Fio meletakkan ponselnya ke atas meja belajarnya dengan asal. “Bodoh! Rasa penasaranmu hanya akan membuatmu banyak berharap dan sakit di waktu yang sama, Fi!” dia berbicara sendiri.
Jarinya membolak-balik halaman novel yang sedang di bacanya. Bahkan dia tidak bisa mencerna semua kalimat yang sudah John Green sajikan dengan baik di novel itu. Fio mendorong tubuhnya ke belakang sehingga punggungnya bisa bersandar dengan nyaman. Helaan napas terdengar lolos begitu saja dari mulutnya.
Tangannya mengusap wajahnya yang terasa lengket karena efek belum mandi. Fio menggigit bibirnya dengan tangan yang sudah hampir meraih kembali ponselnya. Sebelum tangannya berhasil menyentuh layar ponselnya, Fio kembali menariknya dengan cepat sambil menggelengkan kepalanya. Dia berdiri dan berkacak pinggang. Gadis itu berjalan kesana-kemari sambil menimbang-nimbang apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
“Masa bodoh! Aku harus mencobanya, kan?”
Fio kemudian berjalan kembali ke arah meja belajarnya dan dengan cepat meraih ponselnya. Keraguan yang sempat tersemat di wajahnya kini sudah dia buang jauh-jauh. Jemarinya menari di atas layar ponselnya dengan lihai. Setelah berhasil mengirimkan pesan yang baru saja di ketiknya, Fio menghembuskan napasnya dengan penuh penekanan seolah-olah rasa lega telah dia dapatkan.
“Centang satu?” alis Fio terangkat kala matanya kembali fokus pada layar ponselnya. “Ckh!” dia berdecak dan hampir menangis.
***
Fio berjalan dengan pelan menuju ke restoran cepat saji yang dulu menjadi salah satu tempatnya bertemu dengan Bian. Dia mengamati pelayan-pelayan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Fio menelan salivanya dengan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergap.
“Maaf, bisakah saya bertanya sesuatu?”
Pelayan yang sedang membawa sebuah nampan dengan bungkus makanan dan gelas-gelas sekali pakai di atasnya berhenti di depan Fio dan tersenyum ramah. “Oh, ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan dengan nametag bertuliskan Nana.
“Saya mencari Bian,” jawab Fio dengan mata yang sejenak menatap ke arah counter di mana biasanya Bian berdiri dan melayani customer.
“Mas Fabian?” tanya Nana dengan sopan.
Fio mengangguk dan tersenyum. “Iya, Fabian mbak.”
“Mas Bian sudah resign kak.”
Fio terdiam dengan mata yang terlihat terbelalak. “Resign? Sejak kapan ya, mbak?” tanya Fio dengan kerutan di dahinya.
“Satu minggu yang lalu mas Bian sudah lastday, kak.”
Fio menelan salivanya dengan kepayahan. “Oh begitu, terima kasih banyak ya, mbak.” Fio menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih dan kesopanan.
“Sama-sama kak, kalau begitu saya permisi,” pelayan bernama Nana itu kemudian berjalan meninggalkan Fio yang berdiri dengan kaki yang terasa lemas.
“Huh!” Fio menghembuskan napasnya dengan penuh tekanan. “Aku tidak banyak tahu tentang kamu, Bi.”
Wajah yang terlihat tidak bersinar itu kemudian menunduk dan dengan langkah gontai Fio berjalan meninggalkan restoran cepat saji dengan perasaan yang campur aduk. Dadanya berdetak dengan lemah. Sesak yang tidak dia inginkan kembali hadir tanpa permisi. Fio berjalan menuju sepedanya yang di parkir di halaman restoran cepat saji itu.
Sekali lagi, dia menoleh ke belakang dan mengamati tempat yang dulu menjadi salah satu tujuannya ketika rasa ingin bertemu dengan Bian tidak bisa di tahan lagi. “Aku rindu, Bi.”
Fio mengedipkan matanya sambil mulai mengayuh sepedanya dengan pelan. Dia bisa merasakan pandangannya mulai mengabur. Dia menatap langit malam yang gelap tapi penuh dengan bintang. Pipinya terasa hangat oleh air mata yang mengalir dengan mulusnya. Fio membiarkannya begitu saja. Perasaan kehilangan yang hadir dengan lebih kuat kali ini membuat Fio kewalahan.
Fio terus mengayuh sepedanya sambil terus menangis. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Isakannya lolos begitu saja tanpa bisa dirinya cegah. Sesak di dadanya tidak kunjung mereda meskipun dia sudah menuruti egonya untuk menangis kali ini. Waktu tidak bisa dia putar ulang dan kehidupannya harus tetap berjalan. Tapi, bagaimana dengan hatinya yang bahkan semakin hari semakin parah. Sejak putus dari Bian, rindu yang menjejali dadanya semakin menumpuk dan tidak terkendali lagi.
***
“Dari mana, Fi?”
Fio tidak menghiraukan pertanyaan mamanya. Dia memilih berjalan cepat menuju kamarnya. Fio mengunci pintu dan segera menuju ke arah meja belajarnya. Dia meraih toples kecil yang di dalamnya terdapat banyak sekali bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas. Gadis itu duduk di lantai dan membuka tutup toples dengan banyaknya harapan yang dia ucapkan di dalam hati.
Fio menuang semua isinya dan mulai menatap tumpukan bintang-bintang kertas itu. Tanpa pikir panjang lagi, Fio mengambil satu bintang dan membukanya. Kosong. Dia kembali membuka bintang yang lain. Kosong. Sampai sudah banyak bintang yang dia buka tapi hasilnya semuanya kosong. Fio mulai ragu kala mengambil bintang yang selanjutnya.
Dia menelan salivanya dengan rasa tercekat. Tangannya membuka bintang kertas itu dengan pelan. Helaan napas lega lolos begitu saja kala dia menemukan sebuah kalimat yang mirip seperti alamat rumah. Fio menenangkan debar jantungnya yang terasa membuncah kala menemukan kepingan asa di antara bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas beraneka warna tersebut.
“Jalan Kertajaya, Gubeng.”
Fio membaca kalimat yang berada di dalam kertas tersebut sambil mengerutkan keningnya dalam. “Kenapa selama ini tidak pernah terpikir kalau Bian meninggalkan sesuatu di antara bintang-bintang itu?” Fio merutuki kebodohannya di dalam hati.
Dia menyimpan kertas itu ke dalam tasnya dan membereskan bintang-bintang yang lain. Fio berjalan keluar kamarnya dengan wajah yang sudah tidak kusut lagi. Gadis itu segera menuju ke meja makan dan duduk dengan wajah sumringah.
“Kamu kenapa?” Rahma yang masih duduk di meja makan sambil memotong-motong buah menatap putrinya heran.
Fio tersenyum. “Fio baik-baik saja ma, tadi Fio hanya sedang ingin segera sampai ke kamar mandi,” jawabnya.
“Mama kira kenapa,” Rahma menghela napas lega. “Eh Fi, sudah lama sekali Bian tidak kesini, dia jadi kuliah dimana sekarang?” Rahma terlihat sibuk dengan kegiatannya memotong-motong buah tanpa melihat perubahan ekspresi yang di tunjukkan oleh Fio.
“Eumm…” Fio menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Fio tidak tahu ma, nanti Fio tanya kalau ketemu Bian,” jawabnya.
“Memangnya kalian sudah tidak pernah ketemu, ya?” Rahma tidak menyerah.
Fio menelan salivanya yang terasa sangat sakit di tenggorokannya. “Kami sama-sama sibuk jadi tidak ada waktu untuk bertemu,” Fio menatap piring di depannya yang masih kosong.
“Kalian baik-baik saja, kan?” Rahma sepertinya tidak akan berhenti bertanya selagi Fio masih berada di sana.
Fio berdiri dan mengisi piringnya dengan makanan tanpa menatap mamanya. “Kami baik-baik saja,” jawabnya tanpa beban.
Fio memilih membawa piring yang sudah dia isi dengan nasi, sayur serta lauk pergi dari meja makan. Rahma yang tersadar langsung menoleh ke belakang dan melihat punggung Fio yang sudah menjauh menuju ruang TV. Wanita yang masih nampak ayu itu menggelengkan kepalanya.
