Enam tahun kemudian ...
“Waaah anak-anak mami sudah ganteng dan cantik-cantik nih!” puji Tamara dengan senyum lembut dan penuh kasih pada kembar tiga yang dilahirkannya lima tahun lalu. Apa yang saat dulu dia takutkan dan dipandangnya sebagai mimpi buruknya, ternyata tidaklah seburuk itu. Sekalipun, Tamara sampai diusir ayah dan ibu tirinya saat ketahuan hamil, setidaknya triplet yang dia kandung dan lahirkan ternyata memberinya warna ceria dalam hidup. Bagi Tamara kini, triplet adalah hartanya yang paling berharga. Tiga anak kembarnya itu adalah pusat hidupnya. Untuk merekalah dia hidup. Karena merekalah dia bersemangat, berkarya, dan berbahagia. “Kami cantik tentu saja karena mewarisi kecantikan Mami Ratu sejagad raya ini!” seru Tilly dengan nada diplomatisnya. Cekikikan Thea pun bergema mengiringi pujian setinggi langit Tilly pada sang mami. “Aduuuh, kamu bisa aja, Tilly!” seru Tamara sembari tersenyum merona. “Mami kan jadi malu ...” Di hadapan tiga kembarnya, Tamara menjadi sosok ibu yang bisa berperan seperti kanak-kanak bagaikan sahabat bagi mereka. Padahal, Tamara juga lah yang mengajarkan Tilly dan Thea untuk memanggilnya ‘Mami Ratu sejagad raya’. “Cuih! Mami saja yang cantik, kalau kalian sih ... Big No!” Giliran Travish yang berseru sinis. Bocah laki-laki itu ada di perbatasan pintu dapur dan ruang duduk, berdiri tegap di sana dengan sebelah tangan melesak dalam saku celana. Walaupun wajah ketiganya sama -kecuali bagian mata, yangmana mata Travish memiliki sorot yang sangat tajam dan kelam, sedangkan Thea dan Tilly bernuansa ramah seperti mata Tamara- Travish juga jauh lebih pendiam. Dia tak suka banyak bicara. Menjawab perintah ibunya seperti yang dilakukan Thea dan Tilly tadi dianggapnya sebagai tingkah konyol dan kekanak-kanakan. “Kami juga cantik, ya, wueeeek!” Thea dan Tilly berseru membalasnya secara serempak, sambil menjulurkan lidah mereka. Bocah berusia lima tahun yang merupakan kakak dari dua bocah perempuan itu pun hanya menatap tajam dalam diam. Lalu kedua bahunya mengedik tanda dia tak setuju tapi juga tidak peduli. “Dasar bocil!” gumamnya sambil membalikkan badan. “Eh, kau juga bocil! Huh tidak sadar diri!” gerutu Thea dan Tilly sambil merengut dan melipat dua tangan mereka di depan dada. Giliran Tamara tersenyum geli melihat tingkah laku tiga anak kembarnya. “Sudah, sudah. Mami mau pergi kerja nih. Kalian bisa kan akur-akur? Baik-baik di rumah, jangan sampai merepotkan Bibi Beatrice. “Siap, Mami! Kami bisa akur kok!” Tilly dan Thea menjawab kompak. Tamara kembali tersenyum lalu menatap ke arah wanita paruh baya yang telah menyelamatkan hidupnya. Enam tahun lalu saat Tamara diusir keluarganya, dia juga dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja karena Darla mencuri rancangan gaun pengantin yang dia kerjakan dan mengakui rancangan itu sebagai hasil karyanya sendiri. Darla mendapatkan promosi, sedangkan Tamara dicibir, lalu dipecat. Di titik terendahnya itu, Tamara sempat berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke sungai yang beraliran deras. Beruntung Bibi Beatrice melihatnya dan mencegah niatnya. Wanita paruh baya yang sebatang kara itu mengulurkan tangan pada Tamara untuk bangkit dari keterpurukan hidup. Pernah kehilangan putrinya di usia yang sama dengan Tamara membuat Bibi Beatrice tergerak untuk menolong Tamara. Bibi Beatrice mengajaknya tinggal bersama. Wanita itu juga menguatkannya untuk tetap mempertahankan kehamilannya. “Kamu beruntung. Sebuah anugerah yang luar biasa bagi seorang wanita untuk bisa hamil kembar tiga, Tamara. Jadi, pertahankanlah. Biar bagaimanapun mereka tidak berdosa. Aku akan membantumu sekuat tenagaku.” Begitulah ucapan Bibi Beatrice waktu itu sehingga Tamara pun terharu dan menerima uluran tangannya. Sejak itulah mereka tinggal bersama dan kini Bibi Beatrice sudah seperti ibunya sendiri. Tanpa wanita itu, dia tak tahu menjadi apa dirinya saat ini. “Baiklah,” kata Tamara seraya menghirup napas dalam-dalam bersiap untuk pergi kerja dan meninggalkan triplets bersama Bibi Beatrice. “Kalau kalian sudah mengerti. Jangan lupa membereskan sendiri mainan kalian nanti. Dan ingat, siang nanti kalian harus ke rumah sakit untuk imunisasi.” “Oh, Mami, bolehkah