Share

BAB 2. Déjà vu

“Ratih, ada apa lagi? Ayo turun,” titah Darman masih tidak dihiraukan oleh Ratih, hingga membuat Darman menarik tangan Ratih.

Ratih lantas beranjak dari tempat tidur dan berjalan melewati lemari kacanya. Langkahnya terhenti, ia menoleh melihat lemari kamarnya. Ratih semakin bingung. “Ayah ini bukan lemariku dan Rangga, Ini kan lemari yang dulu pernah Ratih pakai semasa muda. Kok ada di sini?” Ratih menyadari sesuatu kejanggalan yang aneh.

PLETAK!

Darman menjentikkan jarinya ke kening Ratih hingga membuat Ratih mengaduh. “Aduh, Ayah!” pekik Ratih sambil mengelus kepalanya yang sedikit perih.

“Kamu ini?! Ck! Ish! Sudahlah Ayah tunggu di bawah!” Sangking kesalnya Darman sampai tidak bisa berkata-kata, ia lalu keluar meninggalkan Ratih begitu saja di kamarnya.

Ratih lalu menatap pantulan bayangnya. “Rambut ini?!” pekik Ratih tidak percaya, rambutnya kenapa hanya sebahu? Seharusnya rambutnya saat ini sudah sepinggang.

“Ini Aneh! Ada apa denganku?! Kenapa semuanya berubah begitu cepat?!” Otaknya belum bisa mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.

Cat rumah ini, masih berwarna putih. Harusnya, cat rumahnya berwarna abu muda dan kamarnya juga seharusnya di lantai satu. Kenapa dia justru ada di lantai dua? Ratih semakin bingung, ada apa sebenarnya. Ratih berlari turun menapaki anak tangga, mencari Leni ibu tirinya.

“Ibu? Ibu ada di mana?!” Ratih masih memanggil dan berlari menuju ke taman depan, tidak ada satu orang pun.

Tidak ada Leni, apa saat ini Leni lagi pergi ke pabrik atau lagi ke Gudang pengolahan getah karet? Ratih masih tidak tahu.

Kembali Ratih masuk ke dalam rumah megahnya, mencari siapa saja yang bisa menjelaskan perubahan keadaan rumah ini hanya dalam semalam.

“Ibu! Ibu!” teriak Ratih kembali mencari ibu tirinya tetapi yang terlihat di taman belakang justru seorang wanita yang sangat dirindukannya.

“Bunda?! Kenapa, Bunda bisa disini? Bagaimana bisa?”

“Apanya, yang bagaimana bisa, Ratih?! Kamu gak suka lihat Bunda di sini?” Raut wajah sebal sang bunda membuat Ratih tak kuasa menahan butiran kristal bening mengalir dari pelupuk matanya.

Ratih masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya barusan. Ratih lalu menampar pipinya sendiri dan ini terasa sakit, sama seperti saat ia mencubit tangannya diatas tempat tidur tadi, keduanya sama-sama sakit.

“A-apa ini mimpi? Apa aku sudah mati?! Tidak! Aku belum mati! Ini nyata!” Jantung Ratih begemuruh mendapati kenyataan aneh yang dialaminya.

PLAK!

“Sial, tamparan di pipi terasa sakit!” batinnya setelah menampar pipinya sendiri.

“Kamu, itu kenapa? Kok, pipi sendiri ditampar toh, Nduk?” Suara tawa renyah dari bundanya membuat Ratih semakin tak sanggup membendung tangisannya, Ratih langsung memeluk bundanya.

“Ratih kangen, Bunda,” ungkapnya dengan nada suara bergetar menahan tangisnya, membuat kedua orang tuanya menatap bingung dengan tingkahnya itu.

“Loh, bukannya minta maaf, malah bilang kangen. Kamu itu kenapa to, Nduk?” ucap bundanya bingung. Lalu mengelus kepala anaknya, dengan lembut.

“Sudah, siap-siap sana! Sebentar lagi, para tamu undangan akan datang ke aula Hotel Siak. Entah, nanti Deva akan datang atau tidak. Perbuatanmu, semalam sudah sangat keterlaluan, Ratih. Ayah dan Bunda sangat malu, Nak! Gaun pemberian Deva, sudah digantung di lemari bajumu sama Ayah tadi pagi. Kamu ini, ck! Terlalu!” Bundanya, Lusi terus saja mengomel dan berjalan meninggalkan Ratih begitu saja.

Semalam penolakan Ratih kepada Deva bukanlah sebuah penolakan biasa, Ratih bahkan memilih untuk melawan Darman di hadapan banyak orang. Termasuk mempermalukan Deva dan keluarganya.

“Benar sekali, Ayah sampai harus memohon maaf sama Deva dan Pak Abizar. Untung aja mereka itu pengertian dan justru prihatin sama, Ayah. Apalagi, tindakan kamu langsung menggandeng tangan pacar semprulmu itu, buat jantung Ayah rasanya mau meledak, Ratih!” Darman sampai mengusap butiran bening di sudut matanya, sangking nelangsanya melihat kelakuan anaknya.

Mengingat kejadian semalam Ratih langsung menepuk jidatnya sendiri. Apa yang dia lakukan memang sudah diluar ambang batas kewajaran.

Tetapi pandangannya teralihkan saat Ratih melihat bundanya berjalan. Ratih teringat kalau dugaannya benar, sebentar lagi bundanya akan terpeleset saat menginjak keset yang ada di antara ruang tengah dan dapur kering.

“Aduh! Astafirugllah!” pekik bundanya sambil memegang bokongnya yang terbentur di lantai dengan cukup keras.

