MasukSedangkan ditempat lain, Patton— ayah kandung Giselle baru pulang dari meja judi. Malam ini sungguh sial, semua uang yang dipertaruhkan di meja judi habis tak tersisa
Di sepanjang jalan, dia mengusap kasar wajahnya. Bisa dibayangkan Esti, istrinya itu, pasti akan mengamuk jika ia pulang tak membawa uang sepeser pun. “Ah sialan, aku bertaruh dan menang sekali. Tapi aku tidak sadar jika uangku telah habis setelah melakukannya yang ketiga kali, dan aku kalau telak.” Patton mengomel di sepanjang jalan. Ingin sekali dia tidak pulang dan tidur di pos malam ini. Tetapi pasti Esti akan membuat keributan saat esok harinya. “Harus dengan cara apa aku mencari uang ganti dari uang yang telah ku habiskan?” gumamnya bertanya seorang diri. Hanya tinggal lima langkah lagi, rumah kecil miliknya sudah terlihat di depan sana. Tapi Patton memutuskan berhenti walau sisa rintik hujan masih membasahi bumi. “Kenapa hidupku sial sekali. Aku bekerja sepanjang hari, tapi nasib hidupku masih begini saja.” gerutunya tak berhenti. Pasalnya uang yang digunakan untuk judi malam ini merupakan uang untuk membayar biaya wisuda putranya. Tetapi dia harus khilaf terbujuk oleh hasutan para teman-temannya. “Sudah pulang?” Suara sambutan istrinya yang tak ramah itu membuat Patton berdiri dengan gusar. Pria setengah baya itu cukup takut dengan istrinya, sebab jika Esti sudah mengamuk tak segan memukulnya. “Mana uang dari hasil jual tanah?” tagih Esti sambil menengadahkan telapak tangan yang terbuka. “Ada,” dusta Patton nyelonong masuk ke kamar. Esti tak lelah mengikuti dari belakang, raut wajahnya sudah tak enak dipandang. “Iya mana?” “Nanti saja, aku lelah.” kelit Patton yang masih menghindari pembicaraan mengenai uang wisuda putranya. “Jangan bohong kamu. Jangan-jangan uang yang akan ku gunakan untuk biaya wisuda, telah kamu habiskan.” tudingnya, dan entah kenapa firasat Esti kuat, dia yakin jika ia benar. “Tidak.” Patton masih saja terus berbohong. “Kalau begitu cepat berikan.” “Nanti!” “Lama!” geram Esti, dia mendekat lalu merogoh kantong celana Patton dengan tak sabaran. Nafasnya semakin memburu saat tak menemukan apa pun dari balik kantong celana Patton. Tapi Esti masih berpikir uang itu akan disimpan di balik baju Patton. Namun nihil, tak ada apa pun disana. “Keterlaluan kamu, Patton! Uangnya kau jadikan taruhan lagi?” “Maaf, Esti. Aku pikir uangnya agar bertambah banyak, tapi sialnya malam ini aku kurang beruntung.” “BRENG-SEK!” Esti memaki sambil memukul-mukul badan Patton dengan bantal. Meski Patton berusaha mengelak, tetap percuma saja, sebab kekuatan Esti jika sedang marah akan bertambah berkali-kali lipat. “Kau tahu uang itu hasil dari merampas warisan kakakku. Betapa sulitnya kita mendapatkan saat membodohi mereka, tapi kau justru menghabiskan dalam satu malam.” maki Esti tak tertahankan, sesekali menjerit frustasi. Patton sendiri tak lelah membujuk, “Tenangkan dirimu, Esti. Aku akan mencari gantinya.” “Dengan cara apa, hah? Dengan menjual rumah peot ini?” sentak Esti menyindir. Tak habis pikir dengan suaminya yang tak berhenti bertingkah. Ketika Esti menyinggung soal rumah, entah kenapa terbesit dalam ingatan Patton perihal rumah yang ditempati Giselle. “Ya, kau benar.” seru Patton tiba-tiba memeluk tubuh istrinya, hingga