Surabaya, 2015
“Kita mampir ke Yellow Burger dulu, yuk?” Nola terlihat memandang ke arah teman-temannya satu per satu yang tergabung dengan nama grup tari Dream Machine.
“Pasti ada promo kalau ratu Nola sudah bersabda,” sahut Alvin cepat.
“Iya, ada promo,” Nola tertawa.
Fio baru saja selesai latihan menari dengan teman-temannya. Dia memutuskan untuk ikut karena kebetulan letak restoran tersebut se arah dengan jalan pulang ke rumahnya. Fio datang lebih dulu dari teman-temannya yang lain.
“Mereka belum kelihatan juga,” Fio bergumam dengan kepala yang sudah celingukan ke arah parkiran.
Tidak lama berselang, nafas lega lolos begitu saja dari mulutnya begitu melihat teman-temannya. Nola dan Nessa menghampirinya sedangkan Alvin dan Rafa berjalan menuju meja kosong yang terletak di pojok belakang, tepat di samping jendela.
Fio tersenyum lebar kepada Nola dan Nessa. “Untung kalian datang tepat waktu sebelum semua meja benar-benar terisi,” kata Fio.
“Tadi kami beli bensin eceran dulu di depan sekolah Fi,” kata Nessa sambil bersedekap.
“Antriannya masih empat orang lagi,” kata Nola dengan mata memindai ke arah depan mereka.
“Sedang banyak promo jadi antri begini,” sahut Fio dengan cepat.
Nessa memandang jam di pergelangan tangannya. “Burger di sini juara jadi wajar saja kalau antri apalagi ada promo,” katanya tanpa melihat ke arah dua temannya yang lain.
“Besok aku ada kuis matematika,” kata Fio sambil berjalan ke depan karena giliran mereka telah tiba.
“Kuis matematika di kelasku kemarin susah sekali Fi, selamat untukmu!” Bibir Nessa tersungging.
Wajah Fio masih mengarah ke sampingnya dimana Nessa berada. Sedangkan Nola berada di belakang mereka sambil ikut mendengarkan ucapan Fio.
“Silahkan kak mau pesan apa?”
“Tiga cheese burge—“ ucapan Fio terhenti kala wajahnya menghadap ke depan. “Tampan sekali!” jerit hatinya secara spontan.
Waktu seolah berjalan sangat lambat. Suara Nessa dan Nola yang menyebutkan pesanannya kepada Fio dan pelayan di depan mereka seperti terdengar samar-samar di telinga Fio. Bibir gadis itu masih terbuka setengah. Sedangkan matanya bahkan tidak mampu berkedip menatap sosok pelayan di depannya itu. Lidah Fio seakan tidak bisa di gerakkan.
“Maaf, ada lagi yang mau dipesan?” tanya pelayan restoran di depan Fio dengan senyuman manis.
Nessa dan Nola saling pandang karena sikap Fio yang mendadak jadi aneh. Nessa kemudian menggandeng tangan Fio dan menyeret gadis itu menyingkir dari sana kemudian membiarkan Nola menyelesaikan pesanan mereka.
“Kamu kenapa Fi?” tanya Nessa setelah mengguncang bahu gadis itu dengan pelan.
Fio mengerjapkan mata dan menggelengkan kepalanya. Fio menatap ke arah pelayan restoran tadi sekilas kemudian dia meneguk ludahnya pelan.
“Aku tidak kenapa-kenapa Nes, kita kesana lagi yuk!” dia menunjuk ke arah Nola. “Kasihan Nola pasti kesulitan membawa banyak pesanan,” kata Fio kemudian menarik tangan Nessa yang memandang Fio dengan tatapan anehnya.
***
Surabaya, 2016
Fio mendongak. Matanya menyipit kala tetesan-tetesan air mulia berjatuhan ke bumi. Aroma petrichor yang selalu di sukainya tercium dan seketika membuat gadis itu memejamkan mata dan menghirupnya sebanyak yang dia bisa. Senyuman terbit di wajah cantiknya.
“Selamat pagi, Bi!” batinnya.
Ketika rintik hujan mulai semakin deras, Fio bergegas berjalan menuju ke gedung sekolahnya. Cardigan berwarna soft pink yang di pakainya sedikit terasa lembab di kulitnya akibat tetesan- tetesan air.
“Selamat pagi Nadya,” sapa Fio dengan senyuman yang tidak pudar dari wajahnya begitu dirinya sampai di dalam kelas.
Nadya segera meletakkan kaca rias berukuran kecil ke atas meja dan mendongak untuk melihat wajah Fio yang selalu terlihat ceria seperti biasanya. “Pagi Fio yang cantik dan ceria,” sapa Nadya dengan penuh semangat. “Eh aku lupa belum mengerjakan tugas fisika, aku pinjam tugasmu, ya?” tanya Nadya seketika panik.
