Satya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya seakan-akan terkunci. Setelah beberapa lama, akhirnya dia berkata dengan suara serak, "Kamu bisa pergi setelah salju berhenti. Anggap saja ini masa nifasmu. Tenanglah, aku akan keluar saat fajar. Karena akta nikah kita diurus di Kota Aruma, pengajuan akta cerai juga harus diajukan di sana. Joe dan anak itu bisa ikut kamu. Jaga mereka baik-baik ...."....Satya tidak mampu mengungkapkan gundah di hatinya. Dia tahu bahwa keputusan ini dibuat dengan terlalu terburu-buru. Dia juga tahu betul, jika dia mempertimbangkannya lagi, dia tidak akan melepaskan Clara. Hanya saja, Clara menginginkan kebebasan. Wanita itu tidak ingin berada di sisinya lagi.Pelukan terakhir dari Satya tidak mengandung gelora hasrat seperti dahulu. Ini hanyalah pelukan terakhirnya sebagai suami kepada istrinya. Mulai besok, mereka sudah bukan pasangan suami istri.Satya memeluk tubuh rapuh Clara erat-erat. Kemudian, dia membisikkan sesuatu yang belum pernah dia kat
Aida langsung menyindir, "Ya, dia kesayanganmu!"Kemudian, Aida bangkit untuk pergi dan tidak lupa membawa mangkuknya. Jika tahu seperti ini, dia tidak akan memberinya makan.Namun, Aida tetap harus berkemas. Ketika melewati kamar, Aida berjalan sepelan mungkin supaya tidak mengganggu Clara.Ternyata, Clara tidak tidur. Aida menggaruk kepalanya, lalu berkata dengan terbata-bata, "Tu ... Tuan menyuruhku ... merapikan ruang ganti."Clara tersenyum tipis dan menyahut, "Maksudmu koper, 'kan?"Mata Aida sontak memerah. Dia menyeka air mata, lalu berujar sembari terisak-isak, "Aku kira semua sudah membaik saat melihat kalian begitu akur belakangan ini. Hasilnya malah menjadi seperti ini."Clara tidak menjelaskan, hanya menyuruh Aida merapikan kopernya. Setelah membereskannya, Aida membawa koper ke ruang kerja, tetapi Satya sudah tidak berada di sana.Satya berada di kamar tidur Joe. Sinar matahari yang lembut menyinari wajah Joe. Satya berjongkok sambil mengelus wajah mungil putranya. Dia ti
Di dalam vila, suasana di ruang tamu tampak harmonis. Para pelayan meletakkan 2 mangkuk mie di atas meja makan beserta kue 3 tingkat yang terlihat indah.Hari ini adalah ulang tahun Benira yang ke-34. Dia sengaja keluar dari rumah sakit lebih awal untuk merayakan ulang tahunnya dengan Satya.Di luar sana, salju masih turun. Salju ini sudah turun selama setengah bulan sehingga seluruh Barline seolah-olah ditutupi oleh salju.Benira menggerakkan kursi rodanya dan datang ke belakang Satya. Dia memeluk Satya dan berucap dengan lembut, "Satya, kuharap salju ini nggak akan berhenti, jadi kamu akan terus berada di sisiku. Ini bukan mimpi, 'kan? Kamu benar-benar ingin menceraikannya untuk bersamaku?"Aku takut semua ini cuma mimpi. Kalau benar begitu, aku lebih memilih untuk nggak bangun dan terus terjebak dalam mimpi indah ini."Benira memeluk Satya dengan erat, lalu meneruskan dengan bahagia, "Asalkan kamu bersedia tinggal di sisiku, aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Yang penting kamu me
Benira yang berada di depan dapur mendengar semuanya. Dia berang hingga sekujur tubuhnya gemetar.Jika itu dulu, Benira pasti sudah maju untuk menampar kedua pelayan itu, lalu mengusir mereka. Namun, dia tidak berani melakukannya sekarang karena khawatir Satya menganggap dirinya memperlakukan bawahan dengan kasar. Dia takut Satya marah.Benira mengepalkan tangan dengan erat sampai kukunya menusuk dagingnya. Sesaat kemudian, dia baru menggerakkan kursi rodanya dan pergi.Kedua pelayan itu menyadari keberadaan Benira dan merasa cukup panik. Salah satunya langsung berkata, "Nggak perlu takut. Dia sudah cacat, nggak bakal bisa apa-apa. Kalau dia berani macam-macam, kita pura-pura nggak dengar saja waktu dia mau pergi ke toilet. Kalau sudah nggak tahan, dia bakal pipis di celana!"Pelayan yang satu lagi pun tertawa mendengarnya. Dengan begitu, Benira ditertawakan oleh kedua pelayannya sendiri.Benira kembali ke ruang tamu. Dia ingin sekali menangis, apalagi mengamuk. Namun, dia tidak ingin
