Share

Chapter 6

Surabaya, 2015

“Kita mampir ke Yellow Burger dulu, yuk?” Nola terlihat memandang ke arah teman-temannya satu per satu yang tergabung dengan nama grup tari Dream Machine.

“Pasti ada promo kalau ratu Nola sudah bersabda,” sahut Alvin cepat.

“Iya, ada promo,” Nola tertawa.

Fio baru saja selesai latihan menari dengan teman-temannya. Dia memutuskan untuk ikut karena kebetulan letak restoran tersebut se arah dengan jalan pulang ke rumahnya. Fio datang lebih dulu dari teman-temannya yang lain.

“Mereka belum kelihatan juga,” Fio bergumam dengan kepala yang sudah celingukan ke arah parkiran.

Tidak lama berselang, nafas lega lolos begitu saja dari mulutnya begitu melihat teman-temannya. Nola dan Nessa menghampirinya sedangkan Alvin dan Rafa berjalan menuju meja kosong yang terletak di pojok belakang, tepat di samping jendela.

Fio tersenyum lebar kepada Nola dan Nessa. “Untung kalian datang tepat waktu sebelum semua meja benar-benar terisi,” kata Fio.

“Tadi kami beli bensin eceran dulu di depan sekolah Fi,” kata Nessa sambil bersedekap.

“Antriannya masih empat orang lagi,” kata Nola dengan mata memindai ke arah depan mereka.

“Sedang banyak promo jadi antri begini,” sahut Fio dengan cepat.

Nessa memandang jam di pergelangan tangannya. “Burger di sini juara jadi wajar saja kalau antri apalagi ada promo,” katanya tanpa melihat ke arah dua temannya yang lain.

“Besok aku ada kuis matematika,” kata Fio sambil berjalan ke depan karena giliran mereka telah tiba.

“Kuis matematika di kelasku kemarin susah sekali Fi, selamat untukmu!” Bibir Nessa tersungging.

Wajah Fio masih mengarah ke sampingnya dimana Nessa berada. Sedangkan Nola berada di belakang mereka sambil ikut mendengarkan ucapan Fio.

“Silahkan kak mau pesan apa?”

“Tiga cheese burge—“ ucapan Fio terhenti kala wajahnya menghadap ke depan. “Tampan sekali!” jerit hatinya secara spontan.

Waktu seolah berjalan sangat lambat. Suara Nessa dan Nola yang menyebutkan pesanannya kepada Fio dan pelayan di depan mereka seperti terdengar samar-samar di telinga Fio. Bibir gadis itu masih terbuka setengah. Sedangkan matanya bahkan tidak mampu berkedip menatap sosok pelayan di depannya itu. Lidah Fio seakan tidak bisa di gerakkan.

“Maaf, ada lagi yang mau dipesan?” tanya pelayan restoran di depan Fio dengan senyuman manis.

Nessa dan Nola saling pandang karena sikap Fio yang mendadak jadi aneh. Nessa kemudian menggandeng tangan Fio dan menyeret gadis itu menyingkir dari sana kemudian membiarkan Nola menyelesaikan pesanan mereka.

“Kamu kenapa Fi?” tanya Nessa setelah mengguncang bahu gadis itu dengan pelan.

Fio mengerjapkan mata dan menggelengkan kepalanya. Fio menatap ke arah pelayan restoran tadi sekilas kemudian dia meneguk ludahnya pelan.

“Aku tidak kenapa-kenapa Nes, kita kesana lagi yuk!” dia menunjuk ke arah Nola. “Kasihan Nola pasti kesulitan membawa banyak pesanan,” kata Fio kemudian menarik tangan Nessa yang memandang Fio dengan tatapan anehnya.

***

Surabaya, 2016

Fio mendongak. Matanya menyipit kala tetesan-tetesan air mulia berjatuhan ke bumi. Aroma petrichor yang selalu di sukainya tercium dan seketika membuat gadis itu memejamkan mata dan menghirupnya sebanyak yang dia bisa. Senyuman terbit di wajah cantiknya.

“Selamat pagi, Bi!” batinnya.

Ketika rintik hujan mulai semakin deras, Fio bergegas berjalan menuju ke gedung sekolahnya. Cardigan berwarna soft pink yang di pakainya sedikit terasa lembab di kulitnya akibat tetesan- tetesan air.

