Bibirnya tersenyum tertahan kala sebuah kalimat yang baru saja di tulisnya. Semua idenya datang dari kalimat seorang siswi yang cukup populer di sekolahnya. Dia duduk di bangku sebelah kanan Fio.
Kenapa hatimu terluka?
Kenapa senyummu menghilang?
Kenapa sendu bergelayut di matamu?
Mawar tidak pernah berniat menyakiti
Dia hanya sedang melindungi dirinya sendiri
Fio segera menutup buku catatannya dan mengantongi pena yang dibawanya. Pesanannya sudah datang. Fio tersenyum lebar kala bau bakso tercium di hidungnya. Sangat menggugah selera dan seketika perutnya semakin terasa lapar. Fio segera memakan makan siangnya seorang diri. Nadya masih saja sibuk dengan Dio sampai Fio lupa bahwa sekarang jarak di antara mereka berdua memang sudah sangat terasa.
Sepulang sekolah, Fio berjalan seorang diri di sebuah toko buku yang terletak di jalan yang searah dengan jalan pulang ke rumahnya. Toko buku yang memang sering dirinya kunjungi ketika dia membutuhkan untuk membeli buku pelajaran sampai komik. Fio berjalan di rak-rak buku yang menyajikan berbagai jenis buku yang berkaitan dengan biologi dari berbagai pengarang.
Gadis itu mengambil satu buku yang membahas tentang struktur dan juga fungsi dari tulang, otot dan juga sendi pada manusia. Gadis itu nampak membaca tulisan yang ada pada sampul buku. Buku bacaan yang setidaknya bisa membantunya lebih mengetahui lebih dalam lagi mengenai tulang, otot dan juga sendi manusia.
Fio kemudian memutuskan untuk membeli buku tersebut. Dia juga mengambil satu komik yang sangat ingin dia baca. Gadis itu membawa dua bukunya menuju ke kasir. Fio masih menatap dua buku di tangannya dengan senyuman terkembang sempurna. Sampai dirinya tidak menyadari bahwa di depannya ada orang lain yang lebih dulu berdiri dan mengantri untuk membayar buku di kasir.
Bruuukkkk!
“Aw!” Fio bergerak mundur secara otomatis karena menabrak punggung seseorang.
Dia kemudian mendongak dan menatap punggung yang berbalut jaket denim di depannya. Fio mengusap dahinya dan menggigit bibirnya. Usapan tangannya mendadak terhenti kala pemuda yang berada di depannya tadi menoleh ke belakang. Kemudian menatapnya dengan tatapan yang membuat kaki Fio terasa menempel pada lantai.
“Kamu tidak apa-apa?”
Fio masih diam. Dia menurunkan tangannya dan menatap wajah di depannya yang berhasil menyedot seluruh atensinya. Pemuda dengan postur tubuh tinggi itu menatap Fio dengan tatapan sedikit cemas. Setelah beberapa saat terdiam, Fio akhirnya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Lidahnya terasa kelu dan bibirnya tidak mampu digerakkan dengan baik.
Pemuda itu tersenyum tipis dan tubuhnya berbalik karena sudah tiba gilirannya untuk membayar buku di kasir. Fio masih sibuk menenangkan detak jantungnya yang terus saja terasa berkejaran. Fio bahkan beberapa kali harus menghirup udara dan menghembuskannya secara perlahan melalui mulut untuk menghilangkan segala rasa groginya.
***
Kaki gadis itu melangkah keluar dari toko buku. Namun, dia berhenti kala melihat pemuda yang tadi membuat mulutnya bisu itu sedang berdiri dengan punggung bersandar pada tembok toko buku. Fio mengerjapkan mata sambil mengepalkan tangannya.
Fio berjalan menuju ke arah pemuda yang kini sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Fio menggigit bibir bawahnya.
Fio berhenti di depan pria itu. “Hai!” sapanya dengan nada yang terdengar sedikit kaku.
Pemuda itu mendongak dan menatap Fio dengan satu alis yang dinaikkan tinggi. “Halo!” sapanya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana sekolahnya.
“Maaf ya untuk kejadian tadi, aku tidak sengaja,” kata Fio sambil tersenyum.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman Fio. “Tidak apa-apa,” jawabnya singkat.
“Oh iya, namaku Fio, nama kamu siapa?” tanya Fio sambil mengulurkan tangannya ke depan.
Pemuda yang memakai seragam SMA itu menatap tangan Fio. “Namaku Bian,” katanya.
Rasa hangat melingkupi hati Fio kala kulit mereka bersentuhan. Memang hanya sebentar mereka berjabat tangan tapi jelas mampu membuat pipi Fio bersemu kemerahan. Gadis itu memindahkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan jari-jarinya. Dia tersenyum dan suasana kembali hening selama beberapa detik. Pemuda bernama Bian itu nampak tenang, berkebalikan dengan Fio yang jantungnya sudah terasa berdebar tidak karuan.
