Share

Chapter 2

“Ada apa dengan matamu?”

Fio terus berjalan tanpa mau menoleh ke sampingnya. Rey yang sejak tadi sudah seperti penguntit karena mengikuti Fio kemanapun gadis itu pergi hanya mampu menghela nafasnya lagi dan lagi.

“Fi?” Rey menarik tangan Fio.

Gadis itu akhirnya mau menatap wajah Rey meskipun hanya dengan tatapan datar. “Apa kamu tidak dengar apa yang aku katakan ketika di rumah tadi? Aku ingin sendiri, kenapa kamu tidak mengerti juga?” Fio menatap Rey dengan tajam.

“Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu,” Rey melepaskan tangan Fio.

“Setelah ini kita bicara, tapi tolong biarkan aku memilih buku terlebih dahulu, kalau kamu bosan mengikutiku, kamu bisa menunggu di bangku dekat kasir sana,” kata Fio sambil menunjuk bangku yang berada di depan kasir dengan jari telunjuknya.

“Oke,” Rey mengangguk.

Pemuda itu memutar tubuhnya dan berjalan menuju bangku yang tadi ditunjuk oleh Fio. Sedangkan Fio, gadis itu sepertinya terlalu asyik memilih buku bahkan sampai setengah jam lamanya. Rey menggerakkan jari-jarinya di atas ponsel pintarnya. Sejak tadi dia hanya bermain game untuk membunuh waktu yang terasa lambat berjalan.

“Ckh! Lama sekali!” Rey mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana jeans yang dia kenakan.

Dia berjalan untuk mencari keberadaan Fio. Matanya menatap ke sekitar toko buku yang dia hafal menjadi tempat favorit Fio untuk membeli buku atau komik. Nafasnya lolos ketika matanya menangkap sosok yang terlihat dari belakang sedang sibuk membawa beberapa buku di tangannya. Rey setengah berlari menghampiri Fio.

“Fi?”

Gadis itu menoleh ke belakang kala namanya di panggil. “Aku sudah selesai, maaf kamu harus menunggu lama, pasti sangat membosankan,” Fio menatap Rey dengan kerutan di dahinya.

Rey tersenyum dan menggeleng. “Tidak masalah, ayo kita ke kasir, aku traktir beli buku-buku ini,” tanpa permisi Rey langsung mengambil buku-buku dari tangan Fio.

Fio terbelalak. “Eh? Tidak perlu Rey, aku bisa membayarnya sendiri,” Fio mencoba meraih kembali buku-buku yang sudah berada di tangan Rey.

“Aku tidak mau,” Rey memilih terus berjalan dan menghindari tangan Fio yang hendak meraih buku-bukunya.

Fio menghentikan langkahnya dan menghela nafasnya dalam. “Rey aku sedang tidak ingin bercanda sekarang,” Fio menatap punggung Rey dengan wajah kesalnya.

Rey menoleh ke belakang dan hanya tersenyum sekilas sebelum kemudian kembali berjalan menuju ke arah kasir. Pundak Fio merosot ke bawah. Bibirnya sudah seperti siap untuk mengomeli Rey namun dia urungkan. Pegal di matanya belum juga hilang dan dia tidak memiliki banyak tenaga untuk marah hari ini. Fio kemudian memilih diam dan berjalan menyusul Rey yang nampaknya sudah melakukan transaksi di kasir.

***

“Kamu ingin bicara apa?”

Fio mengambil gelas dari atas meja dan meminum milkshake vanila yang tadi sudah dia pesan. “Dan bisakan kamu hentikan tatapanmu itu kepadaku?” Fio memutar bola matanya malas kemudian meletakkan gelasnya dengan sedikit hentakan.

Rey menaikkan satu ujung bibirnya ke atas. “Apa Bian menyakitimu?” Rey bertanya dengan nada meremehkan.

“Bukan urusanmu!” Fio menajamkan matanya seakan-akan seperti pedang yang siap menghunus Rey saat itu juga.

Rey mengangkat bahunya acuh. “Menjadi urusanku jika itu semua tentang kamu,” jawabnya santai.

Fio mengerutkan keningnya dalam. “Apa maksudmu?” Fio terdengar bingung.