“Selamat pagi Nadya,” sapa Fio dengan senyuman yang tidak pudar dari wajahnya begitu dirinya sampai di dalam kelas.

Nadya segera meletakkan kaca rias berukuran kecil ke atas meja dan mendongak untuk melihat wajah Fio yang selalu terlihat ceria seperti biasanya. “Pagi Fio yang cantik dan ceria,” sapa Nadya dengan penuh semangat.  “Eh aku lupa belum mengerjakan tugas fisika, aku pinjam tugasmu, ya?” tanya Nadya seketika panik.

Fio mengangguk. “Kamu belum mengerjakan sama sekali?” tanya Fio heran sambil membuka tasnya dan mengeluarkan buku tugasnya yang pagi ini akan dikumpulkan.

Nadya memasang wajah sedih sambil menggeleng. “Aku lupa, baru ingat waktu lihat wajah kamu pagi ini,” jawab Nadya seraya menerima buku yang Fio ulurkan kepadanya.

Fio terkekeh. “Memangnya wajahku mirip rumus fisika?” kata Fio sambil duduk di kursinya.

Nadya mulai sibuk menyalin tugasnya sedangkan Fio sibuk dengan ponsel di tangannya. Jarinya lincah mengetikkan nama Bian di sana. Kegiatannya setelah tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Bian sebelum tahun ajaran baru di mulai adalah mencari tahu kegiatan sehari-hari pemuda itu melalui media sosial.

Fio menggigit bibirnya. “Dia benar-benar egois! Setidaknya beri aku kode kalau dia baik-baik saja!” Fio mematikkan ponselnya.

Nadya melirik sekilas ke samping. “Kamu hanya akan terus memupuk kecewa jika meneruskan kegiatan bodohmu itu setiap hari!” katanya dengan penekanan di akhir kalimatnya.

Fio menghela napasnya dalam. “Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja!” sanggah Fio.

“Setelah itu, apa?” Nadya menaikkan satu alisnya tinggi sambil menatap Fio sekilas.

Fio bungkam. Matanya beralih menatap ke luar jendela. Matanya meredup. Hujan semakin deras turun mengguyur kota pahlawan. Hawa dingin mulai merembet dan membuat Fio merapatkan cardigan-nya. Kilasan-kilasan masa bersama Bian terus berputar di kepalanya.

“Sudah jangan melamun! Bian tidak akan tiba-tiba muncul di depanmu meskipun kamu mengingat hubungan kalian dulu sampai besok pagi,” Nadya lagi dan lagi mengingatkan Fio dengan kalimat lugasnya.

Fio hanya tersenyum dan kembali melanjutkan melihat air yang jatuh dengan pasrahnya ke bumi. Seperti perasaannya yang jatuh dengan sama pasrahnya seperti hujan kepada Bian. Fio menghirup udara sebanyak yang dia bisa untuk mengisi paru-parunya yang selalu saja terasa sesak saat mengingat nama Bian.

“Pagi ini hujannya deras sekali, Bi.” Fio mulai berbicara di dalam hatinya. “Bisakah kamu memberiku kesempatan untuk bertemu suatu hari nanti? Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu,” mata Fio terasa perih.

Dengan gerakan cepat dia mengusap matanya sebelum air matanya jatuh tanpa permisi. “Bi, kalau rasa rinduku akan membebanimu nanti, aku akan berusaha untuk menyimpannya lagi dengan lebih rapi supaya kamu tidak perlu tahu. Tapi Bi, aku masih sanggup menikmati rasa sakitnya merindu sendiri,” dahi Fio semakin berkerut.

“Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihat seorang pemuda tampan dengan senyum menawan berada tepat di depanku, sampai pertemuan ketiga di mana aku, si gadis polos yang percaya diri mengajakmu berkenalan lebih dulu,” Fio memejamkan matanya menikmati sembilu yang menggores dadanya.

Nadya melirik ke samping dan melihat Fio sudah meletakkan kepalanya ke atas meja. Nadya menggelengkan kepalanya. Rasanya Nadya ingin mengguyur kepala Fio dengan air es supaya kepala gadis itu bisa berjalan dengan semestinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status