“Kamu sekolah dimana, Fi?” Bian memecah keheningan.
“Aku sekolah di SMA Nusantara,” jawab Fio mulai bisa mengontrol diri. “Kalau kamu?” tanya Fio dengan tangan kanan memegang tali tas ranselnya.
“Aku di SMA Tunas Bangsa,” jawab Bian dengan senyum yang mampu membuat Fio kembali terkesima.
Fio tersenyum. “Oh, kelas berapa?” Fio memang tidak mau melewatkan kesempatannya untuk berkenalan dengan Bian.
“Aku kelas dua belas,” jawab Bian kemudian kembali menyenderkan punggungnya pada tembok.
Fio nampak menganggukkan kepalanya paham. “Aku kelas sebelas, ternyata kamu lebih tua,” kata Fio tanpa ditanya oleh Bian.
“Benarkah? Memangnya kamu pikir aku kelas berapa?” Bian mengulum senyumnya.
“Aku pikir kamu kelas sebelas juga,” Fio terkekeh.
Bian tertawa dengan merdunya. “Wajahku memang awet muda,” katanya penuh rasa percaya diri.
Dada Fio membuncah mendengar suara tawa Bian. “Kamu jurusan apa?” Fio sepertinya tidak mau melewatkan kesempatan itu.
“IPA,” jawab Bian singkat.
“Wah sama seperti aku, kapan-kapan sepertinya aku bisa meminta bantuanmu jika aku kesulitan mengerjakan tugas-tugas sekolahku,” kata Fio dengan binar di matanya. “Kamu tahu? Aku tidak terlalu cerdas, aku harus belajar dua kali lebih rajin daripada teman sebangkuku di sekolah,” sambung Fio dengan polosnya.
“Boleh, simpan saja nomorku kalau begitu, kamu bisa menghubungiku jika sewaktu-waktu membutuhkan bantuanku,” kata Bian yang membuat bibir Fio sedikit terbuka.
“Oh i…iya… baik,” jawab Fio gelagapan setelah beberapa detik berusaha mencerna kalimat Bian.
Bian terkekeh. Fio segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas ransel kemudian Bian mendikte nomornya dan Fio menyimpan nomor Bian dengan rasa senang yang luar biasa. Fio tidak menyangka bahwa Bian akan memintanya untuk menyimpan nomor ponsel pemuda itu. Bian sangat baik dan mampu memperlakukan perempuan dengan cara yang cukup mengagumkan menurut Fio.
“Kita sudah tiga kali bertemu, apa aku benar?” tanya Bian dengan mata sedikit menyipit.
Fio mendongak dan segera menyimpan ponselnya ke dalam tas ranselnya setelah menatap mata Bian selama beberapa saat. Fio tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka jika Bian mampu mengingatnya dengan baik. Pertemuan yang tidak pernah mereka berdua sengaja lakukan. Fio mencoba mengingat pertemuan pertama mereka yang membuatnya malu setengah mati.
“Kamu benar, kita bertemu pertama kali ketika aku sedang berada di restoran cepat saji tempat kamu bekerja,” kata Fio dengan bersemangat. “Eumm…” Fio memasang wajah malu. “Aku sepertinya terlihat sangat bodoh saat itu,” kata Fio sambil menggaruk pelipisnya.
Bian tertawa. “Tidak, kamu lumayan lucu saat itu,” kata Bian. “Pertemuan kedua di gedung olahraga ketika acara DBL, iya kan?” Bian menebak.
Fio menganggukkan kepalanya. “Kamu pakai seragam basket SMA Tunas Bangsa,” kata Fio terkekeh pelan.
Bian tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Aku harus pergi sekarang,” kata Bian sambil mengerlingkan satu matanya kepada Fio yang membuat gadis itu terperangah dan menganggukkan kepala dengan wajah bodoh.
Bian kemudian menegakkan tubuhnya dan berjalan melewati Fio. Pemuda itu menepuk bahu Fio dengan pelan. Fio segera memutar tubuhnya dan menatap kepergian Bian menuju ke parkiran motor. Bian nampak tetap menawan di mata Fio meskipun pemuda itu sama sekali terlihat tidak pernah memaksakan diri untuk terlihat menawan di mata Fio.
Bian sudah tidak terlihat di mata Fio. Gadis itu tersenyum senang. Dia melangkah pergi dari sana membawa isi percakapan di antara mereka dengan dada yang seakan hampir meledak. Dia terus tersenyum sambil mengayuh sepedanya.
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic