"Kita pergi sekarang El!" ujar Dareen yang bangkit dari duduknya.
"Tentu Tuan!" balas El.
"Kau, nona babu!" tunjuk Dareen pada Zoya.
"Saya?"
"Jariku menunjuk mu. Jika bukan kepada mu, lalu jariku ini tidak mungkin menunjuk mu bukan?" mengatakan sesuatu yang sulit untuk di artikan. Membuat Zoya kesal, "tinggal bilang iya saja apa susahnya sih? Kenapa harus berbicara berputar dan berbelutberbel seperti itu. Membuat bingung saja," batin Zoya.
"Hah! Anda benar tuan! Maafkan kebodohan dan ketidaktahuan saya," menyerah saja, memang apa yang sekarang bisa aku lakukan. Sudah untung aku bisa lolos dari pukul 17.00 tepat.
"Syukurlah, kalau kau mengakui jika kau memang sangat bodoh dan payah!" Dareen mengatakannya dengan sangat puas. Dan El merasa senang dan puas, saat wajah tuannya terlihat senang dan puas.
Duarrr
"Payah! Kenapa aku ha
"Eh, apa dia bersedih? Apa dia baru saja menangis? Kenapa? Aku bahkan belum menyiksa atau memarahinya sama sekali!" batin Dareen yang sedikit terusik."Apa Tuan? Apa yang harus saya lakukan?" ulang Zoya dengan nada yang terdengar lemas, tak bertenaga sama sekali, membuat Dareen dan El yang mendengarnya sedikit kebingungan, tidak biasanya dia menjawab dengan nada terdengar malas seperti itu. Pikir keduanya."Kenapa kau masih bertanya. Siapkan makan malam untukku!" perintah Dareen, "tapi sebelum itu, siapkan dulu air hangat untukku mandi," lanjut Dareen dan Zoya hanya menganggukkan kepalanya pelan."Permisi Eyang, Zoya masuk dulu ke dalam," dengan nada lemah dan lembut, Zoya berujar pada Murti, yang di sambut dengan senyuman manis Murti.Zoya berjalan gontai, semangatnya pun mulai memudar. Pikirannya melayang entah kemana."Kenapa dengan bocah itu? Menyebalkan. Apa ini adalah aksi
Saat Dareen memanggil dan menyuruhku untuk membuatkannya makan malam, lalu ia kembali memanggilku lagi untuk mengambilkan sandalnya terlebih dahulu. Aku mengiyakan semuanya. Namun, pikiranku melayang entah kemana. Hatiku sangat sakit saat melihat kedekatan antara Dareen dan eyangnya. Bagaimana aku tidak sakit? Aku bahkan tidak pernah diperlakukan sedemikian rupa oleh ayah dan ibu, bahkan aku dan Mayra begitu jauh. Kami tinggal di satu atap yang sama, namun seolah tak saling mengenal satu sama lain.Ibu dan ayah memperlakukanku berbeda dari adikku sendiri yaitu Mayra. Mayra selalu mendapatkan keistimewaan, pujian, manjaan, semua yang ia inginkan sebisa mungkin ibu dan ayah selalu menurutinya. Sedangkan aku, uang sekolah ku saja, aku sendiri yang membiayai. Bagaimana aku tidak merasa di bedakan. Jelas sekali perlakuan ayah dan ibu memang berbeda.Mereka menyayangi Mayra, sedangkan padaku, mereka memperlakukan ku dengan buruk. Layak
"Kamu tidak mendengarkan ucapan Eyang Dareen?" Murti terus menatap Dareen dengan tatapan sinis, menunggu jawaban dari cucu laki-laki kesayangannya."Apa Eyang? Selama ini Dareen selalu mendengarkan semua ucapan Eyang. Tidak ada satu pun ucapan Eyang yang Dareen abaikan. Tapi kalau yang satu ini. Maaf Eyang, Dareen tidak bisa melakukannya," ujar Dareen yang masih memandang rendah Zoya, "jika Dareen meminta maaf kepada bocah miskin ini. Itu sama artinya dengan Dareen menjatuhkan harga diri Dareen sendiri," ucapan Dareen menghunus hati Murti. Bagaimana mungkin, cucunya sendiri bisa berpikiran sempit seperti itu. Murti benar-benar tidak mengerti dan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Dareen."Dareen?""Sudahlah Eyang. Percuma saja Eyang memaksa Dareen, karena sampai kapan pun, Dareen tidak akan pernah meminta maaf kepada bocah babu ini!" tunjuk Dareen pada Zoya, yang kini tengah tertunduk lesu, dengan bendungan air
"Eyang? Apa Zoya terlalu lancang karena meminta pelukan dari eyang. Majikan Zoya sendiri," ujar Zoya begitu lirih, di tengah-tengah pelukan hangatnya, "Zoya hanya seorang pembantu. Derajat Zoya lebih rendah jika di bandingkan dengan Eyang," lanjut Zoya."Tidak apa Zoya. Zoya boleh memeluk Eyang mapan pun Zoya mau," balas Murti lembut, begitu meluluhkan hati gadis muda itu, "dan Zoya jangan berpikir seperti itu. Derajat manusia di mata Tuhan sama. Tidak ada di kaya dan si miskin. Tidak ada majikan dan pembantu. Semuanya sama, tidak ada yang berbeda. Yang ada hanyalah, perbedaan takdir. Bagaimana kita menjalaninya. Bagaimana kita mensyukurinya."Zoya menganggukkan kepalanya, selama ini, tidak pernah satu pun dari orang tua Zoya yang mau menasehati Zoya dengan cara yang benar, dengan cara yang baik. Hanya kekerasan dan siksaan, disaat Zoya melakukan kesalahan, "Tapi tidak untuk yang satu ini Eyang. Pelukan! Zoya sudah mengatakannya, hanya
