Share

Chapter 3

Fio meletakkan ponselnya ke atas meja belajarnya dengan asal. “Bodoh! Rasa penasaranmu hanya akan membuatmu banyak berharap dan sakit di waktu yang sama, Fi!” dia berbicara sendiri.

Jarinya membolak-balik halaman novel yang sedang di bacanya. Bahkan dia tidak bisa mencerna semua kalimat yang sudah John Green sajikan dengan baik di novel itu. Fio mendorong tubuhnya ke belakang sehingga punggungnya bisa bersandar dengan nyaman. Helaan napas terdengar lolos begitu saja dari mulutnya.

Tangannya mengusap wajahnya yang terasa lengket karena efek belum mandi. Fio menggigit bibirnya dengan tangan yang sudah hampir meraih kembali ponselnya. Sebelum tangannya berhasil menyentuh layar ponselnya, Fio kembali menariknya dengan cepat sambil menggelengkan kepalanya. Dia berdiri dan berkacak pinggang. Gadis itu berjalan kesana-kemari sambil menimbang-nimbang apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

“Masa bodoh! Aku harus mencobanya, kan?”

Fio kemudian berjalan kembali ke arah meja belajarnya dan dengan cepat meraih ponselnya. Keraguan yang sempat tersemat di wajahnya kini sudah dia buang jauh-jauh. Jemarinya menari di atas layar ponselnya dengan lihai. Setelah berhasil mengirimkan pesan yang baru saja di ketiknya, Fio menghembuskan napasnya dengan penuh penekanan seolah-olah rasa lega telah dia dapatkan.

“Centang satu?” alis Fio terangkat kala matanya kembali fokus pada layar ponselnya. “Ckh!” dia berdecak dan hampir menangis.

***

Fio berjalan dengan pelan menuju ke restoran cepat saji yang dulu menjadi salah satu tempatnya bertemu dengan Bian. Dia mengamati pelayan-pelayan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Fio menelan salivanya dengan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergap.

“Maaf, bisakah saya bertanya sesuatu?”

Pelayan yang sedang membawa sebuah nampan dengan bungkus makanan dan gelas-gelas sekali pakai di atasnya berhenti di depan Fio dan tersenyum ramah. “Oh, ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan dengan nametag bertuliskan Nana.

“Saya mencari Bian,” jawab Fio dengan mata yang sejenak menatap ke arah counter di mana biasanya Bian berdiri dan melayani customer.

“Mas Fabian?” tanya Nana dengan sopan.

Fio mengangguk dan tersenyum. “Iya, Fabian mbak.”

“Mas Bian sudah resign kak.”

Fio terdiam dengan mata yang terlihat terbelalak. “Resign? Sejak kapan ya, mbak?” tanya Fio dengan kerutan di dahinya.

“Satu minggu yang lalu mas Bian sudah lastday, kak.”

Fio menelan salivanya dengan kepayahan. “Oh begitu, terima kasih banyak ya, mbak.” Fio menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih dan kesopanan.

“Sama-sama kak, kalau begitu saya permisi,” pelayan bernama Nana itu kemudian berjalan meninggalkan Fio yang berdiri dengan kaki yang terasa lemas.

“Huh!” Fio menghembuskan napasnya dengan penuh tekanan. “Aku tidak banyak tahu tentang kamu, Bi.”

Wajah yang terlihat tidak bersinar itu kemudian menunduk dan dengan langkah gontai Fio berjalan meninggalkan restoran cepat saji dengan perasaan yang campur aduk. Dadanya berdetak dengan lemah. Sesak yang tidak dia inginkan kembali hadir tanpa permisi. Fio berjalan menuju sepedanya yang di parkir di halaman restoran cepat saji itu.

Sekali lagi, dia menoleh ke belakang dan mengamati tempat yang dulu menjadi salah satu tujuannya ketika rasa ingin bertemu dengan Bian tidak bisa di tahan lagi. “Aku rindu, Bi.”

Fio mengedipkan matanya sambil mulai mengayuh sepedanya dengan pelan. Dia bisa merasakan pandangannya mulai mengabur. Dia menatap langit malam yang gelap tapi penuh dengan bintang. Pipinya terasa hangat oleh air mata yang mengalir dengan mulusnya. Fio membiarkannya begitu saja. Perasaan kehilangan yang hadir dengan lebih kuat kali ini membuat Fio kewalahan.

