Fio bergegas pergi ke dalam kamarnya dan menatap layar ponsel yang disana terdapat nomor serta nama Bian. Fio menggigit bibirnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menggenggam ponselnya dengan kerutan di dahinya.
“Apa aku nanti akan terlihat sangat agresif?” Fio menggigit bibir bawahnya.
Sambil merapal doa di dalam hatinya, Fio kemudian kembali menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.
“Hai, ini aku Fio.” Hanya itu yang Fio sanggup kirimkan untuk Bian.
Gadis itu terdengar menghembuskan nafas dalam. Fio segera meletakkan ponselnya ke atas meja belajar. Fio mengulang satu kalimat sebanyak tiga kali tapi tetap saja dirinya tidak berhasil membuat dirinya sendiri paham dengan materi yang sedang dipelajarinya.
Fio menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya melirik ke arah ponsel yang sampai lima belas menit berlalu sama sekali belum ada respon dari pemuda yang berhasil membuyarkan konsentrasi belajarnya tersebut.
Fio menelan salivanya dengan kesulitan. Dia mulai menggigit kuku jarinya dengan dahi yang berkerut dan juga binar mata yang mulai meredup.
“Kenapa tidak dibalas?” Fio bergumam.
Fio meletakkan dahinya ke atas meja sambil berusaha meredakan rasa kecewa di dalam hatinya. Masih dengan posisi yang sama, gadis itu meraba meja dan mengambil ponselnya. Hanya beberapa detik kemudian dia kembali membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.
Fio menegakkan tubuhnya. “Kenapa kesannya jadi aku yang berharap bisa dekat dengan Bian?” Fio bergumam. “Pasti aku sudah gila!” lanjut Fio kemudian.
Dia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke arah ranjang. Fio membaringkan tubuhnya disana. Kakinya masih menjuntai di atas lantai sehingga dirinya bisa mengayunkan kakinya dengan leluasa.
“Apa orang jatuh cinta memang seperti ini?” tanya Fio kepada kamarnya yang terasa sunyi itu.
Fio melebarkan matanya kala tersadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Dia kemudian bangkit dan duduk di pinggiran ranjang. Dia menepuk kedua pipinya dengan pelan. Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil memejamkan matanya sejenak.
“Aku pasti sudah benar-benar gila sekarang, bagaimana bisa aku jatuh cinta dengan Bian?!” kata Fio dengan nada kesal.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Pasti aku cuma terbawa suasana, lagipula aku tidak memiliki pengalaman apapun dalam hal yang menyangkut hati terhadap lawan jenis jadi ini semua pasti hanya perasaan euphoria saja,” lanjut Fio yang masih tetap menyangkal pemikiran awalnya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Fio segera menatap meja yang diatasnya terdapat ponsel yang sejak dirinya mengirim pesan kepada Bian, sama sekali tidak berani disentuhnya. Fio menelan salivanya dengan gugup. Fio meraba dadanya dan dia harus kembali mendapati jantungnya yang berdetak dengan lebih cepat serta perasaan cemas yang menguasai dirinya.
Fio bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke arah meja belajarnya. Dia mengulurkan tangannya dan mengambil ponsel yang tergeletak tidak berdaya di atas meja tersebut dengan gerakan pelan. Fio membasahi bibirnya dan memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya membuka mata dan menatap layar ponselnya. Matanya melebar kala tahu siapa yang mengiriminya pesan. Bian.
“Halo Fio, kamu belum tidur?”
Fio tersenyum dengan dada yang terasa membuncah senang. Dia dengan cekatan segera mengetikkan pesan balasan untuk Bian.
“Belum, masih belajar, kamu sedang apa?”
Setelah mengirimkan pesannya kepada Bian, Fio mendekap ponselnya dengan erat kemudian dia berlonjak kegirangan. Fio menjatuhkan dirinya ke atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum lega. Tidak berapa lama, dia kembali fokus dengan ponselnya ketika nada dering berbunyi.
“Aku sedang istirahat,” balas Bian di dalam pesannya.
“Semangat ya! Kamu luar biasa sekolah sambil kerja,” balas Fio dengan cepat.
