Pagi itu, Anne bangun lebih awal dari biasanya. Ada rasa hangat mengalir di dadanya karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Ia bahkan sudah menata rambut dan memilih gaun sederhana namun cantik. Dalam hatinya, dia membayangkan Samuel akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya atau mungkin menyiapkan sesuatu untuknya.
Meja makan sudah dia susun rapi. Ada kopi kesukaan Samuel, roti panggang, dan potongan buah segar. Ia duduk menunggu sambil sesekali melirik pintu masuk.
Langkah kaki Samuel terdengar dari arah kamar. Anne tersenyum dengan jantung yang berdebar.
Dia sudah membayangkan, mungkin dia akan mendapat pelukan, mungkin ciuman hangat, atau sekadar ucapan “Selamat ulang tahun” yang berarti banyak baginya.
“Selamat pagi, Samuel,” sapa Anne dengan senyum lembut di bibirnya.
Samuel hanya mengangguk lalu duduk di kursi meja makan. Dia meneguk kopi dan membuka ponselnya, lalu berdiri.
“Aku harus berangkat lebih awal. Ada rapat penting yang tidak bisa ditunda,” ucapnya sambil menaruh ponselnya ke dalam saku celananya.
Anne menatapnya dan menunggu suaminya mengucapkan sesuatu padanya. Tapi tidak ada. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan. Bahkan tatapannya pun biasa saja.
“Kau … tidak mau sarapan dulu?” tanya Anne pelan.
“Aku tidak lapar,” jawab Samuel singkat lalu melangkah pergi.
“Kau … melupakan sesuatu, Samuel. Apa kau tidak ingat hari ini hari apa?” tanya Anne dan membuat langkah Samuel berhenti.
Samuel menoleh ke arah Anne yang kini tersenyum penuh harap—berharap Samuel ingat dan mengucapkan selamat padanya.
“Aku bukan pria tua yang sudah pikun, Anne. Ini hari Selasa. Sudahlah, jangan bertanya hal yang tidak penting seperti ini!”
Samuel kembali melangkahkan kakinya dan meninggalkan luka pada hati Anne. Benar-benar di luar dugaan. Samuel benar-benar lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun istrinya.
“Dia benar-benar berubah. Aku pikir, perubahan sikapnya yang dingin karena sedang menyiapkan sesuatu untukku. Ternyata aku hanya berekspektasi terlalu tinggi.”
Anne hanya bisa tersenyum lirih dan duduk dengan lemas di meja makan sambil menatap kosong hidangan yang sudah dia buat.
Sepanjang hari, Anne berusaha menyibukkan diri. Dia membersihkan rumah, mengatur bunga di vas, bahkan memanggang kue kecil untuk dirinya sendiri—sekadar memberi suasana berbeda.
Ponselnya selalu dalam genggaman, menunggu pesan dari Samuel. Tapi jam demi jam berlalu, hanya keheningan yang menemani.
Sore menjelang malam, Anne mulai resah. Dia akhirnya mencoba menghubungi Samuel, tapi hanya dibalas dengan pesan singkat: “Aku sibuk dan akan pulang agak malam.”
Dia kini duduk di ruang tamu, tengah menatap kue ulang tahun kecil yang dia buat sendiri. Lilin sudah dia tancapkan, tapi belum dia nyalakan. Dia masih ingin menunggu Samuel.
Namun, pukul delapan malam, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal muncul di layar. Pesan itu membuat darahnya terasa berhenti mengalir.
"Samuel akan berada di hotel Grand Aurelia malam ini. Mungkin kau ingin tahu dengan siapa dia bertemu.”
Anne menatap layar itu lama. Tangannya gemetar. Ia mencoba menepis pikiran buruk—mungkin ini hanya fitnah. Tapi rasa penasaran yang bercampur takut mendorongnya untuk mencari tahu.
“Apa yang Samuel lakukan di sana?” gumamnya kemudian beranjak dari duduknya.
Lima belas menit kemudian, Anne tiba di sana dan segera memasuki lobby hotel Grand Aurelia.
Udara dingin bercampur aroma kopi mahal menyambutnya. Anne berdiri di sudut ruangan, matanya menelusuri setiap orang yang lewat.
Saat pintu lift terbuka, dia melihatnya—Samuel. Pria itu mengenakan jas gelap, wajahnya tampak tenang.
Di sisinya berjalan seorang wanita bergaun merah menyala, rambut panjangnya tergerai sempurna. Clarissa.
Anne sontak bersembunyi di balik pilar marmer, jantungnya berdegup kencang ketika melihatnya. Samuel berjalan agak di depan, tapi Clarissa mengikuti begitu dekat.
Tatapan Clarissa ke arah Samuel bukanlah tatapan rekan bisnis biasa—ada kedekatan di sana, sesuatu yang membuat perut Anne terasa mual.
Lift menutup kembali, meninggalkan Anne yang masih berdiri terpaku di sana. Ia memejamkan matanya, mencoba untuk berpikir jernih.
Tapi tubuhnya bergerak sendiri menuju resepsionis, pura-pura mencari seseorang. Dari layar reservasi, matanya menangkap nama Samuel terdaftar di lantai 30.
