Entah pukul berapa, Tamara mengerjap dan terbangun. Kepalanya terasa berat dan otot-otot tubuhnya terasa nyeri.
Tapi kamar sudah lebih terang daripada semalam, sekalipun langit di luar belum terang benderang.
“Di mana ini?” gumam gadis 21 tahun itu sembari memandang sekelilingnya. Dia baru menyadari jika dia berada di sebuah kamar hotel. Ingatannya tentang semalam pun mulai bertayangan di benaknya.
Oh, tidak! Dia sudah digerayangi Tn. Kozlov dan pria itu seperti harimau buas melampiaskan hasrat pada dirinya.
Tamara tercekat dan langsung menoleh ke sebelahnya.
Deg! Jantungnya nyaris copot.
Kejadian semalam adalah nyata. Pria itu masih tertidur di sampingnya. Berarti ... pria ini adalah Tn. Kozlov.
Dengan jantung yang bertalu tak karuan, Tamara mengamati wajah tentram yang tertidur di sampingnya itu.
Ternyata Tn. Kozlov bukanlah pria paruh baya. Malahan dia tampak masih cukup muda dan sangat tampan.
Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan dikelilingi sisa cukuran cambang yang halus. Alisnya tebal dan berbentuk seperti pedang. Ditambah dengan rahang yang terlihat keras, wajah Tn. Kozlov sangat maskulin dan ... sempurna.
Tubuhnya pun berotot, kekar, dan sangat kencang.
Belum pernah Tamara melihat pria setampan ini, dengan aura maskulinitas yang terasa begitu tinggi, tak terjangkau.
Namun Tamara tercekat saat melihat berbagai tato yang tergambar di punggung hingga lengan pria itu.
Tato naga yang besar melingkari tubuh pria itu dari ekor di bahu kiri, turun ke punggung hingga berakhir dengan kepala naga di bahu kanan. Di bawah lehernya, terbentang tato yang berupa nama: T. Kozlov.
Deg!
Jantung Tamara kembali melompat. Siapa sebenarnya pria ini?
Dia jauh dari apa yang Vicco gambarkan sebelumnya, pria paruh baya. Kenyataannya, Tn. Kozlov masihlah muda, gagah, dan ... urgh, tampan.
‘Astaga ... sempat-sempatnya aku menganggap dia tampan!’ keluh hati kecil Tamara memprotes isi dalam benaknya.
Tapi melihat tatto-tato ini, Tamara yakin Tn. Kozolv bukanlah sembarang orang.
Bulu kuduk Tamara merinding seketika itu juga.
Dengan cepat, tapi teramat hati-hati, Tamara turun dari ranjang dan mengambil pakaiannya.
Dia mengenakannya kemudian menyelinap keluar.
Mumpung hari masih sangat pagi dan Tn. Kozlov masih belum menyadarinya.
Keluar dari hotel, Tamara memanggil taxi lalu menuju apartemen Vicco. Dia harus membuat perhitungan dengan Vicco.
Setibanya dia di sana, Tamara menggedor kuat pintu apartemen Vicco bertubi-tubi. Kemarahan menggelegak dalam dadanya. Tapi pria itu tak kunjung membuka pintunya.
[Teganya kau menjebakku!]
[Dasar bajingan!]
[Menyesal aku sudah mengenalmu!]
Tamara melampiaskan sakit hatinya dengan mengirimkan pesan itu pada Vicco. Begitu dia meng-klik send, Tamara lebih sakit hati lagi. Pesan-pesannya itu hanya bercentang satu.
‘Kamu memblokirku?’ seru Tamara marah dari dalam hatinya.
Sakit hati dan kecewa teramat dalam, Tamara pun menuju apartemen sahabatnya, Darla. Dia tidak tahu ke mana lagi dia bisa datang untuk menenangkan dirinya atas apa yang baru saja terjadi.
Susah payah selama ini dia menjaga mahkotanya sebagai seorang perempuan, semalam hal itu malah direnggut pria yang tak dia kenal karena Vicco menjadikannya pelunas bunga utangnya!
Semua karena Vicco!
Tamara hanya ingin menumpahkan kemarahannya terhadap Vicco dengan menangis di bahu Darla.
