MasukMata Clarissa sedikit menyipit lalu senyum di bibirnya melebar tipis, seolah sedang menimbang sesuatu yang hanya ia ketahui.
"Oh … istri," gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk sampai ke telinga Anne.
Nada bicaranya seperti gula yang dibubuhi racun—manis di permukaan, tapi menyisakan perih di dada.
"Senang bertemu dengan Anda, Anne," lanjut Clarissa sambil mengulurkan tangannya pada Anne. "Samuel tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki istri secantik ini."
Anne tersenyum sopan karena berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang menyusup di balik kulitnya.
Jabatannya singkat, tapi Anne bisa merasakan sesuatu dalam genggaman itu—bukan sekadar formalitas, melainkan semacam pengukuran kekuatan.
"Terima kasih," jawab Anne dengan singkat.
Samuel berdiri di antara keduanya, jelas ingin mengalihkan arah pembicaraan. "Clarissa, bagaimana kabar—"
Namun Clarissa memotong dan melangkah setengah inci lebih dekat, hingga aroma parfum mewahnya menguar di udara di antara mereka.
"Kita sempat bertemu di pertemuan investor dua tahun lalu, ingat?" tanyanya dengan suara lembut yang menyerupai bisikan di telinga.
Samuel hanya mengangguk singkat. "Ya, aku ingat."
Anne merasa jemarinya yang memeluk lengan Samuel otomatis mengencang. Hatinya berdesir aneh ketika melihatnya.
Ia tidak pernah mendengar cerita tentang pertemuan itu. Dua tahun lalu, bukankah saat itu Samuel jarang pulang dan selalu sibuk di luar kota?
Clarissa menunduk sebentar dan mengelus kepala anak kecil yang digendong seorang wanita di dekat mereka, lalu kembali menatap Samuel.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini dengan kondisi yang berbeda."
Kata-kata itu bagai benang tipis yang mengikat sesuatu di masa lalu. Anne tak paham seluruh maknanya, tapi nalurinya langsung merasakan bahaya.
Tiba-tiba dari arah meja utama, seorang rekan bisnis memanggil Samuel. "Samuel, kemari sebentar!"
Samuel memandang Anne sebentar “Aku ke sana sebentar," katanya lalu melangkah pergi tanpa sempat menoleh lagi.
Kini Anne berdiri berhadapan langsung dengan Clarissa. Pandangan wanita itu bergerak perlahan dari ujung kepala Anne hingga ke ujung kakinya, seperti sedang menilai sebuah barang koleksi.
"Kau beruntung, Anne," ujar Clarissa dengan suara santainya. "Tidak semua wanita bisa membuat pria seperti Samuel menetap di hidupnya. Dan kau? Jadi istrinya. Hebat!”
Anne menelan ludah saat mendengarnya. "Aku tidak percaya pada keberuntungan, Nona Clarissa. Hubungan itu dibangun, bukan sekadar dimiliki."
Ada jeda singkat saat Anne berbicara, kilatan di mata Clarissa seperti cahaya pisau sebelum menusuk.
Senyumnya semakin tipis lalu menatap datar wajah Anne. "Kita lihat saja nanti."
Anne tidak menjawab. Dia hanya menghela napas dan menatap ke arah Samuel yang sedang berbincang serius dengan rekan-rekannya.
Namun tatapan itu berubah menjadi pertanyaan besar. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?
Pesta berlanjut, tapi hati Anne tak pernah kembali tenang.
Samuel sesekali menghampiri, menggandengnya, namun setiap kali Clarissa melintas di antara kerumunan, tatapan wanita itu selalu mencari Samuel—dan Samuel … tidak menghindar.
**
Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Anne dan Samuel telah pulang dari pesta semalam.
Anne duduk di kursi penumpang dan menatap keluar jendela tanpa suara. Sementara Samuel memegang kemudi dan matanya lurus ke depan.
"Ada yang mengganggumu?" tanyanya dengan tiba-tiba.
Anne berpaling perlahan. "Haruskah aku bilang tidak, sementara aku jelas melihat sesuatu malam ini?"
Samuel menghela napas berat. "Kalau ini tentang Clarissa—"
"Ya, memang tentang dia," potong Anne cepat. "Kau mengenalnya, Samuel. Lebih dari sekadar kenal, sepertinya."
Samuel menatapnya sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Aku pernah bekerja sama dengannya di proyek lama. Itu saja."
Anne mengerutkan kening. "Itu saja? Lalu kenapa caranya menatapmu seperti … seperti dia pernah memiliki sesuatu darimu?"
Samuel tidak menjawab ucapan Anne tadi dan itu membuat dada Anne semakin sesak. Keheningan pun tiba. Hanya suara mesin mobil yang terdengar.
“Bahkan kau tidak mau menjawab pertanyaan yang menurutku sangat penting demi keberlangsungan rumah tangga kita.”
Dan lagi, Samuel hanya diam. Bahkan menatapnya saja tidak. Terus melajukan mobilnya tanpa ada suara sedikit pun.
**
Begitu sampai di rumah, Samuel langsung masuk ke ruang kerjanya.
Sementara Anne berdiri di ambang pintu kamar, menatap punggung suaminya yang menjauh tanpa sedikit pun berusaha menenangkan hatinya.
Ia duduk di tepi ranjang, melepas gaunnya dengan gerakan lambat. Bayangan senyum Clarissa terus menghantui pikirannya.
"Kita lihat saja nanti."
Kata-kata itu terngiang, seakan sebuah ancaman yang dibungkus manis.
Anne mengusap wajahnya dengan pelan. Semua usahanya beberapa minggu terakhir—menyiapkan makan malam, mempercantik diri, mencoba meraih kembali perhatian Samuel—tiba-tiba terasa sia-sia.
Kini, ada orang lain yang mungkin bisa merebutnya dalam sekejap. “Apakah perubahan sikapmu ini padaku karena dia, Samuel?”
Suara isakan Anne memenuhi kamar rumah sakit yang remang.Tubuhnya gemetar hebat, matanya penuh ketakutan.Samuel duduk di tepi ranjang, kedua tangannya memegang bahu Anne, mencoba menenangkan istrinya yang terus meronta seolah dikejar sesuatu yang tak terlihat.“Anne, Sayang, tenanglah. Aku di sini,” ucap Samuel lirih dengan suara bergetar menahan emosi.“Tidak ada siapa-siapa, tidak ada yang bisa menyakitimu lagi. Lihat aku, Anne. Aku, Samuel.”Anne menggeleng histeris dan air matanya jatuh membasahi pipinya yang pucat.“Tidak, Sam! Dia… dia ada di sini tadi! Aku melihatnya! Jeane… dia berdiri di sana!”Anne menunjuk ke sudut ruangan, suara parau dan penuh ketakutan. “Aku tidak gila, Sam. Percayalah padaku!”Samuel memeluknya erat, mencoba meredam gemetar tubuh istrinya. Namun, dalam hati ia mulai goyah.Anne sudah beberapa kali melihat bayangan yang tidak ada, dan setiap kali itu terjadi, ia semakin ketakutan.Pintu kamar terbuka dan seorang dokter berjas putih masuk dengan ekspres
Beberapa hari telah berlalu sejak Samuel resmi melengserkan Tyas dari jabatannya di perusahaan, dan sejak saat itu badai baru mulai mengguncang kehidupan mereka.Di sebuah ruang mewah yang jauh dari rumah sakit, Tyas duduk di kursi kulit dengan secangkir teh di tangannya.Wajahnya tampak tenang, tetapi mata itu menyala penuh amarah dan dendam. Di depannya, Jeane berdiri dengan senyum penuh kebencian, aura liciknya begitu jelas terasa.“Kau yakin rencana ini akan berhasil?” tanya Jeane sambil menyilangkan tangan di dada.Tyas tersenyum miring. “Tentu saja. Anne mungkin berhasil memikat hati Samuel, tapi dia tidak sekuat yang terlihat. Kita akan menghancurkannya perlahan. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga pikirannya.”Jeane mendekat lalu membisikkan sesuatu dengan nada rendah. “Aku sudah mulai menyebarkan gosip. Aku katakan pada beberapa wartawan bahwa Anne adalah penyebab kau dikeluarkan dari perusahaan.“Katakan padaku, Bibi, bukankah kau suka melihat dunia percaya bahwa menantumu itu h
