Share

Tuan Egois Dan Putri Kertas
Tuan Egois Dan Putri Kertas
Penulis: angeelintang

Chapter 1

Surabaya, 2016

“Apa yang kamu inginkan sekarang?”

Gadis cantik yang tengah memandang ke luar jendela kafe itu menoleh ke samping. Dia menatap kekasih yang sudah menemaninya selama 10 bulan itu dengan sorot sedih. Dia mencengkeram ujung meja dengan erat sampai membuat jari-jarinya memutih. Rahangnya mengerat menahan sesak yang seakan-akan siap meledak kapan saja.

“Aku ingin hubungan kita selesai sampai di sini.”

Bian melebarkan matanya. Hanya sebentar saja sebelum kemudian dia kembali memasang wajah dingin dan tidak terbaca. Pemuda itu mengambil gelas es kopi susu di depannya dan memilih meminumnya dengan pelan dan terlihat begitu santai di mata Fio.

“Apa kamu mendengarku?” Fio menatap Bian dengan tajam.

“Ya,” Bian mengangguk. “Mau bagaimana lagi kalau itu yang kamu inginkan?” pemuda itu mengambil tasnya.

“Maksud kamu?” mata gadis itu berkedip tidak percaya.

Bian berdiri dari duduknya dan memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana dengan panjang selutut itu. “Ayo kita akhiri semuanya sampai di sini,” Bian berkata dengan nada terlewat tenang.

Fio ikut berdiri dan menatap Bian tidak percaya. “Ka…kamu…” Fio tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan Bian karena lidahnya terasa kelu.

Bian menatap jam tangannya dan menganggukkan kepalanya. “Aku harus pergi,” katanya dengan tanpa senyuman. “Jaga dirimu baik-baik,” tanpa berkata lebih panjang lagi Bian melangkahkan kakinya pergi dari hadapan Fio.

Fio mematung di tempatnya berdiri seolah-olah yang baru saja terjadi adalah sebuah mimpi buruk untuknya. Matanya menatap kepergian Bian dengan nanar. Lapisan bening sudah menghiasi matanya. Tubuhnya terasa lemas hingga membuat kakinya seperti sulit untuk di gerakkan. Sampai sosok Bian pergi mengendarai motornya meninggalkan parkiran kafe, Fio masih betah berdiri di tempatnya dengan hati yang terbelah.

***

Hari sudah berganti malam ketika Fio tiba di rumahnya. Tidak ada binar di matanya seperti biasa. Gadis itu sudah memasang wajah muram sejak turun dari sepeda kesayangannya. Dia memilih langsung menuju ke kamarnya. Fio tidak memiliki kekuatan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sekarang. Tidak ada yang baik-baik saja bahkan gadis itu rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok karena rasa frustasinya terhadap Bian yang jauh dari dugaannya.

Fio melemparkan tas ranselnya ke atas ranjang begitu dirinya masuk ke dalam kamar. Dia juga membanting pintu dengan sekuat tenaga. Matanya memerah dan dadanya sudah naik turun akibat tangis yang sejak tadi sudah dia coba tahan dengan sekuat tenaga. Punggungnya bersandar pada pintu. Tubuhnya merosot ke bawah tanpa aba-aba. Fio menangis dengan suara tertahan dengan tangan kanannya yang sudah meremas dada dengan kuat.

“Sakit sekali,” ucapnya sambil terisak lirih.

Fio memukul-mukul dadanya untuk mengusir semua rasa sakit yang menggelayuti dirinya sejak Bian pergi begitu saja dari kafe meninggalkan dirinya sendirian. Fio menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya dan terus menangis. Sesak yang dia rasakan tidak juga mau pergi. Fio kewalahan dengan luka yang Bian beri di hatinya.

“Kamu berkata kalau kamu sayang padaku tapi dengan mudahnya kamu pergi begitu saja, sebenarnya selama ini apa arti aku di hidup kamu, Bi? Apa?!” Fio bermonolog.

Sunyi yang terasa dan dinginnya lantai kamar membuat Fio semakin menggigil dalam tangisnya. Dia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Kepalanya mendongak dan matanya menatap nyalang ke arah meja belajar yang terletak di samping jendela kamarnya. Fio mengepalkan tangannya dengan kuat dengan rahang yang mengetat.

Gadis itu berdiri dan berjalan dengan cepat. Lalu, dengan tangan kanannya dia meraih pigura kecil yang berisi foto sepasang anak SMA yang sedang tertawa menghadap kamera. Manis sekali. Fio tersenyum miring. Dengan cepat dia mengeluarkan selembar foto yang selalu menjadi favoritnya itu dari pigura. Tangannya bergetar hebat.