Tiba di apartemen Darla, Tamara mengangkat tangannya siap untuk mengetuk tapi pintu apartemen Darla ternyata tidak tertutup rapat.
Ada celah satu inci yang menganga.
Seketika jantung Tamara berdetak kencang lagi. Ap- apakah Vicco juga menjadikan Darla sebagai cicilan atas bunga utang yang berikutnya?
Tak sanggup membayangkan jika ternyata Darla pun bernasib sama dengannya, Tamara gegas menyelinap masuk.
Situasi dalam apartemen yang sunyi dan hening semakin membuat Tamara merasa tak enak. Seakan ada sesuatu yang tak baik sedang terjadi pada Darla dan kesunyian ini adalah petunjuk.
Tamara melangkah semakin dalam hingga dirinya tiba di depan kamar Darla.
Lagi-lagi pintu kamar itu tidak tertutup rapat. Namun kali ini, Tamara malah mendengar desahan serta bunyi cecapan bibir yang saling beradu.
“Aaahh, ini enak sekali. Lebih cepat, Beib.”
Ucapan Darla membuat Tamara terkesiap.
Dia sungguh tak menyangka Darla ternyata mempunyai kehidupan asmara yang sejauh ini, apalagi setahu Tamara, Darla belum mempunyai kekasih.
Tapi Tamara juga lega karena setidaknya Darla baik-baik saja. Tidak turut diumpankan pada Tn. Kozlov.
Tamara pun membalik langkah kakinya hendak pergi dari sana, tapi suara pria yang didengarnya tiba-tiba membuat tubuhnya membeku.
“Oh, aku hampir sampai, Sayang.”
Kedua tangan Tamara mengepal erat sedangkan wajahnya merah menahan amarah yang menggelegak dalam dada.
Dengan derai air matanya, Tamara mendorong kuat pintu kamar itu hingga dua insan di dalam sana cepat-cepat memisahkan diri sambil menutupi tubuhnya.
“Tam- Tamara?” Pertanyaan tak percaya itu terlontar dari bibir Vicco.
“Ya! Ini aku, masih hidup, masih utuh! Kau kecewa?” tanya Tamara sinis.
“Ten- tentu saja tidak! Oh, Tamara aku sungguh bersyukur kau ternyata baik-baik saja.
Maafkan aku, Sayang, tapi semalam setelah aku mengambil ponselku di mobil, aku menyusulmu, tapi kamu tidak ada di mana-mana. Aku memanggil-manggil namamu, tapi kamu juga tak kunjung keluar.
Ka- kamu baik-baik saja, kan?”
Tamara mual mendengar perhatian palsu dari Vicco. Jika bukan karena kejadian semalam, Tamara pasti sudah terharu mendengar perhatian Vicco ini.
Tapi setelah kejadian semalamnya dengan Tn. Kozlov, Tamara takkan mungkin mempercayai Vicco lagi.
Apalagi saat ini dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan perselingkuhan Vicco dan Darla.
“Berhenti berbual, Vicco! Aku sungguh tak menyangka kalian tega melakukan hal semenjijikkan ini di belakangku!”
“Kamu jangan salah paham dulu, Tamara! Dia yang menggodaku! Dia yang memaksaku!” Darla terlihat menangis sambil menghampiri Tamara.
Tamara mendengus sinis pada sahabatnya itu. “Oh ya?”
“Benar, Tamara. Dia yang terus merayuku!”
“Tapi kalau kau sahabat sejati, seharusnya kau mengadukan perbuatannya padaku dari dulu. Bukannya malah menyambut rayuannya lalu mendesah penuh kenikmatan.”
Wajah Vicco semakin pucat pasi. Kini pria itu yakin Tamara telah mendengar cukup banyak untuk mengetahui bagaimana hubungannya dengan Darla.
Namun, wajah Darla yang tadinya cemas, tiba-tiba berubah sumringah. Lalu terdengar tawanya yang sangat riang.
“Sudahlah, Vic, kita sudah ketahuan, buat apa juga ditutup-tutupi. Lagian kan begini juga bagus, kamu jadi tidak perlu lagi berpura-pura di depannya!”
Apa?