Fio terus mengayuh sepedanya sambil terus menangis. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Isakannya lolos begitu saja tanpa bisa dirinya cegah. Sesak di dadanya tidak kunjung mereda meskipun dia sudah menuruti egonya untuk menangis kali ini. Waktu tidak bisa dia putar ulang dan kehidupannya harus tetap berjalan. Tapi, bagaimana dengan hatinya yang bahkan semakin hari semakin parah. Sejak putus dari Bian, rindu yang menjejali dadanya semakin menumpuk dan tidak terkendali lagi.

***

“Dari mana, Fi?”

Fio tidak menghiraukan pertanyaan mamanya. Dia memilih berjalan cepat menuju kamarnya. Fio mengunci pintu dan segera menuju ke arah meja belajarnya. Dia meraih toples kecil yang di dalamnya terdapat banyak sekali bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas. Gadis itu duduk di lantai dan membuka tutup toples dengan banyaknya harapan yang dia ucapkan di dalam hati.

Fio menuang semua isinya dan mulai menatap tumpukan bintang-bintang kertas itu. Tanpa pikir panjang lagi, Fio mengambil satu bintang dan membukanya. Kosong. Dia kembali membuka bintang yang lain. Kosong. Sampai sudah banyak bintang yang dia buka tapi hasilnya semuanya kosong. Fio mulai ragu kala mengambil bintang yang selanjutnya.

Dia menelan salivanya dengan rasa tercekat. Tangannya membuka bintang kertas itu dengan pelan. Helaan napas lega lolos begitu saja kala dia menemukan sebuah kalimat yang mirip seperti alamat rumah. Fio menenangkan debar jantungnya yang terasa membuncah kala menemukan kepingan asa di antara bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas beraneka warna tersebut.

“Jalan Kertajaya, Gubeng.”

Fio membaca kalimat yang berada di dalam kertas tersebut sambil mengerutkan keningnya dalam. “Kenapa selama ini tidak pernah terpikir kalau Bian meninggalkan sesuatu di antara bintang-bintang itu?” Fio merutuki kebodohannya di dalam hati.

Dia menyimpan kertas itu ke dalam tasnya dan membereskan bintang-bintang yang lain. Fio berjalan keluar kamarnya dengan wajah yang sudah tidak kusut lagi. Gadis itu segera menuju ke meja makan dan duduk dengan wajah sumringah.

“Kamu kenapa?” Rahma yang masih duduk di meja makan sambil memotong-motong buah menatap putrinya heran.

Fio tersenyum. “Fio baik-baik saja ma, tadi Fio hanya sedang ingin segera sampai ke kamar mandi,” jawabnya.

“Mama kira kenapa,” Rahma menghela napas lega. “Eh Fi, sudah lama sekali Bian tidak kesini, dia jadi kuliah dimana sekarang?” Rahma terlihat sibuk dengan kegiatannya memotong-motong buah tanpa melihat perubahan ekspresi yang di tunjukkan oleh Fio.

“Eumm…” Fio menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Fio tidak tahu ma, nanti Fio tanya kalau ketemu Bian,” jawabnya.

“Memangnya kalian sudah tidak pernah ketemu, ya?” Rahma tidak menyerah.

Fio menelan salivanya yang terasa sangat sakit di tenggorokannya. “Kami sama-sama sibuk jadi tidak ada waktu untuk bertemu,” Fio menatap piring di depannya yang masih kosong.

“Kalian baik-baik saja, kan?” Rahma sepertinya tidak akan berhenti bertanya selagi Fio masih berada di sana.

Fio berdiri dan mengisi piringnya dengan makanan tanpa menatap mamanya. “Kami baik-baik saja,” jawabnya tanpa beban.

Fio memilih membawa piring yang sudah dia isi dengan nasi, sayur serta lauk pergi dari meja makan. Rahma yang tersadar langsung menoleh ke belakang dan melihat punggung Fio yang sudah menjauh menuju ruang TV. Wanita yang masih nampak ayu itu menggelengkan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status