membuat Esti melotot terkejut. “Kau sungguh akan menjual rumah ini?” tanya Esti hampir tak percaya. “Tentu saja rumah Giselle. Aku akan datang kesana untuk mengambil sertifikat rumah darinya. Kau tenang saja, secepatnya akan ku ganti uang milikmu.” Mata Esti menyipit mendengar ide gila dari Patton. “Kau berniat menjual satu-satunya rumah milik putrimu.” “Menggadaikan sertifikat rumah, tapi kalau uang pinjaman hanya sedikit, baru ku jual. Kenapa?” “Tidak papa, itu bagus. Jual saja sekalian putrimu pada saudagar kaya. Kita bisa mendapatkan uang pengantar nikah yang banyak.” *** Sementara itu di sebuah resto VIP. Marley mengadu, dia menyipitkan mata saat menatap sekelilingnya. Mulutnya sesekali meracau tidak jelas. Lelaki itu sudah berada dalam kondisi mabuk saat ini. “Lihat, ruangan ini jadi berbentuk lingkaran.” kata Marley sambil merangkul Noel. “Langit-langitnya seakan berputar mengelilingiku.” “Itu karena kau sudah mabuk.” jawab Noel, dia juga sudah mabuk tapi tak separah Marley. Mereka berdua beradu minum sejak tadi tanpa mengenal waktu. “Mabuk? Hahaha.” Marley tertawa keras, jari telunjuknya bergoyang tepat di depan wajah Noel, “Satu gelas lagi, aku bisa membuktikan jika aku belum mabuk.” Marley akan meraih botol sampanye, gerakan tubuhnya tak stabil. Persis saat Marley akan mengangkat botol, Giselle yang sudah lelah merebut untuk menghentikan. “Berhenti minum, Marley. ” tegur Giselle dengan wajah lelah. Marley yang mendengar suara Giselle langsung beranjak dari kursi, dia berdiri di sisi Noel. “Eh, siapa wanita cantik itu?” tanya Marley sambil menatap Noel. “Dia kekasihmu.” jawab Noel, menjauhkan tangan Marley yang melingkar di pundaknya, tubuh Marley terasa berat jika dibiarkan bersandar padanya. “Kekasihku?” Marley menunjuk dirinya sendiri, dia kemudian mendekati Giselle lalu memegang bahu Giselle sambil tersenyum, “Sayang, kau cantik sekali.” pujinya tertawa kecil hingga memperlihatkan gigi rapinya. Marley yang bergerak aktif, cukup membuat Giselle kewalahan menahan bobot berat Marley. Berulang kali Giselle mencoba mendudukkan Marley agar tenang, tapi lelaki itu masih berdiri sambil menari-nari tak jelas. Terkadang Giselle tak mengerti kenapa para lelaki senang sekali dengan minuman memabukkan seperti itu, rasanya juga sangat buruk. Sampai Arnon yang sedari tadi diam saja, harus turun tangan karena melihat Giselle yang kepayahan. “Duduk dengan tenang, aku akan meminta seseorang mengantarmu pulang ke apartemen.” Arnon berbicara, menekan bahu Marley kuat-kuat agar tetap diam di tempat duduknya. Giselle sendiri menyingkir, memberi ruang pada Arnon yang sedang berupaya menenangkan Marley. Tidak! Sepertinya tindakan Arnon lebih tepat seperti orang yang mengancam. “Ayah.” “Jangan bertingkah, Marley.” bisik Arnon menekan setiap kalimatnya. Ajaibnya, Marley langsung tenang saat mendengar seruan dari Arnon. Mungkin alam bawah sadar Marley juga memberi peringatan agar tak membantah Ayah yang telah berdedikasi membesarkannya. Kini, giliran Giselle. Pandangan Arnon mengunci Giselle hingga membuat gadis itu kembali menunduk. “Ambil tasmu, aku sendiri yang akan mengantarmu pulang.” “T-tapi—” “Apa kau akan menunggu di sini sampai Marley terbangun saat esok pagi.” Giselle menggeleng, itu tak mungkin