Tamara menatap Darla dengan tangan mengepal erat. Hatinya geram sekaligus hancur di saat bersamaan. Tidak ada rasa penyesalan di wajah Darla. Dan ini semakin menghancurkan hati Tamara.
Tamara pun akhirnya berbalik dan meninggalkan dua insan peselingkuh itu.
Terdengar suara Vicco memanggilnya dari belakang, seakan ingin menyusulnya.
Tapi kenyataannya, suara itu menghilang dengan cepat seiring langkahnya mencapai pintu.
***
Jika Tamara mengira perselingkuhan Vicco dengan Darla merupakan titik terendah hidupnya mengalahkan keperawanannya yang direnggut pria asing, Tamara salah.
Itu masih bukan apa-apa saat satu bulan kemudian Tamara mendapati dirinya mengalami mual-mual dan meriang tak jelas.
Ketika Tamara mengecekkan diri ke dokter, dokter menyalaminya dengan tatapan berbinar cerah.
“Selamat, Nona, Anda mengalami kehamilan yang cukup langka, yaitu kembar tiga.”
“Signore ...” ujar Tamara dengan senyum yang bernada mencibir bercampur candaan.“Ayolah ... aku sangat menginginkanmu,” bisik Trevor lagi sambil tiba-tiba mengangkat tubuh Tamara hingga berada dalam gendongan bridal style-nya.“Trevor! Kita sudah sepakat!”“Tidak bisakah kita lupakan saja kesepakatan yang dulu itu? Aku benar-benar menginginkanmu saat ini.”Trevor merebahkan Tamara di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya.Dia kembali menindih Tamara dan menciumnya dengan lembut.Pagutannya terasa dalam meski masih tenang dan tidak menggebu.“Signore, apa yang sudah disepakati tidak bisa diubah.”“Begitu kah?”“Iya. Kecuali kau mau juga mengubah hari pernikahan kita.”Mendengar itu, Trevor langsung berhenti dengan segala aktivitasnya.Dia terdiam dan hanya menatap Tamara. Ada kejengkelan di manik matanya meski itu tidak seberapa besar.Pada akhirnya Trevor bangun lagi dan duduk.Dia masih memberikan tatapan kesal pada Tamara.Wanita itu lalu terkekeh sambil memeluk leher Trevor.“Se
“Daddy sama mommy sudah pulang!”Thea dan Tilly menyambut orang tuanya dengan penuh semangat.Setiap kali mereka ditinggal di rumah, selalu ada Bibi Beatrice yang menemani mereka.Dan seperti biasa, Travish tetap cool. Dia menyambut dengan tatapan sekilas, lalu kembali fokus pada layar televisi, menonton pertandingan bola kesukaannya.“Kalian sudah makan?” tanya Tamara seraya membuka mantel dan syal-nya.Begitu selesai, Trevor mengambil mantel dan syal-nya lalu menggantungkannya di tiang mantel.Baru setelah itu dia membuka mantelnya sendiri.“Sudah! Tadi kami sudah lapar sekali. Jadi Bibi Betrice memasak untuk kami. Ngomong-ngomong mommy dan daddy sudah makan?”“Belum. Apa kalian ada menyisakan untuk kami?” tanya Trevor seraya berjongkok untuk membawa Thea dan Tilly dalam gendongannya.Dua gadis kecil itu sudah tahu lalu memeluk leher ayah mereka. Sekejap kemudian mereka sudah terangkat.Setiap kali hal ini terjadi, mereka akan tertawa-tawa merasakan digendong bersamaan dan merasa ti
“Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apa sudah kalian perkirakan tanggal dan bulannya?”Makan malam malam itu akhirnya berlangsung di antara mereka berempat, seperti rencana semula.Alland, Shirley, Giana dan Bobby.Giana mengangguk dengan semangat yang kini tinggal setengahnya saja dari saat tadi sebelum dia melihat Trevor.Tadinya Giana sangat senang dengan kedatangan Bobby di rumahnya. Dia senang akhirnya pria itu menunjukkan keseriusannya dengan datang menghadap ayah dan ibunya. Membicarakan rencana mereka ke jenjang yang lebih serius ke depannya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Tamara yang mengunjungi ayahnya dengan menggandeng pria yang pernah membuat Giana terpesona parah.Saat itu adalah pameran yang diselenggarakan kantornya. Dan Trevor adalah salah satu undangan resmi berlabel VVIP.Ketika Trevor hadir, semua manajernya menunduk. Bahkan CEO mereka pun menyambut dengan hormat.Saat itu pun Giana sudah terpesona akan ketampanan dan kharisma Trevor. Dan dia lebih terpukau lagi saat