“Terima kasih banyak Fio, sepertinya waktu istirahatku sudah hampir habis, bye Fio!”
Fio mengerucutkan bibirnya dengan sedikit kesal. Fio menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku juga harus kembali belajar, bye Bi!”
***
“Bian?” Fio memicingkan matanya dari kejauhan.
Fio menghentikan sepedanya tepat di depan Bian. Gadis itu nampak ceria dan juga bersemangat. Bian yang nampak sedang mengamati layar ponsel di tangannya belum sadar jika ada Fio di depannya. Sampai Fio menepuk bahu pemuda itu.
“Hai!” Bian nampak sangat terkejut dengan kemunculan Fio di depannya.
Fio tersenyum. “Kamu ngapain kesini?” tanya Fio.
“Aku baru saja mengembalikan baju milik temanku, dia bersekolah disini,” jawab Bian dengan santai.
“Oh begitu, aku pikir kamu mencariku,” celetuk Fio tanpa berpikir panjang.
Bian menghentikan senyumannya dan menatap Fio tanpa membalas ucapan gadis itu. Sedetik kemudian, Fio nampaknya baru tersadar dengan apa yang baru saja dia katakan kepada pria itu. Fio segera menutup bibirnya dengan satu telapak tangannya dan menatap Bian dengan perasaan canggung yang tiba-tiba datang.
“Eumm sepertinya aku harus masuk ke dalam kelas, kamu hati-hati di jalan, bye Bi!” tanpa menunggu Bian menjawab ucapannya, Fio segera mengayuh kembali sepedanya dan memasuki kawasan sekolahnya.
Fio sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi. Sementara itu, di luar gerbang SMA Nusantara, Bian masih berdiri dengan wajah bingungnya. Dia masih mencoba mencerna kalimat spontan yang dilontarkan oleh Fio kepadanya. Bian kemudian tersenyum dan berjalan meninggalkan sekolah Fio.
***
Fio menumpukan kepalanya pada meja kelas sambil terus merutuki tindakannya yang tidak dia pikirkan akibatnya. Nadya yang baru saja datang langsung menaikkan satu alisnya ketika melihat Fio yang sudah menyembunyikan wajahnya.
“Kamu kenapa?” tanya Nadya sambil meletakkan tasnya.
Fio mendongak dan memasang wajah memelas ke arah Nadya. “Aku sedang malu, Nad,” jawab Fio cepat.
Nadya tertawa. “Malu kenapa?” tanyanya lebih lanjut.
“Aku sedang malu dan aku tidak bisa menceritakan semuanya sekarang, aku bingung harus bersikap seperti apa jika nanti kami bertemu,” kata Fio kemudian menghela nafasnya panjang.
Nadya menghentikan tawanya dan matanya mulai memicing. Nadya menarik kedua tangannya dan melipatnya di depan dada. Gadis itu duduk di samping Fio dengan bibir yang masih terkunci rapat. Nadya memandang wajah Fio.
“Kamu suka dengan seseorang?” tanya Nadya dengan tatapan menyelidik.
Dengan lemah Fio menganggukkan kepalanya sambil melengkungkan bibirnya ke bawah. Gadis itu menundukkan kepalanya.
***
Menceritakan semuanya kepada Nadya hanya akan berakhir sia-sia. Dunia Nadya masih terpusat kepada Dio sedangkan dirinya tidak terlalu penting lagi untuk gadis itu. Fio berjalan dengan santai menuju ke kantin sambil membawa kertas berwarna-warni yang semalam juga dirinya gunakan sebagian untuk membuat burung-burung kertas.
Katika hati Fio memang tidak begitu baik, dia akan melipat kertas sebagai obat penenangnya. Gadis itu memilih duduk di bangku belakang sambil menunggu pesanannya datang, gadis itu mengeluarkan kertasnya. Fio mulai melipat-lipat kertas di hadapannya dengan tenang.