terjadi, masalahnya besok ia juga harus pergi bekerja. “Kalau begitu cepat ambil tas dan ikut aku.” titah Arnon, dia sendiri menyambar jas miliknya yang semula dilepaskan saat sedang duduk, disampirkan pada lengan tangannya. Mau tak mau, Giselle harus mengikuti Arnon yang telah berjalan pergi keluar dari ruangan. Meninggalkan kedua lelaki yang saat ini sedang mabuk. Langkah kaki Arnon cukup lebar, Giselle hampir sulit mengimbangi. “Apa benar tidak apa-apa meninggalkan mereka?” tanya Giselle saat telah masuk ke dalam lift. Arnon menoleh sekilas, “Orangku akan menjemput mereka.”Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Marley, ketika Marley baru saja membuka pintu apartemen setelah mendengar bel yang berbunyi. Mata Marley terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. Terlebih lagi terkejut siapa sosok yang berani melayangkan tamparan padanya. “Apa-apaan ini, Marley. Apa kau sepakat untuk mempermainkanku dengan Arnon.” Bella, wanita itu datang tanpa diundang membawa gema kemarahan. Bella mendorong tubuh Marley yang berdiri di tengah pintu, kemudian dia masuk tanpa menunggu persetujuan dari Marley. Bahkan tindakan tersebut lebih cepat dari respon Marley yang terkejut dengan kedatangan Bella yang tiba-tiba. “Bukankah kau mengatakan jika hari ini akan menjadi hari pernikahanmu bersama gadis yang kau cinta. Tapi apa yang kulihat hari ini?!” Bella menekan setiap protes sambil menghempaskan pantat ke sofa. Bella tidak berhenti bicara sampai disitu saja. “Aku justru harus menyaksikan pernikahan pria yang selama ini aku cinta, pria yang ku harap
Langkah Giselle menggema pelan di sebuah lorong dengan karpet merah. Di depan sana pastor sudah menunggu kedatangan pengantin untuk mengucapkan sumpah pernikahan.Setiap derap heals beradu dengan bunyi sepatu Arnon seolah menghitung detik yang tersisa sebelum hidup Giselle benar-benar berubah. Gaun itu bergerak anggun, berbeda dengan bahu Giselle yang tegang menahan ribuan pasang mata yang kini menatap penuh tanda tanya terhadapnya.Giselle sadar arti tatapan semua tamu yang memenuhi kursi sisi kanan dan kiri. Bukan hanya pada kebiasaan yang akan dilaksanakan saat sumpah pernikahan. Biasanya pengantin pria akan menanti di depan sana, tapi kini Arnon sendiri yang menggandeng tangan Giselle untuk menguatkan Giselle melangkah. Dan ya! Keheranan itu juga datang karena pengantin pria tak sama seperti bayangan mereka. Bisik-bisik mulai berhembus tanpa bisa dicegah.“Itu Giselle, kan?”“Kita tidak sedang salah masuk ke dalam gedung pernikahan orang lain, kan?“Iya, benar, kau tidak salah
Pagi datang tanpa benar-benar membawa sinar cahaya bagi Giselle.Ia berdiri di depan cermin tinggi masih di dalam kamar dengan nuansa yang sama. Tubuh ramping miliknya sudah terbalut gaun pengantin berwarna gading. Kainnya jatuh sempurna mengikuti lekuk badan Giselle yang ramping. Belum lagi ditambah renda halus menghiasi bahu hingga sebatas dada, seolah gaun itu diciptakan khusus hanya untuk menjadikan ratu bagi Giselle. Namun … pantulan di cermin nampak terasa asing.Perempuan di dalam kaca itu terlihat cantik dan anggun secara bersama. Terlalu cantik untuk seseorang yang semalam hancur berkeping-keping karena sebuah pengkhianatan. Sisa malam bahkan tidak membuat Giselle merasakan ketenangan sama sekali. Ia benar-benar tidak bisa terlelap dalam tidur di sisa malam. ‘Apa keputusan ini sungguh benar?’ ia sedang bertanya pada hatinya sendiri. Mungkin lebih tepatnya, bisa disebut bertarung pada keputusan yang telah diambil dengan terburu-buru. Jari lentik dengan nail art itu naik