“Bisakah kamu bersamaku sekarang?” tanya Rey dengan nada serius.

Fio melemparkan tatapannya ke arah jalanan. “Apa Bian mengabarimu kalau kami sudah putus?” tanya Fio tanpa mau repot-repot menatap Rey.

Rey menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk satu garis lurus. Matanya sibuk memindai sosok gadis yang sudah cukup lama menarik perhatiannya. Rey menganggukkan kepalanya kemudian kembali menyesap mocca yang masih cukup panas dengan pelan.

“Aku tidak bisa,” Fio menatap ke arah gelasnya.

Rey meletakkan cangkirnya kemudian bersedekap. “Kenapa?”

“Aku belum siap untuk memulai lagi, kami baru saja putus kemarin dan kamu sudah memintaku untuk bersamamu,” Fio tersenyum miring. “Akalmu sudah hilang?” Fio mengambil ponselnya yang berada di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas.

Rey mengetukkan jari telunjukkan ke atas meja dan masih setia mengamati perubahan raut wajah Fio. “Kenapa kamu harus marah seperti ini?” tanya Rey.

“Aku tidak marah, hanya malas dengan semua ini,” gadis itu bersiap memakai tasnya dan hendak berdiri.

“Tunggu!” Rey memegang pergelangan tangan Fio.

“Aku tidak punya banyak waktu, sudah hampir jam enam sore dan aku harus sampai di rumah sebelum mamaku pulang arisan,” Fio menarik tangannya supaya terlepas dari genggaman Rey.

“Aku minta maaf kalau kamu merasa ini semua tidak tepat pada waktunya tapi aku harus segera pergi dan aku ingin kamu jadi milikku sebelum hari itu tiba,” Rey melepaskan tangan Fio dengan wajah penuh harap.

Fio menghela napasnya dalam. “Memangnya kamu mau kemana?” tanyanya.

Rey menahan senyuman di bibirnya. “Aku di terima kuliah di Jogja,” jawabnya.

“Baiklah kalau begitu,” Fio menganggukkan kepalanya. “Fokuslah dengan pendidikanmu dan aku juga dengan pendidikanku, maaf aku tidak bisa menerimamu, kamu tahu semuanya ini terlalu mendadak bagiku,” Fio berhenti sejenak untuk mengambil banyak oksigen. “Kamu juga pasti paham kalau aku masih mencintai temanmu yang bodoh itu!” Fio mengeratkan kepalan tangannya di bawah meja.

Rey tersenyum kecut. “Oke, Bian memang sangat luar biasa,” dia menganggukkan kepalanya. “Terima kasih untuk waktumu, setidaknya kamu mau menemaniku minum mocca,” Rey mengambil cangkirnya dan mengangkatnya ke depan.

Fio hanya diam. Gadis itu mengamati wajah Rey yang terlihat sangat tenang dan juga sama sekali tidak terprovokasi. Fio kemudian meminum milkshake-nya hingga tersisa setengah gelas.

“Bisakah kita tetap berteman baik?” Rey bertanya.

“Tentu saja! Kita bisa tetap berteman baik,” Fio akhirnya tersenyum dengan menunjukkan gigi-giginya yang rapi dan bersih. “Kalau begitu aku pergi dulu, terima kasih traktirannya dan sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menerimamu,” Fio berkata dengan nada sungguh-sungguh.

Rey tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Aku mengerti, butuh waktu untukmu supaya bisa menyadari kehadiranku,” Rey menatap manik mata Fio dengan lekat. “Ayo aku antar kamu pulang!” Rey berdiri dan berjalan lebih dulu.

Dengan helaan nafas beratnya, Fio ikut berdiri dengan sedikit terburu-buru dan berjalan cepat menyusul Rey. Fio mengayuh sepedanya dengan wajah yang mata yang jelas sekali masih terlihat bengkak. Sementara Rey mengikutinya dari belakang dengan motor matic-nya. Pemuda itu tersenyum bodoh, dia bahkan rela menunggu Fio selama satu jam di depan kompleks perumahan sampai Fio keluar dengan sepedanya. Rey mengikuti Fio sampai ke toko buku dari kejauhan dan sore ini dirinya kembali mengikuti Fio untuk memastikan Fio pulang dengan selamat. Rey memang sudah gila!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status