MasukSetelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, mobil yang dikendarai Arnon kini akhirnya tiba di dalam gang yang mengarah pada rumah Giselle.
Arnon menginjak rem pada mobilnya, berhenti di depan rumah dengan bangunan minimalis yang semula ditunjuk oleh Giselle. “Ini … rumahmu?” tanya Arnon menyipitkan mata saat memperhatikan rumah Giselle dari jendela mobil. Rumah itu tampak sederhana, namun terlihat asri dan rapi dari luar. Dindingnya berwarna putih gading dengan sentuhan abu tua di bagian list jendela, beberapa cat juga terlihat mengelupas seolah tak terawat. Di halaman depan beberapa tanaman hijau tumbuh rapi. Memberi kesan jika pemiliknya senang dengan tumbuhan hijau serta berkebun. “Benar, rumah ini adalah milikku.” jawab Giselle sambil melepaskan safety belt yang melingkar di badannya. “Kau tinggal sendiri?” “Bagaimana Anda menebaknya?” tanya balik Giselle cukup terperangah. Mereka baru bertemu dua kali ini namun, Giselle seakan bisa menilai jika Arnon selalu tahu segala hal hanya dengan melihat apa yang ada di depan mata pria itu. “Rumahmu tampak tak hidup,” komentar Arnon singkat. Giselle mengangguk kala itu juga, “Ya, saya hanya tinggal sendiri.” jawabnya, ada kesedihan yang tak bisa ditahan oleh Giselle saat mengucapkan jawaban tersebut. Mungkin, jika orang tuanya meninggal. Giselle tak akan sesedih ini saat mendapatkan pertanyaan dengan siapa ia tinggal. Dengan rasa percaya diri, Giselle akan berkata jika kedua orang tuanya sudah bahagia di atas sana. Tetapi kenyataannya, ia memiliki seorang ayah. Memiliki tapi tak pernah dianggap ada. Dan Arnon cukup sadar saat menangkap kesedihan di bola mata Giselle, dia memutuskan untuk tidak mengorek lebih dalam lagi. “Apa rumah ini aman?” tanya Arnon mengalihkan topik. Benar saja, Giselle cepat menoleh pada Arnon. Namun tak cukup bisa mengartikan maksud pertanyaan dari Arnon. “Tidak ada penjaga disini?” Sontak, Giselle tergelak saat pertanyaan konyol tersebut keluar dari mulut seorang Arnon. “Penjaga? Saya sepertinya tidak akan mampu membayar penjaga di rumah ini. Lagi pula, apa yang akan pencuri cari di rumah saya yang kecil ini.” jawab Giselle tersenyum lebar. Senyum yang memperlihatkan gigi rapinya, senyum lepas yang terlihat sangat manis. Arnon bahkan baru pertama kali melihat senyum yang menghiasi wajah cantik Giselle. Arnon terdiam beberapa saat, tatapan itu meski dingin seolah tak memiliki makna tapi cukup dalam saat menatap Giselle. Tadinya Arnon berkata bersungguh-sungguh, yang dimaksud pria itu adalah pagar rumah milik Giselle tak terlalu tinggi. Pagar besi hitam yang sudah berkarat itu hanya memiliki tinggi sebatas pinggang orang dewasa. Bagi Arnon yang hidupnya selalu berada di lingkaran kemewahan, pagar itu tak bisa dijadikan pelindung bagi seorang gadis yang hanya tinggal sendirian. “Aku serius, Giselle. Kau seorang gadis dan tinggal sendirian.” koreksi Arnon, “Sangat tak aman bagimu.” tukasnya serius. Giselle menoleh pada Arnon, senyum di bibirnya pudar saat itu juga. Apa pria itu mengkhawatirkannya? Pikir Giselle terenyuh. Ia memang kerap mendapatkan perhatian dari Marley, tapi perhatian Arnon terasa berbeda. Giselle tak bisa menjabarkan perbedaan di antara mereka, hanya saja hatinya mendadak gundah mendengar ujaran Arnon. “Marley seharusnya bisa memberikan fasilitas yang layak untukmu.” kata nya lagi. Giselle semakin meneguk ludah kepayahan. “Saya … saya lebih tenang tinggal disini.” Arnon diam, memperhatikan mimik wajah Giselle yang kembali disembunyikan. Arnon tak lagi berkomentar mengenai tempat tinggal Giselle yang bagi dia sangat jauh dari kata layak. “Tuan, saya permisi. Terima kasih karena telah mengantar saya malam ini.” Pamit Giselle memecah situasi hening yang menerpa beberapa menit. Giselle yang sadar saat tadi sempat melamun di mobil Arnon, segera membuka pintu mobil setelah menelan pil pahit mengenai kehidupannya. Ketika satu kakinya sudah turun, Arnon kembali memanggil. “Giselle.” “Ya?” Giselle menoleh, menatap wajah maskulin Arnon yang masih tegas dengan