kami tidak ikut imunisasi?” Tampang memelas Tilly muncul berusaha untuk membujuk sang mami agar membatalkan imunisasi mereka. “Maaf, kesayangan mami. Tidak bisa. Sudah mami jelaskan bukan manfaat dari imunisasi bagi kesehatan kalian?” “Urgh! Tapi kan kami bisa makan sayuran dan buah-buahan agar tubuh kami lebih sehat.” Kini Thea yang cemberut. Melihat keluhan kedua adik perempuannya itu, Travish angkat suara lagi. “Itu tidak sama, Bodoh. Imunisasi penting untuk melawan virus yang bisa menyerang tubuh kita. Kalau sayur dan buah memang diperlukan setiap harinya untuk pertumbuhan tubuh kita.” Tamara pun tersenyum lebar mendengar penjelasan Travish. Entah mengapa dia merasa putranya ini sudah seperti profesor muda saja. Baru berusia 5 tahun, tapi pola pikir dan kemampuan memory nya sudah seperti orang dewasa. Tamara sendiri kadang merasa minder jika harus berbincang dengan Travish. Apa yang didengar Travish bisa langsung diingatnya tanpa salah secuilpun. Bocah itu bahkan hobi membaca ilmu-ilmu science yang tingkat cernanya selevel anak kuliah. Dan dia akan langsung paham. Kedua adik perempuannya pun cemberut hebat mendengar ajaran dari Travish. “Itu benar, Sayang. Apa yang dikatakan Travish tadi sangat benar. Jadi, Mami tidak mau mendengar alasan kalian untuk menghindari imunisasi, ya. Tapi Travish, lain kali bicara yang baik sama adik-adikmu, ya. Jangan panggil mereka bodoh. Itu tidak baik. Tidak ada anak Mami yang bodoh. Kalian semua excellent.” “Oke,” sahut Travish dengan mengangguk kecil. “Baiklah, Mami benar-benar harus berangkat sekarang jika tidak ingin dipecat. Titip mereka, Bibi. Dan nanti siang akan ada taxi pesanan yang datang untuk mengantar kalian ke rumah sakit.” “Tentu, Tamara. Kau cepatlah berangkat. Bossmu akan marah kalau sampai terlambat satu menit saja.” Tamara mengangguk. Kemudian dia menciumi ketiga anak kembarnya itu dan bergantian memeluk mereka sebelum benar-benar melangkah pergi menuju tempat kerjanya. Perjalanan menuju butik tempat Tamara bekerja tidak terlalu jauh. Tamara hanya perlu menaiki bis satu kali saja. Di perjalanan, Tamara tiba-tiba melihat hal-hal yang seperti dejavu dari lima tahun lalu. Ada poster-poster besar di jalanan memajang wajah Vicco yang terlihat tampan, ramah, dan penuh senyuman di sana.Hanya saja kali ini Vicco menjadi calon Gubernur, sedangkan lima tahun lalu dia menjadi calon wakil gubernur.
“Signore ...” ujar Tamara dengan senyum yang bernada mencibir bercampur candaan.“Ayolah ... aku sangat menginginkanmu,” bisik Trevor lagi sambil tiba-tiba mengangkat tubuh Tamara hingga berada dalam gendongan bridal style-nya.“Trevor! Kita sudah sepakat!”“Tidak bisakah kita lupakan saja kesepakatan yang dulu itu? Aku benar-benar menginginkanmu saat ini.”Trevor merebahkan Tamara di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya.Dia kembali menindih Tamara dan menciumnya dengan lembut.Pagutannya terasa dalam meski masih tenang dan tidak menggebu.“Signore, apa yang sudah disepakati tidak bisa diubah.”“Begitu kah?”“Iya. Kecuali kau mau juga mengubah hari pernikahan kita.”Mendengar itu, Trevor langsung berhenti dengan segala aktivitasnya.Dia terdiam dan hanya menatap Tamara. Ada kejengkelan di manik matanya meski itu tidak seberapa besar.Pada akhirnya Trevor bangun lagi dan duduk.Dia masih memberikan tatapan kesal pada Tamara.Wanita itu lalu terkekeh sambil memeluk leher Trevor.“Se
“Daddy sama mommy sudah pulang!”Thea dan Tilly menyambut orang tuanya dengan penuh semangat.Setiap kali mereka ditinggal di rumah, selalu ada Bibi Beatrice yang menemani mereka.Dan seperti biasa, Travish tetap cool. Dia menyambut dengan tatapan sekilas, lalu kembali fokus pada layar televisi, menonton pertandingan bola kesukaannya.“Kalian sudah makan?” tanya Tamara seraya membuka mantel dan syal-nya.Begitu selesai, Trevor mengambil mantel dan syal-nya lalu menggantungkannya di tiang mantel.Baru setelah itu dia membuka mantelnya sendiri.“Sudah! Tadi kami sudah lapar sekali. Jadi Bibi Betrice memasak untuk kami. Ngomong-ngomong mommy dan daddy sudah makan?”“Belum. Apa kalian ada menyisakan untuk kami?” tanya Trevor seraya berjongkok untuk membawa Thea dan Tilly dalam gendongannya.Dua gadis kecil itu sudah tahu lalu memeluk leher ayah mereka. Sekejap kemudian mereka sudah terangkat.Setiap kali hal ini terjadi, mereka akan tertawa-tawa merasakan digendong bersamaan dan merasa ti
“Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apa sudah kalian perkirakan tanggal dan bulannya?”Makan malam malam itu akhirnya berlangsung di antara mereka berempat, seperti rencana semula.Alland, Shirley, Giana dan Bobby.Giana mengangguk dengan semangat yang kini tinggal setengahnya saja dari saat tadi sebelum dia melihat Trevor.Tadinya Giana sangat senang dengan kedatangan Bobby di rumahnya. Dia senang akhirnya pria itu menunjukkan keseriusannya dengan datang menghadap ayah dan ibunya. Membicarakan rencana mereka ke jenjang yang lebih serius ke depannya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Tamara yang mengunjungi ayahnya dengan menggandeng pria yang pernah membuat Giana terpesona parah.Saat itu adalah pameran yang diselenggarakan kantornya. Dan Trevor adalah salah satu undangan resmi berlabel VVIP.Ketika Trevor hadir, semua manajernya menunduk. Bahkan CEO mereka pun menyambut dengan hormat.Saat itu pun Giana sudah terpesona akan ketampanan dan kharisma Trevor. Dan dia lebih terpukau lagi saat
“Sungguh suatu kebetulan kau datang ke sini, Tamara. Ayo masuk! Di luar sangat dingin.”Sang ayah -Alland- mempersilakan Tamara untuk masuk.Di sana, Tamara mendapati Shirley dan Giana dan teman prianya.Tamara tidak masuk terlalu dalam. Dia langsung berkata pada sang ayah, “Ayah ... ehm, aku datang tidak akan lama. Aku hanya ingin memberikan ini.”Tamara menyerahkan kartu undangan yang dihias indah kepada ayahnya.Pria tua itu menatap ke arah kartu dan membaca isinya. Seketika tatapannya berbinar cerah.“Kau ... akan menikah, Tamara?”“Iya, Dad. Ini ... perkenalkan calon suamiku.” Tamara lalu merujuk pada Trevor yang sedari tadi berdiri di sebelahnya selayaknya seorang tuan besar yang tak terbantahkan kehadirannya.Tentu saja Alland menyadari keberadaan Trevor sedari tadi, hanya saja dia masih canggung akan Tamara setelah bertahun-tahun tidak bertemu Tamara.Rasa bersalah melilitnya juga selama ini. Di lubuk hati terdalamnya, Alland merasa bersalah karena membiarkan Tamara pergi saat
Apalagi ketika Trevor bergerak dengan menempel demi mencari kenyamanan dirinya.“Hmm ... aku menginginkanmu, Tamara. Malam ini ...” bisik Trevor di sela pagutan dan lumatannya.Meski seakan meminta izin pada Tamara, tapi tangannya sudah bergerak lebih dulu.Trevor menyelinap ke balik kaos Tamara dan mencari gundukan kenyal di baliknya.Masih ada bra tipis di sana dan Trevor meremas dari baliknya. Terasa puncak Tamara yang ikut menajam.Dengan jemarinya, Trevor mengelus untuk merasakan lebih lagi.Sebelah tangannya bergerak seakan saling mensupport. Dia menaikkan kaos baju Tamara untuk diloloskan melewati kepala.Sedangkan tangan satunya terus membelai dan mengelus. Sesekali cubitan ringan dikerahkan Trevor membuat Tamara semakin menggelinjang.Trevor lalu merayapkan tangannya di sepanjang kulit halus Tamara, menyisiri perut rata Tamara hingga berakhir di bokong lembut Tamara.Meremas di sana, Trevor kembali semakin menyelinap ke balik celana pendek, untuk menuju paha dalam Tamara.Saat
Bukan hanya Tamara yang semakin merasakan berat hatinya menceritakan semua itu, tapi juga Trevor.Dia sungguh tak menyangka jika Tamara mengalami ditinggalkan ibu kandungnya sendiri.Tenggorokan Trevor ikut tercekat rasanya.Tak bisa ditahannya, Trevor pun menebak lagi dengan tepat. “Ternyata ibumu pergi karena ayahmu memiliki wanita lain.”Tamara mengangguk perlahan sambil menundukkan wajahnya.Tamara tidak suka memikirkan ibunya, apalagi membicarakannya.Ada kemarahan tersendiri dalam hatinya untuk ibunya. Kenapa ibunya tidak memberitahunya sama sekali tentang perselingkuhan ayahnya. Kenapa ibunya malah pergi begitu saja. Setidaknya, ibunya harusnya membawa dirinya pergi juga. Bukan pergi sendiri.Dan kalaupun memang ingin pergi seorang diri, setidaknya ibunya memberitahukan padanya! Jika memikirkan ibunya terasa begitu pahit, memikirkan ayahnya pun Tamara seperti menelan pecahan kaca.“Aku baru mengetahui semua itu setelah satu minggu kepergian ibuku. Ayahku pulang dengan istriny