“Sudah jadi satu,” Fio tersenyum menatap kertas yang sudah berubah menjadi burung kecil.Fio meletakkan kertas-kertas yang masih berada di dalam kemasan. Dia menggeser sedikit kertas-kertas tersebut dan menarik mangkuk yang berisi nasi dan juga soto. Fio sekarang sudah terbiasa makan siang seorang diri sejak Nadya lebih sibuk bersama dengan Dio.Netra Fio mulai menatap sekitarnya yang nampak ramai. Mereka kebanyakan bergerombol. Sedangkan Fio hanya seorang diri dengan kertas yang sudah berubah bentuk menjadi seekor burung kecil. Fio menertawakan dirinya sendiri yang ternyata benar-benar seperti kehilangan sosok teman dekat di hidupnya.Fio sesekali masih mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan secara tidak sengaja bertemu pandang dengan Rey. Nama pemuda yang sangat populer di SMA Nusantara. Seorang pebasket yang selalu menjadi andalan sekolahnya. Fio berhenti mengunyah kala Rey masih menatapnya dalam diam. Pipi Fio nampak menggembung karena nasi s
Fio melebarkan matanya sambil tercengang di tempatnya berdiri. Rey kemudian berjalan pergi meninggalkan dirinya yang sama sekali belum sempat membalas ucapan pemuda itu. Mata gadis itu terus mengikuti punggung Rey yang berjalan menjauh darinya.Gadis itu menyentuh kepalanya. Beberapa orang yang masih berada di sekitarnya semakin berbisik dan ada beberapa anak yang menunjuk Fio.“Beruntung sekali dia diperlakukan manis oleh Rey seperti itu.”Fio memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kembali berjalan dengan dagu yang sedikit dia angkat.“Hmm, aku bahkan sudah tiga kali memberikan Rey makanan kesukaannya tapi sampai sekarang tidak pernah dapat perlakuan manis seperti itu, aku kesal sekali!” Fio tersenyum miring mendengar jawaban siswi lainnya yang berbicara seolah-olah Fio tidak ada di dekat mereka.***Fio segera menghentikan langkahnya dan membuka tas ransel dimana ponselnya berada. Fio
Fio tahu bahwa detik ini akan datang juga kepadanya. Mamanya pasti sudah mengatakan kepada papanya tentang dirinya yang meminta izin untuk menonton bioskop malam ini.“Sama Bian pa, teman Fio,” jawab gadis itu sudah mulai merasa sedikit segan dengan tatapan yang diberikan papanya kepada dirinya.“Siapa Bian?” papanya mulai penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh Fio dan juga istrinya tadi.Fio menghela nafasnya dengan cepat. “Bian itu teman Fio pa, dia anak basket tapi kami tidak satu sekolah, Bian sekolah di SMA Tunas Bangsa,” jawab Fio dengan lancar.Papanya nampak menganggukkan kepalanya paham. “Apa kalian sudah mengenal lama?” tanya papanya dengan mata yang sudah mengunci mata manik mata Fio.Kali ini Fio terlihat mulai gugup, dia menelan salivanya dengan sedikit kepayahan. “Eumm itu…” Fio mengalihkan tatapannya dari Anjar dan memilih melemparkan pandangannya ke arah halaman
Anjar melirik istrinya sebentar dan melengkungkan senyumnya ke atas. Anjar menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus dengan kemudinya. Rahma tahu bahwa Anjar sedang berbohong. Suaminya tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Rahma juga tahu bahwa Anjar memaksakan senyumnya. Suaminya sedang memikirkan sesuatu yang Rahma tebak semuanya mengenai Fio yang akan pergi bersama Bian. “Mas, semuanya akan baik-baik saja, Fio pasti bisa jaga diri, mas,” kata Rahma mencoba menenangkan Anjar yang nampak masih belum bisa bersikap santai. Rahma melirik ke arah Fio. Kali ini Fio tahu dirinya harus melakukan apa. Dia menangkap kode yang diberikan oleh Rahma melalui tatapan matanya. Fio kemudian mendekatkan tubuhnya kepada papanya. Dia duduk di kursi penumpang di belakang papa dan mamanya sehingga Fio tidak bisa menatap wajah papanya yang sepertinya sedang terlihat tidak tenang. “Pa, Fio bisa minta sesuatu ke papa?” tanya Fio dengan tangan menyentuh pundak Anjar