Dan di baris yang sama—tertulis “Tamu: Clarissa Hamilton.”
“Aku tidak menyangka kau akan melakukan ini di belakangku, Samuel.”
**
Di lantai 30, restoran eksklusif hotel itu menyuguhkan pemandangan kota yang berkilau. Samuel dan Clarissa duduk di sudut, berbicara dengan nada rendah.
“Aku tidak menyangka kau akan datang,” ujar Clarissa sambil memainkan gelas anggurnya.
“Aku hanya ingin menyelesaikan ini sekali untuk selamanya,” jawab Samuel dengan tegas. “Setelah malam ini, kita tidak akan bertemu lagi.”
Clarissa tersenyum miring menatap Samuel. “Kau yakin bisa menghapus masa lalu begitu saja?”
Samuel menghela napasnya. “Masa lalu sudah tidak penting. Aku sudah menikah, dan aku berniat untuk mempertahankannya.”
Clarissa mencondongkan tubuhnya. “Kalau begitu, kenapa kau terlihat gelisah sejak aku muncul lagi? Kau takut rahasiamu terbongkar, hm?”
Samuel menatapnya dengan tajam. “Aku tidak takut padamu. Jangan sok tahu!” gertaknya kemudian.
Clarissa terkekeh kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Kau akan berubah pikiran kalau istrimu melihat ini.”
Samuel tak menyentuhnya dan hanya melirik amplop itu. “Jangan pernah melibatkan Anne dalam hal ini, Clarissa!”
Clarissa tersenyum tipis mendengarnya. “Dia sudah terlibat bahkan sebelum kau sadar, Samuel.”
“Omong kosong!” ucap Samuel dengan suara tegasnya. “Kau pikir Anne wanita lemah? Tidak sama sekali. Dia tidak akan pernah goyah dan satu-satunya wanita yang mengerti keadaanku!”
Samuel kemudian beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Clarissa bahkan tidak mengambil amplop yang diberikan oleh wanita itu tadi.
**
Anne memutuskan pulang lebih dulu saat melihat dengan jelas dengan mata kepalanya sendiri, Samuel benar-benar ada di hotel itu bersama dengan Clarissa.
Dia kini duduk di ruang tamu dengan lampu yang sengaja dia redupkan. Saat suara mobil terdengar di garasi, dia tahu itu mobil Samuel.
Tak lama kemudian, Samuel masuk dan menutup pintu. Dia menghampiri Anne dan menatapnya dengan tatapan datarnya. “Kau belum tidur?” tanyanya sambil melihat jam di tangannya.
Sudah menunjuk angka sebelas malam.
Anne menatap wajah Samuel cukup lama sebelum akhirnya berkata. “Kau dari hotel Grand Aurelia.”
Samuel terdiam sesaat, lalu berkata datar. “Aku ada urusan bisnis dan aku sudah memberitahumu—"
“Bisnis dengan Clarissa?” potong Anne dengan suara meninggi.
Samuel menghela napas dan mencoba mendekati istrinya. “Anne, dengarkan aku—”
“Tidak. Kau yang dengarkan aku,” potong Anne seraya menatap nyalang wajah Samuel.
“Hari ini ulang tahunku, Sam. Aku pikir kau lupa karena menyiapkan kejutan. Tapi ternyata … kau bahkan tidak ingat. Kau malah bertemu dengan Clarissa di hotel tapi lupa dengan ulang tahunku hari ini."
Gedung tua itu berderit setiap kali angin malam menyelinap melalui celah-celah kusamnya.Lampu redup bergoyang, menorehkan bayangan panjang di dinding yang retak — saksi bisu pada rahasia yang tak seharusnya hidup di dunia yang terbuka.Di sebuah ruangan kecil bertutup selimut kotor, Jeane duduk terhimpit, mata tajamnya mengamati setiap gerak penjaga yang lewat.Ia tahu waktu adalah musuhnya; namun keganasan pikiran adalah sekutu yang selalu setia.Jeane menarik napas panjang, menahan sakit yang sebenarnya setengah pura-pura.Sekian hari disekap membuat tubuhnya lelah, tapi otaknya malah menyala. Ia harus keluar.Harus — bukan hanya untuk kebebasannya sendiri, tetapi untuk melanjutkan rencananya: menghancurkan Samuel dan Anne, sekali untuk selamanya.Di luar pintu, dua penjaga bergantian berjaga. Mereka berpakaian gelap, wajah kebanyakan kosong — orang yang melakukan tugas karena upah, bukan karena kesetiaan.Jeane mengamati mereka seperti predator mengamati mangsa; dia tahu tepat tit
Malam di lorong rumah sakit terasa dingin, lampu-lampu remang membuat bayangan panjang menari di dinding.Di dalam kamar perawatan intensif, suara mesin berdenyut lembut, menandai napas dan detak jantung Anne yang mulai stabil.Samuel duduk di kursi samping ranjang, matanya merah karena kurang tidur, namun wajahnya dipenuhi rasa syukur yang tak terkatakan.Di pangkuannya, handuk kecil yang dipakai Anne untuk mengelap bibirnya masih tersampul.Anne, yang tubuhnya masih lemah, menoleh perlahan saat mendengar suara-suara wajah yang akrab di luar.Ia sengaja membuka mata samar, ingin merekam setiap nada suara Samuel yang menenangkan itu.Namun, ia tidak sengaja mendengar cuplikan percakapan yang bukan untuk telinganya — sebuah bisik yang berubah menjadi pengakuan dan sumpah.“Daryl… aku sudah urus semuanya,” gumam Samuel pelan, suaranya hanya untuk orang di dekatnya.“Dokumen legal, bukti transaksi, saksi-saksi — aku akan membersihkan nama Anne sampai bersih. Kalau itu berarti aku harus m