“Fio?”Gadis cantik yang sedang berdiri dengan satu tangan memegang tali tas selempangnya itu menatap Rey dengan tatapan penuh harapannya. “Apa kamu tahu kemana Bian? Tolong bantu aku, Rey!” tanpa berbasa-basi Fio bertanya dan memohon.Rey berjalan mendekat dan meraih pergelangan tangan Fio. Dia membawa Fio pergi dari lapangan basket sekolahnya.“Lepaskan aku, Rey!” Fio menarik tangannya.Gagal. Rey lebih kuat dari dirinya. Fio menghela nafasnya dalam dan berjalan dengan malas mengikuti kemana Rey pergi.“Kita bicara di tempat lain,” kata Rey tegas.“Sudah! Lepaskan aku! Aku hanya minta bantuanmu, kalau kamu tidak bisa bilang saja!” Fio setengah berteriak.“Di lapangan banyak orang, apa kamu tidak bisa lihat?” Rey melepaskan tangan Fio begitu mereka sampai di koridor kelas yang sepi.Fio menatap Rey dengan wajah memerah. “Aku tidak peduli! Aku kesini
Fio menatap bangunan rumah sederhana di depannya dengan wajah tenang. Gadis itu melangkah menuju gerbang rumah yang tidak terlalu tinggi. Matanya kemudian mencari-cari bel yang mungkin bisa dirinya gunakan untuk membuat di empunya rumah tahu bahwa ada tamu di luar. “Cari siapa dek?” Fio terlonjak kaget. Dia kemudian memutar tubuhnya dan menatap seorang ibu yang membawa tas belanja berisi banyak sayuran. Fio tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk kesopanan. “Maaf, apa benar ini rumahnya Fabian, bu?” Fio bertanya dengan senyuman yang sudah terpasang lebar di bibirnya. “Benar, ini rumahnya Fabian, adek siapa ya?” ibu itu berjalan pelan dan membuka pagar rumah. “Ibunya Bian?” batin Fio. “Saya Fio bu, temannya Bian,” jawab Fio sopan. “Oh saya Ningsih, ibunya Bian.” “Benar kan!” Fio bersorak dalam hati. “Ayo masuk dulu dek,” ajak Ningsih sambil berjalan lebih dulu masuk ke ha
Surabaya, 2015“Kita mampir ke Yellow Burger dulu, yuk?” Nola terlihat memandang ke arah teman-temannya satu per satu yang tergabung dengan nama grup tari Dream Machine.“Pasti ada promo kalau ratu Nola sudah bersabda,” sahut Alvin cepat.“Iya, ada promo,” Nola tertawa.Fio baru saja selesai latihan menari dengan teman-temannya. Dia memutuskan untuk ikut karena kebetulan letak restoran tersebut se arah dengan jalan pulang ke rumahnya. Fio datang lebih dulu dari teman-temannya yang lain.“Mereka belum kelihatan juga,” Fio bergumam dengan kepala yang sudah celingukan ke arah parkiran.Tidak lama berselang, nafas lega lolos begitu saja dari mulutnya begitu melihat teman-temannya. Nola dan Nessa menghampirinya sedangkan Alvin dan Rafa berjalan menuju meja kosong yang terletak di pojok belakang, tepat di samping jendela.Fio tersenyum lebar k
Surabaya, 2015Fio dan teman-temannya berdiri membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala mereka. Berdoa adalah salah satu cara supaya mereka tetap bisa mengontrol segala rasa tegang yang melanda tiada ampun. Apalagi waktu yang tersisa sebelum tampil hanya tinggal sepuluh menit lagi. Setelah itu mereka melakukan high five untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dan juga semangat dalam diri mereka masing-masing.Fio dan teman-temannya memasuki lapangan basket ketika nama grup mereka, Dream Machine dipanggil oleh pembawa acara. Suara riuh penonton yang bertepuk tangan dan menyorakkan nama grup mereka menggema dan membuat hormon adrenalin di dalam tubuh Fio seketika melonjak naik dengan cepat.Mereka kemudian mengambil posisi awal sebelum tarian mereka dimulai. Saat musik terdengar di telinga mereka, Fio dan teman-temannya bergerak mengikuti irama lagu. Setiap beat dalam lagu
Bibirnya tersenyum tertahan kala sebuah kalimat yang baru saja di tulisnya. Semua idenya datang dari kalimat seorang siswi yang cukup populer di sekolahnya. Dia duduk di bangku sebelah kanan Fio.Kenapa hatimu terluka?Kenapa senyummu menghilang?Kenapa sendu bergelayut di matamu?Mawar tidak pernah berniat menyakitiDia hanya sedang melindungi dirinya sendiriFio segera menutup buku catatannya dan mengantongi pena yang dibawanya. Pesanannya sudah datang. Fio tersenyum lebar kala bau bakso tercium di hidungnya. Sangat menggugah selera dan seketika perutnya semakin terasa lapar. Fio segera memakan makan siangnya seorang diri. Nadya masih saja sibuk dengan Dio sampai Fio lupa bahwa sekarang jarak di antara mereka berdua memang sudah sangat terasa.Sepulang sekolah, Fio berjalan seorang diri di sebuah toko buku yang terletak di jalan yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Toko buku yang
Fio bergegas pergi ke dalam kamarnya dan menatap layar ponsel yang disana terdapat nomor serta nama Bian. Fio menggigit bibirnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menggenggam ponselnya dengan kerutan di dahinya.“Apa aku nanti akan terlihat sangat agresif?” Fio menggigit bibir bawahnya.Sambil merapal doa di dalam hatinya, Fio kemudian kembali menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.“Hai, ini aku Fio.” Hanya itu yang Fio sanggup kirimkan untuk Bian.Gadis itu terdengar menghembuskan nafas dalam. Fio segera meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Fio mengulang satu kalimat sebanyak tiga kali tapi tetap saja dirinya tidak berhasil membuat dirinya sendiri paham dengan materi yang sedang dipelajarinya.Fio menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya melirik ke arah ponsel yang sampai lima belas menit berlalu sama sekali belum ada respon dari pemuda y
“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi s
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio