“Ini makanlah!” Bian mengulurkan semangkuk bakso Malang yang masih mengepulkan asapnya.
Gadis dengan rambut sepundak itu tersenyum. “Terima kasih banyak.” Dia menerima semangkuk bakso dari uluran tangan Bian.
Bian mengangguk dan kembali ke gerobak penjual untuk mengambil pesanannya. Mereka berdua kini sedang berada di depan gedung sekolah. Hari sudah beranjak sore, mereka berdua baru saja pulang karena harus mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan kelulusan.
Bian yang sebenarnya ada latihan basket harus merelakan untuk tidak mengikuti demi gadis yang kini duduk di sampingnya. Bian menoleh sekilas. Dia tersenyum melihat bagaimana sahabatnya itu memakan dengan lahap baksonya. Bakso Malang yang memang menjadi pilihan Bian kali ini untuk mengganjal perutnya sebelum berangkat bekerja.
“Setelah ini, kamu akan pergi bekerja?” tanya gadis dengan mata sipit itu.
Bian melirik sekilas ke samping sebelum kemudian kembal
Pemuda berseragam SMA itu mulai cemas ketika ketukannya yang ke sekian kali pada pintu rumah di depannya tidak juga membuahkan hasil. “Fio?!” Bian memanggil nama kekasihnya.Bian sudah hilang kesabaran. Dia menggedor pintu di depannya sambil terus memanggil nama Fio. Bian kemudian meraih gagang pintu di depannya. Dia memutuskan akan masuk ke dalam rumah Fio tanpa menunggu Fio membukakan pintu.“Fio?!” Bian terus berjalan sambil memanggil nama Fio.Tadi pagi pukul lima lebih lima belas menit, gadis itu mengirim pesan ke ponsel Bian. Pesan yang baru sempat di buka oleh Bian kala pagi menjelang. Dia tidak paham apa maksud pesan yang di kirimkan oleh Fio tersebut. Semuanya membuat Bian semakin cemas, apalagi rumah Fio benar-benar kosong pagi itu. Bahkan jam di dinding masih menunjukkan pukul enam kurang lima menit pagi.Bian telah sampai di depan kamar Fio. Dia menoleh sejenak ke samping. Pintu kamar kedua orang tua Fio terbuka dan tid
Bian menunggu di luar UGD. Sedari tadi dirinya tidak bisa tenang barang sebentar saja. Pemuda itu sibuk meremas-remas jemarinya sambil menundukkan kepala. Dadanya masih bergemuruh hebat mendapati Fio yang tidak sadarkan diri di kamar mandi.Bapak baik hati yang merupakan tetangga Fio sudah pamit karena harus menghadiri rapat penting setelah sebelumnya menelepon papa Fio. Bian mendongak dan menatap lurus ke depan. Seandainya, dia hanya berpikir tentang seandainya yang nyatanya tidak pernah bisa dirinya dapatkan.“Kalau malam itu aku ke rumah kamu sesuai permintaanmu, pasti kamu tidak akan berbuat nekat seperti sekarang, kan?” Bian membatin pedih.Hari di mana seharusnya dirinya menjemput Fio sekolah harus di batalkan karena janjinya dengan Prisa. Fio tidak marah sama sekali. Gadis itu memilih pulang menggunakan angkutan umum. Tapi, Bian pikir Fio memang baik-baik saja ketika malam harinya Fio meminta Bian untuk datang ke rumah.Tidak ada yang a
“Jadi, kemana kamu tadi pagi?” Prisa, gadis yang terlihat menarik dengan kaos berwarna putih dan celana jeans-nya itu bersedekap di depan Bian.Bian menatap sekilas ke arah Prisa kemudian mencomot pisang gorengnya. “Aku ada urusan yang memang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.” Bian menggigit pisang goreng yang masih hangat buatan ibunya setelah meniupnya sebanyak dua kali.Prisa menghembuskan napasnya dalam. “Aku tahu kalau kamu dan juga Fio sama-sama membolos hari ini,” Prisa berkata sambil berjalan menuju bangku di samping Bian.Mereka kini di pisahkan oleh meja kecil sederhana yang di atasnya sudah ada dua gelas teh hangat dan juga sepiring pisang goreng sebagai kudapan. Bian hanya melirik ke arah Prisa sekilas saja. Dia kembali sibuk dengan pisang goreng yang sudah hampir habis.“Kenapa tidak menjawab?” Prisa terlihat tidak sabar.Bian menelan gigitan pisang goreng terakhirnya. Dia kemudian m
Bian memutuskan untuk pulang setelah Nadya datang ke rumah sakit. Fio mendiamkan dirinya setelah ucapan terakhir gadis itu yang membuat bibir Bian tertarik membentuk satu garis datar. Pemuda itu juga memilih diam dan hanya mengamati gerak-gerik Fio. Gadis itu seperti bukan Fio yang biasanya. Malam itu, Bian melihat sisi Fio yang lain yang tidak dirinya kenal dengan baik.Bian sedang berbaring di lapangan basket yang terletak persis di sebelah taman. Tempat yang biasa dia kunjungi bersama dengan Fio. Matanya menatap langit malam yang terlihat pekat dengan beberapa bintang yang menghiasi. Semilir angin malam mampu membuat benaknya berkelana mengingat memori yang akhir-akhir ini teruntai. Fio, kekasihnya itu memang tidak pernah siap dengan pertengkaran hebat kedua orang tuanya.Ah! Siapapun juga tidak akan pernah siap, itulah yang dulu juga di alami oleh Bian. Pemuda itu memejamkan matanya dan menghela napas dalam. Dia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Tapi hal
“Bisakah Om membereskan semua urusan keluarga Om? Maaf kalau saya berbicara seperti ini, saya…” Bian menatap mata Anjar dengan sorot mata tegas. “Saya hanya tidak ingin Fio semakin terluka, putri Om bahkan sudah depresi melihat bagaimana Om dan Tante bertengkar hampir setiap hari.” Bian kemudian mengambil gelasnya dan meminum es jeruk dari sana hingga tersisa setengah gelas.“Om tahu, ini semua murni kesalahan Om di masa lalu, Rahma dan Fio adalah korban dari kelakuan brengsek Om dengan Melati.” Anjar mengusap wajahnya dengan gusar.“Melati?” Bian menaikkan alisnya tinggi.“Hmm.” Anjar menganggukkan kepalanya. “Melati adalah ibu kandung Fio.” Anjar menatap Bian dengan sorot penuh penyesalan.Bian menghela napas dalam. Dia tidak tahu jika keluarga yang terlihat sangat harmonis ternyata dapat menyimpan rapat sebuah rahasia besar di dalamnya. Sebuah rahasia yang bahkan hanya sekal
“Fio.” Melati berdiri di samping ranjang Fio dengan tatapan rindunya.Fio tersenyum. “Ibu,” suaranya terdengar sangat merdu di telinga Melati hingga membuat mata wanita itu mengabur karena air mata.Dada Melati membuncah kala mendengar Fio memanggilnya ibu. “Iya, ini Ibu, Nak.” Melati kemudian maju dan memeluk Fio dengan erat.Fio balas memeluk Melati. Mereka hanya berdua di ruangan itu. Anjar sengaja menunggu di luar ruangan untuk memberikan waktu kepada Fio dan juga Melati. Sementara Rahma, dia memilih menunggu di rumahnya. Setelah semuanya selesai, dia akan datang kembali ke rumah sakit.“Ibu senang kamu sudah sehat,” kata Melati.Wanita itu duduk di pinggiran ranjang Fio.“Fio senang bertemu dengan Ibu.” Senyum Fio terlihat tulus.Melati mengangguk. “Ibu lebih senang lagi karena bisa memeluk Fio.” Melati mengusap pipi Fio dengan sayang. “Fio, ikut Ibu pu
Fio menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang belakangan ini terus saja terasa sesak. Senyumnya terkembang sempurna.“Kamu sudah benar-benar baik-baik saja?” tanya Bian yang masih memasang wajah bahagianya karena Fio sudah kembali tersenyum.“Hmm.” Fio menoleh ke samping dan tersenyum. “Orang tuaku, mereka benar-benar menyayangiku,” kata Fio. “Aku pikir…” Fio menatap lurus ke depan. “Kemarin mereka hanya sedang frustasi hingga mengabaikanku dan bahkan berkata hal yang tidak seharusnya mereka katakan.” Fio tersenyum.“Manusia terkadang bisa lepas kendali jika sedang emosi, kamu harus bisa mengambil sikap bijak mulai sekarang, bunuh diri tidak menyelesaikan apapun.” Bian mengelus rambut Fio.Fio mengangguk. “Maaf,” katanya dengan sorot mata penuh penyesalan.“Kamu harusnya meminta maaf kepada dirimu sendiri, bukan denganku.” B
“Kenapa dia sampai memukulmu?” tanya Fio dengan dahi berkerut.Rey mengangkat bahunya. “Dia teman baikku ketika kami berada di bangku SMP.” Rey meminum es jeruknya.Mereka masih berada di warung bakso yang tidak jauh dari rumah Fio. Gadis itu terlihat melebarkan matanya. Dia bahkan baru tahu fakta terbaru dari seorang Bian, yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri.“Lalu, kenapa dia memukulmu? Kamu tidak menjawab pertanyaanku yang satu ini.” Fio bersedekap.“Aku tahu dia mengacuhkanmu akhir-akhir ini,” kata Rey sambil menatap Fio dengan intens.Fio mengerutkan keningnya dalam. “Bagaimana kamu bisa tahu?” Karena seingat Fio, hanya Nadya yang mengetahui hubungannya dengan Bian yang sedang merenggang.“Nadya.” Rey tersenyum simpul.“Ah, sudah aku duga,” sahut Fio dengan cepat.“Dia brengsek, kan?” Rey terlihat tersenyum misterius.