Fio mengangguk. “Kamu belum mengerjakan sama sekali?” tanya Fio heran sambil membuka tasnya dan mengeluarkan buku tugasnya yang pagi ini akan dikumpulkan.
Nadya memasang wajah sedih sambil menggeleng. “Aku lupa, baru ingat waktu lihat wajah kamu pagi ini,” jawab Nadya seraya menerima buku yang Fio ulurkan kepadanya.
Fio terkekeh. “Memangnya wajahku mirip rumus fisika?” kata Fio sambil duduk di kursinya.
Nadya mulai sibuk menyalin tugasnya sedangkan Fio sibuk dengan ponsel di tangannya. Jarinya lincah mengetikkan nama Bian di sana. Kegiatannya setelah tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Bian sebelum tahun ajaran baru di mulai adalah mencari tahu kegiatan sehari-hari pemuda itu melalui media sosial.
Fio menggigit bibirnya. “Dia benar-benar egois! Setidaknya beri aku kode kalau dia baik-baik saja!” Fio mematikkan ponselnya.
Nadya melirik sekilas ke samping. “Kamu hanya akan terus memupuk kecewa jika meneruskan kegiatan bodohmu itu setiap hari!” katanya dengan penekanan di akhir kalimatnya.
Fio menghela napasnya dalam. “Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja!” sanggah Fio.
“Setelah itu, apa?” Nadya menaikkan satu alisnya tinggi sambil menatap Fio sekilas.
Fio bungkam. Matanya beralih menatap ke luar jendela. Matanya meredup. Hujan semakin deras turun mengguyur kota pahlawan. Hawa dingin mulai merembet dan membuat Fio merapatkan cardigan-nya. Kilasan-kilasan masa bersama Bian terus berputar di kepalanya.
“Sudah jangan melamun! Bian tidak akan tiba-tiba muncul di depanmu meskipun kamu mengingat hubungan kalian dulu sampai besok pagi,” Nadya lagi dan lagi mengingatkan Fio dengan kalimat lugasnya.
Fio hanya tersenyum dan kembali melanjutkan melihat air yang jatuh dengan pasrahnya ke bumi. Seperti perasaannya yang jatuh dengan sama pasrahnya seperti hujan kepada Bian. Fio menghirup udara sebanyak yang dia bisa untuk mengisi paru-parunya yang selalu saja terasa sesak saat mengingat nama Bian.
“Pagi ini hujannya deras sekali, Bi.” Fio mulai berbicara di dalam hatinya. “Bisakah kamu memberiku kesempatan untuk bertemu suatu hari nanti? Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu,” mata Fio terasa perih.
Dengan gerakan cepat dia mengusap matanya sebelum air matanya jatuh tanpa permisi. “Bi, kalau rasa rinduku akan membebanimu nanti, aku akan berusaha untuk menyimpannya lagi dengan lebih rapi supaya kamu tidak perlu tahu. Tapi Bi, aku masih sanggup menikmati rasa sakitnya merindu sendiri,” dahi Fio semakin berkerut.
“Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihat seorang pemuda tampan dengan senyum menawan berada tepat di depanku, sampai pertemuan ketiga di mana aku, si gadis polos yang percaya diri mengajakmu berkenalan lebih dulu,” Fio memejamkan matanya menikmati sembilu yang menggores dadanya.
Nadya melirik ke samping dan melihat Fio sudah meletakkan kepalanya ke atas meja. Nadya menggelengkan kepalanya. Rasanya Nadya ingin mengguyur kepala Fio dengan air es supaya kepala gadis itu bisa berjalan dengan semestinya.
