Fio menatap bangunan rumah sederhana di depannya dengan wajah tenang. Gadis itu melangkah menuju gerbang rumah yang tidak terlalu tinggi. Matanya kemudian mencari-cari bel yang mungkin bisa dirinya gunakan untuk membuat di empunya rumah tahu bahwa ada tamu di luar.
“Cari siapa dek?”
Fio terlonjak kaget. Dia kemudian memutar tubuhnya dan menatap seorang ibu yang membawa tas belanja berisi banyak sayuran. Fio tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk kesopanan.
“Maaf, apa benar ini rumahnya Fabian, bu?” Fio bertanya dengan senyuman yang sudah terpasang lebar di bibirnya.
“Benar, ini rumahnya Fabian, adek siapa ya?” ibu itu berjalan pelan dan membuka pagar rumah.
“Ibunya Bian?” batin Fio.
“Saya Fio bu, temannya Bian,” jawab Fio sopan.
“Oh saya Ningsih, ibunya Bian.”
“Benar kan!” Fio bersorak dalam hati.
“Ayo masuk dulu dek,” ajak Ningsih sambil berjalan lebih dulu masuk ke halaman rumah.
Fio menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dan berjalan mengikuti ibu Bian. Fio menatap halaman rumah yang terlihat sederhana tapi terkesan asri.
“Duduk dulu dek, ibu masuk ke dalam sebentar,” ujar Ningsih dengan senyuman.
Fio mengangguk dan berjalan menuju sofa usang berwarna biru. Gadis itu menatap sekelilingnya. Tidak banyak benda yang terdapat di ruangan tersebut. Fio juga tidak menjumpai foto keluarga seperti foto keluarganya yang berada di ruang tamu. Hanya ada dua lukisan usang dan juga jam dinding yang tertempel.
“Silahkan di minum dek, maaf ya rumahnya kecil,” Ningsih kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi gelas bening.
Fio bisa melihat di dalamnya berisi teh hangat. Gadis itu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih. Fio memang sedang haus. Dia segera mengambil gelas tersebut dan meminumnya.
“Apa Bian tidak cerita sama adek?” tanya Ningsih dengan nada pelan.
Fio menatap Ningsih dengan kerutan di dahinya sambil meletakkan gelas bening ke atas meja. “Tidak bu, kami memang sudah dua minggu tidak komunikasi,” Fio tersenyum canggung.
Ningsih terlihat menghela nafasnya dalam. “Bian sudah pindah ke Jogja dek, dia di terima kuliah di sana.” Alis wanita itu terlihat berkerut seperti ada beban pikiran yang sedang di tanggungnya.
Fio kembali di beri kejutan setelah sebelumnya mengetahui kabar bahwa Bian sudah keluar dari pekerjaannya. “Memangnya sudah mulai masuk kuliahnya, bu?” tanya Fio ingin tahu.
Ningsih menggelengkan kepalanya. “Bian cari kerja dulu di sana dek,” Ningsih terlihat tersenyum dengan tidak enak hati.
Fio tersenyum. “Saya ingin bertemu Bian tapi sepertinya saya sudah terlambat ya, bu?” wajah gadis itu berubah mendung.
“Bian memang sengaja tidak mengabari teman-temannya, ibu sudah minta untuk ke Jogja kalau sudah waktunya masuk kuliah saja tapi Bian selalu keras kepala dan tidak pernah mau mendengarkan ibu,” Ningsih terlihat menyusut setitik air di sudut matanya. “Maaf ya, ibu suka begini kalau ingat Bian, rasanya ibu rindu sama anak itu,” Ningsih tersenyum.
Fio menyentuh punggung tangan Ningsih dan tersenyum. “Fio juga rindu Bian bu, Fio dan Bian…” Fio terdiam sebentar. “Fio dan Bian putus dua minggu yang lalu,” lanjutnya dengan suara tercekat.
Ningsih melebarkan matanya kemudian menggenggam tangan Fio dengan erat. “Bian sudah melukaimu ya? Maafkan anak ibu ya,” nada bicara Ningsih terdengar penuh penyesalan.
Fio menggelengkan kepalanya. “Bian baik bu, hanya saja sepertinya Fio bukan gadis yang Bian percaya untuk mendengarkan semua cerita hidupnya.”
