Share

Bagian 5. Pria Gila di Rumah Sebelah

Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.

Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.

Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas keluar kamar.

“Mau kemana?” Suara Jendra mengejutkanku.

Jendra sedang menonton televisi di ruang temu. Sendirian, tanpa menyalakan lampu. Itu sebabnya aku terkejut. Mungkin seperti ini lah reaksi Jendra setiap kali melihatku duduk di sofa yang kini ia duduki.

Aku menoleh sebentar ke arahnya. Bagaimana bisa dia tidak terpengaruh oleh kebisingan yang terdengar amat jelas? Apa telinganya bermasalah?

“Mau ke rumah sebelah.”

“Mau gue temenin?” Tawaku yang sumbang membuatnya bergidik ngeri.

“Kenapa nggak lo aja yang kasih tau temen lo itu? Kasih tau dia supaya nggak buat keributan. Lagian buat apa sih dia malam-malam begini?”

Celotehku barusan mungkin terdengar seperti lelucon bagi Jendra. Aku bisa melihat semua itu dari raut wajahnya, dia setengah mengejekku. Dia kembali meraih remote dan mengganti saluran televisi. Aku yakin Jendra mulai bosan menunggu siaran Liga Champions yang baru akan tayang pukul dua dini hari nanti.

“Nanti sekalian angkat jemuran, Ra,” sahutnya sebelum aku berhasil membuka pintu.

“Yah! Jendra belum angkat—” sebelum berhasil mengadu pada Ayah perihal jemuran yang menjadi kewajiban Jendra untuk mengangkatnya—selagi aku mencuci dan Rama menyetrika— mulutku lebih dulu disekap kedua tangannya. Ia melakukannya agar Ayah tidak mendengar teriakanku dan bangun hanya untuk mematikan televisi.

Aku menggigit tangannya seperti biasa kugigit cheese cake kesukaanku. Hal itu membuat Jendra merasa jijik dan mengeringkan tangannya yang terkena liurku. Ia melepasku dan pergi membukakan pintu secara cuma-cuma.

“Jangan lama-lama.”

“Iya, ngapain juga lama-lama,” sungutku terkesan sangat memedulikan ucapannya.

Aku salah mengira jika dentuman musik serta aktivitas ketuk palu dari rumah sebelah terdengar pula dari bagian depan rumah kami. Nyatanya suara bising itu hanya terdengar jelas di area kamarku. Seolah tujuan Hayang memang ingin mengganggu tidur nyenyakku.

Kuketuk pintu utama rumah Hayang beberapa kali sampai kusadari pintunya tak terkunci.

“Hayang, lo di rumah, ‘kan?” Setengah teriakanku seharusnya terdengar sampai kamarnya. Namun, Hayang tidak kunjung menampakkan dirinya setelah kutunggu beberapa saat.

“Lo nggak denger?”

“Atau pura-pura nggak denger?” teriakku lebih keras, kali ini seharusnya terdengar sampai halaman belakang.

Lagi dan lagi teriakanku hanya direspons para jangkrik.

Bayangan tentang sosok di kamar Hayang yang kulihat dari kamarku tadi sukses mengecoh ketenanganku. Aku melenggang masuk dengan hati-hati, jalanku pun jinjit.

Kuambil raket nyamuk beserta sapu ijuk yang letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku hapal tempat di mana Hayang menyimpan barang-barangnya seperti kusimpan barang-barangku sendiri. Maka, aku memilih mengambil dua benda ini untuk berjaga-jaga.

Siapa yang menyangka kalau ternyata dugaanku benar. Telingaku sempat mendengar percakapan yang tidak begitu jelas dari seseorang di dalam kamar Hayang. Ditambah lagi, Hayang yang kukenal tidak suka kegelapan. Bahkan saat ia tidur, semua lampu akan tetap dibiarkan menyala. Namun, malam ini tidak satu pun lampu menyala. Rumah Hayang gelap gulita. Bukankah itu aneh?

Aku semakin yakin kalau desas-desus maling mengincar barang mewah di komplek ini sudah mulai bergerilya ke rumah-rumah. Sialnya, rumah Hayang memang dipenuhi oleh barang-barang antik dengan harga selangit. Tidak banyak yang mengetahui hal ini. Jika maling-maling itu tahu, tidakkah mereka cukup kompeten?

Karena terlalu gelap, tanganku tidak sengaja membuka pintu kamar Hayang. Mulutku ternganga begitu mataku melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat. Sapu dan raket nyamuk yang kupegang jatuh ke lantai. Hayang mengerjapkan mata, berjalan perlahan-lahan ke arahku di tengah kegelapan.

Ia menemukanku dan berdecak pelan. Lampu-lampu menyala mulai dari ruang tamu hingga lampu kamar Hayang. Kami sama-sama menyipit karena silau cahaya lampu. Hayang mendekatiku, meraih raket nyamuk dan sapu di bawah kakiku. Tatapannya kali ini tidak setajam biasanya, tetapi sukses membuat detak jantungku berlomba.

“Semua yang lo lihat sekarang ini cuma mimpi,” ucapnya lirih, cukup mengintimidasi.

Anehnya, aku justru merasa ucapannya benar. Kuanggukkan kepalaku beberapa kali. Aku baru sepenuhnya sadar telah dihipnotis oleh Hayang saat tubuhku menabrak pintu. Mataku terbelalak dan mulutku siap menyumpahserapahi laki-laki itu tanpa ragu.

Tetapi, Hayang lebih dulu menyetrumku dengan raket nyamuk di tangannya. Ia juga memukul kepalaku dengan gagang sapunya. Kepala bagian belakangku sakit seperti memikul benda berat. Pandanganku kabur dan perlahan kurasakan tubuhku seringan kapas.

Aku bangun dengan tubuh menggigil. Seingatku AC di kamarku tidak pernah menyala saat pemiliknya tidur. Kulihat sekeliling, rupanya aku tidak sedang berada di kamar. Dingin yang kurasakan berasal dari ubin yang kutiduri. Kupukul kepalaku untuk meredakan rasa pusingnya. Kuingat-ingat kejadian semalam, lalu Hayang berjalan di depanku dengan santainya.

Selain itu, ingatanku berputar bak dokumentasi film laga yang menjawab keberadaanku sekarang. Ya, aku tertidur lama di ruang tamu rumah Hayang.

“Yang—”

“Ay—”

Kenapa Ibu dan Bapak Hayang menamai anaknya seperti ini? Tidak ada panggilan yang pas untuknya. Sudah begitu, sama sepertiku, namanya hanya satu kata saja. Hayang. Jelas ini sulit untukku. Akan sangat menggelikan memanggilnya Ay bahkan Yang. Terkesan seperti dia pacarku saja.

 “Ah, apa lah itu pokoknya,” jeritku frutrasi. “Kenapa lo lakuin itu semalam?”

“Apa yang gue lakuin semalam?” tanyanya seraya menoleh ke arahku. “Ah, ya, gue biarin lo tidur di rumah gue.”

Di depan cermin, Hayang menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Membelah rambutnya menjadi dua bagian dengan sisi kiri yang lebih tebal, kemudian memolesnya dengan sedikit hair pomade.

“Lo pikir gue lupa semalam lo pukul kepala gue pake sapu, lo setrum gue pake raket nyamuk.”

Aku berani bertaruh daun telinganya memerah karena suaraku terlalu cempreng didengar. Ya, seperti yang ia tegaskan saat pertama kalinya kami berkenalan sebagai tetangga.

Hayang menghela napas panjang, kepalanya menggeleng beberapa kali.

“Ra, kalau mau marah nanti aja deh. Gue udah kesiangan, lo apalagi. Ya kecuali kalo lo mau bolos…” ungkapnya seraya merapikan seragamnya.

Kuusap wajahku kasar. Ini pertama kalinya aku telat sejak duduk di bangku SMA. Kudorong Hayang agar aku bisa ikut bercermin dengannya. Beruntungnya, rambutku tidak buruk-buruk amat. Kupolesi dengan pomade di bagian rambutku yang pecah-pecah. Dan, ya, aku hanya akan membersihkan wajah dan menyamarkan bau badanku dengan parfum setengah botol.

Kali ini saja. Tolong biarkan aku seperti ini sekali saja tanpa ketahuan.

Hayang mengernyit terheran-heran.

“Lo bisa kabur hari ini. Gue lagi buru-buru. Bye!” sahutku.

Sempat kudengar tawanya yang renyah saat kuberlari keluar melalui pintu belakang.

“Siapa sebenarnya yang kabur?” gumamnya yang masih dapat kudengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status