Di sore yang lembut, matahari menyelinap lewat tirai ruang intensif dan menorehkan garis-garis emas di wajah Anne yang sekarang tampak lebih tenang.Mesin-mesin masih berdenting pelan, tapi napasnya yang dulu tersengal kini lebih teratur.Luka-luka dan pembalut masih menempel, tetapi ada warna hidup yang kembali di pipinya — samar, tetapi nyata.Samuel duduk di kursi samping, kepalanya hampir menempel di bahu Anne. Tangannya tak lepas dari jemari kecil istrinya, kedua ibu jarinya sesekali mengusap punggung tangan itu seperti mantra.Setelah malam-malam penuh kecemasan dan dokumen-dokumen yang harus diurus, kini dia bisa menikmati momen yang sederhana namun berharga.“Aku… aku ingin bicara tentang… tentang kita,” ucap Anne dengan suara lembutnya.Samuel mencondongkan tubuh dan wajahnya berubah lembut seketika. “Apa yang kau inginkan, Sayang?”Anne menarik napas dalam-dalam seraya menahan rasa sakit di kepalanya ketika kata-kata hendak keluar.“Aku merasa… bersalah, Sam. Karena kehadira
Gedung tua itu berderit setiap kali angin malam menyelinap melalui celah-celah kusamnya.Lampu redup bergoyang, menorehkan bayangan panjang di dinding yang retak — saksi bisu pada rahasia yang tak seharusnya hidup di dunia yang terbuka.Di sebuah ruangan kecil bertutup selimut kotor, Jeane duduk terhimpit, mata tajamnya mengamati setiap gerak penjaga yang lewat.Ia tahu waktu adalah musuhnya; namun keganasan pikiran adalah sekutu yang selalu setia.Jeane menarik napas panjang, menahan sakit yang sebenarnya setengah pura-pura.Sekian hari disekap membuat tubuhnya lelah, tapi otaknya malah menyala. Ia harus keluar.Harus — bukan hanya untuk kebebasannya sendiri, tetapi untuk melanjutkan rencananya: menghancurkan Samuel dan Anne, sekali untuk selamanya.Di luar pintu, dua penjaga bergantian berjaga. Mereka berpakaian gelap, wajah kebanyakan kosong — orang yang melakukan tugas karena upah, bukan karena kesetiaan.Jeane mengamati mereka seperti predator mengamati mangsa; dia tahu tepat tit
Malam di lorong rumah sakit terasa dingin, lampu-lampu remang membuat bayangan panjang menari di dinding.Di dalam kamar perawatan intensif, suara mesin berdenyut lembut, menandai napas dan detak jantung Anne yang mulai stabil.Samuel duduk di kursi samping ranjang, matanya merah karena kurang tidur, namun wajahnya dipenuhi rasa syukur yang tak terkatakan.Di pangkuannya, handuk kecil yang dipakai Anne untuk mengelap bibirnya masih tersampul.Anne, yang tubuhnya masih lemah, menoleh perlahan saat mendengar suara-suara wajah yang akrab di luar.Ia sengaja membuka mata samar, ingin merekam setiap nada suara Samuel yang menenangkan itu.Namun, ia tidak sengaja mendengar cuplikan percakapan yang bukan untuk telinganya — sebuah bisik yang berubah menjadi pengakuan dan sumpah.“Daryl… aku sudah urus semuanya,” gumam Samuel pelan, suaranya hanya untuk orang di dekatnya.“Dokumen legal, bukti transaksi, saksi-saksi — aku akan membersihkan nama Anne sampai bersih. Kalau itu berarti aku harus m
Suasana kamar ICU dipenuhi suara mesin yang berdengung pelan. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, dingin dan menusuk.Di samping ranjang putih bersih itu, Samuel duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk.Wajahnya tampak lelah, mata merah karena berhari-hari tidak tidur. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Anne yang terasa dingin dan lemah.Sudah hampir seminggu Anne koma setelah kecelakaan mengerikan di panti asuhan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Samuel.Ia hanya bisa memohon pada Tuhan agar perempuan yang dia cintai kembali membuka matanya.Samuel mengusap rambut Anne dengan lembut.Suaranya parau ketika ia berbisik,“Anne tolong, bangunlah. Aku tidak peduli seberapa marah kau padaku, seberapa kecewamu padaku, asalkan kau tetap di sini bersamaku.”Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia merasa hancur, merasa gagal melindungi wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya.Tiba-tiba, jemari Anne bergerak pelan di genggamannya. Samuel terhenyak dan jan