***
Fio meninggalkan teras rumah Bian dengan harapan yang hampir putus. Kerutan di dahinya seolah menegaskan jika dirinya sedang banyak menanggung beban. Fio menghentikan langkahnya ketika sudah hampir mendekati pagar rumah Bian. Dia berbalik dan tersenyum sambil melambaikan tangannya.
“Kapan-kapan main ke sini lagi ya, kak?” teriak adik perempuan Bian yang berusia tiga belas tahun.
“Oke!” Fio mengacungkan jempolnya ke arah Nara yang masih setia tersenyum manis kepadanya.
“Hati-hati di jalan ya,” Ningsih menampilkan senyuman ramahnya.
“Baik bu,” Fio menganggukkan kepalanya.
Gadis itu memutar tubuhnya dan berjalan pergi dari sana. Fio segera mengendarai motor mamanya dan pergi meninggalkan kawasan rumah Bian yang terlihat banyak sekali bangunan berbentuk mirip dengan kesan perumahan tua di benak Fio.
Mata Fio berkabut. Dia mengernyitkan kening ketika perasaan bersalah tiba-tiba muncul tanpa bisa di cegah. Gadis itu menelan salivanya dengan berat. Dia merasa seperti sedang menelan kerikil, sakit dan sesak. Setetes air mata akhirnya lolos sekuat apapun Fio sudah menahannya. Dengan kasar dia menghapusnya dengan cepat.
“Aku tidak tahu apapun tentang kamu, Bi!” Fio menekankan kalimat yang membuat dadanya semakin terasa terhimpit.
Fio membelokkan motornya ke tempat makan yang menyajikan menu soto ayam. Gadis itu memilih meja dekat dengan pintu keluar supaya tidak terasa gerah. Fio mengedarkan matanya ke setiap sudut tempat makan tersebut. Senyuman tipis tersunggung di bibirnya.
“Kenapa bayangan kamu masih setia mengikutiku, Bi? Ternyata rindu kamu itu rasanya sangat menyiksa. Tuan egois yang menyebalkan!” batin Fio sambil melepaskan tasnya dan menunggu pesanan datang.
***
“Kamu ke rumah Bian?”
Fio menoleh ke samping dan menganggukkan kepalanya. Angin sore yang berhembus mampu menerbangkan helaian-helaian rambutnya yang sudah panjang. Fio menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Sinar matahari sore membuatnya menyipitkan matanya. Dia menggeser tubuhnya ke samping kiri sedikit supaya tidak kesulitan membuka mata.
“Apa kamu sekarang sudah lega?” Rey tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Fio.
Gadis itu tersenyum. Senyuman yang akhirnya bisa Rey nikmati kembali.
“Keluarganya sangat baik kepadaku,” Fio menatap lurus ke depan di mana beberapa tanaman bunga terlihat sangat cantik di matanya. “Kenapa kamu tidak pernah mengatakan apapun kepadaku, Rey?” Fio menoleh ke sampingnya.
“Untuk apa?” Rey menaikkan satu alisnya ke atas. “Bukan hakku untuk menceritakan keadaan keluarga Bian, kami memang bersahabat tapi untuk urusan seperti itu aku rasa kami memiliki privasi masing-masing,” Rey meluruskan kakinya.
“Kamu tahu? Aku merasa sangat bersalah sekarang,” nada bicara Fio terdengar lirih.
“Kenapa?” Rey menoleh dan menatap wajah Fio yang terlihat muram.
“Aku tidak pernah tahu kekasihku mengalami banyak kesulitan seorang diri,” Fio tersenyum miris.
Rey terkekeh pelan. “Kalau kamu tahu memangnya Bian akan membiarkanmu membantu kehidupan ekonominya?”
Fio mengusap pipinya yang entah sudah kapan basah karena air matanya sendiri. “Setidaknya aku bisa meyakinkan dirinya kalau dia bisa mengandalkan aku,” jawab Fio cepat.
“Dia sudah memilih untuk menutup kehidupannya dari kamu, Fi.”
Fio meremat kedua tangannya yang sudah saling bertaut. “Bian memang egois, aku bahkan selalu percaya padanya untuk mendengarkan cerita-ceritaku tapi dia tidak melakukan hal yang sama,” suara Fio bergetar.
Rey menghela napasnya dalam. “Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?” Rey mengunci mata Fio.
Gadis itu menggigit bibirnya sejenak kemudian tersenyum.
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic