Fio sedang memandag lurus ke depan. Matahari terasa lebih terik hari itu. Banyak pikiran yang datang silih berganti.
“Bagaimana kalau Papa dan Mama bercerai?”
“Aku ikut siapa sebaiknya?”
“Apa Mama benar-benar membenciku?”
“Aku ingin keluargaku kembali harmonis.”
Semua perntanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja di benaknya membuat Fio menghela napas berkali-kali demi meredakan gejolak di dalam dadanya yang semakin terasa menghimpit paru-paru hingga dia terasa seperti sulit bernapas.
Ketika Fio masih terhipnotis dengan bunga-bunga yang tumbuh di taman itu, rasa dingin dengan tiba-tiba terasa di pipi kanannya. Fio tersentak dari lamunannya dan la
“Aku sedang memintamu untuk membantuku,” jawab gadis itu yang kini berjalan dengan pelan ke arah Bian.Bian meneguk salivanya kala melihat kemeja Fio yang sudah terlepas dan menyisakan tanktop berwarna putih. “Fio berhenti!” Bian berdiri kala melihat Fio hendak membuka rok sekolahnya.Fio menatap wajah Bian yang terlihat panik. “Kenapa?” tanya Fio dengan nada pelan.“Kalau yang kamu inginkan adalah hal yang ada di dalam kepalaku, maaf aku tidak bisa.” Bian menggelengkan kepalanya.Mata gadis itu memerah. Dia berjalan dengan cepat menuju ke arah Bian dan meraih tengkuk pemuda itu. Dengan sekali gerakan, Fiooo menempelkan bibirnya ke atas bibir Bian. Pemuda yang lima belas sentimeter lebih tinggi di banding Fio itu terbelalak dengan bibir yang terkatup rapat. Fio menggerakan bibirnya yang sayangnya sama sekali tidak bisa membuat Bian tergoda.Bian tersentak dalam hitungan detik. Dia seger
“Ini gaji Bian bulan ini,” kata pemuda yang sedang mengulurkan amplop berwarna putih ke depan ibunya.Helaan napas terdengar keluar dari bibir Ningsih. “Jangan memberikan Ibu semua gajimu,” kata Ningsih.Bian mendongak dan tersenyum. “Ibu tenang saja, aku sudah menyimpan sendiri bagianku, oh ya kemarin malam Bian juga sudah memberikan sedikit uang saku untuk Nara.” Bian melirik ke samping kanannya.“Iya Bu, Kak Bian sudah memberikan Nara uang jajan.” Gadis yang selalu menjadi penghibur Bian dan ibunya tersenyum.“Nara harus belajar yang rajin,” kata Bian sambil mengusap puncak kepala Nara dengan sayang.“Iya pasti, Kak!” Nara terkekeh riang.Pagi itu, seperti biasanya, suasana hangat sangat terasa di meja makan berbentuk persegi yang terbuat dari kayu itu. Bian, pemuda yang terlihat keren dan tampan ketika sedang bermain basket adalah sosok yang ikhlas bekerja untuk menc
Setelah makan malam selesai, Fio mengajak Rey untuk ke ruang tamu. Rey tentu saja sangat senang karena kali ini niatnya mendekati Fio tidak mengalami gangguan. Pemuda dengan kulit putih dan juga mata berwarna coklat itu segera duduk di sofa yang berada di depan Fio.“Ada apa kamu ke rumahku?” tanya Fio.Rey tersenyum. “Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat.” Rey menatap Fio yang pipinya terlihat lebih tirus.“Dan beruntungnya kamu, karena aku baru selesai memasak makan malam yang sebenarnya lebih cocok di sebut makan sore,” Fio terkekeh.“Ya, aku memang beruntung.” Rey ikut terkekeh.“Fio?!”Fio dan Rey menoleh ke arah pintu rumah yang sengaja Fio buka ketika mereka berada di runag tamu. Mata Fio membulat sempurna. Dia segera beranjak berdiri sedang Rey terlihat masih tenang di tempatnya duduk.“Kamu menghindari aku karena sibuk bersama dengan Rey?!” Suara Bian t
“Kamu ikut Papamu,” suara Rahma terdengar acuh.Wanita itu bahkan enggan untuk sekedar menatap Fio yang kini masih terdiam di ambang pintu kamar ke dua orang tuanya. Fio mencengkeram gagang pintu dengan kuat. “Apa aku tidak bisa ikut kalian berdua?” tanya Fio.“Tidak! Kami akan segera berpisah jadi kamu harus ikut dengan Papamu,” kata Rahma.Fio hanya diam. Dia kemudian pergi berlalu meninggalkan Mamanya yang sedang bersedekap di depan jendela kamar. Sepeninggal Fio, Rahma menoleh dan menatap pintu kamarnya dengan mata yang sudah berair. Dia memejamkan matanya.“Maafkan Mama, Fio.” Rahma sudah menangis tanpa suara.Wanita itu berpura-pura kuat di depan semua orang. “Aku tidak sekuat itu, Anjar.” Dia kemudian berjalan dan duduk di pinggiran ranjang.Matanya memandang keluar jendela. “Kamu bahkan tidak memiliki inisiatif untuk kembali ke rumah ini,” gumam Rahma pilu.
