“Fio?”
Gadis cantik yang sedang berdiri dengan satu tangan memegang tali tas selempangnya itu menatap Rey dengan tatapan penuh harapannya. “Apa kamu tahu kemana Bian? Tolong bantu aku, Rey!” tanpa berbasa-basi Fio bertanya dan memohon.
Rey berjalan mendekat dan meraih pergelangan tangan Fio. Dia membawa Fio pergi dari lapangan basket sekolahnya.
“Lepaskan aku, Rey!” Fio menarik tangannya.
Gagal. Rey lebih kuat dari dirinya. Fio menghela nafasnya dalam dan berjalan dengan malas mengikuti kemana Rey pergi.
“Kita bicara di tempat lain,” kata Rey tegas.
“Sudah! Lepaskan aku! Aku hanya minta bantuanmu, kalau kamu tidak bisa bilang saja!” Fio setengah berteriak.
“Di lapangan banyak orang, apa kamu tidak bisa lihat?” Rey melepaskan tangan Fio begitu mereka sampai di koridor kelas yang sepi.
Fio menatap Rey dengan wajah memerah. “Aku tidak peduli! Aku kesini hanya untuk mencari Bian,” Fio menatap ke arah lapangan basket. “Aku bodoh karena meminta putus darinya,” suaranya berubah menjadi lirih.
“Teman-temanku sudah tahu kalau kalian putus, apa kamu mau jadi bahan omongan mereka karena kamu masih terus mencari Bian setelah kalian putus? Lagipula jangan menyesali apa yang sudah menjadi pilihanmu, semua pilihan ada risiko yang harus di tanggung,” Rey bersedekap.
Fio menatap Bian dengan tajam. “Tidak penting! Aku hanya ingin bertemu dengan Bian, bisakah kamu memberitahuku kemana Bian? Aku hanya butuh informasi itu,” mata Fio meredup.
“Dengarkan aku!” Rey memegang kedua bahu Fio. “Jangan hanya karena Bian kamu jadi kehilangan harga diri seperti ini, mencari Bian hanya untuk memintanya kembali padamu, hmm?” Rey mengungkit obrolan mereka di telepon semalam.
Jantung Fio seperti meluruh sampai ke kakinya. Matanya dipenuhi selaput bening yang berdesakan ingin turun membasahi pipinya yang mulus. Mata Rey yang tadinya menatap Fio dengan tajam kini berubah sendu. Dia menarik Fio ke dalam dekapannya.
“Aku rindu Bian, Rey.”
“Fi, jangan begini.”
“Kamu tidak akan tahu rasanya jadi aku, sakit sekali sampai aku merasa tidak pernah siap kalau seandainya dia memilih melupakanku,” Fio memukul dada Rey tanpa tenaga.
“Aku bahkan sudah lebih dulu merasakan patah hati dari pada kamu,” Rey terdengar sangat tenang. “Aku sudah lama menunggumu dan hari yang aku nanti ternyata tidak pernah tiba untukku, kamu masih sibuk dengan Bian, sementara aku?” Rey tersenyum miris. “Aku masih seperti orang bodoh yang kemarin mencoba melepaskanmu tapi tidak pernah benar-benar ikhlas untuk itu,” mata Rey memerah menahan sesak yang menghimpit dadanya.
“Kenapa kamu mengatakan hal ini lagi? Aku minta maaf, aku tidak bisa berbohong dan mengabaikan keberadaan dia yang tidak pernah mau pergi dari hatiku,” Fio terisak pilu.
Rey menepuk punggung Fio dengan pelan. “Aku tahu, semuanya hanya masalah waktu, Fi.”
“Dan bisakah kamu melihatku mulai saat ini?” batin Rey merana. “Hanya padaku, Fi.” Sesak yang Rey benci tapi juga dia nikmati datang menyerang tanpa ampun.
Fio menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa diam dan menunggu sampai kami bertemu kembali, aku hampir kehilangan akal setelah beberapa hari kami putus,” Fio terisak lirih. “Rasanya aku bukan aku lagi setelah dia pergi, aku seperti menjadi orang lain yang menutupi rasa kehilangan dan kesepian dan senyum palsu, aku tidak menyukai ini semua, Rey.”
Rey mengeratkan pelukannya. “Masih ada aku di sini, teman baikmu,” Rey tersenyum kecut. “Bahu yang dulu kamu harapkan bisa menjadi tempatmu bersandar sudah memilih melepaskan kamu dan kamu juga harus melepaskan dia supaya hidupmu bisa terus berjalan dengan baik, Fi.”
Fio menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Rey. “Aku sudah mencobanya dan sayangnya aku gagal, aku bahkan tidak ingin melakukan hal-hal yang sebelumnya sangat aku sukai, aku kehilangan arah.”