Suasana kamar ICU dipenuhi suara mesin yang berdengung pelan. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, dingin dan menusuk.Di samping ranjang putih bersih itu, Samuel duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk.Wajahnya tampak lelah, mata merah karena berhari-hari tidak tidur. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Anne yang terasa dingin dan lemah.Sudah hampir seminggu Anne koma setelah kecelakaan mengerikan di panti asuhan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Samuel.Ia hanya bisa memohon pada Tuhan agar perempuan yang dia cintai kembali membuka matanya.Samuel mengusap rambut Anne dengan lembut.Suaranya parau ketika ia berbisik,“Anne tolong, bangunlah. Aku tidak peduli seberapa marah kau padaku, seberapa kecewamu padaku, asalkan kau tetap di sini bersamaku.”Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia merasa hancur, merasa gagal melindungi wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya.Tiba-tiba, jemari Anne bergerak pelan di genggamannya. Samuel terhenyak dan jan
“Apa ini benar, Samuel?” teriak Tyas dengan wajah amarah dan luka. “Kau anakku sendiri, mencopot ibumu dari perusahaan yang kubangun bersama ayahmu?!”Samuel menatapnya tanpa gentar dan raut wajahnya penuh ketegasan. “Benar, Ma. Mulai hari ini, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Semua wewenangmu telah dicabut secara hukum.”Ruangan langsung riuh. Beberapa direksi saling berbisik, sebagian tampak terkejut, sebagian lagi tersenyum tipis karena sudah lama ingin melihat Tyas jatuh.Namun, sebagian direksi yang setia pada Tyas justru terlihat panik dan marah.Tyas berdiri dengan gerakan kasar hingga kursinya terjungkal ke belakang. “Apa kau sudah gila?!” teriaknya dengan wajah merah padam.Ia meraih tumpukan berkas di meja dan melemparkannya ke arah Samuel. Beberapa kertas berhamburan di udara dan jatuh berserakan di lantai.“Kau pikir kau bisa menghancurkan aku begitu saja? Aku yang membesarkanmu! Aku yang menjaga perusahaan ini saat kau belum bisa apa-apa!”Samuel tetap berdiri t
Ruang kerja Samuel dipenuhi oleh ketegangan. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja kayu mahoni, layar laptop menampilkan grafik, rekaman video, dan data transaksi keuangan.Lampu meja menyinari wajah Samuel yang tampak letih namun penuh tekad. Matanya merah karena kurang tidur, tetapi genggamannya pada pena tetap kuat.Di hadapannya, Daryl berdiri sambil membawa beberapa map tebal. Ia menatap tuannya dengan ekspresi khawatir.“Tuan Samuel,” katanya pelan, “ini semua bukti yang berhasil saya kumpulkan. Rekaman panggilan telepon, transfer dana ke rekening Jeane, dan dokumen yang menunjukkan Nyonya Tyas menggunakan wewenangnya untuk mengalihkan dana perusahaan. Tapi ….”Samuel mengangkat kepalanya dan sorot matanya menatap tajam Daryl. “Tapi apa, Daryl?”Daryl menelan ludah sebelum menjawab. “Tapi langkah ini berbahaya. Nyonya Tyas memiliki banyak pendukung di jajaran direksi. Jika Anda salah langkah, mereka bisa membalikkan keadaan dan menyerang Anda balik. Anda akan dianggap sebagai
Setelah beberapa jam berlalu. Samuel akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang ICU di mana sang istri masih berada di sana karena mengalami kritis dan kondisinya terus menurun.Samuel berdiri di sisi ranjang, tubuhnya kaku namun jemarinya menggenggam tangan Anne erat-erat.Jemari itu dingin, rapuh, seakan hanya sehelai benang yang menahan hidupnya.“Anne?” panggil Samuel dengan suara lirih namun penuh rasa sakit. “Kumohon, jangan tinggalkan aku.”Air mata yang selama ini dia tahan jatuh juga membasahi kulit tangan Anne. Ia menunduk dan keningnya menempel pada punggung tangan istrinya.“Aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpamu, Anne. Kau satu-satunya alasan aku bertahan menghadapi semua ini. Jika aku pernah membuatmu terluka, kumohon, maafkan aku.”Di balik kelopak matanya yang tertutup, Samuel membiarkan pikirannya terhanyut pada kenangan-kenangan mereka.Anne yang pertama kali dia temui di kafe kecil, senyumnya hangat namun malu-malu.Anne yang memeluknya erat saat mereka