“Tolong, bawa aku pergi.” pinta Giselle menghiba. Permintaan tersebut membuat Arnon menatap Giselle cukup lama. Sorot mata Arnon juga tak berubah, tetap dingin, tetap tegas namun ada sesuatu yang mengeras di rahangnya.Bukan ragu melainkan keputusan yang diambil dalam benaknya.“Baik,” ucap Arnon singkat.Satu kata yang terlontar dari Arnon sudah cukup membuat Marley kehilangan kendali.“Ayah!” seru Marley tak sadar membentak, “Ayah tidak bisa—” dia ingin mengajukan protes namun, Arnon lebih cepat memotong. “Kau sudah terlalu banyak bicara malam ini,” potong Arnon tanpa menoleh. “Dan sudah terlalu banyak menyakiti.”Arnon meraih bahu Giselle saat mengatakan hal tersebut, bukan dengan rangkulan kasar, bukan pula dengan kelembutan yang berlebihan. Pegangan Arnon stabil, meyakinkan seolah berkata ‘Giselle aman sekarang.“Aku akan membawamu pergi,” kata Arnon lagi pada Giselle sambil melirik sekilas pada Marley.Mendengar hal tersebut, Marley yang tidak terima lantas melangkah untuk m
"Nona Sofia memang sedang hamil saat ini. Tapi kami sangat menyayangkan bahwa bayi dalam kandungan Nona Sofia tidak bisa diselamatkan. Saya menemukan bahwa Nona Sofia sering mengkonsumsi minuman keras ditambah lagi dengan tekanan yang baru saja beliau alami, membuat kandungannya lemah dan tak mampu dipertahankan." Penjelasan dokter tersebut terasa mendengungkan telinga Giselle. Keterangan tersebut bukan membuat Giselle iba namun, justru membuat Giselle semakin terhantam oleh fakta mengenai Sofia yang memang sedang hamil saat ini. Tubuh Giselle lemas tak bertenaga, matanya memanas karena telah berkaca-kaca oleh genangan air mata. Kenapa mereka harus begitu tega. Apa salahnya selama ini? Giselle bertanya-tanya mengenai kekurangan pada dirinya sendiri hingga harus mendapatkan penghianatan dari orang terdekat. "Giselle, ini bukan salahmu." Septia— dia yang selalu setia mendampingi Giselle kini mengusap punggung Giselle untuk menenangkan
"Aku sungguh tidak tahu apa salah Sofia. Kenapa Sofia harus diincar oleh mereka. Apa motif mereka melakukan hal kejam seperti ini." Giselle mengeluh, dia meremas kedua tangan yang telah dingin saat berdiri di lorong panjang rumah sakit.Giselle yang ditemani oleh Septia, kini masih menunggu Sofia yang diperiksa oleh dokter saat sahabatnya itu tidak sadarkan diri beberapa menit yang lalu.Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Malam semakin merangkak naik hingga menyentuh waktu tengah malam, sementara pernikahan Giselle tetap menanti esok hari. Namun masih tidak ada tanda-tanda kapan ia bisa kembali ke hotel. "Giselle, tenangkan dirimu. Dari pada kau berjalan kesana kemari tak tentu. Lebih baik duduk saja dengan tenang dan tunggu dokter yang memeriksa Sofia keluar." kata Septia, saat tak tahan melihat Giselle yang tak berhenti berjalan kesana kemari dengan gelisah. "A-aku tidak bisa tenang, Septia.""Ingat, besok kamu juga harus menikah. Malam ini, kamu justru berakhir di







