Udara di dalam kafe Elena mendadak terasa berat. Tatapan penuh emosi Samuel membuat Anne seperti tercekik.Semua mata pelanggan yang lain perlahan mulai tertuju pada mereka, merasakan ketegangan yang memancar begitu kuat.Anne menelan ludahnya mencoba mengatur napasnya yang kacau. Ia tahu Samuel sedang sangat marah, tapi tempat ini terlalu ramai untuk sebuah konfrontasi.“Samuel,” panggilnya lirih. “Kalau kau ingin bicara, kita bicara di rumah saja, ya? Tolong, jangan di sini.”Namun permohonan itu tak mempan. Samuel berdiri tegap di hadapannya, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tampak gelap.“Kenapa, Anne?!” tanyanya dengan suara meninggi hingga membuat beberapa pelanggan yang tadinya pura-pura tidak memperhatikan kini benar-benar menoleh ke arah mereka.“Takut orang lain mendengar apa yang sebenarnya terjadi? Atau takut aku tahu apa yang kalian sembunyikan?”Anne merasakan darahnya tersirap. Pipinya memerah karena malu, sementara jantungnya berdegup panik.Ia bisa melihat bebera
Ponsel Samuel yang tergeletak di meja rapat bergetar pelan.Ia baru saja selesai memaparkan laporan penting kepada para direktur saat layar ponsel itu menyala, menampilkan notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.Biasanya Samuel mengabaikan pesan dari nomor asing, apalagi di tengah rapat penting seperti ini.Namun entah mengapa, kali ini matanya seperti dipaksa untuk melihat. Ia meraih ponselnya, membuka pesan tersebut.Begitu foto itu muncul di layar, napasnya seketika tercekat.Dalam foto itu, Jason terlihat merangkul bahu Anne dengan sangat akrab.Anne, istrinya, tampak tersenyum hangat—senyuman yang jarang sekali ia lihat bahkan ketika bersamanya.Senyum itu bukan senyum basa-basi. Itu senyum tulus, seolah Anne sedang berada di tempat yang paling nyaman, bersama seseorang yang ia percayai.Samuel terpaku, dadanya terasa seperti diremas keras. Jemarinya bergetar saat memperbesar foto itu, memastikan apakah matanya tidak salah melihat.Tapi tidak, itu jelas Anne. Rambutnya yang hita
“Bibi Tyas?” Jeane menemui Tyas ke rumahnya untuk berbicara dengan wanita paruh baya itu.Tyas mendongakkan wajahnya dan langsung tersenyum begitu melihat Jeane datang.“Jeane, akhirnya kau datang juga. Duduklah. Kita harus bicara sekarang juga.”Jeane duduk di hadapan Tyas lalu meletakkan tasnya di sampingnya. “Aku mendapat kabar seseorang yang kukenal yang bekerja di kantor Samuel kalau Bibi pergi ke kantornya siang tadi?”Tyas mendengus keras. “Ya! Dan kau tahu apa yang dia lakukan padaku? Dia membentakku! Anakku sendiri, Jeane! Demi perempuan itu!” Tyas memukul meja dengan keras.BRAK!Gebrakan itu cukup keras hingga membuat gelas yang ada di sana bergerak.Jeane terlonjak kaget. “Apa?!”“Samuel berkata kalau aku harus berhenti mengganggu rumah tangganya, atau dia akan memutus hubungan denganku!” Tyas menatap Jeane dengan napas terengah karena emosi. “Dia benar-benar sudah buta karena Anne!”Jeane mengepalkan tangan erat-erat dan raut wajahnya memerah karena marah.“Aku sudah bila
Pagi itu suasana di kantor Samuel terasa tegang. Samuel baru saja menyelesaikan rapat panjang dengan para petinggi perusahaan.Baru saja ia hendak duduk di kursinya untuk menghela napas, pintu ruangannya diketuk dengan tergesa-gesa.“Masuk,” ucap Samuel dengan nada datar.Pintu kemudian terbuka dan seorang wanita paruh baya dengan wajah angkuh masuk dengan langkah penuh wibawa.Samuel langsung mendongak dan alisnya terangkat begitu melihat ibunya datang.“Kita perlu bicara,” kata Tyas to the point, tanpa senyum sedikit pun.“Bicara apa lagi?” tanyanya dengan suara yang malas.Tyas berjalan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan putranya. Matanya menatap tajam wajah anaknya itu. “Tentang istrimu, Anne.”Wajah Samuel langsung mengeras. “Anne? Ada apa dengan Anne?”Tyas menyilangkan tangan di dada. “Aku ingin tahu, apa Anne mengancammu atau melakukan sesuatu padamu? Sampai-sampai kau terus mempertahankan dia?!” tanyanya penuh dengan tuduhan.Samuel terbelalak. Urat di pelipisnya menegang
Langit sudah gelap ketika Anne dan Samuel tiba di rumah. Anne berjalan pelan memasuki ruang tamu, wajahnya terlihat murung dan penuh rasa sedih.Samuel yang berjalan di belakangnya memperhatikan dengan seksama. Dia bisa melihat bagaimana istrinya itu tampak berbeda—seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.Anne duduk di sofa dan meletakkan tasnya di samping, lalu menarik napas panjang.“Samuel?” ucapnya lirih.Samuel yang sudah melepas jas kerjanya ikut duduk di sampingnya, menatap lekat wajah Anne yang tampak pucat dan lelah.“Ada apa, Anne? Kau terlihat tidak seperti biasanya. Kau masih ingin berada di panti, hm?”Anne menggeleng pelan kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Aku hanya kasihan pada Lucas. Kau tahu? Dia baru saja kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis. Tidak ada keluarga yang bisa menampungnya, jadi Ibu Merry membawanya ke panti.”Samuel mengerutkan kening, ikut merasakan kesedihan yang terpancar dari mata istrinya. “Usianya berapa tahun?” tanya
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Anne melangkahkan kakinya menuju gerbang panti asuhan yang dulu menjadi rumahnya selama bertahun-tahun.Di tangannya, dia membawa dua kantong besar berisi makanan dan minuman.Aroma roti manis dan ayam goreng menguar dari dalam kantong itu, membuat Anne tersenyum kecil membayangkan wajah gembira anak-anak panti saat melihatnya.Begitu dia membuka pintu, suara tawa dan teriakan anak-anak langsung menyambutnya.“Anne!” seru Merry sambil tergopoh-gopoh menghampiri. Senyum hangat Merry selalu berhasil membuat hati Anne terasa nyaman.“Selamat sore, Bu.” Anne menyerahkan kantong yang dibawanya.“Ini ada sedikit makanan dan minuman untuk anak-anak. Aku juga bawakan jus dan susu, siapa tahu mereka ingin minum yang segar.”Merry menerima kantong itu dengan mata berbinar. “Astaga, Anne. Kau tak perlu repot-repot seperti ini. Tapi, terima kasih. Anak-anak pasti senang sekali.”Anne tersenyum lembut. “Aku yang harus berterima kasih, Bu. Karena kalian semua