“Baiklah,” dia mengusap air matanya dengan kasar. “Ayo kita akhiri saja semuanya ini,” Fio kemudian merobek selembar foto di tangannya dengan perasaan marah dan hancur.

Dia kemudian membuang foto yang sudah tidak berbentuk itu ke dalam tempat sampah yang berada di samping meja belajarnya. “Mari kita berjalan sendiri-sendiri mulai sekarang,” Fio kembali mengusap air matanya yang kembali meluncur bebas ke pipinya.

Dengan langkah kesal, dia berjalan menuju ke kamar mandi. Dia butuh berendam air hangat untuk menghilangkan segala rasa lelah di tubuhnya. Fio tidak lagi menangisi sosok Bian. Gadis itu sudah terlihat seperti zombie sekarang. Dengan cekatan Fio mengambil bath bom dengan aroma lavender yang menenangkan. Dengan pelan dia masuk ke dalam bath up dan mencoba bersantai sejenak.

Suasana taman di dekat sekolah Bian sore itu tidak terlalu ramai seperti biasanya. Angin sepoi-sepoi kembali menerbangkan anak rambut Fio yang terlepas dari kuncirannya. Fio terlihat sangat cantik di bawah terpaan matahari yang bersinar hangat. Bian tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu sejak semalam. Inilah saatnya, dia tidak akan menahan diri lagi.

 “Aku menyukaimu,” Bian berkata dengan wajah berbinar.

Fio melebarkan matanya. Dia hendak mengeluarkan sebuah kalimat tapi dengan cepat tangan Bian terangkat dan memberikan kode supaya Fio tidak memotong ucapannya. Bian tersenyum. Satu tangannya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Fio dengan pelan.

“Kamu tahu Fi? Aku sudah lama menyukaimu tapi aku tidak pernah berani mengatakannya,” Bian meraih tangan Fio dan menggenggamnya. “Aku selalu memikirkan bagaimana jadinya kalau kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku, tapi…” Bian kembali tersenyum. “Setelah aku pikir-pikir lagi semalam, setidaknya kalau kamu menolakku, tidak akan ada penyesalan karena aku sudah bertindak benar dengan mengatakan cinta padamu,” Bian menelan salivanya dengan tenang.

Fio merasa jantungnya berlomba saat itu juga. Detakan yang berubah dua kali lipat membuat gadis itu merasa tegang menanti apa yang akan dikatakan oleh Bian selanjutnya. Fio memasang kedua telinganya dengan baik. Dia tidak ingin salah menangkap maksud Bian. 

“Jadi kekasihku ya, Fi?” Bian menatap Fio dengan sorot mata serius.

Fio mengedipkan matanya sekali. Mulutnya sedikit terbuka. Dia merasa banyak sekali bunga-bunga yang akhirnya bermekaran di dadanya. Rasa menggelitik yang membuat hatinya membuncah membuat Fio menganggukkan kepalanya dengan mantap. Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman yang membuat Bian menghembuskan nafasnya lega.

“Terima kasih,” kata Bian tulus.

Fio mengangguk. “Aku juga harus mengucapkan banyak terima kasih kepadamu karena kamu mau memilihku,” Fio tidak bisa menyembunyikan binar bahagia di matanya.

“Tidak susah untuk mencintai dan memilihmu, Fi.”

Fio tertawa. “Kamu berbohong, kamu bahkan memerlukan waktu beberapa bulan sampai berani mengatakan ini semua kepadaku,” Fio memukul pelan bahu Bian.

Bian menggelengkan kepalanya. “Bukannya tidak berani, hanya memastikan rasa yang aku miliki memang untuk kamu, aku tidak mau hanya karena rasa euphoria semata aku jadi mudah mengatakan cinta dan meminta anak gadis orang untuk menjadi kekasihku,” Bian menyanggah dengan mata yang menatap Fio lekat.

“Ckh!” Fio melemparkan tatapannya ke arah lain sejenak sebelum kemudian kembali menatap Bian yang duduk di sampingnya dengan seragam basket sekolah yang masih melekat. “Apapun itu aku tidak akan peduli lagi, mari kita mulai semuanya dari awal, Bi?” Fio tersenyum lebar.

Bian mengangguk. “Hmm, mari menyambut banyak hari baik mulai saat ini, Fi, berjanjilah apapun yang terjadi kita harus saling mempertahankan,” ucap Bian.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
hada Hada
lho ..yg minta putus hubungan siapa..kok malah fio yg nangis kejer aneh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status