Melihat hal itu, Ratih pun langsung berlari, menolong bundanya.  “Ratih, tolong ambilkan air hangat untuk Bunda, Nak! Ayah, akan memapah bundamu ke kamar,” titah itu langsung dikerjakann oleh Ratih. Persis dengan yang pernah dilakukannya dulu.

Semua kejadian ini seperti kepingan puzzle yang memenuhi ingatannya. “Ini, Déjà vu! Tak salah lagi, aku pernah melewatinya. Tapi, jika hanya sekedar Déjà vu, tidak mungkin semua detik, menit dan kata tiap katanya persis.” Ratih lalu melihat kalung yang melingkar dilehernya.

“Liontin! Liontin ini, aku ingat betul jika liontin ini mengeluarkan cahaya kuning keemasan.”

Ingatan akan tenggelam di dasar danau kembali merasuk dalam bayangnya.  Semua masih terasa nyata jelas bagai rekaman film yang terputar kembali di ingatan Ratih.

***

Ratih kembali teringat semalam dirinya bertengkar hebat dengan Lusi. Ratih yang lebih dahulu sampai di rumah justru dengan santainya membaca majalah saat Lusi mempertanyakan alasan Ratih menolak Deva sampai mempermalukan ayahnya sendiri di depan para tamu. Semarah itu Lusi semalam kepada Ratih dan hari ini kedua orang tuanya justru bersikap biasa saja kepadanya, penyesalan kembali menyeruak di relung hatinya yang terdalam.

“Ratih, air hangatnya, Nak!” teriak Ayah Ratih yang memulihkan kesadarannya.

Tergopoh-gopoh Ratih memberikan sebaskom air hangat kepada ayahnya. “Ayah, lebih baik Bunda langsung dibawa ke rumah sakit saja. Periksakan Bunda ke Dokter orthopaedi dan traumatologi, sebelum terlambat Ayah.”

Ini adalah salah satu langkah pencegahan yang dilakukan oleh Ratih, karena dua minggu setelah hari ulang tahunnya, bundanya akan divonis memiliki benjolan di tulang ekornya dan akan merambat infeksi karena terlambatnya penanganan.

“Bunda hanya kepleset, Ratih. Dipijat saja sudah cukup, Nak,” kata Lusi sambil tersenyum melihat kekhawatiran yang berlebihan dari anaknya.

“Nggak Bun! Pokonya harus ke dokter sekarang. Ayah, ayo kita bawa Bunda ke rumah sakit sekarang juga. Titik! Bunda jangan menolak. Kalau sampai Ayah tak mendengarkan Ratih maka jangan sampai Ayah menyesal di kemudian hari,” ucap Ratih menarik tangan ayahnya, ia tidak ingin ada penolakan sama sekali.

Wajah Ratih menunjukkan sebuah kekhawatiran mendalam, hingga Darman tidak bisa menolak keinginan putrinya. “Bunda, ayo … kita ke rumah sakit seperti yang Ratih usulkan. Jangan menolak, yah.”

“Ayah, Bunda tidak apa-apa kok.” Lusi masih keras kepala menolak.

“Bunda, tolong … percayalah kepada Ratih. Periksalah ke dokter.” Suara Ratih terdengar lirih, Ratih lalu memegang liontin giok tersebut dengan mata sendu yang sudah mengembun penuh permohonan kepada bundanya.

“Bunda, please … Ratih nggak mau Bunda lumpuh apalagi sampai anfal, Ratih mohon, percayalah sama Ratih kali ini saja,” bisik Ratih terus membujuk Lusi.

“Apa yang terjadi kalau Bunda tidak ke Dokter?” tanya Lusi dengan wajah pucat menatap Ratih yang tampak ragu menjawab pertanyaannya.

“Sesuatu yang sangat buruk, Ratih tidak sanggup mengatakannya. Kumohon, ikutlah denganku. Aku berjanji mulai detik ini akan menjadi anak yang berbakti, Nda.” Ratih lalu menggapai tangan Lusi, mengambil liontin dan menggenggamnya bersama dengan erat.

Lusi langsung sedikit terkejut, saat mendengar anaknya. Ratih memberikan kode yang hanya diketahui oleh dirinya, keduanya saling bertatapan dengan perasaan yang berkecamuk. Hingga Ratih menurunkan pandangannya dan melepasakan tangan Lusi.

“Baiklah, Ayah … bisakah Ayah, tunggu di luar? Biar Ratih yang akan membantu Bunda,” ucap Lusi masih menatap penuh tanya kepada Ratih.

“Hem, baiklah. Ayah, juga akan segera menyiapkan kendaraannya.” Darman lalu keluar meninggalkan anak dan istrinya, tanpa ada rasa curiga sedikit pun.

“Ratih, apa yang terjadi? Kenapa kamu menatap Bunda seperti itu? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Nduk? Ayo, cerita sama Bunda. Kenapa bicaramu seperti seorang peramal?” Lusi menatap Ratih penuh kecurigaan.

“Nggak ada kok, Bun. Ratih khawatir aja, ayo Bun … siap-siap ke rumah sakit.” Ratih lalu mengambilkan jaket dan syal untuk Lusi, ia sengaja mengalihkan pertanyaan Lusi.

“Benarkah? Apa kamu menggunakan kekuatan pusaka keluarga Bunda?” Lusi langsung menebak dan wajah Ratih langsung pucat pasi melihat Lusi.

“Pu-pusaka?” tanya Ratih terbata-bata.

“Iya, itu adalah pusaka keluarga Bunda. Ratih! Nduk, jujur sama Bunda, apa kamu mempergunakan pusaka keluarga Bunda?” Lusi tampak gelisah karena Ratih terus saja memilih bungkam.

“Apa yang terjadi jika Ratih memang menggunakan kekuatan pusaka liontin ini, Bunda?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status