“Kamu sedang apa?” Bian menatap Fio sambil berkacak pinggang.“Apa kamu tidak bisa lihat aku sedang apa?” Fio sama sekali tidak mendongak.Bian menganggukkan kepalanya. “Oh oke, sepertinya aku tidak perlu basa-basi lagi,” kata Bian kemudian berjalan dan duduk di samping Fio.“Kamu dari mana?” Fio menoleh ke samping ketika satu bentuk hati sudah kembali berhasil dia buat.“Dari pulang kerja,” jawab Bian. “Malam-malam begini kenapa di luar rumah?” tanya Bian.Fio tersenyum. “Di dalam ataupun di luar rumah sama saja, aku tetap sendiri.” Fio membenarkan duduknya dan sedikit memiringkan tubuhnya supaya bisa menatap Bian.Bian diam tanpa suara. Gadis yang malam itu menggunakan baju tidur berlengan pendek dengan motif lumba-lumba di depannya kini tertawa. Bian bahkan sampai tidak sadar apa yang membuat Fio tertawa sampai terpingkal-pingkal seperti itu. Bian tidak se
Bian berjalan dengan langkah pelan menuju ke teras rumahnya. Tempat dengan beberapa pot bunga yang Ibunya dapat dari para tetangga menghiasi teras sederhana itu. Bian duduk di kursi usang yang terbuat dari kayu rotan. Pemuda dengan tatapan seteduh awan itu sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk setelah pulang dari rumah Fio.Bian sengaja berhenti di rumah Fio sepulang bekerja hanya untuk memastikan bahwa Fio baik-baik saja. Gadis itu sama sekali tidak membalas pesan-pesannya sejak mereka pulang sekolah. Dan benar saja, Fio sedang membutuhkan bahunya untuk bersandar.Senyuman kecil terbit di bibir Bian. Gadis itu selalu membuatnya gemas setengah mati. Ketika Bian hendak pulang, Fio dengan sengaja menahan ujung kaos yang Bian kenakan.“Ada apa?” tanya Bian yang sudah beranjak berdiri dari duduknya.“Boleh aku minta satu hal dari kamu malam ini?” tanya Fio.Bian mengerutkan keningnya dalam. “Hmm.&rd
“Ini makanlah!” Bian mengulurkan semangkuk bakso Malang yang masih mengepulkan asapnya.Gadis dengan rambut sepundak itu tersenyum. “Terima kasih banyak.” Dia menerima semangkuk bakso dari uluran tangan Bian.Bian mengangguk dan kembali ke gerobak penjual untuk mengambil pesanannya. Mereka berdua kini sedang berada di depan gedung sekolah. Hari sudah beranjak sore, mereka berdua baru saja pulang karena harus mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan kelulusan.Bian yang sebenarnya ada latihan basket harus merelakan untuk tidak mengikuti demi gadis yang kini duduk di sampingnya. Bian menoleh sekilas. Dia tersenyum melihat bagaimana sahabatnya itu memakan dengan lahap baksonya. Bakso Malang yang memang menjadi pilihan Bian kali ini untuk mengganjal perutnya sebelum berangkat bekerja.“Setelah ini, kamu akan pergi bekerja?” tanya gadis dengan mata sipit itu.Bian melirik sekilas ke samping sebelum kemudian kembal
Pemuda berseragam SMA itu mulai cemas ketika ketukannya yang ke sekian kali pada pintu rumah di depannya tidak juga membuahkan hasil. “Fio?!” Bian memanggil nama kekasihnya.Bian sudah hilang kesabaran. Dia menggedor pintu di depannya sambil terus memanggil nama Fio. Bian kemudian meraih gagang pintu di depannya. Dia memutuskan akan masuk ke dalam rumah Fio tanpa menunggu Fio membukakan pintu.“Fio?!” Bian terus berjalan sambil memanggil nama Fio.Tadi pagi pukul lima lebih lima belas menit, gadis itu mengirim pesan ke ponsel Bian. Pesan yang baru sempat di buka oleh Bian kala pagi menjelang. Dia tidak paham apa maksud pesan yang di kirimkan oleh Fio tersebut. Semuanya membuat Bian semakin cemas, apalagi rumah Fio benar-benar kosong pagi itu. Bahkan jam di dinding masih menunjukkan pukul enam kurang lima menit pagi.Bian telah sampai di depan kamar Fio. Dia menoleh sejenak ke samping. Pintu kamar kedua orang tua Fio terbuka dan tid