serius. “Apa Marley memperlakukanmu dengan baik?” *** Percakapan itu, berakhir dengan Giselle yang melamun saat tubuh lelahnya dibaringkan ke ranjang. Tatapan matanya mengarah pada langit-langit kamarnya. “Apa Marley memperlakukanmu dengan baik?” Kata-kata itu masih terus terngiang di atas kepalanya. Harusnya secara lantang Giselle bisa mengatakan betapa baiknya Marley padanya. Betapa Marley sangat perhatian padanya, Kekasihnya itu tak jarang mengirim makanan untuknya, Membawakan obat walau lewat orang lain saat ia sedang sakit. Tetapi setelah mengenal Arnon …. Giselle seperti tak mengenal definisi baik sesungguhnya itu seperti apa?! Terlalu sulit untuk menjabarkan kata ‘baik yang tersirat dalam seutas kata Arnon. Makna ‘baik bagi pria matang dan dewasa seperti Arnon sangat kontras berbeda dengannya saat ini. “Apa ini? Kenapa aku jadi memikirkan pria itu.” Giselle menyadarkan dirinya yang larut dalam ilusi yang tak seharusnya. “Ingat, Giselle. Pria itu adalah ayah pacarmu sendiri.” gumamnya memperingati sambil menepuk pipinya sedikit keras. Tapi sialnya, bayangan mengenai Arnon yang menjaganya malam itu kembali hadir. Masih adakah di dunia ini pria sebaik Arnon? Yang tidak memanfaatkan kelemahannya saat ia sendiri sedang di obati. Pria itu membantu dengan keras menjaga mahkota miliknya pada malam itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Giselle kesulitan tidur malam ini. “Jika dipikir-pikir, kenapa ayah Marley begitu muda. Apa dulunya Tuan Arnon menikah di usia muda?” tanya Giselle kebingungan. Dan lagi perkenalan ini hanya untuk ayah Marley saja. Marley hanya menjelaskan jika ibunya sakit keras dan telah lama meninggal. Kisah yang sama membuat Giselle dulunya bisa cepat akrab dengan Marley. Tetapi setelah mengenal Arnon, hidup Giselle seakan tak lagi tenang. Ia seolah dihantui oleh sikap dewasa seorang Arnon Theodore. Pikiran yang tak seharusnya ada, karena ia telah memutuskan untuk bertunangan dengan Marley. Artinya Arnon akan menjadi ayah mertuanya kelak. Bagaimana bisa ia memiliki perasaan tak tentu ini. “Giselle, kau sungguh tak tahu diri.” Giselle memaki dirinya sendiri.Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Marley, ketika Marley baru saja membuka pintu apartemen setelah mendengar bel yang berbunyi. Mata Marley terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. Terlebih lagi terkejut siapa sosok yang berani melayangkan tamparan padanya. “Apa-apaan ini, Marley. Apa kau sepakat untuk mempermainkanku dengan Arnon.” Bella, wanita itu datang tanpa diundang membawa gema kemarahan. Bella mendorong tubuh Marley yang berdiri di tengah pintu, kemudian dia masuk tanpa menunggu persetujuan dari Marley. Bahkan tindakan tersebut lebih cepat dari respon Marley yang terkejut dengan kedatangan Bella yang tiba-tiba. “Bukankah kau mengatakan jika hari ini akan menjadi hari pernikahanmu bersama gadis yang kau cinta. Tapi apa yang kulihat hari ini?!” Bella menekan setiap protes sambil menghempaskan pantat ke sofa. Bella tidak berhenti bicara sampai disitu saja. “Aku justru harus menyaksikan pernikahan pria yang selama ini aku cinta, pria yang ku harap
Langkah Giselle menggema pelan di sebuah lorong dengan karpet merah. Di depan sana pastor sudah menunggu kedatangan pengantin untuk mengucapkan sumpah pernikahan.Setiap derap heals beradu dengan bunyi sepatu Arnon seolah menghitung detik yang tersisa sebelum hidup Giselle benar-benar berubah. Gaun itu bergerak anggun, berbeda dengan bahu Giselle yang tegang menahan ribuan pasang mata yang kini menatap penuh tanda tanya terhadapnya.Giselle sadar arti tatapan semua tamu yang memenuhi kursi sisi kanan dan kiri. Bukan hanya pada kebiasaan yang akan dilaksanakan saat sumpah pernikahan. Biasanya pengantin pria akan menanti di depan sana, tapi kini Arnon sendiri yang menggandeng tangan Giselle untuk menguatkan Giselle melangkah. Dan ya! Keheranan itu juga datang karena pengantin pria tak sama seperti bayangan mereka. Bisik-bisik mulai berhembus tanpa bisa dicegah.“Itu Giselle, kan?”“Kita tidak sedang salah masuk ke dalam gedung pernikahan orang lain, kan?“Iya, benar, kau tidak salah
