Share

Chapter 4

“Fio?”

Gadis cantik yang sedang berdiri dengan satu tangan memegang tali tas selempangnya itu menatap Rey dengan tatapan penuh harapannya. “Apa kamu tahu kemana Bian? Tolong bantu aku, Rey!” tanpa berbasa-basi Fio bertanya dan memohon.

Rey berjalan mendekat dan meraih pergelangan tangan Fio. Dia membawa Fio pergi dari lapangan basket sekolahnya.

“Lepaskan aku, Rey!” Fio menarik tangannya.

Gagal. Rey lebih kuat dari dirinya. Fio menghela nafasnya dalam dan berjalan dengan malas mengikuti kemana Rey pergi.

“Kita bicara di tempat lain,” kata Rey tegas.

“Sudah! Lepaskan aku! Aku hanya minta bantuanmu, kalau kamu tidak bisa bilang saja!” Fio setengah berteriak.

“Di lapangan banyak orang, apa kamu tidak bisa lihat?” Rey melepaskan tangan Fio begitu mereka sampai di koridor kelas yang sepi.

Fio menatap Rey dengan wajah memerah. “Aku tidak peduli! Aku kesini hanya untuk mencari Bian,” Fio menatap ke arah lapangan basket. “Aku bodoh karena meminta putus darinya,” suaranya berubah menjadi lirih.

“Teman-temanku sudah tahu kalau kalian putus, apa kamu mau jadi bahan omongan mereka karena kamu masih terus mencari Bian setelah kalian putus? Lagipula jangan menyesali apa yang sudah menjadi pilihanmu, semua pilihan ada risiko yang harus di tanggung,” Rey bersedekap.

Fio menatap Bian dengan tajam. “Tidak penting! Aku hanya ingin bertemu dengan Bian, bisakah kamu memberitahuku kemana Bian? Aku hanya butuh informasi itu,” mata Fio meredup.

“Dengarkan aku!” Rey memegang kedua bahu Fio. “Jangan hanya karena Bian kamu jadi kehilangan harga diri seperti ini, mencari Bian hanya untuk memintanya kembali padamu, hmm?” Rey mengungkit obrolan mereka di telepon semalam.

Jantung Fio seperti meluruh sampai ke kakinya. Matanya dipenuhi selaput bening yang berdesakan ingin turun membasahi pipinya yang mulus. Mata Rey yang tadinya menatap Fio dengan tajam kini berubah sendu. Dia menarik Fio ke dalam dekapannya.

“Aku rindu Bian, Rey.”

“Fi, jangan begini.”

“Kamu tidak akan tahu rasanya jadi aku, sakit sekali sampai aku merasa tidak pernah siap kalau seandainya dia memilih melupakanku,” Fio memukul dada Rey tanpa tenaga.

“Aku bahkan sudah lebih dulu merasakan patah hati dari pada kamu,” Rey terdengar sangat tenang. “Aku sudah lama menunggumu dan hari yang aku nanti ternyata tidak pernah tiba untukku, kamu masih sibuk dengan Bian, sementara aku?” Rey tersenyum miris. “Aku masih seperti orang bodoh yang kemarin mencoba melepaskanmu tapi tidak pernah benar-benar ikhlas untuk itu,” mata Rey memerah menahan sesak yang menghimpit dadanya.

“Kenapa kamu mengatakan hal ini lagi? Aku minta maaf, aku tidak bisa berbohong dan mengabaikan keberadaan dia yang tidak pernah mau pergi dari hatiku,” Fio terisak pilu.  

Rey menepuk punggung Fio dengan pelan. “Aku tahu, semuanya hanya masalah waktu, Fi.”

“Dan bisakah kamu melihatku mulai saat ini?” batin Rey merana. “Hanya padaku, Fi.” Sesak yang Rey benci tapi juga dia nikmati datang menyerang tanpa ampun.

Fio menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa diam dan menunggu sampai kami bertemu kembali, aku hampir kehilangan akal setelah beberapa hari kami putus,” Fio terisak lirih. “Rasanya aku bukan aku lagi setelah dia pergi, aku seperti menjadi orang lain yang menutupi rasa kehilangan dan kesepian dan senyum palsu, aku tidak menyukai ini semua, Rey.”