“Kamu hanya belum terbiasa, Fi,” Rey melepaskan pelukannya dan menatap wajah Fio yang sudah bersimbah air mata. “Bersabarlah sebentar lagi, hmm? Semuanya akan kembali seperti semula sebelum Bian datang ke hidupmu,” Rey menangkup kedua pipi Fio.
Fio menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bagaimana kalau semuanya semakin memburuk? Aku tidak mau,” Fio merengek.
“Lalu maumu seperti apa? Kamu sudah bukan anak TK lagi yang harus merengek karena baru saja putus cinta,” Rey berkata dengan tegas.
“Aku bahkan tidak tahu apa yang aku mau sekarang,” Fio menggigit bibirnya dengan gelisah. “Tapi setidaknya, aku bisa melihatnya, setidaknya…” Fio menghembuskan napasnya. “Setidaknya kami bisa berteman lagi, kan? Tapi dia memilih menghilang begitu saja seolah-olah aku tidak pernah menjadi seseorang yang dekat dengannya,” Fio menghirup udara sebanyak mungkin.
“Teman? Benarkah?” Rey tersenyum miring. “Setelah kamu bertemu dengannya lalu apa? Kamu ingin dia kembali padamu?” Rey meremehkan. “Bisakah kamu menyerah untuk hal bodoh seperti meminta mantanmu kembali?!”
Fio mengepalkan tangannya. “Baiklah, aku memang ingin dia kembali padaku, tapi kalaupun tidak bisa setidaknya aku ingin tetap bisa berkomunikasi dengannya, aku ingin tahu kabarnya, aku akan menunggu seperti sebelumnya,” Fio berkata dengan nada menggebu. “Kamu sudah gila!” Rey mencemooh.
“Aku memang sudah gila, aku mencintainya dan aku bodoh karena masih berharap dia akan memintaku kembali padanya,” dada Fio terlihat naik turun karena rasa kesal yang menderanya. “Kalau kamu tidak bisa membantuku, diamlah! Aku akan mencari Bian dengan caraku sendiri!” setelah mengatakan semua yang ada di pikirannya, Fio kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari Rey.
Rey menatap Fio yang kini sudah berjalan meninggalkannnya dengan pandangan kosong. Kakinya terasa lengket dengan lantai. Dia ingin mengejar Fio tapi sepertinya Fio sedang tidak membutuhkan apapun darinya. Rey meninju udara dengan rahang mengetat.
“Sulit sekali melupakan kamu, Fi.” Usai berkata dengan lirih, Rey kembali menuju lapangan basket dengan sedikit berlari.
***
Fio duduk di teras rumahnya begitu sampai. Suasana sepi sangat terasa menambah sesak di dada Fio. Kilasan-kilasan memori yang terlintas di kepalanya membuatnya merasa kehilangan dan juga kesepian. Dia menatap sekitarnya. Ada banyak bayangan Bian di sana-sini.
“Huh!” Fio menghembuskan napasnya melalui mulut.
Dia mengambil kertas dari dalam tasnya dan membaca kembali tulisan yang ada di sana. “Apa ini alamat kamu, Bi?” Fio bergumam.
Dia menatap hamparan rumput di halaman rumahnya. “Bisakah kamu menungguku sebentar, Bi? Aku takut waktuku tidak banyak, aku takut kamu tidak mau menungguku, aku…” Fio tidak sadar sudah terisak lirih. “Aku bahkan takut kalau kita tidak bisa bertemu lagi,” Fio mengusap kasar air mata yang sudah jatuh ke pipinya.
Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya. Dia mengambil napas dan membuangnya dengan perlahan. Fio mengulanginya beberapa kali hingga dia merasa sudah baik-baik saja.
“Baiklah, aku tidak akan tahu sebelum datang ke alamat ini,” Fio berdiri dan menggenggam kertas di tangannya dengan erat kemudian masuk ke dalam rumahnya.