Pagi datang tanpa benar-benar membawa sinar cahaya bagi Giselle.Ia berdiri di depan cermin tinggi masih di dalam kamar dengan nuansa yang sama. Tubuh ramping miliknya sudah terbalut gaun pengantin berwarna gading. Kainnya jatuh sempurna mengikuti lekuk badan Giselle yang ramping. Belum lagi ditambah renda halus menghiasi bahu hingga sebatas dada, seolah gaun itu diciptakan khusus hanya untuk menjadikan ratu bagi Giselle. Namun … pantulan di cermin nampak terasa asing.Perempuan di dalam kaca itu terlihat cantik dan anggun secara bersama. Terlalu cantik untuk seseorang yang semalam hancur berkeping-keping karena sebuah pengkhianatan. Sisa malam bahkan tidak membuat Giselle merasakan ketenangan sama sekali. Ia benar-benar tidak bisa terlelap dalam tidur di sisa malam. ‘Apa keputusan ini sungguh benar?’ ia sedang bertanya pada hatinya sendiri. Mungkin lebih tepatnya, bisa disebut bertarung pada keputusan yang telah diambil dengan terburu-buru. Jari lentik dengan nail art itu naik
“Tolong, bawa aku pergi.” pinta Giselle menghiba. Permintaan tersebut membuat Arnon menatap Giselle cukup lama. Sorot mata Arnon juga tak berubah, tetap dingin, tetap tegas namun ada sesuatu yang mengeras di rahangnya.Bukan ragu melainkan keputusan yang diambil dalam benaknya.“Baik,” ucap Arnon singkat.Satu kata yang terlontar dari Arnon sudah cukup membuat Marley kehilangan kendali.“Ayah!” seru Marley tak sadar membentak, “Ayah tidak bisa—” dia ingin mengajukan protes namun, Arnon lebih cepat memotong. “Kau sudah terlalu banyak bicara malam ini,” potong Arnon tanpa menoleh. “Dan sudah terlalu banyak menyakiti.”Arnon meraih bahu Giselle saat mengatakan hal tersebut, bukan dengan rangkulan kasar, bukan pula dengan kelembutan yang berlebihan. Pegangan Arnon stabil, meyakinkan seolah berkata ‘Giselle aman sekarang.“Aku akan membawamu pergi,” kata Arnon lagi pada Giselle sambil melirik sekilas pada Marley.Mendengar hal tersebut, Marley yang tidak terima lantas melangkah untuk m
"Nona Sofia memang sedang hamil saat ini. Tapi kami sangat menyayangkan bahwa bayi dalam kandungan Nona Sofia tidak bisa diselamatkan. Saya menemukan bahwa Nona Sofia sering mengkonsumsi minuman keras ditambah lagi dengan tekanan yang baru saja beliau alami, membuat kandungannya lemah dan tak mampu dipertahankan." Penjelasan dokter tersebut terasa mendengungkan telinga Giselle. Keterangan tersebut bukan membuat Giselle iba namun, justru membuat Giselle semakin terhantam oleh fakta mengenai Sofia yang memang sedang hamil saat ini. Tubuh Giselle lemas tak bertenaga, matanya memanas karena telah berkaca-kaca oleh genangan air mata. Kenapa mereka harus begitu tega. Apa salahnya selama ini? Giselle bertanya-tanya mengenai kekurangan pada dirinya sendiri hingga harus mendapatkan penghianatan dari orang terdekat. "Giselle, ini bukan salahmu." Septia— dia yang selalu setia mendampingi Giselle kini mengusap punggung Giselle untuk menenangkan
"Aku sungguh tidak tahu apa salah Sofia. Kenapa Sofia harus diincar oleh mereka. Apa motif mereka melakukan hal kejam seperti ini." Giselle mengeluh, dia meremas kedua tangan yang telah dingin saat berdiri di lorong panjang rumah sakit.Giselle yang ditemani oleh Septia, kini masih menunggu Sofia yang diperiksa oleh dokter saat sahabatnya itu tidak sadarkan diri beberapa menit yang lalu.Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Malam semakin merangkak naik hingga menyentuh waktu tengah malam, sementara pernikahan Giselle tetap menanti esok hari. Namun masih tidak ada tanda-tanda kapan ia bisa kembali ke hotel. "Giselle, tenangkan dirimu. Dari pada kau berjalan kesana kemari tak tentu. Lebih baik duduk saja dengan tenang dan tunggu dokter yang memeriksa Sofia keluar." kata Septia, saat tak tahan melihat Giselle yang tak berhenti berjalan kesana kemari dengan gelisah. "A-aku tidak bisa tenang, Septia.""Ingat, besok kamu juga harus menikah. Malam ini, kamu justru berakhir di