Surabaya, 2015Fio dan teman-temannya berdiri membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala mereka. Berdoa adalah salah satu cara supaya mereka tetap bisa mengontrol segala rasa tegang yang melanda tiada ampun. Apalagi waktu yang tersisa sebelum tampil hanya tinggal sepuluh menit lagi. Setelah itu mereka melakukan high five untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dan juga semangat dalam diri mereka masing-masing.Fio dan teman-temannya memasuki lapangan basket ketika nama grup mereka, Dream Machine dipanggil oleh pembawa acara. Suara riuh penonton yang bertepuk tangan dan menyorakkan nama grup mereka menggema dan membuat hormon adrenalin di dalam tubuh Fio seketika melonjak naik dengan cepat.Mereka kemudian mengambil posisi awal sebelum tarian mereka dimulai. Saat musik terdengar di telinga mereka, Fio dan teman-temannya bergerak mengikuti irama lagu. Setiap beat dalam lagu
Bibirnya tersenyum tertahan kala sebuah kalimat yang baru saja di tulisnya. Semua idenya datang dari kalimat seorang siswi yang cukup populer di sekolahnya. Dia duduk di bangku sebelah kanan Fio.Kenapa hatimu terluka?Kenapa senyummu menghilang?Kenapa sendu bergelayut di matamu?Mawar tidak pernah berniat menyakitiDia hanya sedang melindungi dirinya sendiriFio segera menutup buku catatannya dan mengantongi pena yang dibawanya. Pesanannya sudah datang. Fio tersenyum lebar kala bau bakso tercium di hidungnya. Sangat menggugah selera dan seketika perutnya semakin terasa lapar. Fio segera memakan makan siangnya seorang diri. Nadya masih saja sibuk dengan Dio sampai Fio lupa bahwa sekarang jarak di antara mereka berdua memang sudah sangat terasa.Sepulang sekolah, Fio berjalan seorang diri di sebuah toko buku yang terletak di jalan yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Toko buku yang
Fio bergegas pergi ke dalam kamarnya dan menatap layar ponsel yang disana terdapat nomor serta nama Bian. Fio menggigit bibirnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menggenggam ponselnya dengan kerutan di dahinya.“Apa aku nanti akan terlihat sangat agresif?” Fio menggigit bibir bawahnya.Sambil merapal doa di dalam hatinya, Fio kemudian kembali menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.“Hai, ini aku Fio.” Hanya itu yang Fio sanggup kirimkan untuk Bian.Gadis itu terdengar menghembuskan nafas dalam. Fio segera meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Fio mengulang satu kalimat sebanyak tiga kali tapi tetap saja dirinya tidak berhasil membuat dirinya sendiri paham dengan materi yang sedang dipelajarinya.Fio menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya melirik ke arah ponsel yang sampai lima belas menit berlalu sama sekali belum ada respon dari pemuda y
“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi s
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio
Fio tahu bahwa detik ini akan datang juga kepadanya. Mamanya pasti sudah mengatakan kepada papanya tentang dirinya yang meminta izin untuk menonton bioskop malam ini.“Sama Bian pa, teman Fio,” jawab gadis itu sudah mulai merasa sedikit segan dengan tatapan yang diberikan papanya kepada dirinya.“Siapa Bian?” papanya mulai penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh Fio dan juga istrinya tadi.Fio menghela nafasnya dengan cepat. “Bian itu teman Fio pa, dia anak basket tapi kami tidak satu sekolah, Bian sekolah di SMA Tunas Bangsa,” jawab Fio dengan lancar.Papanya nampak menganggukkan kepalanya paham. “Apa kalian sudah mengenal lama?” tanya papanya dengan mata yang sudah mengunci mata manik mata Fio.Kali ini Fio terlihat mulai gugup, dia menelan salivanya dengan sedikit kepayahan. “Eumm itu…” Fio mengalihkan tatapannya dari Anjar dan memilih melemparkan pandangannya ke arah halaman
Anjar melirik istrinya sebentar dan melengkungkan senyumnya ke atas. Anjar menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus dengan kemudinya. Rahma tahu bahwa Anjar sedang berbohong. Suaminya tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Rahma juga tahu bahwa Anjar memaksakan senyumnya. Suaminya sedang memikirkan sesuatu yang Rahma tebak semuanya mengenai Fio yang akan pergi bersama Bian. “Mas, semuanya akan baik-baik saja, Fio pasti bisa jaga diri, mas,” kata Rahma mencoba menenangkan Anjar yang nampak masih belum bisa bersikap santai. Rahma melirik ke arah Fio. Kali ini Fio tahu dirinya harus melakukan apa. Dia menangkap kode yang diberikan oleh Rahma melalui tatapan matanya. Fio kemudian mendekatkan tubuhnya kepada papanya. Dia duduk di kursi penumpang di belakang papa dan mamanya sehingga Fio tidak bisa menatap wajah papanya yang sepertinya sedang terlihat tidak tenang. “Pa, Fio bisa minta sesuatu ke papa?” tanya Fio dengan tangan menyentuh pundak Anjar
Fio masih mengamati Bian yang sepertinya sudah selesai membayar. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke arah Fio berdiri.“Ayo, sebentar lagi filmnya akan di mulai,” ajak Bian.“Hmm,” Fio mengangguk paham kemudian berjalan bersisian dengan Bian yang terlihat jauh lebih tinggi dari tubuhnya.Mata Fio melihat antrian masuk ke studio dua yang ternyata sudah dibuka.“Sudah ramai,” kata Bian yang kini berada di depan Fio.“Iya, filmnya baru release dan rating di IMdb bagus,” kata Fio.Gadis itu menatap punggung tegap Bian dari belakang dengan dada berdebar. Wangi Bian tercium dan semakin membuat Fio kelimpungan mengatasi hatinya sendiri. Fio sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ketika Bian menoleh ke belakang dan mata mereka saling bertemu pandang.Tangan kanan Bian sudah dia ulurkan ke belakang. “Sini,” katanya kepada Fio.Suasana y