

“Kami minta maaf, mas. Kammi bersalah.” ucap ketiganya serempak.

Hah, Marco menghela nafas. Ia lepas silangan kakinya dan duduk tegak di kursi dengan mata yang tak luput sedetikpun memandang triple z bergantian. “Kalian tahu apa kesalahan utama kalian?”

Ketiganya menggeleng cepat. Pertanyaan ini biasanya menandakan akan berakhirnya hukuman. Makanya, semua omelan ini harus dihentikan. Kaki mereka sudah kesemutan dan mati rasa. Mungkin akan pengkor jika harus duduk lebih lama lagi.

“Pertama, kalian lihat om ku!” perintah Marco. Cepat diikuti oleh 3z yang langsung menoleh ke arah papanya. “Apa dia jelek?”

Hm, kompak mereka menggeleng. Iya sih, biarpun sudah menginjak usia 45 tahun, tapi ketampanan Pak Agus gak luntur. Baju murahan nan kucel dan tanpa perawatan sajalah yang buat ketampanannya tersamarkan.

“Ganteng? Tak beda jauh dariku, kan?” Ketiganya kembali mengangguk cepat membenarkan pertanyaan Marco. “Kalau begitu kenapa kalian malu?” sambungnya dengan membentak.

“Sejelek apapun om ku, sekucel apapun om ku, seburuk apapun om ku, tidak ada hak kalian untuk malu padanya. Karena membesarkan kalian dan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian pula-lah, datangnya penampilan kucel ini. Jadi jabatan yang kalian capai hari ini, posisi yang kalian duduki hari ini, semua tak lepas dari keringatnya dan aliran doa yang selalu om dan tanteku panjatkan untuk kalian! Apa kalian mengerti sampai sini?” tutur Marco yang sudah mengatur emosinya. Menggunakan kata om-ku untuk menekan adik-adiknya agar tak lagi berbuat tak sopan ke orang yang dihormatinya dan telah dianggap orang tua olehnya.

Wajah 3z memerah. Mereka tertunduk pasrah menahan isak tangis. Belum berani mengeluarkan suara bahkan untuk menangis sekalipun.

“Kedua, kalian itu berbagi rahim yang sama. Berbagi darah dan daging yang sama. Hubungan kalian harusnya lebih kental dari air. Tapi apa, kalian bertengkar seperti anak kecil. Dan sikap seperti ini yang sedang kalian tunjukkan ke orang tua kalian di masa tuanya yang seharusnya menikmati kenyamanan hidup. Mas fikir mereka harus berkutat dengan rasa khawatir seumur hidupnya karena takut jika kalian terpecah belah.”

“Dan ketiga. Aku tak mau kalian menyesal kemudian hari dan berkata, harusnya aku menyambut papa. Harusnya aku menjaga papa. Harusnya aku tak mengecewakan papa.kalian tau dek, sedih rasanya menyesali sesuatu yang sudah hilang di hidup kalian. Aku tak ingin kalian sepertiku yang selalu merutuki diri setiap malam karena tak lagi nisa bertemu orang tuakku.” jelas Marco terharu sekaligus membuat om dan tantenya bahagia memiliki Marco sebagai pengendali si kembar.

Tiga z yang tertunduk sedih akhirnya bisa leluasa menangis berderu sembari menerjang tubuh papa dan mamanya bergantian. Terakhir mereka menyerbu memeluk Marco yang ternyata menjatuhkan air matanya pula, sedih mengingat mendiang kedua orang tua nya.

“Maafkan kami, mas!” seru Zeze yang paling keras menangis.

“Hm.” Marco mendehem sambil memeluk erat ketiga adiknya.

*****

Setelah puas bernangis-nangis ria, Marco memangil Zanna untuk membicarakan hal penting berdua dengan adiknya yang agak bar-bar itu. Sejenak keduanya tatap-tatapan tanpa kata. Zanna merasakan ada aura aneh mengelilinginya, seperti perasaan tak enak begitu ia melirik Marco yang baru saja reda dari emosinya.

“Apa aku melakukan kesalahan lagi?” batin Zanna.

“Zan!” panggil Marco memecah kemelut gugup di hatinya.

“Ya, mas?” Zanna menyahut gugup.

Snirf. Marco menyisih ingusnya di tissue. “Kamu jangan terlalu berleha-leha dengan karirmu. Pikirkan tanggal pernikahanmu dengan Seno. Sudah lama kalian bertunangan. Kalau kelamaan bergerak, akan ada banyak badai yang datang.” celetuk Marco sembari menyeruput kopi yang tadi dibuat Zeze.

“Semoga badai itu lekas datang.” Zanna membatin.

“Mas, aku baru aja beranjak...” Zanna mencoba menjelaskan soal keinginannya, sebelum akhirnya dipotong Marco dengan satu bantingan gelas kopi ke atas meja. Menyentak Zanna.

“Mas gak suka penolakan. Kamu tau kan, mas bisa menghancurkan karirmu saat ini juga hanya dengan satu jari. Jadi, jangan buat mas marah, Zan!” ancam Marco lalu mengusir Zanna pergi kembali ke bilik renungan alias kamar.

Marco Sebastian Ramli, adalah cucu pertama dari anak perempuan tertua kek Ramli, dan memiliki jarak usia yang cukup jauh dari Pak Agus. Sabrina, nama ibunya, menikah dengan pria berdarah Italia yang sudah mengenal sejak kuliah. Namun mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat saat Marco berumur lima tahun.

Sejak itu Marco dibesarkan oleh Agustian, pamannya. Namun Pak Agus yang masih sangat muda kala itu mengecewakan kek Ramli dengan menikahi perempuan muda dan menghamilinya. Ia pun dicoret dari daftar pewaris.

Akhirnya dengan hati yang berat dan terpaksa, kek Ramli menyiapkan Marco yang masih terlalu dini untuk menghadapi dunia bisnis sekaligus menjadi kepala keluarga besar Ramli. Makanya ia sangat dihormati dan ditakuti oleh tiga Z.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status