Fio menatap bangunan rumah sederhana di depannya dengan wajah tenang. Gadis itu melangkah menuju gerbang rumah yang tidak terlalu tinggi. Matanya kemudian mencari-cari bel yang mungkin bisa dirinya gunakan untuk membuat di empunya rumah tahu bahwa ada tamu di luar. “Cari siapa dek?” Fio terlonjak kaget. Dia kemudian memutar tubuhnya dan menatap seorang ibu yang membawa tas belanja berisi banyak sayuran. Fio tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk kesopanan. “Maaf, apa benar ini rumahnya Fabian, bu?” Fio bertanya dengan senyuman yang sudah terpasang lebar di bibirnya. “Benar, ini rumahnya Fabian, adek siapa ya?” ibu itu berjalan pelan dan membuka pagar rumah. “Ibunya Bian?” batin Fio. “Saya Fio bu, temannya Bian,” jawab Fio sopan. “Oh saya Ningsih, ibunya Bian.” “Benar kan!” Fio bersorak dalam hati. “Ayo masuk dulu dek,” ajak Ningsih sambil berjalan lebih dulu masuk ke ha
Surabaya, 2015“Kita mampir ke Yellow Burger dulu, yuk?” Nola terlihat memandang ke arah teman-temannya satu per satu yang tergabung dengan nama grup tari Dream Machine.“Pasti ada promo kalau ratu Nola sudah bersabda,” sahut Alvin cepat.“Iya, ada promo,” Nola tertawa.Fio baru saja selesai latihan menari dengan teman-temannya. Dia memutuskan untuk ikut karena kebetulan letak restoran tersebut se arah dengan jalan pulang ke rumahnya. Fio datang lebih dulu dari teman-temannya yang lain.“Mereka belum kelihatan juga,” Fio bergumam dengan kepala yang sudah celingukan ke arah parkiran.Tidak lama berselang, nafas lega lolos begitu saja dari mulutnya begitu melihat teman-temannya. Nola dan Nessa menghampirinya sedangkan Alvin dan Rafa berjalan menuju meja kosong yang terletak di pojok belakang, tepat di samping jendela.Fio tersenyum lebar k
Surabaya, 2015Fio dan teman-temannya berdiri membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala mereka. Berdoa adalah salah satu cara supaya mereka tetap bisa mengontrol segala rasa tegang yang melanda tiada ampun. Apalagi waktu yang tersisa sebelum tampil hanya tinggal sepuluh menit lagi. Setelah itu mereka melakukan high five untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dan juga semangat dalam diri mereka masing-masing.Fio dan teman-temannya memasuki lapangan basket ketika nama grup mereka, Dream Machine dipanggil oleh pembawa acara. Suara riuh penonton yang bertepuk tangan dan menyorakkan nama grup mereka menggema dan membuat hormon adrenalin di dalam tubuh Fio seketika melonjak naik dengan cepat.Mereka kemudian mengambil posisi awal sebelum tarian mereka dimulai. Saat musik terdengar di telinga mereka, Fio dan teman-temannya bergerak mengikuti irama lagu. Setiap beat dalam lagu
Bibirnya tersenyum tertahan kala sebuah kalimat yang baru saja di tulisnya. Semua idenya datang dari kalimat seorang siswi yang cukup populer di sekolahnya. Dia duduk di bangku sebelah kanan Fio.Kenapa hatimu terluka?Kenapa senyummu menghilang?Kenapa sendu bergelayut di matamu?Mawar tidak pernah berniat menyakitiDia hanya sedang melindungi dirinya sendiriFio segera menutup buku catatannya dan mengantongi pena yang dibawanya. Pesanannya sudah datang. Fio tersenyum lebar kala bau bakso tercium di hidungnya. Sangat menggugah selera dan seketika perutnya semakin terasa lapar. Fio segera memakan makan siangnya seorang diri. Nadya masih saja sibuk dengan Dio sampai Fio lupa bahwa sekarang jarak di antara mereka berdua memang sudah sangat terasa.Sepulang sekolah, Fio berjalan seorang diri di sebuah toko buku yang terletak di jalan yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Toko buku yang
Fio bergegas pergi ke dalam kamarnya dan menatap layar ponsel yang disana terdapat nomor serta nama Bian. Fio menggigit bibirnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menggenggam ponselnya dengan kerutan di dahinya.“Apa aku nanti akan terlihat sangat agresif?” Fio menggigit bibir bawahnya.Sambil merapal doa di dalam hatinya, Fio kemudian kembali menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.“Hai, ini aku Fio.” Hanya itu yang Fio sanggup kirimkan untuk Bian.Gadis itu terdengar menghembuskan nafas dalam. Fio segera meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Fio mengulang satu kalimat sebanyak tiga kali tapi tetap saja dirinya tidak berhasil membuat dirinya sendiri paham dengan materi yang sedang dipelajarinya.Fio menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya melirik ke arah ponsel yang sampai lima belas menit berlalu sama sekali belum ada respon dari pemuda y
“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi s
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio
Fio tahu bahwa detik ini akan datang juga kepadanya. Mamanya pasti sudah mengatakan kepada papanya tentang dirinya yang meminta izin untuk menonton bioskop malam ini.“Sama Bian pa, teman Fio,” jawab gadis itu sudah mulai merasa sedikit segan dengan tatapan yang diberikan papanya kepada dirinya.“Siapa Bian?” papanya mulai penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh Fio dan juga istrinya tadi.Fio menghela nafasnya dengan cepat. “Bian itu teman Fio pa, dia anak basket tapi kami tidak satu sekolah, Bian sekolah di SMA Tunas Bangsa,” jawab Fio dengan lancar.Papanya nampak menganggukkan kepalanya paham. “Apa kalian sudah mengenal lama?” tanya papanya dengan mata yang sudah mengunci mata manik mata Fio.Kali ini Fio terlihat mulai gugup, dia menelan salivanya dengan sedikit kepayahan. “Eumm itu…” Fio mengalihkan tatapannya dari Anjar dan memilih melemparkan pandangannya ke arah halaman