“Sungguh suatu kebetulan kau datang ke sini, Tamara. Ayo masuk! Di luar sangat dingin.”Sang ayah -Alland- mempersilakan Tamara untuk masuk.Di sana, Tamara mendapati Shirley dan Giana dan teman prianya.Tamara tidak masuk terlalu dalam. Dia langsung berkata pada sang ayah, “Ayah ... ehm, aku datang tidak akan lama. Aku hanya ingin memberikan ini.”Tamara menyerahkan kartu undangan yang dihias indah kepada ayahnya.Pria tua itu menatap ke arah kartu dan membaca isinya. Seketika tatapannya berbinar cerah.“Kau ... akan menikah, Tamara?”“Iya, Dad. Ini ... perkenalkan calon suamiku.” Tamara lalu merujuk pada Trevor yang sedari tadi berdiri di sebelahnya selayaknya seorang tuan besar yang tak terbantahkan kehadirannya.Tentu saja Alland menyadari keberadaan Trevor sedari tadi, hanya saja dia masih canggung akan Tamara setelah bertahun-tahun tidak bertemu Tamara.Rasa bersalah melilitnya juga selama ini. Di lubuk hati terdalamnya, Alland merasa bersalah karena membiarkan Tamara pergi saat
Apalagi ketika Trevor bergerak dengan menempel demi mencari kenyamanan dirinya.“Hmm ... aku menginginkanmu, Tamara. Malam ini ...” bisik Trevor di sela pagutan dan lumatannya.Meski seakan meminta izin pada Tamara, tapi tangannya sudah bergerak lebih dulu.Trevor menyelinap ke balik kaos Tamara dan mencari gundukan kenyal di baliknya.Masih ada bra tipis di sana dan Trevor meremas dari baliknya. Terasa puncak Tamara yang ikut menajam.Dengan jemarinya, Trevor mengelus untuk merasakan lebih lagi.Sebelah tangannya bergerak seakan saling mensupport. Dia menaikkan kaos baju Tamara untuk diloloskan melewati kepala.Sedangkan tangan satunya terus membelai dan mengelus. Sesekali cubitan ringan dikerahkan Trevor membuat Tamara semakin menggelinjang.Trevor lalu merayapkan tangannya di sepanjang kulit halus Tamara, menyisiri perut rata Tamara hingga berakhir di bokong lembut Tamara.Meremas di sana, Trevor kembali semakin menyelinap ke balik celana pendek, untuk menuju paha dalam Tamara.Saat
Bukan hanya Tamara yang semakin merasakan berat hatinya menceritakan semua itu, tapi juga Trevor.Dia sungguh tak menyangka jika Tamara mengalami ditinggalkan ibu kandungnya sendiri.Tenggorokan Trevor ikut tercekat rasanya.Tak bisa ditahannya, Trevor pun menebak lagi dengan tepat. “Ternyata ibumu pergi karena ayahmu memiliki wanita lain.”Tamara mengangguk perlahan sambil menundukkan wajahnya.Tamara tidak suka memikirkan ibunya, apalagi membicarakannya.Ada kemarahan tersendiri dalam hatinya untuk ibunya. Kenapa ibunya tidak memberitahunya sama sekali tentang perselingkuhan ayahnya. Kenapa ibunya malah pergi begitu saja. Setidaknya, ibunya harusnya membawa dirinya pergi juga. Bukan pergi sendiri.Dan kalaupun memang ingin pergi seorang diri, setidaknya ibunya memberitahukan padanya! Jika memikirkan ibunya terasa begitu pahit, memikirkan ayahnya pun Tamara seperti menelan pecahan kaca.“Aku baru mengetahui semua itu setelah satu minggu kepergian ibuku. Ayahku pulang dengan istriny