Rey mengeratkan pelukannya. “Masih ada aku di sini, teman baikmu,” Rey tersenyum kecut. “Bahu yang dulu kamu harapkan bisa menjadi tempatmu bersandar sudah memilih melepaskan kamu dan kamu juga harus melepaskan dia supaya hidupmu bisa terus berjalan dengan baik, Fi.”

Fio menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Rey. “Aku sudah mencobanya dan sayangnya aku gagal, aku bahkan tidak ingin melakukan hal-hal yang sebelumnya sangat aku sukai, aku kehilangan arah.”

“Kamu hanya belum terbiasa, Fi,” Rey melepaskan pelukannya dan menatap wajah Fio yang sudah bersimbah air mata. “Bersabarlah sebentar lagi, hmm? Semuanya akan kembali seperti semula sebelum Bian datang ke hidupmu,” Rey menangkup kedua pipi Fio.

Fio menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bagaimana kalau semuanya semakin memburuk? Aku tidak mau,” Fio merengek.

“Lalu maumu seperti apa? Kamu sudah bukan anak TK lagi yang harus merengek karena baru saja putus cinta,” Rey berkata dengan tegas.

“Aku bahkan tidak tahu apa yang aku mau sekarang,” Fio menggigit bibirnya dengan gelisah. “Tapi setidaknya, aku bisa melihatnya, setidaknya…” Fio menghembuskan napasnya. “Setidaknya kami bisa berteman lagi, kan? Tapi dia memilih menghilang begitu saja seolah-olah aku tidak pernah menjadi seseorang yang dekat dengannya,” Fio menghirup udara sebanyak mungkin.

“Teman? Benarkah?” Rey tersenyum miring. “Setelah kamu bertemu dengannya lalu apa? Kamu ingin dia kembali padamu?” Rey meremehkan. “Bisakah kamu menyerah untuk hal bodoh seperti meminta mantanmu kembali?!”

Fio mengepalkan tangannya. “Baiklah, aku memang ingin dia kembali padaku, tapi kalaupun tidak bisa setidaknya aku ingin tetap bisa berkomunikasi dengannya, aku ingin tahu kabarnya, aku akan menunggu seperti sebelumnya,” Fio berkata dengan nada menggebu. “Kamu sudah gila!” Rey mencemooh.

“Aku memang sudah gila, aku mencintainya dan aku bodoh karena masih berharap dia akan memintaku kembali padanya,” dada Fio terlihat naik turun karena rasa kesal yang menderanya. “Kalau kamu tidak bisa membantuku, diamlah! Aku akan mencari Bian dengan caraku sendiri!” setelah mengatakan semua yang ada di pikirannya, Fio kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari Rey.

Rey menatap Fio yang kini sudah berjalan meninggalkannnya dengan pandangan kosong. Kakinya terasa lengket dengan lantai. Dia ingin mengejar Fio tapi sepertinya Fio sedang tidak membutuhkan apapun darinya. Rey meninju udara dengan rahang mengetat.

“Sulit sekali melupakan kamu, Fi.” Usai berkata dengan lirih, Rey kembali menuju lapangan basket dengan sedikit berlari.

***

Fio duduk di teras rumahnya begitu sampai. Suasana sepi sangat terasa menambah sesak di dada Fio. Kilasan-kilasan memori yang terlintas di kepalanya membuatnya merasa kehilangan dan juga kesepian. Dia menatap sekitarnya. Ada banyak bayangan Bian di sana-sini.

“Huh!” Fio menghembuskan napasnya melalui mulut.

Dia mengambil kertas dari dalam tasnya dan membaca kembali tulisan yang ada di sana. “Apa ini alamat kamu, Bi?” Fio bergumam.

Dia menatap hamparan rumput di halaman rumahnya. “Bisakah kamu menungguku sebentar, Bi? Aku takut waktuku tidak banyak, aku takut kamu tidak mau menungguku, aku…” Fio tidak sadar sudah terisak lirih. “Aku bahkan takut kalau kita tidak bisa bertemu lagi,” Fio mengusap kasar air mata yang sudah jatuh ke pipinya.

Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya. Dia mengambil napas dan membuangnya dengan perlahan. Fio mengulanginya beberapa kali hingga dia merasa sudah baik-baik saja.

“Baiklah, aku tidak akan tahu sebelum datang ke alamat ini,” Fio berdiri dan menggenggam kertas di tangannya dengan erat kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
hada Hada
hah..cerita yang aneh fio sendiri yg mutusin bian fio sendiri yg kelabakan . aneh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status