Clara memberinya waktu. Satya biasanya ahli dalam membujuk wanita, tetapi kali ini malah tidak bisa berkata-kata. Meminta maaf saja tidak akan cukup jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh Clara selama ini.Pada akhirnya, Satya tidak meminta maaf ataupun melontarkan gombalan tidak berguna. Dia hanya bertanya dengan suara serak, "Gimana kondisimu? Kapan kamu akan pulang ke Kota Aruma?"Clara terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, "Mungkin lusa hari. Penerbangan akan normal kembali setelah salju berhenti turun.""Kamu bakal pulang ke Kota Aruma atau Kota Brata?" tanya Satya buru-buru karena khawatir Clara tidak akan memberitahunya.Tanpa disangka, Clara membalas dengan tenang, "Kota Aruma. Kita belum bercerai, 'kan? Aku bakal menunggumu di sana untuk mengurus prosedur cerai."Satya merasa tidak nyaman karena Clara terus membahas tentang perceraian. Setelah terdiam cukup lama, Satya tidak membantah karena ini memang pilihannya sendiri.Satya menyahut dengan s
Para pelayan sedang asyik menikmati camilan. Di sisi lain, Benira memekik lagi, "Mega! Mega!"Tiba-tiba, Benira terdiam. Dia perlahan-lahan menunduk, lalu mendapati seprainya basah. Dia pipis di ranjang karena terlalu emosional.Benira terperangah di tempat karena tidak bisa menerima kenyataan ini. Saat berikutnya, dia segera berpikir bahwa Satya tidak boleh melihat semua ini. Entah bagaimana reaksi Satya saat melihat keadaannya yang begitu menyedihkan.Satya mungkin tidak akan menikahinya lagi. Benira bertekad untuk merahasiakan hal ini. Dia harus mencari dokter untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Begitu sembuh, anggap saja masalah ini tidak pernah terjadi.Benira berusaha untuk menjadi kuat. Namun, ketika melihat noda kuning di seprainya, dia tetap menangis karena merasa malu.....Keesokan hari, Benira pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisinya. Kebetulan, Satya menunggu di luar.Benira memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya kepada dokter. Dokter bilang, tidak akan ada masal
Satya mendapati bahwa dirinya telah menyesal. Akan tetapi, dia tidak berani meminta maaf dan memulai lembaran baru bersama Clara lagi. Dia memutuskan untuk tetap bercerai, tetapi tidak akan pernah menikahi Benira. Wanita itu sudah gila sekarang.Satya tidak bisa melihat sedikit pun kelembutan dan toleransi pada Benira. Dia hanya merasa tidak nyaman dan tertekan setiap kali bersama wanita itu.Satya mengisap rokoknya kuat-kuat, lalu mengembuskannya. Entah mengapa, dadanya terasa sakit memikirkan Clara.Keesokan hari, Satya duduk di depan jendela sambil menatap ke arah timur. Clara seharusnya sudah dalam perjalanan ke Kota Aruma.Sore hari, pelayan mengetuk pintu kamar Satya sembari berkata, "Tuan, Nona Benira mengajakmu makan bersama."Satya terdiam sesaat. Kemudian, dia mematikan rokoknya dan berjalan ke luar. Benira telah merias wajahnya dengan cantik, bahkan mengenakan gaun bertali.Setelah merenung semalaman, Benira sudah merasa lebih tenang. Dia tahu bahwa Clara telah pergi. Di saa
Satya membaca berita itu sampai 6 kali. Terlampir sebuah foto di bagian ujung, itu adalah foto pemilik cincin berlian, seorang dokter kandungan yang cukup terkenal.Satya merasa wajah ini sangat familier. Setelah menatap dengan saksama, dia akhirnya teringat. Ini adalah dokter yang melakukan pemeriksaan untuk Clara!Waktu itu, Satya tidak mendengar hasil pemeriksaannya secara langsung. Clara yang memberi tahu bahwa perkembangan janinnya sangat baik. Satya tentu memercayainya. Namun, sepertinya semua itu hanya tipuan Clara.....Satya berjalan ke arah pintu. Ketika melihatnya mengambil mantel dan kunci mobil, Benira langsung berseru, "Kamu mau ke mana malam-malam begini? Jalanan sangat licin! Kamu sudah bosan hidup, ya?"Benira mengejar Satya dan meraih lengannya. Kemudian, dia bertanya, "Kamu ingin mencarinya? Dia sudah pergi! Dia nggak akan kembali lagi! Kamu sendiri yang memutuskan untuk berpisah darinya, bahkan berjanji akan bertanggung jawab padaku. Kamu sudah lupa semua ini?"Saty