Fio masih mengamati Bian yang sepertinya sudah selesai membayar. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke arah Fio berdiri.“Ayo, sebentar lagi filmnya akan di mulai,” ajak Bian.“Hmm,” Fio mengangguk paham kemudian berjalan bersisian dengan Bian yang terlihat jauh lebih tinggi dari tubuhnya.Mata Fio melihat antrian masuk ke studio dua yang ternyata sudah dibuka.“Sudah ramai,” kata Bian yang kini berada di depan Fio.“Iya, filmnya baru release dan rating di IMdb bagus,” kata Fio.Gadis itu menatap punggung tegap Bian dari belakang dengan dada berdebar. Wangi Bian tercium dan semakin membuat Fio kelimpungan mengatasi hatinya sendiri. Fio sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ketika Bian menoleh ke belakang dan mata mereka saling bertemu pandang.Tangan kanan Bian sudah dia ulurkan ke belakang. “Sini,” katanya kepada Fio.Suasana y
“Huhhh aku lelah!” Nadya menengakkan tubuhnya dan menghembuskan nafasnya dengan keras melalui bibirnya.Dia kemudian melepaskan tas ransel berwarna hitam dan menaruhnya di atas meja. Nadya juga melepaskan jaket yang masih dikenakannya karena rasa gerah yang menghantam tubuhnya. Fio membiarkan Nadya menyelesaikan urusannya terlebih dahulu sampai Nadya nampaknya sudah bisa kembali bernafas dengan normal.Fio segera mengambil tisu dari dalam tasnya kemudian menyerahkan kepada Nadya. “Aku lelah berjalan dari lampu merah perempatan,” jawab Nadya pada akhirnya sambil mengelap peluh yang menetes di dahinya.Fio terlihat terkejut. “Kamu tidak di antar ke sekolah? Dimana Dio?” tanya Fio dengan wajah seriusnya.Nadya menggelengkan kepalanya. “Pak Jaka memang mengantarku hanya saja ban mobilnya bocor dan tidak ada ban cadangan, di rumah tidak ada orang, hanya ada bu Nani jadi tidak bisa minta tolong ayah untuk mengantarku,&r
Senyumnya mengembang begitu saja. Mata bulatnya tidak berkedip menatap sosok pemuda yang sedang melepas pelindung kepalanya kemudian turun dari motor. Fio mengamati setiap langkah yang di ambil oleh Bian. Pemuda itu berjalan menuju pintu masuk kafe sambil menyugar rambutnya yang sudah sedikit terlihat panjang.Fio menoleh ke arah pintu masuk kafe dan dia dapat melihat Bian yang nampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Fio tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah pemuda itu.“Hai Bi!”Senyuman pemuda itu terkembang begitu saja kala melihat wajah Fio yang ceria.“Hai, apa kamu sudah lama menungguku?” tanya Bian menyapa Fio begitu dirinya sampai di depan gadis itu.Fio segera menggelengkan kepalanya. “Belum, aku sudah pesan lebih dulu, kamu ingin pesan apa?” tanya Fio.“Pesannya disana?” Bian tidak menjawab.Pemuda itu nampak menunjuk ke arah bar dan bertanya kepada Fi
Fio masih bungkam. Dia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bian kepadanya. Fio kemudian tertawa. Sementara Bian hanya menatapnya dengan wajah datarnya. Fio kemudian berhenti tertawa dan mengedipkan matanya. Gadis itu membasahi bibir bawahnya. Senyuman kembali terbit di bibirnya begitu juga Bian yang ikut tersenyum.“Kenapa malah tersenyum?” Bian bertanya dengan tawa yang tertahan.Fio tertawa kembali dan menggelengkan kepalanya sambil menutup bibirnya dengan tangan kiri. “Kamu juga ketawa,” kata Fio.“Kamu sangat lucu, hampir terpancing dengan leluconku,” kata Bian sambil ikut tertawa.“Sayangnya aku terlalu sulit untuk kamu jebak dengan leluconmu itu!” Fio memicingkan matanya.Bian tersenyum kemudian menyesap kopi susu yang dipesannya dengan pelan melalui sedotan yang memang selalu disediakan untuk minuman dingin. Fio mengambil satu sendok cheesecake yang ada di depannya kemudia