"Biar aku yang memeriksanya, kau berkata jujur atau tidak! Karena kalau kau berbohong kepada diriku. Kau tentu sudah tahu apa resikonya nanti!" tatapan tajam Dareen layangkan untuk El, yang seketika itu juga El menelan ludahnya dengan susah payah, hingga mencapai kerongkongannya."Mati aku! Kenapa aku tidak berkata jujur saja," batin El yang kini di selimuti rasa bersalah dan takut. Tidak pernah sebelumnya, El berkata bohong kepada Dareen. Tapi kali ini, malam ini dan di tempat ini. Hanya karena tidak ingin Dareen mengetahui perasaannya yang sebenarnya. El melupakan prinsipnya untuk tidak berkata bohong.Dareen sudah mendekat, dan ia semakin penasaran. Apa sih, yang sedang El perhatikan. Pikir Dareen."Tuan?" El memanggil, namun Dareen tidak memperdulikannya."Minggir!" dalam satu ucapan dan sekali gerakan tangan, El melangkah ke samping, menghindari Dareen yang terus melangkah dengan mata yang tertu
"El bodoh! Cepat katakan! Apa maksudmu barusan hah?" mengulangi, lagi dan lagi, kesalah pahaman ini akan terus berlanjut jika Dareen tidak segera mengisi perutnya dengan menu makan malam."Saya sudah selesai Tuan! Jika tuan berkenan, maka ijinkan hamba untuk menyelesaikan juga berkas yang sedang tuan pegang itu," berbicara layaknya seorang hamba kepada Baginda raja. Agar sang raja senang, dan rasa kesalnya sedikit berkurang. Itulah yang sekarang El lakukan."Huh!" Dareen memberikan berkas-berkas di tangannya dengan cepat kepada El. Namun dengan ekspresi wajah seolah ia terpaksa memberikan semua berkas itu pada El, "kenapa kau tidak meminta semuanya dari awal bodoh!" penyalah kan lagi, sebenarnya apa yang Dareen inginkan? Semua yang El lakukan seolah selalu salah di mata Dareen."Maafkan saya Tuan! Saya yang salah," harus mengakui lagi kesalahan yang sebenarnya tidak ia lakukan."Cepat kerjakan bodoh!
"Apa rasanya tidak enak?" seorang chef ahli di rumah keluarga Atmaja mengeluarkan suara. Hatinya sudah gemetar, dag! Dig! Dug! Tak karuan. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Karena bukan dia lah yang memasak menu makan malam kali ini. "Tidak chef, tidak! Kau salah sangka. Semua menu makan malam ini, semuanya sangat enak dan lezat. Aku sangat menyukainya. Ini makanan terenak yang pernah aku makan, setelah makanan yang di pasak oleh eyang putri," memuji semua makanan dengan rendah hati. Ia sanjung tukang masak yang berada di belakang makanan enak dan lezat ini. Dan tanpa ia sadari, Dareen sebenarnya bukan memuji chef yang biasanya memasak untuk menu makan malam. Melainkan sedang memuji seseorang yang tadi sudah ia hina dan sakiti hatinya. "Maaf Tuan!" Chef itu ragu-ragu ingin memberitahu. "Apa? Bicara saja. Karena suasanan hatiku sedang senang. Kau boleh meminta apapun kepadaku!" Dareen menatap chef itu dengan se
"Apa aku salah bicara?" batin Zoya dengan tangan yang langsung membungkam mulut rombeng nya. "Beraninya kau mengataiku bocah bodoh!" geram Dareen dengan mengepalkan tangannya. "Ma-maafkan saya Tuan. Mulut saya yang salah. Mulut saya yang lancang. Mulut saya benar-benar minta maaf sedalam-dalamnya, Tuan!" kata Zoya bersungguh-sungguh. Namun itu mengundang gelak tawa bagi semua yang berada di sana. "Hufttt... Hahaha!" Awalnya semua orang menahan tawa. Namun akhirnya mereka meledakkan tawanya karena sudah tidak kuat lagi dengan apa yang baru saja mereka dengar dari mulut Zoya. "Kenapa mereka tertawa?" tanya Zoya dalam hati. "Hahaha! Kak Dareen, kakak menemukan pembantu seperti Zoya di mana?" Delina meledakkan tawanya saat menatap Zoya. Begitu pun dengan Delia, yang ikut tertawa bersama eyang mereka tanpa banyak bicara bahkan bertanya. "Diam D